HERZIEN
INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R)
REGLEMEN INDONESIA
YANG DIPERBAHARUI (R.I.B.)
BAB PERTAMA
HAL
MELAKUKAN TUGAS KEPOLISIAN
Bagian
Pertama
TENTANG
PEGAWAI-PEGAWAI DAN PENJABAT-PENJABAT YANG DIWAJIBKAN MELAKUKAN TUGAS KEPOLISIAN
Pasal 1
Melakukan
tugas kepolisian pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut perbedaan
yang diadakan dalam reglemen ini, diwajibkan pada pegawai, penjabat-penjabat
dan orang-orang yang teristimewa yang disebut di bawah ini, masing-masing
sekian keluasan daerah, untuk mana ia diangkat:
1.
Kepala-kepala desa dan kepala-kepala kampung serta sekalian
penjabat polisi bawahan yang lain, bagaimanapun namanya, termasuk juga
penjabat-penjabat polisi yang diangkat untuk tanah partikelir;
2.
Kepala-kepala distrik;
3.
Bupati-bupati dan patih;
4.
Residen-residen;
5.
Semua pegawai, penjabat dan orang-orang lain, dalam perkara yang
diserahkan kepadanya supaya dijaganya, menurut aturan undang-undang yang
istimewa;
6.
Pegawai-pegawai polisi yang tidak dapat gaji masing-masing
mengenai kekuasaan yang diberikan padanya dalam surat angkatannya yang diangkat
sedemikian dengan mengingat aturan-aturan yang akan,ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 2
Melakukan
tugas kepolisian diwajibkan pula kepada kepala bangsa Asing, masing-masing
dalam lingkungannya, demikian juga pada pegawai-pegawai dan penjabat-penjabat
polisi umum (Polisi Negara) yang kesemuanya menurut aturan dan petunjuk
(instruksi) yang sudah ada untuk mereka atau yang akan ditentukan baginya.
Penjelasan:
1.
Yang dimaksud "melakukan tugas kepolisian" dalam pasal
ini dengan singkat ialah "menjaga ketertiban dan keamanan umum" bagi
kepentingan negara yang bersangkutan, pada zaman pemerintah Hindia Belanda
untuk menegakkan penjajahan Belanda dan pada masa pendudukan tentara Jepang
untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.
Dalam alam Republik Indonesia sekarang ini
tugas kepolisian dengan tegas ditentukan dalam Undang-undang Pokok Kepolisian
(U.U. tahun 1961 No.13), sebagai tugas pokok antara lain ialah:
1)
menyelenggarakan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka
memelihara kesejahteraan, kesentausaan, ketertiban dan keamanan umum dan
melindungi orang-orang anggauta masyarakat dan harta bendanya.
2)
sebagai penegak hukum mengadakan segala usaha, pekerjaan dan
kegiatan untuk memelihara dan menjaga ditaatinya dan diturutnya dengan seksama
segala undang-undang, peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan lain sari
negara.
3)
Menyidik tindak pidana, dengan menangkap, memeriksa, menggeledah
dan menahan orang-orang yang berbuat salah melakukan pelanggaran dan kejahatan,
membuat Berita Acara pemeriksaan perkara serta mengajukan kepada Kejaksaan
untuk diadakan penuntutan di muka pengadilan yang berwajib.
Pada hakekatnya tugas polisi dapat dibedakan
atas dua macam, yaitu:
1)
Tugas preventip (mencegah), yaitu melaksanakan segala usaha, pekerjaan
dan kegiatan dalam rangka menyelenggarakan melindungi negara dan badan
hukumnya, kesejahteraan, kesentausaan, keamanan dan ketertiban umum,
orang-orang dan harta bendanya terhadap serangan dan bahaya dengan jalan
mencegah terjadinya tindak pidana dan perbuatan-perbuatan lain yang walaupun
tidak diancam dengan pidana, akan tetapi dapat mengakibatkan terganggunya
keamanan dan ketertiban umum.
2)
Tugas represip (memberantas), ialah kewajiban melakukan segala
usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman, guna memberantas
perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang telah dilakukan, secara
penyidikan, menangkap dan menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah
dan membuat Berita Acara pemeriksaan pendahuluan serta mengajukan kepada Jaksa
untuk dituntut pidana di muka Hakim yang berwajib.
Tugas pokok tersebut dalam pasal dua
Undang-undang Pokok Kepolisian dirumuskan sebagai berikut:
|
1. |
a. |
Memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum. |
|
|
b. |
Mencegah
dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat. |
|
|
c. |
Memelihara
keselamatan negara terhadap gangguan dari dalam. |
|
|
d. |
Memelihara
keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberi perlindungan dan
pertolongan. |
|
|
e. |
Mengusahakan
ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan negara. |
2.
Dalam bidang peradilan mengadakan penyidikan atas kejahatan dan
pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
dan lain-lain peraturan negara.
3.
Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
Masyarakat dan negara.
4.
Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan negara.
Kecuali tugas pokok yang telah diuraikan iii
atas, menurut Keputusan Menhankam/Pangab tanggal 1 Agustus 1970 No.Kep./A/385/VIII/1970
dalam pasal tiga, Polri dibebani juga dengan tugas tambahan dan tugas khusus.
Tugas tambahan terdiri dari:
a.
Ikut serta secara phisik di dalam pertahanan dan ikut serta di
dalam pengamanan usaha pertahanan guna mencapai potensi maksimal dari rakyat
dalam sistem Pertahanan Rakyat Semesta, menurut ketentuan-ketentuan
kebijaksanaan Menhankam/Pangab.
b.
Menyiapkan komponen-komponen untuk kepentingan pertahanan apabila
diperlukan.
Adapun tugas khusus yang dibebankan pada Polri
adalah meliputi partisipasi dalam kegiatan-kegiatan Operasi Bhakti dan
Kekaryaan ABRI sesuai dengan ketentuan-ketentuan kebijaksanaan Menhankam/Pangab.
2.
Pegawai, pejabat dan orang istimewa yang diwajibkan melakukan
tugas kepolisian dalam pasal 1 dan 2 itu dengan singkat dapat dikatakan ialah:
1)
Para Pamong-Desa, tegasnya semua polisi desa apa saja pangkatnya
yang berada di bawah perintah Kepala Desa.
2)
Para Pamong-Praja, tegasnya semua pejabat dan Pegawai Pamong-Praja
berpangkat apa saja yang diserahi dengan pekerjaan kepolisian.
3)
Para pegawai polisi khusus yang memperoleh wewenang kepolisian
dari pelbagai Undang-undang dan peraturan seperti:
a.
pegawai pabean, bea dan cukai,
b.
pegawai jawatan lalu-lintas dan angkutan jalan raya,
c.
pegawai kantor perekonomian,
d.
pegawai jawatan imigrasi,
e.
pegawai dinas kesehatan,
f.
pegawai pengajaran dan pendidikan,
g.
nakhoda kapal,
h.
syahbandar,
i.
pegawai kehutanan dan
j.
lain-lain sebagainya.
4)
Polisi tak bergaji yang diangkat oleh pemerintah, akan tetapi
segala sesuatunya dibiayai oleh badan swasta, seperti polisi perkebunan dan
lain-lain.
5)
Pegawai dan pejabat polisi umum yang pada zaman pemerintah
Hindia-Belanda terdiri dari:
1.
Polisi Kota,
2.
Polisi Bersenjata,
3.
Polisi Lapangan,
4.
Polisi Reserse Daerah,
5.
Polisi Perkebunan dan
6.
Polisi Pamong-Praja, yang pada zaman Republik Indonesia sekarang
ini menjelma menjadi pegawai dan pejabat Kepolisian Republik Indonesia,
disingkat Polri.
Bagian Kedua
TENTANG
KEPALA-KEPALA DESA DAN PENJABAT-PENJABAT KEPOLISIAN BAWAHAN YANG LAIN
Pasal 3
Kepala-kepala
desa dipertanggungkan memelihara keamanan dan kesentausaan umum serta
memelihara ketertiban yang baik dalam desanya, di bawah pengawasan dan perintah
kepala distrik.
Pasal 4
(1)
Mereka wajib menghadap kepala distriknya sekali seminggu pada hari
yang ditentukan, untuk menyampaikan laporan tertulis jika mungkin, dan jikalau
tidak dengan lisan tentang segala hal-ihwal yang terjadi dalam minggu yang baru
lalu, kalau hal itu belum diberitahukannya lebih dahulu, menurut aturan yang
berikut pada bagian ini.
(2)
Jika ada halangan yang sah, hendaklah mereka menyuruh seorang
penjabat bawahannya menggantinya, atau jika penjabat demikian tidak ada, oleh
seorang lain yang cakap.
(3)
Kalau pada suatu tempat amat berat bagi kepala desa untuk
menghadap sekali seminggu, maka bupati boleh menguasakan kepada kepala distrik
akan menyuruh kepala desa menghadap padanya sekali empat belas hari atau
sebulan.
Pasal 5
Kepala desa
harus menjalankan dengan saksama perintah-perintah, yang diberikan kepadanya
dari fihak atasan.
Pasal 6
Mereka
sedapat-dapatnya akan mencegah orang yang memakai senjata yang lain dari biasa
atau yang lebih dari biasa berjalan beredar bersama-sama, istimewa pada malam
hari, jika orang-orang itu rupa-rupanya mengandung maksud yang terlarang, dan
dalam segala hal harus memberi tahukan sekalian yang terjadi tentang itu kepada
kepala distrik.
Pasal 7
(1)
Kalau menurut timbangan bupati dan setelah disetujui oleh Presiden
ternyata perlu, maka kepala desa akan mengadakan jaga malam di dalam desanya,
serta akan memanggil sekalian penduduk desa yang baik untuk mengerjakan pekerjaan
itu berganti-ganti.
(2)
Kepala desa dilarang keras memberi kebebasan supaya tidak
melakukan jaga itu, kalau tidak ada alangan-alangan yang sah.
Pasal 8
Jika
kedapatan badan manusia yang rupanya mati, tetapi agaknya ada kemungkinan masih
bernyawa, haruslah dilakukan daya-upaya dan penjagaan yang sebaik-baiknya
menurut keadaan itu dan kalau dapat, dengan segera diminta pertolongan tabib.
Pasal 9
(1)
Badan manusia yang- kedapatan dalam air, hendaklah dengan segera
diangkat ke luar dan jika ia tidak memperlihatkan tanda-tanda mati yang pasti,
haruslah diselenggarakan cara yang sudah ditetapkan.
(2)
Daya-upaya dan penjagaan yang dimaksud akan dilakukan dengan
segera, meskipun kepala desa atau penjabat polisi yang lain belum hadir di
situ.
Pasal 10
Kalau ada
kebakaran, kepala desa hendaklah melakukan segala daya-upaya untuk memadamkan
api itu dan dengan segera memberitahukan kebakaran itu kepada kepala distrik.
Pasal 11
(1)
Kepala desa hendaklah menjaga dengan saksama supaya penduduk
desanya jangan memberi tempat menginap kepada orang yang bukan penduduk desa
itu dengan tidak diketahuinya lebih dahulu dan dengan tidak seizinnya.
(2)
Jika kedapatan ada kejadian yang demikian itu, hendaklah kepala
desa dengan segera memberitahukan hal itu kepada kepala distrik.
Pasal 12
Jika diminta
kepadanya, kepala desa menyimpan barang-barang orang dalam perjalanan dan
menanggung jawab atas barang-barang yang dipertaruhkan kepadanya itu.
Pasal 13
(1)
Kepala desa hendaklah berikhtiar supaya penduduk desanya
berketenteraman dan berkerukunan serta menjauhkan segala sesuatu yang dapat
menyebabkan perselisihan dan perbantahan.
(2)
Perselisihan yang kecil-kecil yang semata-mata mengenai
kepentingan penduduk desa saja, hendaklah seboleh-bolehnya diperdamaikannya
dengan tidak memihak sebelah dan dengan sepakat orang tua-tua desa itu.
Pasal 14
Jika
orang-orang yang berselisih itu tidak dapat diperdamaikan atau jika
perselisihan itu demikian pentingnya sehingga patut dikenakan hukuman atau
mengganti kerugian, hendaklah kepala desa mengirimkan kedua belah pihak itu
kepada kepala distrik.
Pasal 15
(1)
Kepala desa hendaklah dengan saksama mencatat dalam sebuah atau
daftar-daftar yang dipergunakan untuk itu nama, pekerjaan dan seboleh-bolehnya
umur sekalian orang yang masuk penduduk desanya demikian juga segala perubahan
keadaan penduduk, karena lahir, kawin, meninggal dunia, berangkat dan
sebab-sebab yang lain.
(2)
Pada hari datang yang telah ditentukan mereka akan memberikan
sehelai petikan daftar kepada kepala distrik tentang segala sesuatu yang
terjadi sejak hari datang yang terakhir sekali.
Pasal 16
Jika kepala
desa sendiri tidak pandai memegang daftar itu, hendaklah diurusnya supaya hal
itu dikerjakan oleh pegawai agama atau juru tulis desa.
Pasal 17
(1)
Dengan tidak ada izin kepala distrik, kepala desa tidak boleh
meluluskan siapapun juga duduk dalam daerah desanya, melainkan jika dua
penduduk desa itu yang terlebih hartawan dari yang lain menerangkan bahwa orang
yang hendak diam di antara mereka dikenalnya sebagai orang baik dan tidak
berbahaya.
(2)
Perihal orang yang diizinkan diam itu, hendaklah dituliskan dalam
daftar yang disebut dalam pasal 15.
Pasal 18
(1)
Kepala distrik hendaklah menjaga, supaya jangan ada seorangpun
berkediaman diluar lingkungan desa, jika tidak mendapat izinnya untuk itu lebih
dahulu; izin itu tidak akan diberinya, sebelum didengarnya kepala desa yang
bersangkutan.
(2)
Jika dianggap ada faedahnya atau perlunya diberi pemerintahan yang
berasing kepada pendukuhan yang terjadi demikian itu, hendaklah kepala distrik
sesudah mendengar kepala desa yang bersangkutan, mengemukakan hal itu dengan
surat kepada bupati yang akan menyampaikan surat itu kepada residen dengan
menyatakan bagaimana pendapatnya.
Pasal 19
Apabila
ketentuan dalam kedua pasal yang lalu tidak dapat dilakukan karena keadaan
tempat atau karena keadaan yang lain-lain, hendaklah bupati sesuai dengan
perintah residen, menjalankan daya upaya yang sebaik-baiknya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang tidak baik bagi pengurusan kepolisian yang
boleh terjadi dari karena penduduk tinggal bercerai berai.
Pasal 20
(1)
Tentang izin masuk dan berduduk bagi orang yang bukan terhitung
masuk bangsa Indonesia asli, hendaklah memperhatikan peraturan pemerintah
istimewa yang sudah ada atau yang akan diadakan.
(2)
Peraturan ini berlaku juga atas orang bangsa Indonesia dan bangsa
Asing yang datang berduduk dalam tanah partikelir.
Pasal 21
(1)
Di dalam distrik yang ditempatkan penjabat polisi di bawah kepala
distrik tetapi di atas kepala desa, maka kepala desa itu akan menerima perintah
kepala distrik dengan perantaraan penjabat polisi itu, serta kepala distrik
akan menerima berita dan laporan serta sekalian yang lain-lain yang harus dikirim
kepadanya menurut ketentuan dalam bagian ini dengan perantaraan penjabat polisi
tersebut.
(2)
Dalam segala hal kepala desa wajib menghadap sendiri kepada kepala
Distrik menurut pasal 4.
Pasal 22
Umumnya
kepala desa bertanggung jawab atas akibat yang merugikan yang disebabkan oleh
kejadian-kejadian yang karena jabatannya patut .dijaga atau dicegahnya supaya
jangan terjadi yaitu jika menjaga atau mencegah itu ada dalam kekuasaannya.
Pasal 23
Kepala desa
hendaklah bermupakat dengan orang tua-tua dalam. desanya tentang segala urusan
yang harus sedemikian dimupakati menurut adat istiadat Indonesia.
Bagian
Ketiga
TENTANG
KEPALA DISTRIK
Pasal 24
(1)
Kepala distrik diwajibkan, di bawah pengawasan dan perintah bupati
supaya melakukan tugas kepolisian dengan baik dan sepatutnya dalam daerahnya
dan dalam hal itu ialah yang bertanggungjawab.
(2)
Mereka harus juga dengan saksama menurut dan menjalankan perintah
yang diberikan residen kepadanya. Biasanya perintah itu diberikan kepadanya
dengan perantaraan atau dengan setahu bupati, akan tetapi dalam hal perlu lekas
boleh juga dengan langsung.
Pasal 25
Tentang
pelaksanaan tugas kepolisian dengan teratur, kepala distrik wajib memberi
peraturan dan perintah yang jelas dan lengkap kepada kepala desa dan kepala
polisi lain-lain yang di bawahnya, demikian juga harus memberitahukan kewajiban
mereka itu menurut reglemen ini dengan seksama dan selalu memperingatkan
kepadanya.
Pasal 26
Kepala
distrik haruslah sebanyak kali mungkin mengunjungi sekalian bagian distriknya
untuk menyelidiki adakah sekalian pegawai yang ada di bawah perintahnya,
terutama kepala- desa, melakukan kewajibannya dalam segala hal. Kepala-kepala
yang lalai dalam hal itu hendaklah ditegurnya atau jika kelalaiannya itu
sangat,sekali, hendaklah diadukan kepada bupati.
Pasal 27
Kepala
distrik hendaklah mengurus supaya rumah gardu ditempatkan dengan sepatutnya dan
supaya jaga di jalan-jalan dibagi dengan adil dan dilakukan dengan cermat;
semuanya menurut peraturan yang diberikan bupati kepadanya sesuai dengan
perintah residen.
Pasal 28
(1)
Mereka wajib datang kepada bupati, sekali dalam empat belas hari,
yaitu pada hari yang ditetapkan, untuk menerima perintahnya dan untuk memberi
rencana tentang segala sesuatu yang terjadi dalam dua minggu yang baru lalu,
seberapa hal itu berhubung dengan pengurusan kepolisian.
(2)
Jika letaknya beberapa distrik jauh sehingga menjadi amat berat
bagi kepala-kepala distrik untuk datang sendiri dengan tetap, maka bupati
dengan setahu dan dengan izin residen, boleh mengizinkan kepala distrik yang
sedemikian, akan mengirimkan rencana (versiag) empat belas hari itu dengan
surat.
Pasal 29
Keterangan-keterangan
tentang keadaan penduduk yang diberikan oleh kepala-kepala desa kepadanya
menurut pasal 15 harus dikumpulkannya dengan saksama; dari
keterangan-keterangan itu hendaklah dibuatnya sebuah daftar umum bagi
distriknya untuk tiap-tiap tahun yang sudah dan daftar itu hendaklah
dikirimkannya kepada bupati dalam tiga bulan yang pertama dalam tahun yang
sedang jalan.
Pasal 30
Dengan tidak
mengurangi tanggung jawab kepala distrik tentang hal menjalankan tugas
kepolisian secara mestinya di seluruh distriknya, maka dalam bagian-bagian
distrik di tempat diadakan kepala-kepala onderdistrik, segala pekerjaan dan
kekuasaan yang diserahkan kepada distrik menurut ketentuan bagian ini, bagian
pertama dan bagian kedua pada bab ini, dilakukan oleh kepala onderdistrik;
kepala onderdistrik itulah juga yang menerima dan mengurus segala yang
berhubung dengan pekerjaan dan kekuasaan itu, yang harus. dikirimkan kepada
kepala distrik.
Bagian
Keempat
TENTANG
BUPATI DAN PATIH
Pasal 31
(1)
Di bawah perintah residen, bupati diwajibkan melaksanakan tugas
kepolisian dalam kabupatennya dan mengawasi kepala-kepala distrik serta pegawai
dan penjabat lain yang di bawah perintahnya.
(2)
Oleh karena itu ia hendaklah dengan saksama memeriksa adakah
polisi dalam kabupatennya bekerja baik dan adakah pegawai dan penjabat yang di
bawah perintahnya melakukan kewajibannya dalam segala hal.
Pasal 32
(1)
Bupati menerima segala surat permohonan dan pengaduan yang
dikirimkan kepadanya.
(2)
Segala keberatan penduduk tentang perbuatan kepala-kepala polisi
yang tidak menurut hukum atau yang dilakukannya menurut pikirannya sendiri
harus dikirimkan kepada bupati dan bupati itu harus memeriksanya.
(3)
Menurut keadaan perkara, bupati hendaklah dengan segera melakukan
sesuatu yang perlu atau mengajukan usul-usul yang perlu kepada residen; tentang
sekalian itu ia harus memberi rencana dengan baik kepadanya.
Pasal 33
Bupati
menerima sekalian laporan dan rencana dari kepala-kepala distrik. Tentang
laporan polisi, ringkasannya hendaklah dengan tetap dikirimkannya kepada
residen menurut petunjuk yang diberi residen.
Pasal 34
Bupati
hendaklah mengirimkan daftar-daftar yang diterimanya dari kepala-kepala distrik
menurut pasal 29, kepada residen; seberapa perlu dengan menyatakan
pertimbangannya.
Pasal 35
Dalam segala
pekerjaan jabatannya di seluruh kabupatennya, bupati diwakili oleh patihnya;
patih itu wajib atas nama bupati melakukan segala pekerjaan yang disuruhkannya
kepadanya.
Bagian
Kelima
TENTANG
GUBERNUR DAN RESIDEN
Pasal 36
(1)
Residen menjadi kepala polisi dalam residensinya dan berhak akan
meminta pertolongan kekuasaan bersenjata untuk melaksanakan tugas kepolisian
itu.
(2)
Dalam hal itu sekalian residen diwajibkan saling tolong-menolong
dan bantu-membantu.
(3)
Dengan tidak mengurangi peraturan pada pasal 180 reglemen tentang
organisasi dan tugas serta-kekuasaan justisi di Indonesia (R.O.), maka dalam
propinsi gubernur. berkuasa memberi instruksi yang dipandang perlu kepada
residen yaitu dalam hal melaksanakan tugas kepolisian dan hal meminta
pertolongan kekuasaan bersenjata untuk pelaksanaan itu; tentang hal itu jika
perlu, gubernur sendiri berkuasa pula mengurus hal itu.
Pasal 37
Kekuasaan
urusan atau pekerjaan yang diserahkan kepada residen dalam bab ini, di
Surakarta dilakukan oleh asisten residen yang diwajibkan melakukan pemerintahan
dalam suatu daerah, yaitu dengan memperhatikan peraturan yang khusus untuk itu.
Penjelasan:
Bagian Kedua
s/d Bagian Kelima yang tersebut di atas itu menyebutkan pasal-pasal yang
mengatur tentang tugas dan. wewenang Pegawai dan Pejabat Pamong-Praja tentang
kepolisian dalam daerahnya, yaitu:
menyelenggarakan
segala usaha, pekerjaan dan kegiatan dalam rangka memelihara kesejahteraan,
kesentausaan, ketertiban dan keamanan umum dan melindungi para anggauta
masyarakat dengan harta-bendanya.
Sejak
merdeka, dalam pemerintah Indonesia terlihat hidup suatu cita-cita untuk
memisahkan pekerjaan Pamong-Praja dan Kepolisian Negara.
Sehubungan
dengan itu dalam undang-undang No.1 tahun 1946 .terdapat ada banyak
wewenang-wewenang pemberian izin untuk hal-hal tertentu yang semula berada di
tangan pembesar-pembesar Pamong Praja dialihkan menjadi wewenang Polisi Negara.
Di sini
mulai terlihat benar langkah-langkah permulaan pemisahan pekerjaan Pamong-Praja
dan Kepolisian Negara.
Pemisahan
ini menjadi kenyataan mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan dikeluarkannya Penetapan
Pemerintah No.11/S.D/19.46 yang menentukan, bahwa demi pembangunan Kepolisian
Negara, maka Kepolisian Negara dikeluarkan dari lingkungan Kementrian Dalam
Negeri dan dijadikan jawatan tersendiri yang langsung ditempatkan di bawah
Perdana Menteri.
Dengan lepasnya
Jawatan Kepolisian Negara dari Kementerian Dalam Negeri, maka dalam tubuh
kepolisian lambat laun terjadi perkembangan untuk melepaskan diri sama sekali
dari campur tangan Pamong Praja dalam kepolisian, walaupun hal ini tidak
menutup dan malahan menghargai kerjasama demi kepentingan dan kelancaran
pelaksanaan tugas negara.
Jalannya
pelaksanaan tugas kepolisian mengalami sedikit kesulitan dengan keluarnya
Penetapan Pemerintah No.19A/S.D/1946 yang menentukan, bahwa para Kepala Daerah
(Gubernur dan Residen) tetap bertanggung-jawab atas ketentraman dan keamanan
umum dalam daerah mereka masing-masing, dan memegang pimpinan kepolisian di
dalam daerah mereka, sedangkan sebagai kelanjutan Penetapan Pemerintah tersebut
tidak diberikan peraturan mengenai hubungan antara Gubernur dan Residen dengan
Kepala-Kepala Polisi.
Barulah di
kemudian hari maka untuk mencegah perselisihan-perselisihan yang timbul karena
keluarnya Kepolisian Negara dari Kementrian dalam Negeri dan masuknya di bawah
pimpinan langsung dari Perdana Menteri, diadakan Instruksi Bersama dari Perdana
Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman tertanggal 14 Pebruari 1947
yang mengatur hubungan antara Gubernur/Residen dengan pare Kepala Polisi untuk
kelancaran pelaksanaan tugas.
Tentang hal
ini ditegaskan, bahwa pengawasan Perdana Menteri terhadap tugas Kepolisian
Negara mengenai pertanggungan jawab secara politis tetap .berada di, tangannya,
sedangkan Jaksa Agung masih turut menentukan kebijaksanaan politik polisionil.
Instruksi
Bersama itu selanjutnya memuat antara lain pernyataan-pernyataan sebagai di
bawah ini:
1.
Pimpinan tertinggi Perdana Menteri dalam garis besarnya melalui
Jaksa Agung, disampaikan kepada Kepolisian Negara.
2.
Kepala Kepolisian Negara menyampaikan garis-garis besar pimpinan
dan instruksi-instruksi yang dianggap perlu kepala Gubernur untuk diketahui dan
kepada Residen untuk dijalankan.
3.
Kepala Daerah (Gubernur dan Residen) di masing-masing daerahnya
memegang pimpinan kepolisian secara politik polisionil sebagai pegawai polisi.
4.
Tentang kepolisian kepala Daerah bertanggung-jawab kepada Perdana
Menteri.
5.
Dengan tidak mengurangi wewenang tersebut pada No.3 di atas ini
pimpinan sehari-hari kepolisian dijalarkan oleh Kepala Kepolisian Keresidenan,
yang untuk kepentingan ini berdiri di bawah Kepala Daerah.
6.
Dalam hal-hal ada perselisihan, tersandar atas perbedaan paham
tentang instruksi-instruksi Kepala Kepolisian Negara, Kepala Kepolisian
Keresidenan diwajibkan menjalankan dulu perintah-perintah dari para Residen.
7.
Jika ada kejadian demikian, maka Kepala Kepolisian Keresidenan
menyampaikan bantahan dengan tulisan kepada Kepala Kepolisian Negara. Tindasan
bantahan ini harus disampaikan kepada Residen, yang dapat memberi penjelasan
tentang tindakannya kepada Kepala Kepolisian Negara.
8.
Putusan Kepala Kepolisian Negara yang diambil karena kejadian
dalam No.6 dan No.7 di atas akan diturut oleh Kepala Daerah dan Kepala
Kepolisian Keresidenan.
9.
Pimpinan teknis di daerah berada di tangan Kepala Kepolisian
Keresidenan.
10.
Jika berhubung dengan pimpinan politik polisionil suatu gerakan
polisi harus dijalankan dengan segera, maka Kepala Daerahnya yang mengambil
keputusan sesudah mendapat advis dari Kepala Kepolisian Keresidenan.
Hubungan
antara Kepolisian Negara dan Pamong-Praja sebagaimana ditentukan dalam Instruksi
Bersama di atas itu masih tetap berlaku pula sejak tidak membawahnya lagi
Departemen Kepolisian Negara pada Perdana Menteri pada tanggal 13 Juli 1959,
akan tetapi pada Kementrian Keamanan Nasional, dimana termasuk pula Angkatan
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Demikian pula pada waktu Polisi
Republik Indonesia sebagai unsur Angkatan Bersenjata sekarang ini.
Demikian
pula persoalannya, bahwa selama H.I.R. atau R.I.B. itu belum dicabut, maka
pasal-pasal 3 s/d 37 yang tersebut dalam Bagian Kedua s/d Bagian Kelima tentang
turut campur Pamong-Praja dalam pekerjaan kepolisian tersebut diatas masih
tetap berlaku.
BAB KEDUA
TENTANG
MENCARI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
Bagian
Pertama
TENTANG
PEGAWAI DAN PENJABAT YANG DIWAJIBKAN MENCARI KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
Pasal 38
(1)
Urusan melakukan polisi justisi pada bangsa Indonesia dan bangsa
Asing diwajibkan kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan negeri; serta kepada
jaksa-jaksa yang dibantukan kepadanya, masing-masing buat daerah di tempat ia
diangkat; mereka itu wajib menjalankan perintah, yang berhubung dengan itu
diperintahkan kepadanya oleh kepala kejaksaan pada pengadilan tinggi atau oleh
jaksa-agung.
(2)
Dengan tidak mengurangi peraturan dalam ayat yang lalu dan dengan
memperhatikan pekerjaan dan urusan yang lebih khusus diwajibkan kepada mereka
itu masing-masing berhubung dengan itu, maka jaksa-jaksa pada pengadilan negeri
menjalankan pekerjaannya di bawah pimpinan dan dengan mengingat perintah kepala
kejaksaan.
Penjelasan:
1.
Dalam pasal ini disebutkan "polisi justisi". Apakah itu?
Yang dimaksud dengan "polisi justisi" yaitu pekerjaan polisi
represip, ialah melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu
tugas kehakiman guna memberantas perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang
telah dilakukan, dengan cara menyidik, menangkap dan menahan yang berbuat
salah, memeriksa, menggeledah dan membuat Berita Acara pemeriksaan pendahuluan
dan mengadakan penuntutan pidana di muka pengadilan yang berwajib serta
menjalankan putusan hakim. Ini adalah suatu tugas yang biasanya dikerjakan oleh
para pegawai penyidik dan pegawai penuntut umum, jadi bukanlah suatu korps atau
kesatuan polisi yang diadakan seperti kesatuan polisi Negara dan lain-lain.
2.
Pasal ini di zaman Hindia-Belanda berlaku bagi "Bumiputera
dan Timur Asing" ' yaitu orang-orang Indonesia dan orang-orang Asing dari
Timur, seperti Cina, Hindia, Arab dan lain sebagainya.
Di waktu pendudukan Jepang berlaku bagi semua
penduduk, kecuali orang-orang Jepang sendiri.
Adapun di zaman kemerdekaan sekarang ini berlaku
bagi semua orang yang berada di Indonesia, baik bangsa Indonesia maupun bangsa
Asing".
3.
Urusan melakukan polisi justisi itu di zaman Hindia-Belanda
dibebankan kepada "opsir justisi" dan "magistraat". Kepada
opsir justisi dan magistraat diperbantukan "substitut" atau
"ajun".
Di waktu pendudukan Jepang dibebankan kepada
"thio kensatsu kyokuco" (kepala kejaksaan pengadilan negeri) yang
berada di bawah pengawasan "kootoo kensatsu kyokuco" (kepala
kejaksaan tinggi). Adapun sekarang ini pekerjaan itu dibebankan kepada Jaksa
Kepala dan Jaksa Negeri (Kejari), di bawah pengawasan Kejaksaan Tinggi (Kejati)
dan di bawah pimpinan tertinggi Kejaksaan Agung (Kejagung), yang pokok-pokok
susunan dan tugasnya diatur dalam Undang-undang Pokok Kejaksaan (U.U. tahun
1961 No.15).
Pasal 39
Hal mencari
kejahatan dan pelanggaran pada bangsa Indonesia dan pada bangsa Asing, menurut
perbedaan yang dibuat pada reglemen ini dan pada peraturan undang-undang yang
lain, diwajibkan kepada pegawai, penjabat dan orang-orang yang teristimewa yang
tersebut di bawah ini, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya:
(1)
kepala desa dan kepala kampung dan sekalian penjabat polisi yang
lain yang rendah pangkatnya, apapun juga namanya dalamnya termasuk juga
penjabat polisi di tanah partikulir demikian juga wijkmeester dan kepala bangsa
Asing;
(2)
kepala distrik dan kepala onderdistrik, demikian juga manteri
polisi yang dibantukan kepadanya;
(3)
pegawai dan penjabat polisi umum (polisi negara);
(4)
Jaksa pada Pengadilan Negeri ;
(5)
mereka, yang dengan peraturan undang-undang yang khusus disuruh
memegang peraturan itu atau supaya peraturan itu diturut orang dan yang disuruh
mencari perbuatan yang dapat dihukum yang dimaksud di dalam peraturan itu,
yakni sekedar, yang mengenai perbuatan yang dimaksud itu;
(6)
pegawai polisi yang tidak dapat gaji, yang diangkat sebagai polisi
dengan mengingat peraturan yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah,
masing-masing menurut kekuasaan yang diberikan kepadanya pada Akte angkatannya.
Penjelasan:
Teranglah
menurut pasal 38 H.I.R., bahwa yang diserahi pimpinan kepolisian represip
adalah para Jaksa Negeri yang berada dibawah pimpinan tertinggi Jaksa Agung
yang merupakan Penuntut Umum Tertinggi. Hal ini tidak mengurangkan ketentuan
dalam pasal 7.
(1)
Undang-undang Pokok Kepolisian (U.U. tahun 1961 No.13), yang
menentukan bahwa Kepala Kepolisian Negara memegang pimpinan penyelenggaraan
tugas Kepolisian, baik preventip, maupun represip.
Untuk kepentingan penuntutan perkara, maka
para Jaksa (mereka sendiri masuk juga sebagai pegawai penyidik) melakukan
pengusutan perkara dengan dibantu oleh para "pegawai pengusut" atau
"pegawai penyidik". Siapakah para pegawai penyidik itu? Ialah para
pegawai pejabat dan orang-orang yang disebutkan dalam pasal 39 H.I.R. ini.
Periksalah pasal itu dan bandingkan dengan pasal 1 dan pasal 2 H.I.R.
Pasal-pasal 1 dan 2 menunjuk para petugas yang dibebani. dengan kepolisian
preventip, sedangkan pasal 39 menunjuk para petugas yang 6iserahi dengan
kepolisian represip. Para petugas di situ tidak semua sama dibebani kewajiban
yang bersifat preventip dan represip.
Patih, Bupati dan Residen hanya mempunyai
wewenang preventip. Kepala Onderdistrik, Manteri Polisi dan Jaksa hanya
mempunyai tugas kewajiban yang bersifat represip, sedangkan Kepala Desa, Kepala
Distrik, Polisi Negara, Polisi Khusus dan Polisi tak Bergaji mempunyai tugas
kewajiban baik yang bersifat preventip, maupun yang bersifat represip.
Pada hakekatnya perbedaan antara tugas
kewajiban preventip dan tugas kewajiban yang bersifat represip itu tidak dapat
dipandang sebagai suatu hal yang mutlak, oleh karena sesungguhnya kekuasaan
kepolisian itu dengan sendirinya dapat dijalankan kedua arah yaitu preventip
dan represip. Bukankah sudah barang tentu, bahwa siapa 'yang diwajibkan
melakukan kepolisian itu berwenang untuk memelihara keamanan dan ketertiban
umum, dengan sendirinya diharuskan pula untuk mencegah (preventip) dan
memberantas (represip) gangguan-gangguan terhadap hal yang dipeliharanya.
(2)
Apakah yang dimaksud dengan "mencari kejahatan dan
pelanggaran"? Yang dimaksud yaitu "mengusut" atau
"menyidik"" dan menurut pendapat Mr.R. Tresna ialah
"pemeriksaan permulaan oleh pejabat - pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
undang-undang, segera setelah mereka itu dengan jalan apapun mendengar khabar
yang sekedar beralasan".
Dapat dikatakan pula bahwa
"menyidik" berarti melakukan segala usaha pekerjaan dan kegiatan
membantu kehakiman memberantas kejahatan dan pelanggaran, secara menangkap dan
menahan yang berbuat salah, memeriksa, menggeledah dan membuat Berita Acara
pemeriksaan pendahuluan.
Pasal 40
(1)
Sekedar tentang peraturan pekerjaan mencari perbuatan yang dapat
dihukum, pegawai dan penjabat polisi umum (polisi negara) demikian juga pegawai
dan penjabat Pamong-praja yang di bawah perintah bupati adalah di bawah kuasa
dan pengawasan residen ataupun bupati.
(2)
Akan tetapi dengan tidak menunggu perintah yang lebih lanjut dari
pegawai-pegawai yang tersebut penghabisan itu, mereka itu seyogya melakukan
tiap-tiap pekerjaan jabatan, yang diperintahkan kepadanya oleh jaksa pada pengadilan
negeri.
(3)
Sungguhpun demikian, yaitu kalau hal itu dapat dilakukan dengan
tidak mendatangkan rintangan kepada justisi, permintaan untuk melakukan
pekerjaan jabatan itu hendaklah sesamanya disampaikan dengan perantaraan atau
dengan setahu residen yang bersangkutan ataupun bupati.
(4)
Dalam rencana kepada bupati yang dimaksud dalam pasal 28, maka
pegawai dan penjabat Pamong-praja yang dibawah perintah bupati wajib
menerangkan juga sekalian yang telah dilakukannya tentang mencari perbuatan
yang dapat dihukum dalam waktu yang lalu.
Penjelasan:
Dalam
mencari kejahatan dan pelanggaran maka para pegawai dan pejabat Pamong-Praja
berada di bawah perintah Bupati, akan tetapi para pegawai dan pejabat Polisi
Negara sekarang tidak lagi di bawah perintah Bupati, namun demikian dalam
melakukan tugas penyidikan itu ke dua golongan pegawai dan pejabat tersebut
berkewajiban melaksanakan perintah-perintah yang diberikan oleh Jaksa kepada
mereka.
Pasal 41
(1)
Dengan memperhatikan peraturan pada ayat tiga pasal ini, maka
dalam hal ada kedapatan kejahatan atau pelanggaran, pegawai, penjabat dan
orang-orang yang teristimewa yang diwajibkan mencari kejahatan dan pelanggaran
yaitu yang bukan pegawai penuntut umum dan bukan pula jaksa pembantu, haruslah
membuat proses-perbal tentang yang didapatnya; proses-perbal itu mesti diberi
tanggal dan sedapat-dapatnya harus pula berisi sifat keadaan itu, waktu
terjadinya, tempatnya dan bagaimana peri halnya ia dilakukan, demikian juga
keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk yang memberatkan bagi orang yang
diduga bersalah.
Penjelasan:
1.
Yang diharuskan membuat proses-perbal dalam pasal ini adalah semua
pegawai penyidik, kecuali yang menjabat Jaksa, Jaksa Pembantu dan, mereka yang
tersebut dalam pasal 39 pada 1 (kepala desa dan lain-lainnya).
2.
Yang dimaksud dengan "proses-perbal" yaitu
"berita-acara", ialah suatu tulisan yang dibuat oleh pegawai atau
pejabat yang diwajibkan untuk itu oleh undang-undang, diberi bertanggal dan
ditandatangani, berisi uraian kejadian-kejadian 'atau keadaan-keadaan yang dilihat,
didengar dan dialami sendiri atau yang disampaikan oleh orang lain kepada
mereka itu,:atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah di kemudian hari.
Proses perbal itu termasuk dalam pengertian
"surat-surat" yang tersebut dalam pasal 295 H.I.R. dan berlaku
sebagai bukti yang syah.
3.
Yang dimaksud dengan "Jaksa Pembantu" yaitu
"Hulp-magistraat, ialah kepala distrik, kepala onderdistrik (camat),
pegawai Polisi Negara yang berpangkat manteri polisi atau pembantu-pembantu
inspektur-polisi (sekarang pembantu letnan) ke atas dan mereka yang dengan
khusus ditunjuk oleh Jaksa Agung untuk itu dengan persetujuan Gubernur, Kepala
Daerah.
4.
Menurut ayat 3 pasal ini, maka orang-orang yang tersebut dalam
pasal 39 sub, 1 (kepala desa dan lain-lain) pada menjumpai peristiwa' pidana
tidak perlu membuat proses-perbal, akan tetapi mereka itu hanya diharuskan
memberitahukan semua hal-hal yang telah dilakukannya dengan selekas-lekasnya
kepada Jaksa atau Jaksa Pembantu yang terdekat.
Pasal 42
Pegawai,
penjabat dan orang-orang yang teristimewa yang diwajibkan mencari kejahatan dan
pelanggaran selanjutnya haruslah mencari dan merampas barang-barang yang
dipakai untuk melakukan sesuatu kejahatan, demikian juga barang-barang yang
dicuri dan umumnya sekalian barang-barang yang didapat atau dihasilkan dengan
jalan kejahatan atau pelanggaran atau jadi ganti barang-barang itu; untuk
melakukan pekerjaan itu mereka itu tidak boleh memasuki rumah, atau
gedung-gedung yang lain atau tempat-tempat yang ditutup yaitu dalam hal yang
lain dari yang pasti diizinkan menurut reglemen ini atau menurut peraturan
undang-undang yang lain. Bila diduganya, bahwa barang-barang itu ada disimpan
di situ, maka hal itu hendaklah segera diberitahukannya kepada pembesar yang
disebut dalam ayat dua pasal yang lalu.
Penjelasan:
1.
Menurut pasal ini maka para pegawai penyidik dalam melakukan
penyidikan diwenangkan untuk merampas atau membeslag barang-barang tertentu
yang ada sangkut-pautnya dengan kejahatan dan pelanggaran, tetapi tidak di
izinkan memasuki rumah atau tempat-tempat yang tertutup lain-lainnya. Kalau ada
dugaan, bahwa barang-barang yang dicari itu tersimpan di rumah atau
tempat-tempat tersebut mereka harus memberitahukan hal itu kepada Jaksa atau
Jaksa Pembantu terdekat yang akan menyelesaikan hal itu lebih lanjut.
2.
Barang-barang yang perlu dibeslag itu dapat digolong-golongkan
sebagai berikut:
a.
Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana, seperti misalnya
barang-barang yang dicuri, digelapkan, ditipu dan lain sebagainya.
b.
Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana,
seperti misalnya uang logam atau uang kertas palsu yang telah dibuat oleh
terdakwa.
Barang-barang tersebut pada sub a dan b ini
adalah barang-barang yang biasa disebut "corpora delicti".
c.
Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana,
seperti misalnya golok atau pistol yang dipakai untuk menganiaya atau membunuh
orang, golok atau alat lain yang dipergunakan membongkar rum ah untuk mencuri,
racun untuk membunuh, alat-alat untuk membuat uang palsu dan lain sebagainya,
yang biasa disebut "instrumenta delicti".
d.
Barang-barang lain yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk
memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa, seperti misalnya pakaian kena
darah yang dipakai tersangka membunuh orang, kaca jendela yang ada bekas
telapak jari dari orang yang mencuri dan lain sebagainya, yang termasuk pula
dalam sebutan "corpora delicti".
3.
Peraturan tentang penggeledahan yang tersebut dalam pasal ini
adalah merupakan peraturan umum. Ada peraturan-peraturan khusus yang dalam hal
membeslag barang-barang bukti mengizinkan kepada para pegawai penyidik itu
untuk masuk ke dalam rumah atau tempat-tempat yang tertutup, seperti misalnya:
1)
dalam hal menyidik kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan yang
tersebut dalam pasal-pasal 282, 283, 292, 295, 297, 299 dan 303 K.U.H.P. (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1914 No.631 dan 632, diubah dengan Lembaran
Negara tahun 1941 No.31 dan 98).
2)
dalam hal menyidik kejahatan-kejahatan terhadap keamanan Negara
sebagaimana tersebut dalam pasal-pasal 104-108, 110 dan 111 bis K.U.H.P. (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1930 No.31).
Kedua peraturan khusus tersebut di atas ini
memberi wewenang kepada para pegawai penyidik untuk menuntut penyerahan
barang-barang yang akan dijadikan, bukti dari orang yang bersangkutan, dan
mereka itu dinyatakan berwenang setiap waktu memasuki segala tempat, bahkan
apabila mereka tidak diperbolehkan masuk, mereka dapat menggunakan paksaan.
Pasal 43
(1)
Tiap-tiap kekuasaan yang diadakan, tiap-tiap pegawai umum, yang dalam
menjalankan jabatannya mendapat tahu bahwa ada sesuatu kejahatan, haruslah
dengan segera memberitahukan hal itu kepada pegawai penuntut umum atau
jaksa-pembantu pada pengadilan negeri yang berkuasa di daerah hukum tempat
kejahatan itu terjadi atau di tempat sitertuduh diam atau boleh kedapatan, dan
harus pula mengirimkan sekalian surat-surat, proses-perbal dan akte-akte yang
berhubung dengan perkara itu, kepada pegawai atau jaksa-pembantu itu.
(2)
Berita yang dimaksud dalam ayat yang lalu boleh juga diberitahukan
kepada bupati, demikian juga boleh surat-surat yang dimaksud di situ dikirimkan
kepadanya. Bupati memberitahukan yang diberitakan kepadanya itu kepada jaksa,
atau, yaitu sejalan dengan mengabarkannya kepada jaksa, kepada jaksa-pembantu
yang dianggap berhak dalam daerahnya; surat-surat yang diterimanya, dikirimkannya
bersama-sama, baik dalam hal' yang pertama maupun dalam hal yang kedua.
Penjelasan:
1.
"Tiap-tiap kekuasaan yang diadakan, tiap-tiap pegawai
umum" artinya tiap-tiap pejabat dan pegawai dari instansi pemerintah.
2.
Apakah sanksinya, apabila kewajiban itu dilalaikan? Terhadap
pegawai negeri itu dapat diambil tindakan administratip, seperti misalnya
celaan, penurunan pangkat, pencopotan dan lain sebagainya. Pada umumnya
kelalaian ini memang tidak ada sanksinya pidana, kecuali apabila kelalaian itu
mengenai pemberitahuan atau laporan tentang kejadian-kejadian besar yang
ditentukan dalam pasal-pasal 164 dan 165.
Pasal 164
K.U.H.P. mengandung ancaman pidana terhadap mereka yang dengan sengaja
melalaikan untuk melaporkan kepada pegawai polisi atau justisi pada saat yang
tepat, yaitu pada waktu suatu perbuatan tindak pidana masih dapat dihindarkan,
sedangkan mereka mengetahui tentang adanya permupakatan jahat untuk melakukan
kejahatan-kejahatan yang ditentukan dalam pasal itu.
Pasal 165
K.U.H.P. mengandung ancaman pidana terhadap mereka yang mengetahui tentang
adanya niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam pasal
itu, tetapi tidak melaporkan kepada pegawai polisi atau justisi pada waktu yang
tepat, sebelumnya terjadi perbuatan, sedangkan pada waktu itu kejahatan masih
dapat dihindarkan.
Pasal 44
(1)
Tiap-tiap orang yang menyaksikan sesuatu makar kepada ketenteraman
dan keamanan umum, atau kepada jiwa atau milik mutlak, hendaklah juga dengan
segera memberitahukan hal itu kepada pegawai penuntut umum pada pengadilan
negeri, yang berkuasa di tempat perbuatan itu dilakukan, atau kepada pengadilan
negeri yang berkuasa di tempat tinggal sitertuduh atau di tempat ia boleh
kedapatan, atau kepada jaksa pembantu, atau kepada pegawai polisi yang
sedekat-dekatnya.
(2)
Pasal 43, ayat dua berlaku sejalan dengan itu.
(3)
Peraturan dalam ayat pertama tidak berlaku pada orang-orang yang
tersebut pada pasal 274.
Penjelasan:
1.
Bandingkan dengan pasal 43. Jika pasal 43 menunjukkan keharusan
itu kepada "tiap-tiap pejabat dan pegawai pemerintah", maka pasal 44
mengharuskan kepada "tiap-tiap orang", baik pejabat pemerintah maupun
orang-orang swasta.
2.
Apakah sanksinya terhadap orang yang melalaikan kewajiban yang
tersebut dalam pasal ini.
Terhadap Pegawai Negeri dapat diambil
tindakan administratip, seperti misalnya celaan, penurunan pangkat atau
pencopotan, sedangkan terhadap orang biasa tidak ada sanksinya, oleh karena
kewajiban ini rupanya hanya suatu keharusan moril saja untuk dituntut dari tiap-tiap
warga negara terhadap Negara untuk turut serta dalam pembinaan keamanan umum.
Walaupun demikian, apabila kelalaian itu
mengenai pemberitahuan atau laporan tentang kejadian-kejadian besar yang
ditentukan dalam pasal-pasal 164 dan 165 K.U.H.P. diancam dengan pidana pula
(Iihat pasal-pasal 164 dan 165 K.U.H.P.).
3.
Keharusan yang tersebut dalam pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang
yang tersebut dalam pasal 274 H.I.R., yaitu orang-orang yang mempunyai hak
untuk mengundurkan diri dari memberikan kesaksian di muka pengadilan.
Pasal 45
(1)
Tiap-tiap orang terhadap siapa dilakukan perbuatan yang dapat
dihukum atau yang mengetahui peri hal itu, berhak tentang itu mengajukan
pengaduan atau memberitahukan hal itu kepada salah seorang pegawai atau
penjabat yang tersebut dalam pasal 39, atau kepada bupati.
(2)
Pengaduan dan pemberitahuan dengan surat harus ditandatangani.
(3)
Pengaduan dan pemberitahuan dengan lisan harus disuratkan, yaitu
oleh pegawai yang menerimanya; surat itu ditandatangani oleh pegawai itu,
demikian juga oleh orang yang mengadu atau orang yang memberitahukan, kalau
mereka itu pandai menulis.
(4)
Kalau orang yang mengadu atau orang yang memberitahukan itu tidak
pandai menulis, maka hal itu hendaklah disebutkan.
(5)
Peraturan dalam ketiga ayat yang lalu dalam pasal ini tidak
berlaku pada pengaduan atau pemberitahuan tentang perbuatan yang dapat dihukum,
yang disampaikan kepada orang-orang yang tersebut dalam pasal 39 pada 1°. Orang-orang
itu hendaklah dengan selekas-lekasnya memberitahukan pengaduan atau
pemberitahuan yang dimaksud itu kepada pegawai penuntut umum jaksa-pembantu
yang sedekat-dekatnya.
(6)
Bupati hendaklah mengirimkan pengaduan dan pemberitahuan dengan
surat yang disampaikan kepadanya dan pengaduan dan pemberitahuan dengan lisan
yang dituliskannya, kepada jaksa, atau, yaitu sejalan dengan mengabarkannya
kepada jaksa, kepada jaksa-pembantu yang dianggapnya berhak dalam daerahnya.
Penjelasan:
1.
"Tiap-tiap orang terhadap siapa dilakukan perbuatan yang
boleh dihukum" artinya "tiap-tiap orang yang kena peristiwa
pidana"
2.
"Mengadu dan memberitahu" yang diletakkan dalam pasal
ini merupakan suatu "hak", sehingga yang berkepentingan mempunyai
kebebasan untuk mempergunakan atau tidak mempergunakan haknya itu, artinya
orang yang misalnya kecurian itu (kena peristiwa pidana) adalah bebas untuk,
melapor atau tidak melapor kepada polisi. Kalau ia tidak melapor, tidak ada
sanksi pidananya.
Dalam hal ini ada kecualiannya, yaitu dalam
hal apabila laporan atau pemberitahuan atau mengenai kasus-kasus besar
sebagaimana yang diterangkan dalam pasal-pasal 164 dan 165 K.U.H.P. (Lihat pula
penjelasan pada pasal 44 H.I.R.).
3.
Apakah bedanya "pemberitahuan" dan
"pengaduan"? Untuk menjawab pertanyaan ini harus diketahui, bahwa pada
umumnya pegawai penyidik apabila mengetahui suatu peristiwa pidana yang
dilakukan, dengan tidak tergantung kepada kehendak atau permintaan orang yang
menderita peristiwa itu, harus bertindak mengadakan penyidikan dan penuntutan
di muka pengadilan yang berwajib, (delik-delik yang menurut jabatan harus
dituntut, seperti misalnya penganiayaan pasal 351 K.U.H.P., pembunuhan pasal
338 K.U.H.P. dan lain sebagainya). Di samping itu ada beberapa peristiwa pidana
yang penuntutannya digantungkan kepada kehendak atau permintaan orang yang kena
peristiwa itu (delik-delik aduan, seperti misalnya perzinahan pasal 284
K.U.H.P. = delik aduan absolut, pencurian dalam kalangan keluarga pasal 367
K.U.H.P. = delik aduan relatip) dan lain sebagainya. Delik-delik aduan semacam
ini hanya dapat dituntut apabila ada kehendak dari orang yang kena delik itu.
Kehendak ini dinyatakan dalam bentuk "pengaduan" yang diajukan kepada
pegawai penyidik.
Jadi pengaduan adalah suatu pemberitahuan
yang disertai dengan permintaan untuk menuntut peristiwa itu. Adapun
pemberitahuan adalah pemberitahuan belaka tanpa embel-embel suatu permintaan
untuk menuntut peristiwanya, oleh karena tanpa permintaan pun peristiwanya
senantiasa dapat dituntut (delik yang menurut jabatan harus dituntut).
4.
Pengaduan dan pemberitahuan dalam pasal ini dapat diajukan dalam
dua cara, yaitu secara tertulis atau secara lisan. Kalau secara tertulis,
suratnya harus diberi tanda tangan, kalau tidak, akan dianggap surat kaleng dan
tidak akan ditanggapi. Biasanya apabila pegawai penyidik menerima pengaduan
atau pemberitahuan dengan surat, maka orang yang mengadu atau memberitahu di
panggil datang di kantor polisi guna memberi keterangan lebih lanjut dan
keterangannya itu dituliskan dalam proses perbal. Sudah barang tentu surat
pengaduan atau pemberitahuannya dilampirkan pada proses-perbal itu.
Apabila pengaduan atau pemberitahuan itu
dilakukan secara lisan, maka orangnya harus datang di kantor polisi bertemu
dengan pejabat polisi yang khusus ditunjuk untuk menerimanya. Pengaduan atau
pemberitahuannya oleh pejabat itu diterima, dituliskan dalam bentuk
proses-perbal atau laporan polisi yang harus ditanda-tangani oleh pejabat dan
orang yang memberitahu, jika orang ini pandai menulis, jika tidak, hal itu
harus disebutkan dalam proses-perbal itu.
Pejabat-pejabat yang tersebut dalam pasal 39
sub.1, yaitu kepala desa dan lain-lain, apabila menerima pengaduan atau
pemberitahuan lisan dari penduduk, tidak usah membuat proses-perbal, tetapi
cukup memberitahukan hal itu selekas-lekasnya kepada Jaksa atau Jaksa Pembantu
yang terdekat.
Bagian Kedua
TENTANG
PEGAWAI PENUNTUT UMUM PADA PENGADILAN NEGERI
Pasal 46
(1)
Pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan negeri diwajibkan
karena jabatannya mengusut dengan saksama sekalian kejahatan dan pelanggaran
dan menuntutnya, yaitu yang masuk pemeriksaan pengadilan negeri.
(2)
Kalau tidak ditentukan orang yang lain, maka yang dikatakan
pegawai-pegawai penuntut umum dalam reglemen ini, ialah jaksa jaksa pada
pengadilan negeri.
(3)
Kalau tidak ditentukan orang yang lain, di mana dikatakan jaksa
dalam reglemen. ini, yang dimaksud ialah jaksa pada pengadilan negeri.
Penjelasan:
1.
Yang ditentukan dalam pasal ini ialah:
a.
bahwa tugas pegawai Penuntut Umum yaitu karena jabatannya harus
menyidik dan menuntut semua kejahatan dan pelanggaran yang terjadi dalam daerah
hukumnya, di muka pengadilan Negeri dan Pengadilan Kepolisian;
b.
bahwa yang menjabat sebagai Pegawai Penuntut Umum itu apabila.
tidak ditentukan lain, adalah Jaksa pada Pengadilan Negeri atau Jaksa Negeri.
2.
Yang dimaksud dengan "Pengadilan Kepolisian" yaitu pengadilan
yang di zaman Hindia-Belanda disebut "Landgerecht", di zaman
pendudukan Jepang "Keizai Hooin", di zaman Proklamasi Kemerdekaan
"Pengadilan Kepolisian" dan yang dengan Undang-undang Darurat tahun
1951 No.1 dihapuskan dan disatukan dengan Pengadilan Negeri sampai pada waktu
sekarang ini.
3.
Pembentukan lembaga "Penuntut Umum" pada Pengadilan
Negeri ini adalah perbedaan yang penting antara "Inlandsch Reglement"
(I.R.) dan "Herzien Inlandsch Reglement" (H.I.R.).
Dengan adanya Penuntut Umum.ini maka sifat
penyidikan dan penuntutan perkara pidana menjadi publik, artinya penuntutan
bukan diadakan oleh orang perorangan, akan tetapi oleh kekuasaan umum (Negara).
Disini alat Penuntut Umum itu merupakan suatu kekuasaan yang atas nama Negara
dan masyarakat berwenang mengadakan tuntutan dan mengatur jalannya tuntutan itu
serta melaksanakan pidana-pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan Pidana
Badan Penuntut itu tidak termasuk golongan
hakim. Pada hakekatnya ia termasuk golongan "magistratuur"
(pengadilan) pula, Penuntut Umum biasanya disebut "staande
magistratuur", sedangkan Hakim adalah "Zittende magistratuur".
Disebut demikian karena Penuntut Umum
mengucapkan tuntutannya sambil berdiri, sedangkan Hakim mengucapkan
keputusannya dengan tetap duduk dikursinya.
4.
Pada hakekatnya dalam menggerakkan aparat kehakiman Penuntut Umum
lebih berperan dari pada Hakim. Meskipun nyata ada suatu peristiwa pidana
dilakukan oleh seseorang, Penuntut Umum berwenang untuk menghentikan
perkaranya, jika untuk kepentingan umum lebih baik perkara itu tidak
dilanjutkan ke muka pengadilan. Wewenang ini biasa disebut pula wewenang untuk
"mendeponir" (menyimpan) suatu perkara, dan diberikan kepada Penuntut
Umum berdasarkan atas prinsip oportunitas yang berlawanan dengan prinsip
legalitas.
Berdasarkan kebiasaan (hukum yang tidak
tertulis) dan juga berdasarkan ketentuan yang tersebut dalam pasal 8
Undang-undang Pokok Kejaksaan (U.U. 1961 No.15), di. Indonesia dianut prinsip
oportunitas.;
Pasal 47
(1)
Yang sama-sama berhak menjalankan pekerjaan-pekerjaan jabatan yang
dimaksud dalam pasal yang lain, yaitu pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan
negeri, yang berkuasa di tempat kejahatan atau pelanggaran itu dilakukan; pengadilan
negeri, yang berkuasa di tempat sitertuduh diam; pengadilan negeri, yang berkuasa
di tempat sitertuduh dapat dicari.
(2)
Kalau pekerjaan itu serempak diurus oleh pegawai-pegawai itu, maka
di antara mereka itu yang diwajibkan menuntut perkara itu, selamanya ialah yang
terlebih dulu tersebut pada susunan yang di atas ini.
Pasal 48
Kalau
kejahatan dilakukan di luar negeri, maka pekerjaan jabatan itu, yaitu apabila
kejahatan itu dapat dituntut dalam negeri ini, dilakukan oleh pegawai-pegawai
penuntut umum pada pengadilan negeri yang berkuasa di tempat sitertuduh itu
diam, di tempat tinggalnya yang penghabisan sekali yang diketahui.
Penjelasan:
(1)
Kedua pasal ini mengatur kekuasaan Pegawai Penuntut Umum pada
Pengadilan Negeri, kekuasaan mana sama dengan kekuasaan Pengadilan. Negeri
untuk mengadili yang berhubungan dengan daerah hukumnya yang biasa disebut
kekuasaan relatip.
(2)
Menurut pasal 47 maka yang sama-sama berkuasa bertindak ialah
Pegawai Penuntut Umum pada:
a.
Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat peristiwa pidana itu
dilakukan (locus delicti);
b.
Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat tersangka diam atau
berada;
c.
Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat tersangka dapat dicari,
artinya tertangkap.
Apabila terjadi bahwa pekerjaan itu serempak
bersama-sama diurus oleh pegawai-pegawai tersebut, maka diantara mereka yang
diwajibkan menuntut perkara ialah pegawai yang teratas disebutkan pada urutan
di atas ini.
(3)
Menurut pasal 48 maka apabila peristiwa pidana dilakukan di luar
negeri dan peristiwa itu dapat dituntut di dalam negeri, maka yang berkuasa
bertindak ialah pegawai Penuntut Umum pada:
a.
Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat tersangka diam atau
berada, atau
b.
Pengadilan Negeri yang berkuasa di tempat, tersangka diketahui
paling penghabisan bertempat tinggal.
Pasal 49
Dalam hal
melakukan pekerjaan jabatannya, maka pegawai-pegawai penuntut umum berhak
dengan segera meminta pertolongan kekuasaan sipil umum atau kekuasaan
bersenjata.
Penjelasan:
Dalam
melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan Pegawai Penuntut Umum diwenangkan
untuk minta bantuan kepada kekuasaan sipil umum dan kekuasaan bersenjata,
artinya kepada Pamong-Praja, Polisi dan Tentara dan mereka' ini berwajib untuk
memberikan pertolongan itu.
Pasal 50
(1)
Dalam hal mana pegawai-pegawai penuntut. umum harus mengirimkan
berita, antara mereka sama mereka tentang perbuatan yang dapat dihukum yang
sampai diketahuinya, demikian juga bagaimana cara mengirimkan itu, diatur oleh
jaksa-agung; jaksa-agung juga akan menetapkan peraturan tentang hal jaksa pada
pengadilan tinggi mengawasi pegawai-pegawai penuntut umum pada pengadilan
negeri yang di dalam daerahnya dan tentang hal kepala kejaksaan pada pengadilan
negeri mengawasi pegawai-pegawai penuntut umum yang lain yang di bawah
perintahnya pada pengadilan negeri itu.
(2)
Dengan tidak mengurangi kewajibannya supaya bekerja dengan segera,
maka mereka itu harus menurut peraturan pembesar yang langsung di atasnya, yang
dinyatakan pada ayat yang lalu pasal ini, yaitu peraturan yang diperintahkannya
kepada mereka itu untuk melakukan pemeriksaan atau tuntutan.
Pasal 51
Surat
perintah yang diberikan oleh hakim dalam perkara itu hendaklah diurus
dikirimkan, disampaikan atau diberitahukan dan dijalankan.
Pasal 52
Bila dengan
jalan pengaduan atau pemberitahuan atau dengan cara lain, pegawai penuntut umum
mengetahui, bahwa dalam daerahnya ada dilakukan kejahatan atau orang yang
disangka bersalah dalam hal itu ada dalam daerahnya, maka menurut keadaan, ia
wajib mula-mula mencari atau menyuruh mencari sekalian keterangan yang boleh
dipakai supaya perkara itu menjadi terang.
Bagian
Ketiga
TENTANG
JAKSA-PEMBANTU
Pasal 53
(1)
Jaksa Pembantu pada pengadilan negeri ialah, kepala distrik,
kepala onderdistrik, demikian juga pegawai-pegawai polisi umum (polisi negara)
yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu-inspektur polisi dan pegawai polisi
yang teristimewa ditunjuk oleh jaksa agung untuk itu dengan persetujuan
gubernur, masing-masing dalam seluruh daerah pegangannya.
(2)
Dalam jabatannya sebagai jaksa Pembantu, maka seperti .pegawai
penuntut umum juga, mereka itu hendaklah juga menerima pengaduan atau
pemberitahuan tentang kejahatan dan pelanggaran yang masuk pemeriksaan
pengadilan negeri.
Penjelasan:
1.
Istilah asli "Jaksa Pembantu" adalah kata bahasa Belanda
"Hulp-Magistraat". Kata ini ada yang menterjemahkan menjadi
"Jaksa Pembantu". dan ada yang menjadi "Pembantu Jaksa".
Kami cenderung untuk memakai kata "Jaksa-Pembantu", oleh karena tugas
penjabat bukan sekedar menjadi "pembantu" Jaksa, akan tetapi menjadi
"Jaksa", walaupun bukan Jaksa penuh, bukan Jaksa Tinggi, akan tetapi
Jaksa Pembantu.
2.
Yang menjabat Jaksa Pembantu ialah:
a.
Kepala Distrik (Wedana),
b.
Kepala Onderdistrik (Camat),
c.
Pegawai Polisi Negara yang sekurang-kurangnya berpangkat Manteri
Polisi dam
d.
Pegawai Polisi lainnya yang untuk itu khusus ditunjuk oleh Jaksa
Agung dengan persetujuan Gubernur, Kepala Daerah.
3.
Kesimpulan pasal ini dapat dikatakan, bahwa pejabat-pejabat
Pamong-Praja yang berpangkat Patih ke atas dan yang berpangkat di bawah Kepala
Onderdistrik (Camat), bukanlah Jaksa-Pembantu. Wedana dan Asisten Wedana yang
diperbantukan di Kantor-kantor Kabupaten, Karesidenan atau Gubernuran dan
lain-lain, oleh karena mereka itu tidak mempunyai pertanggungan jawab atau
mengepalai suatu daerah yang tertentu, bukanlah Jaksa Pembantu. ;Bukankah dalam
pasal 63 (1) H.I.R. itu ada kalimat yang berbunyi: "masing-masing dalam
daerah pegangannya". Demikian pula para Manteri Polisi Pamong-Praja
berhubungan dengan jabatannya tidak dengan sendirinya menjadi Jaksa Pembantu,
oleh sebab mereka itu bukanlah Manteri Polisi pada Kepolisian Negara. Para
Manteri Polisi Pamong-Praja itu untuk memperoleh wewenang sebagai Jaksa
Pembantu membutuhkan penunjukkan khusus terlebih dahulu dengan surat
pengangkatan dari Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur, Kepala Daerah yang
bersangkutan.
4.
Sebagaimana tersebut di atas maka dalam Kepolisian Negara yang
menurut jabatannya menjadi Jaksa Pembantu adalah mereka yang berpangkat Manteri
Polisi keatas. Dalam kepangkatan Kepolisian Negara sekarang ini pangkat
"Manteri Polisi" sudah tidak ada lagi. Dalam hal ini dapatlah
diterangkan, bahwa sebelum pendudukan Jepang pangkat Manteri Polisi berada
diantara pangkat "Hoofdagent " dan Inspecteur van Politie". Oleh
Pemerintah Tentara Jepang "Hoofd-agent"' tingkat II dijadikan Nitto
Keibuho, sedangkan "Hoofdagent" tingkat I, Manteri Polisi dan Manteri
Polisi tingkat I dijadikan Itto Keibuho. Setelah kemerdekaan Indonesia maka
Pangkat Itto Keibuho dijadikan Pembantu Inspektur Polisi kelas II dan I,
sedangkan pangkat Manteri Polisi tidak ada lagi.
Di zaman Pemerintahan Prae-Federal pun
pangkat Manteri Polisi tidak dikenal pula. Manteri Polisi jika diangkat dalam
susunan Algernene Politie dijadikan "Ajunct Hoofdreserche" atau
"Hoofdreserche" Polisi kelas II, pangkat-pangkat mana dalam
persesuaian polisi Prea-Federal kepada Polisi Republik Indonesia, menjadi
Komandan Polisi dan Pembantu Inspektur kelas II.
Dalam surat edaran Kepala Kepolisian Negara
tertanggal 1 Jogyakarta 20 Maret 1950 No.Pol. 24/1/24/S ditetapkan bahwa
pangkat Pembantu Inspektur Polisi kelas II itu dapat disamakan dengan, Manteri
Polisi.
Apabila dilihat dari perkembangan kepangkatan
kepolisian di atas itu dapat dianggap bahwa dalam Kepolisian Negara yang
menurut jabatannya menjadi Jaksa Pembantu adalah pegawai polisi yang berpangkat
serendah-rendahnya Pembantu Inspektur Polisi kelas II dan yang kemudian menjadi
Ajun Inspektur Polisi tingkat II dan yang sekarang ini menjadi Pembantu Letnan
II ke atas.
Pejabat Polisi Negara yang di bawah pangkat
Pembantu Letnan II, sebagaimana telah diterangkan di atas, dapat pula bertindak
sebagai Jaksa Pembantu, apabila secara khusus dengan surat pengangkatan
ditunjuk oleh Jaksa Agung atas usul dari Kepala Polisi yang bersangkutan dengan
persetujuan Gubernur, Kepala Daerah.
Pasal 54
Kalau
sesuatu hal serempak diurus oleh pegawai-pegawai penuntut umum dan oleh
jaksa-pembantu, maka jaksa-pembantu selanjutnya hendaklah berhenti mengerjakan
urusan itu dan menyerahkannya kepada pegawai penuntut umum, kecuali kalau
jaksa-pembantu itu dipersilahkan oleh pegawai itu akan melanjutkan pekerjaan
yang telah dimulainya. itu atau akan membantu pegawai tersebut.
Penjelasan:
Dalam pasal
ini ditentukan, bahwa apabila seorang Jaksa Pembantu mengurus suatu perkara,
sedangkan serempak pada waktu itu juga perkara tersebut diurus pula oleh
Pegawai Penuntut umum (Jaksa), maka selanjutnya Jaksa Pembantu harus
menghentikan pengurusannya dan menyerahkan perkara itu kepada Pegawai Penuntut
Umum,, kecuali apabila pejabat ini menyerahkan pengurusan perkara itu kepada
Jaksa Pembantu.
Pasal 55
(1)
Dengan memperhatikan peraturan dalam pasal 74 dan pasal 83f, maka
jaksa-pembantu hendaklah dengan segera mengirimkan pemberitahuan,
proses-perbal, dan akte-akte yang lain yang dibuatnya, demikian juga
barang-barang yang disitanya, kepada jaksa pada pengadilan negeri; tentang itu
jaksa itu hendaklah berlaku seperti ditetapkan dalam pasal 52.
(2)
Proses-perbal itu hendaklah diberi, bertanggal dan seberapa dapat
mesti berisi-perbuatan yang dapat menyebabkan akan menuntut sitertuduh, dengan
menerangkan waktu, tempat dan keadaan perbuatan itu dilakukan, nama dan tempat
diam sitertuduh dan saksi-saksi, isi keterangannya yang semata-mata mengenai
perbuatan itu dan lagi sekalian yang lain yang dianggap penting untuk mengurus
perkara itu.
(3)
Jaksa-pembantu hendaklah memberitahukan tentang hal pengiriman itu
kepada bupati, dengan menyebutkan nama sitertuduh yang menyebabkan ia menjadi
tertuduh.
Penjelasan:
1.
Di sini ditentukan bahwa Jaksa Pembantu harus menyampaikan
pemberitahuan, berita-acara dan akte-akte lainnya, artinya mengirimkan
berita-acara pemeriksaan pendahuluan dengan surat-surat lampirannya, yaitu yang
lazim disebut "berkas perkara" beserta barang-barang buktinya yang
ada, kepada Jaksa Pengadilan Negeri.
2.
Proses-perbal yang dikirimkan itu harus lengkap, maksudnya harus
berisikan:
a.
tanggal dibuatnya, jenis peristiwa pidana yang dituduhkan kepada tersangka,
lengkap dengan menyebutkan semua unsur-unsurnya,
b.
waktu, tempat dan keadaan peristiwa itu dilakukan,
c.
identitas tersangka dan saksi-saksi beserta apa yang mereka
terangkan mengenai peristiwa itu.
d.
Lain-lain hal yang penting untuk menerangkan perkaranya.
3.
Oleh karena pada waktu sekarang ini Bupati tidak aktip lagi
menjalankan pimpinan kepolisian, maka pemberitahuan yang tersebut dalam ayat
(3) pasal ini tidak lagi disampaikan kepada Bupati,'akan tetapi kepada Komandan
Resort Kepolisian R.I.
Pasal 56
(1)
Atas permintaan pegawai penuntut umum pada pengadilan. negeri maka
jaksa-pembantu haruslah memberi sekalian keterangan dan melakukan pemeriksaan
tentang kejahatan dan pelanggaran yang diwajibkan kepadanya untuk menuntutnya.
(2)
Bila jaksa-pembantu yang di bawah perintah bupati kurang memenuhi
kewajibannya menurut reglemen ini, maka hal itu diberitahukan oleh pegawai
penuntut umum kepada bupati; hal itu diperiksa oleh bupati dan- kalau perlu
dijalankannya peraturan yang harus dilakukan dalam hal itu.
Penjelasan:
Para pegawai
yang menjabat sebagai Jaksa Pembantu sudah barang tentu sehari-harinya bekerja
hierarchis di bawah perintah Kepala Jawatannya masing-masing, akan tetapi di
dalam tugas mereka sebagai Jaksa Pembantu mereka itu- berada di bawah perintah
Pegawai Penuntut Umum (Jaksa) dan harus melaksanakan segala apa yang diminta
oleh pejabat ini dalam penyidikan dan penuntutan perkara.
Bagian
Keempat
TENTANG
KEDAPATAN TENGAH BERBUAT
Pasal 57
Kedapatan
tengah berbuat yaitu, bila kejahatan atau pelanggan kedapatan sedang dilakukan,
atau dengan segera kedapatan sesudah dilakukan, atau bila dengan segera sesudah
itu ada orang diserukan oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya, atau
bila padanya kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas atau
surat-surat yang menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia yang
melakukan atau membantu melakukannya.
Penjelasan:
Istilah
"kedapatan tengah berbuat" kata aslinya adalah perkataan bahasa
Belanda "ontdekking op heeterdaad", ada yang menterjemahkan dengan
kata-kata "ketahuan seketika", tertangkap tangan" dan
"tertangkap basah". Arti sehari-hari perkataan itu memang peristiwa
itu "ketahuan tengah atau sedang dilakukan", akan tetapi, menurut
pengertian yuridis menurut pasal ini lebih luas lagi daripada itu, ialah dapat
diperinci seperti di bawah ini, bahwa kedapatan tengah berbuat adalah:
a.
apabila tindak pidana kedapatan sedang atau tengah dilakukan;
misalnya seorang Bhayangkara sedang meronda melihat dengan mata kepala sendiri
seorang sedang mengambil (mencuri) bola lampu listrik di jalan; pencurian ini
"kedapatan tengah berbuat";
b.
apabila tindak pidana kedapatan dengan segera sesudah dilakukan Apakah
artinya "dengan segera?". Ini harus ditentukan menurut situasi dan
kondisi.
Tidak
ditetapkan tempuh yang pasti. Pada hakekatnya peristiwa itu masih dalam keadaan
"hangat", seperti misalnya seorang Bhayangkara sedang meronda
mendengar suara orang berteriak-teriak minta tolong. Pada saat itu terlihat
olehnya ada orang lari keluar dari sebuah rumah dengan tangannya berlumuran
darah, dan sesudah orang itu ditangkap dan diperiksa ternyata ia baru saja
menganiaya musuhnya; penganiayaan ini ketahuan dengan segera setelah dilakukan
= kedapatan tengah berbuat;
Apabila
dengan segera sesudah tindak pidana dilakukan, seorang diserukan oleh suara
ramai sebagai pembuatnya, seperti misalnya seorang Bhayangkara yang sedang
meronda melihat orang berlari-lari dikejar oleh orang banyak sambil
berteriak-teriak: "Copet, copet!" Orang itu ditangkap dari diusut
ternyata baru raja ia mencuri dompet dari saku celana orang; pencurian ini
kedapatan segera sesudah dilakukan, seorang oleh suara ramai diserukan sebagai
pembuatnya kedapatan tengah berbuat;
Apabila pada
seseorang kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat-alat, perkakas atau surat-surat
yang menunjukkan bahwa ialah yang telah berbuat tindak pidana sebagai yang
melakukan atau yang membantu melakukan. Dalam hal ini tidak ada ketentuan
"segera sesudah dilakukan", sehingga waktu lama pun masuk juga dalam
pengertian ini; seperti misalnya seorang Bhayangkara menjumpai seseorang yang
sedang memakai sepeda motor yang ciri-cirinya cocok dengan sepeda motor yang
telah hilang dicuri orang satu tahun yang lalu, waktu diusut lebih lanjut
ternyata, bahwa betul sepeda motor itu asal dari curian tersebut. Walaupun
peristiwa ini barulah kedapatan satu tahun sesudah dilakukan, akan tetapi masuk
pengertian pula "kedapatan tengah berbuat".
Pasal 58
(1)
Bila orang kedapatan tengah melakukan kejahatan atau pelanggaran .
maka pegawai, penjabat dan orang yang teristimewa yang tersebut dalam pasal 39,
wajib dengan segera melakukan segala sesuatunya yang dapat dipakai supaya
perbuatan itu menjadi terang yaitu dengan tidak mengurangi kewajiban menurut
bahagian-bahagian yang lalu dalam titel ini, dan dengan mengingat peraturan
dalam pasal ini dan dalam pasal-pasal yang berikut.
(2)
Dalam hal itu mereka itu berhak merampas barang-barang, yang
dimaksud dalam pasal 63 dan berhak pula, yaitu dalam hal yang perlu-perlu
sekali, melakukan pemeriksaan seperti diterangkan dalam pasal- 64 dan pasal 65,
pasal 66 dan pasal 67 berlaku sejalan dengan itu, tetapi tentang pasal yang
tersebut mula-mula, dikecualikan kalau orang yang melakukan pemeriksaan itu
tidak pandai menulis.
Penjelasan:
1.
Yang dibebani dengan kewajiban yang disebutkan dalam pasal ini
adalah "para pegawai penyidik”: yaitu mereka yang tersebut dalam pasal 39
seperti: Pamong Desa. Pamong-Praja, Polisi Republik Indonesia, Para Jaksa, Para
Pegawai Polisi Khusus dan Para Pegawai Polisi Tak Bergaji.
Kewajiban yang dibebankan di sini sifatnya
adalah amat luas dan umum, yaitu "segera melakukan segala sesuatu yang
dapat membuat terang peristiwa yang terjadi", boleh dikatakan melakukan
segala usaha dan pekerjaan pegawai penyidik, seperti misalnya datang di tempat
kejadian perkara, mempertahankan keadaan di tempat itu jangan sampai berubah,
mencari, mengumpulkan, membeslah bekas-bekas dan barang-barang bukti, melapor
kepada yang berwajib, memeriksa keterangan saksi-saksi,
menangkap/menahan/memeriksa tersangka, membuat proses-perbal dan menyampaikan
kepada Jaksa-Pembantu atau Jaksa Pengadilan Negeri yang terdekat, akan tetapi
segala sesuatunya itu para pegawai penyidik harus senantiasa memperhatikan
kewajiban-kewajiban dan peraturan-peraturan yang telah disebutkan dalam
bagian-bagian yang lalu dan dalam pasal-pasal yang berikut.
2.
Aseli istilah "merampas" yang tersebut dalam ayat (2)
pasal ini adalah kata bahasa Belanda "beslag leggen," yang artinya
mengambil barang-barang dari tangan seseorang yang memegang atau menguasainya,
untuk kepentingan penyidikan perkara ditahan sementara oleh pejabat dan akan
dikembalikan lagi kepada yang berhak apabila sudah tidak diperlukan lagi dalam
penyidikan. Untuk ini dapat pula misalnya dipergunakan istilah
"membeslah" atau "mensita". Barang-barang yang harus
dirampas itu adalah barang-barang yang tersebut dalam pasal 63, yaitu:
a.
senjata dan alat perkakas yang ternyata telah digunakan atau akan
digunakan untuk melakukan peristiwa pidana, seperti misalnya pistol untuk
membunuh, kunci palsu untuk mencuri dan lain sebagainya yang lazim disebut
"instrumenta delicti".
b.
barang-barang yang lain yang dapat digunakan untuk bukti, seperti
misalnya uang palsu, pakaian yang dicuri, baju kena darah dan lain sebagainya
yang biasa disebut "Corpora delicti".
Tentang perampasan ini harus dibuatkan proses
perbal perampasan. dan tentang perampasan ini lihatlah selanjutnya apa yang
tersebut dalam pasal-pasal 64, 65, 66 dan 67.
3.
Pada hakekatnya ayat (2) dari pasal 58 ini memberikan suatu
ketentuan tentang "menggeledah tempat" dan merampas
barang-barang", yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Syarat-syaratnya: Ada kejadian tindak pidana "kedapatan
tengah berbuat" dan hal itu "perlu sekali" = amat mendesak.
b.
Siapa yang berwenang: Semua pegawai penyidik yang tersebut dalam
pasal 39.
c.
Tempat yang boleh digeledah: Tempat-tempat yang tersebut dalam
pasal 65, yaitu:
1)
Di seluruh halaman tersangka bertempat tinggal atau diam serta
disemua perumahan yang terdapat dalam halaman itu.
2)
Di tempat-tempat lain, dimana tersangka bertempat-tinggal atau
berdiam.
3)
Di tempat kejadian perkara atau di mana saja ada terdapat bekas-bekas.
4)
Di rumah penginapan, warung kopi atau tempat umum lain-lainnya.
d.
Barang-barang apa yang boleh diperiksa/dirampas.
Barang-barang yang dapat menjadi bukti,
artinya barang-barang yang menjadi pokok tindak pidana.
e.
Penjelasan lain-lain: Apabila kita telah mempelajari semua
pasal-pasal dari H.I.R: yang mengatur tentang soal penggeledahan/perampasan
barang-barang bukti, yaitu pasal-pasal 58, 63, 64, 65, 66, 67, 77, dan 78,
dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1)
Untuk menggeledah tempat itu harus ada izin dari Ketua Pengadilan
Negeri, serta untuk merampas dan memeriksa surat-surat, buku-buku dan
tulisan-tulisan lain yang bukan pokok tindak pidana diperlukan izin tersendiri
(khusus) dari ketua itu.
2)
tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, maka penggeledahan/ perampasan
itu hanya boleh dilakukan oleh Jaksa atau Jaksa-Pembantu dalam peristiwa
"kedapatan tengah berbuat" atau "perlu sekali" = keadaan
mendesak, Para pegawai penyidik atau lain-lainnya (yang bukan Jaksa atau Jaksa.
Pembantu) hanya boleh mengadakan penggeladahan/perampasan dalam peristiwa
"kedapatan tengah berbuat" dan perlu sekali keadaan mendesak",
dan lagi untuk kedua-duanya itu tempat-tempat yang boleh digeledah dibatasi
hanya sampai tempat-tempat yang disebutkan dalam pasal 65 saja.
Pasal 59
(1)
Mereka itu boleh memerintahkan, bahwa seorangpun walaupun siapa
juga tidak boleh meninggalkan rumah itu atau pergi dari tempat kejahatan itu
dilakukan, selama pemeriksaan di tempat itu belum selesai.
(2)
Barang siapa yang melanggar perintah itu akan ditangkap dan orang
itu boleh ditahan sampai proses-perbal selesai dibuat.
Penjelasan:
1.
Dalam hal peristiwa "kedapatan tengah berbuat", para
pegawai penyidik berwenang memerintahkan, bahwa seorang pun tidak boleh
meninggalkan rumah atau pergi meninggalkan tempat kejahatan sampai pemeriksaan
setempat selesai. Apabila orang itu melanggar perintah ini dapat ditahan sampai
proses-perbal selesai dibuat.
2.
Penahanan tersebut lazim disebut "penahanan tanpa surat
perintah: Adapun:
a.
Yang berwenang menahan: para pegawai penyidik yang tersebut dalam
pasal 39.
b.
Lamanya menahan: Mulai dikeluarkan perintah untuk menahan sampai
pada waktu selesai pembuatan proses-perbal pemeriksaan setempat.
c.
Syarat-syaratnya:
a.
Ada terjadi peristiwa "kedapatan tengah berbuat".
b.
Telah dikeluarkan perintah oleh pegawai penyidik untuk, tidak
meninggalkan tempat, tetapi ada orang yang tidak mematuhinya.
Pasal 60
(1)
Dalam hal kedapatan orang tengah melakukan sesuatu kejahatan atau
pelanggaran, maka tiap-tiap pegawai kekuasaan umum wajib, dan tiap-tiap orang
berhak, akan menahan sitertuduh itu dan akan membawanya kepada salah seorang
pegawai penuntut umum atau kepada salah seorang jaksa-pembantu.
(2)
Dalam hal tidak boleh orang ditahan buat sementara, yaitu menurut
aturan dalam pasal 62 ayat dua, maka pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu
hendaklah membuat proses-perbal. dan segera memerdekakan orang yang ditahan
itu, yaitu dengan mengingat peraturan dalam pasal 83f ayat lima.
Penjelasan:
Dalam pasal
ini diatur tentang suatu penahanan yang biasa disebut "penahanan tanpa
surat perintah", Adapun:
a.
Yang berwenang menahan:
1.
Tiap-tiap anggauta kekuasaan umum, seperti misalnya Polisi Negara,
Polisi Militer, Pamong-Praja dan lain sebagainya berkewajiban menahan.
2.
Setiap orang berhak (tidak ada keharusan) menahan.
b.
Lamanya menahan: Selama waktu yang diperlukan mulai tersangka
tertangkap untuk membawa sampai dihadapkan pada Jaksa atau Jaksa Pembantu yang
terdekat. Disini amat tergantung pada jarak jauh dekatnya tempat.
c.
Syarat-syaratnya:
1.
Ada orang melakukan tindak pidana yang "kedapatan tengah
berbuat".
2.
Tersangka harus dengan selekas mungkin dibawa ke Jaksa atau Jaksa
Pembantu yang terdekat tempatnya.
d.
Tindakan selanjutnya: Setelah tersangka dihadapkan kepada Jaksa
atau Jaksa. Pembantu, maka para pejabat ini mengenai penahanan tersangka itu
dapat mengambil salah satu keputusan sebagai di bawah ini:
1)
Tersangka dapat ditahan terus dengan surat perintah penahanan
model A selama 20 hari, apabila memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam
pasal 62.
2)
Tersangka harus segera dibebaskan apabila tidak dipenuhi
syarat-syarat. dalam pasal 62, akan tetapi ia harus diperiksa dan dibuatkan
proses-perbal terlebih dahulu.
3)
Walaupun syarat-syarat dalam pasal 62 tidak dipenuhi, tersangka
dapat pula ditahan terus (selama 8 hari) diajukan terus kepada Jaksa, sesuai
peraturan dalam pasal 83f (5) (pemeriksaan perkara secara sumir).
Pasal 61
(1)
Kalau orang kedapatan tengah melakukan sesuatu kejahatan atau
pelanggaran, maka pegawai penuntut umum hendaklah berlaku seperti ditetapkan
dalam pasal ini dan dalam pasal-pasal berikut sampai pasal 72.
(2)
Kalau hal itu perlu dianggapnya, maka hendaklah dengan segera ia
pergi ke tempat perbuatan itu dilakukan, untuk membuat proses-perbal yang perlu-perlu
di tempat itu, buat menyatakan bahwa ada kejahatan kejadian, dan buat
menyatakan keadaan barang-barang yang berhubung dengan itu dan keadaan tempat
itu, demikian juga untuk mendapat keterangan-keterangan dari orang-orang yang
boleh jadi hadir waktu kejahatan itu dilakukan atau keterangan orang tetangga,
isi rumah atau orang lain, yang diduga akan dapat memberi keterangan atau kabar
tentang perbuatan itu; mereka itu sekaliannya haruslah menanda-tangani
keterangan-keterangannya itu dan kalau mereka itu tidak dapat atau tidak mau
melakukan itu, harus disebutkan hal itu.
Penjelasan:
1.
Ayat (1) pasal ini mengandung perintah umum, bahwa Pegawai
Penuntut Umum (Jaksa) (menurut bunyi pasal 71 juga "Jaksa Pembantu")
apabila ada peristiwa pidana "kedapatan tengah berbuat", harus
bertindak seperti apa yang tersebut dalam pasal ini dan pasal-pasal 62 s/d 72
yang berikut ).
2.
Ayat (2) menentukan, bahwa dalam hal seperti yang tersebut dalam
ayat (1), Jaksa (menurut pasal 71 juga Jaksa Pembantu) harus datang ditempat kejadian
perkara untuk mengadakan penyidikan setempat dan membuat proses-perbal yang
perlu, seperti misalnya:
a.
tentang bekas-bekas, barang-barang dan lain sebagainya yang
menentukan, bahwa betul telah ada tindak pidana yang telah dilakukan, dan
b.
tentang mencari dan memeriksa keterangan keterangan orang-orang
yang berada di rumah atau tempat kejahatan dan para tetangga yang dapat memberi
keterangan tentang peristiwa yang telah terjadi (tersangka dan saksi-saksi
informasi); mereka yang memberi keterangan jika pandai menulis, harus ikut
menanda-tangani proses perbal, kalau tidak, hal itu cukup disebutkan saja dalam
proses perbal tersebut.
Pasal 62
(1)
la dapat memerintahkan supaya orang yang diduga bersalah ditahan
dan dibawa kepadanya; kalau orang itu sudah didengarnya dan jika keterangan
cukup menunjukkan bahwa ia bersalah, maka pegawai penuntut umum itu dengan
mengingat peraturan pada ayat yang berikut, dapat mengeluarkan perintah untuk
menahan orang itu buat sementara; dalam hal itu harus disebutkan alasan-alasan untuk
mengeluarkan perintah itu dan tempat orang itu akan ditahan.
(2)
Perintah untuk menahan buat sementara seperti dimaksud dalam ayat
yang lalu itu hanya dapat dikeluarkan, bila perbuatan itu, dapat dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau dengan hukuman yang lebih berat,
atau jika perbuatan itu masuk peraturan pasal-pasal 282 ayat penghabisan, 296,
303, 335 ayat pertama, 351 ayat pertama 353 ayat pertama, 372, 378, 379a, 453
pada 10, 454, 455, 459, dan 480 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
masuk pasal 26b.
Rechtenordonnantie (Stbl. 1931 No.471), atau
jika perbuatan itu suatu kejahatan tentang senjata api atau tentang candu atau
bantuan atau percobaan untuk melakukan perbuatan yang tersebut dalam pasal ini.
Untuk melakukan peraturan-peraturan ini terhadap pada orang yang belum dewasa,
yang sebelum mengerjakan perbuatan itu belum berumur enam belas tahun, maka
peraturan dalam pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak diperhatikan.
Dalam segala hal yang lain-lain, maka perintah untuk menahan buat sementara itu
tidak boleh dikeluarkan.
(3)
Tentang perintah untuk menahan buat sementara yang dimaksud di
sini dan di tempat lain dalam reglemen ini hendaklah diberikan sebuah salinan
kepada sitertuduh. Hal memberikan salinan itu hendaklah dicatat dalam perintah
itu, yaitu dengan diberi bertanggal dan ditanda-tangani.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang penahanan, yang biasa dinamakan "penahanan dengan surat
perintah model A". Adapun isinya sebagai berikut:
a.
Yang berwenang menahan: Jaksa (menurut pasal 71 juga Jaksa
Pembantu).
b.
Lamanya menahan: 20 hari (periksa pasal 72).
c.
Syarat-syaratnya:
1.
Ada orang yang berbuat peristiwa pidana "tengah
berbuat".
2.
Ada petunjuk-petunjuk .yang cukup tentang kesalahan tersangka.
3.
Apa yang dituduhkan pada tersangka adalah suatu peristiwa pidana
yang disebutkan dalam salah satu pasal yang dicantumkan dalam ayat (2) dari
pasal 62 ini, yaitu:
A.
Pada umumnya yang ancaman pidananya penjara 5 tahun atau lebih
atau salah satu pasal seperti berikut
B.
Pasal 282 ayat penghabisan K.U.H.P., ialah perbuatan penyebaran
tulisan-tulisan, gambar-gambar atau barang-barang lain yang isinya melanggar
kesusilaan.
Pasal 296 K.U.H.P., ialah mewujudkan atau
membantu perbuatan cabul sebagai pencaharian atau kebiasaan.
Pasal 303 K.U.H.P., ialah memajukan atau
memberi kesempatan untuk berjudi.
Pasal 335 K.U.H.P., ialah memaksa orang untuk
mengerjakan atau membiarkan barang sesuatu.
Pasal 351 (1) K.U.H.P., ialah penganiayaan
biasa.
Pasal 353 (1) K.U.H.P., ialah penganiayaan
dengan direncanakan terlebih dahulu.
Pasal 372 K.U.H.P., ialah penggelapan biasa.
Pasal 378 K.U.H.P., ialah penipuan.
Pasal 379 a K.U.H.P., ialah berbelanja tidak
jujur.
Pasal 453 K.U.H.P., ialah perbuatan nakhoda
kapal yang tidak jujur.
Pasal 454 K.U.H.P., ialah perbuatan anak buah
kapal yang melarikan diri (desersi).
Pasal 455 K.U.H.P., ialah perbuatan anak buah
Kapal (bukan perwira) yang tidak mau meneruskan pelayarannya.
Pasal 459 K.U.H.P., ialah melakukan
perlawanan terhadap pimpinan kapal.
Pasal 480 K.U.H.P., ialah penadahan barang asal
kejahatan.
d.
Penjelasan selanjutnya:
1.
Surat perintahnya biasa disebut surat perintah penahanan model A.
2.
Apabila dikeluarkan oleh Jaksa Pembantu maka tembusan surat
perintah itu dalam tempuh 24 jam harus disampaikan kepada Jaksa dan satu
tembusan lagi harus diterimakan kepada tersangka; tentang pengiriman ini harus
dicatat; diberi bertanggal dan ditandatangani (ayat (2) dari pasal 71).
Pasal 63
Ia hendaknya
merampas senjata-senjata dan alat perkakas yang ternyata atau diduga
dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum itu atau dimaksud
untuk melakukan perbuatan itu, demikian juga sekalian barang-barang yang lain
yang dapat dipakai untuk menjadi barang bukti.
Penjelasan:
Barang-barang
yang perlu dirampas yang tersebut dalam pasal ini adalah barang-barang yang
biasa disebut "instumenta delicti" dan "Corpora delicti".
Lihatlah selanjutnya penjelasan pada pasal 58.
Pasal 64
(1)
Jika melihat keadaan perbuatan yang dapat dihukum itu,
keterangannya boleh jadi akan dapat diperoleh dari berbagai-bagai surat dan
barang-barang yang ada pada si tertuduh, maka pegawai penuntut umum hendaklah
dengan segera pergi ke rumah si tertuduh itu untuk mencari sekalian yang dapat
dipakai untuk mencari kebenaran.
(2)
Tentang itu ia hendaklah membuat proses-perbal, dan merampas
barang-barang yang dapat dicarinya itu, yaitu mana-mana yang dapat dipakai
untuk jadi bukti.
Penjelasan:
1.
Yang berwenang menggeledah/merampas barang-barang dalam pasal ini
adalah Pegawai Penuntut Umum (Jaksa), menurut pasal 71 juga Jaksa Pembantu
syaratnya adalah ada peristiwa "kedapatan tengah berbuat". Periksa
selanjutnya penjelasan pasal 58 pada No.3.
2.
Tempat yang digeledah harus tempat-tempat yang disebutkan dalam
pasal 65, kalau di tempat lain harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri
(lihat ayat (1) dari pasal 77).
3.
Yang boleh dirampas hanyalah surat-surat yang merupakan bukti atau
menjadi pokok tindak pidana, kalau mengenai surat-surat dan buku-buku yang
bukan masuk barang yang menjadikan tindak pidana seperti misalnya
surat-menyurat pribadi yang tidak ada sangkut, pautnya dengan tindak pidana
itu, harus ada surat kuasa yang tegas dari Ketua Pengadilan Negeri (lihat ayat
(2) dari pasal 77).
4.
Tentang penggeledahan/perampasan ini harus dibuatkan
proses-perbal.
Pasal 65
Pemeriksaan
yang dimaksud dalam pasal yang lalu boleh dilakukan:
1.
di pekarangan tempat sitertuduh itu diam atau tinggal, dan dalam
sekalian yang lain-lain yang kedapatan di atasnya;
2.
pada tiap-tiap tempat yang lain tempat si tertuduh itu diam atau
tinggal, demikian juga;
3.
di tempat perbuatan itu dilakukan atau ada meninggalkan bekas;
4.
di rumah-rumah tempat menumpang, di warung-warung kopi dan di
tempat umum yang lain-lain.
Penjelasan:
Tempat-tempat
yang tersebut pada sub 1,2 dan 3 adalah merupakan tempat-tempat yang ada
sangkut-pautnya dengan tindak pidana yang dilakukan, sedangkan tempat-tempat
yang tersebut pada sub. 3 dari pasal ini adalah tempat umum.
Ketentuan
ini untuk membatasi, janganlah misalnya pejabat dalam peristiwa itu sampai
menjalankan penggeledahan di tempat-tempat atau rumah-rumah lain yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan peristiwa pidana yang telah dilakukan dan juga bukan
tempat umum. Jika menghendaki akan menggeledah tempat-tempat yang tersebut
belakangan ini harus ada izin dari Ketua Pengadilan Negeri (lihat ayat (1) dari
pasal 77).
Pasal 66
(1)
Barang-barang yang dirampas oleh pegawai penuntut umum itu
hendaklah dibungkus dan disegel; pada bungkusan itu dicatatnya hari waktu
barang-barang itu dirampas.
(2)
Jika barang-barang itu tidak dapat atau tidak baik dibungkus dalam
bungkusan, maka pada barang-barang itu hendaklah dilekatkannya. sehelai kertas
dengan segelnya; pada kertas itu catatan yang dimaksud di atas ini
dituliskannya juga serta ditanda-tanganinya.
Penjelasan:
Pembungkusan
dan penyegelan ini gunanya untuk menjaga jangan sampai rusak, hilang atau
ditukar oleh orang yang tidak berwajib.
Barang-barang
yang besar-besar yang susah dibungkus, seperti mobil, sepeda motor, mesin
jahit, rumah dan lain sebagainya tidak perlu di bungkus, cukup dengan dilekati
sehelai kertas atau label dengan segelnya serta diberi catatan dari pembeslahan
dan tanda tangan yang membeslah.
Pasal 67
Pekerjaan-pekerjaan
yang diterangkan dalam ketiga pasal yang lalu hendaklah dilakukan di hadapan si
tertuduh, yaitu kalau ia ditangkap sebelum pekerjaan itu dilangsungkan;
barang-barang itu hendaklah diperlihatkan kepadanya dengan menyuruhnya supaya
diberinya keterangan tentang itu dan supaya barang-barang itu ditandainya,
yaitu kalau yang demikian ada alasannya; jika si tertuduh itu tidak dapat atau
tidak mau melakukan yang penghabisan itu, maka hal itu hendaklah disebutkan
dalam proses-perbal.
Penjelasan:
Bahwasanya
pada waktu membungkus barang-barang itu harus disaksikan oleh tersangka dan
jika dipandang perlu barang-barang itu harus diberi tanda oleh tersangka,
maksudnya adalah untuk menjaga jangan sampai tersangka dengan mudah memungkiri
adanya barang-barang itu. atau mengatakan bahwa barang-barang itu telah ditukar
dengan barang lain.
Pasal 68
Kalau .hal
itu dianggap perlu oleh pegawai penuntut umum, maka ia akan membawa seorang
atau dua orang ahli untuk menemaninya, yang dapat menimbang sifat dan keadaan
kejahatan itu.
Penjelasan:
Menurut
bunyi pasal ini maka Jaksa atau Jaksa Pembantu dalam penyidikan perkara, jika
perlu, tidak akan kekurangan pembantu. Mereka itu dapat membawa seorang atau
dua orang ahli untuk menemaninya; yang dapat memberi pertimbangan atas hal
ikhwal atau keadaan kejahatan yang telah terjadi, seperti. misalnya dalam
kasus-kasus kebakaran gedung, pasar dan lain sebagainya biasa dibawa seorang
atau dua orang ahli elektronik untuk dapat menetapkan apakah kebakaran itu
misalnya karena "kortsluiting" atau bukan. Menurut pasal 70 maka tiap
. orang yang dipanggil sebagai orang ahli wajib memberi pertolongan kepada
justisi, bila tidak diancam pidana dalam pasal 216, 224 atau 522 K.U.H.P.
Pasal 69
(1)
Dalam hal mati karena perbuatan kekerasan, atau sebab mati itu
mendatangkan syak, demikian juga dalam hal luka parah atau percobaan meracun
orang dan makar-makar yang lain untuk membinasakan nyawa orang, maka ia akan
membawa seorang atau dua orang tabib untuk menemaninya; tabib itu memberi
rencana tentang sebab mati itu atau sebab luka itu dan tentang keadaan mayat
itu atau badan orang yang dilukai dan tentang hal itu kalau perlu diperiksa
badan mayat itu sebelah dalamnya.
(2)
Orang-orang yang dipanggil dalam hal yang tersebut pada pasal ini
dan pada pasal yang lalu hendaklah disumpah di hadapan pegawai penuntut umum,
yaitu bahwa mereka itu harus memberi rencana kepadanya menurut kebenaran yang
sesungguh-sungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Penjelasan:
Sebagaimana;
ternyata dari bunyi pasal ini maka terang bahwa dalam penyidikan perkara
kematian, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya Jaksa atau Jaksa Pembantu
berwenang untuk membawa dokter turut memeriksa di tempat kejahatan dan dapat
diminta keterangannya.
Dalam
prakteknya tidak senantiasa seorang ahli atau dokter dapat dibawa ketempat
kejahatan. Kebanyakan barang-barang yang perlu dimintakan pemeriksaan keahlian
itu dikirim kepada mereka dan kemudian diminta pendapatnya dengan tertulis
Khusus,mengenai
penganiayaan, perkosaan, pembunuhan dan kejahatan-kejahatan terhadap jiwa dan
kesehatan orang, maka korban yang mati atau mendapat luka-luka itu dikirim
kepada dokter (rumah sakit) untuk diperiksa secara keahlian tentang sebab
kematian, keadaan mayat serta luka-luka itu, yang sesudahnya akan dikeluarkan
surat "Visum et Repertum" oleh dokter.
Pasal 70
Tiap-tiap
orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai orang yang
ahli atau sebagai tabib wajib datang memberi bantuan itu.
Penjelasan:
1.
Yang dimaksud dengan "orang ahli" ialah bukan saja yang
berpendidikan akademis saja seperti insinyur bangunan, mesin, elektronik dan
lain sebagainya, akan tetapi pada umumnya semua orang yang berpengalaman dan
amat pandai dalam pekerjaannya seperti misalnya' juru masak, tukang kayu,
tukang jahit, montir dan lain sebagainya yang berpengalaman, cakap dan mahir
dalam pekerjaannya, karena tidak jarang terjadi dalam praktek, bahwa suatu pencurian
dapat dibongkar dengan pertolongan tukang besi (mengenal kunci palsu), tukang
jahit (mengenal baju yang dicuri dengan melihat macam jahitannya dan
sebagainya).
2.
Mereka yang sengaja tidak mau. memberikan bantuan dalam hal ini
diancam pidana dalam pasal 216 K.U.H.P.).
Pasal 71
(1)
Jika dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 61 dan pasal sesudah
itu, harus dilakukan pemeriksaan yang diperintahkan di situ sebelum pegawai
penuntut umum dapat hadir di tempat itu, maka jaksa-pembantu yang bersangkutan
hendaklah dengan segera memberitahukan hal itu kepada pegawai penuntut umum;
tetapi sambil menunggu kedatangannya atau surat perintahnya, ia berhak dan
wajib melakukan segala sesuatu yang boleh dan harus dilakukan oleh pegawai
penuntut umum menurut peraturan bagian ini, jika sekiranya ada ia hadir.
(2)
Jika jaksa-pembantu, itu mengeluarkan perintah untuk menahan buat
sementara seperti dimaksud dalam pasal 62, maka dalam dua puluh empat jam ia
wajib mengirimkan salinannya kepada pegawai penuntut umum yang sedekat-dekatnya,
yaitu yang dapat memberi perintah supaya perintah itu dicabut dengan segera.
Penjelasan:
Apabila seorang
Jaksa Pembantu menjumpai peristiwa pidana yang "kedapatan tengah
berbuat" dan harus diambil tindakan-tindakan yang dibebankan kepada
Pegawai Penuntut Hukum (Jaksa), sedangkan Jaksa belum dapat hadir disitu, maka
Jaksa Pembantu harus dengan segera memberitahukan peristiwa tersebut kepada
Jaksa dan sementara itu Jaksa Pembantu berhak untuk menjalankan segala wewenang
yang diberikan kepada Jaksa.
Dalam ayat
(2) pasal itu ditentukan, bahwa bila Jaksa Pembantu mengeluarkan surat
penahanan model A buat 20 hari lamanya, maka dalam 24 jam ia wajib mengirimkan
salinannya kepada Jaksa, yang dapat. memberi perintah supaya perintah itu
dicabut dengan segera.
Pasal 72
(1)
Jika perintah untuk menahan buat sementara dikeluarkan dalam hal
kedapatan tengah berbuat maka, dengan memperhatikan peraturan pada ayat 2 pasal
83j, perintah itu hanya berkekuatan buat dua puluh hari sesudah si tertuduh itu
dimasukkan ke dalam tempat tahanan yang ditunjukkan dalam surat perintah itu.
(2)
Kalau dalam waktu itu tidak diperintahkan supaya sitertuduh itu
terus ditahan, menurut pasal 83 c, atau tidak ada pula dikirimkan tuntutan
kepada kantor panitera pengadilan negeri supaya perkara itu diperiksa oleh
pengadilan dengan perintah supaya si tertuduh itu terus ditahan, menurut pasal
83 j, maka yang ditahan itu harus dimerdekakan dengan tidak diadakan perkara lagi,
kecuali kalau ia patut terus dikurung karena alasan-alasan lain.
Penjelasan:
Penahanan
yang diperintahkan menurut pasal 62 dan pasal ini (surat perintah model A)
lamanya hanya 20 hari. Apabila memenuhi syarat-syaratnya, penahanan 20 ini oleh
Jaksa, berdasarkan pada pasal 83C, dapat diteruskan dengan penahanan buat 30
hari lamanya memakai surat, perintah penahanan model S.I., kalau tidak, maka
tersangka harus segera dibebaskan, kecuali kalau ia patut terus ditahan karena
alasan-alasan lain.
Bagian
Kelima
PERATURAN-PERATURAN
LAIN TENTANG PEMERIKSAAN PENDAHULUAN YANG DILAKUKAN OLEH PEGAWAI PENUNTUT UMUM
DAN JAKSA-PEMBANTU
Pasal 73
Kalau
pemeriksaan dilanjutkan oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu, maka
peraturan bagian ini berlaku.
Penjelasan:
Bagian
pertama sampai dengan bagian ke empat berisi peraturan-peraturan mengenai
penyidikan peristiwa pidana dan tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan
apabila terjadi peristiwa pidana itu, teristimewa dalam hal kedapatan tengah
berbuat, sedangkan bagian kelima dari bab. kedua yang dimulai dengan pasal ini
berisi peraturan-peraturan tentang tindakan-tindakan dalam penyidikan perkara,
terutama dalam hal kejadian di luar kedapatan tengah berbuat, untuk melanjutkan
atau membulatkan pemeriksaan pendahuluan, sehingga Pegawai Penuntut Umum
(Jaksa) dapat menentukan ada tidaknya cukup alasan guna meneruskan perkaranya
ke pengadilan yang berwajib.
Pasal 74
(1)
Jaksa pembantu berhak melanjutkan pemeriksaan menurut pasal-pasal
berikut, selama pegawai penuntut umum tidak memberitahukan kepadanya, bahwa
pemeriksaan itu ia sendiri yang akan melakukan.
(2)
Akan tetapi mereka itu harus mengingat perintah atau petunjuk
pegawai penuntut umum berhubung dengan pemeriksaan itu.
Penjelasan:
Pasal ini
menegaskan tentang wewenang Jaksa Pembantu, yaitu bahwa apabila Jaksa tidak
memberitahukan, bahwa ia sendirilah yang akan melakukan, maka pemeriksaan dapat
dilakukan oleh Jaksa Pembantu.
Pasal 75
(1)
Kalau keterangan-keterangan cukup menunjukkan bahwa sitertuduh itu
bersalah dan ia perlu sekali ditahan untuk kepentingan pemeriksaan atau untuk
menjaga supaya melakukan perbuatan itu dalam hal yang ditentukan pada ayat dua
pasal 62 pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan
itu dapat mengeluarkan perintah untuk menahan buat sementara.
(2)
Peraturan dalam pasal-pasal 62, 71 ayat (2) dan 72 berlaku untuk
perintah ini.
Penjelasan:
Pasal ini mengatur
tentang penyidikan, khususnya penahanan dalam hal di luar kedapatan tengah
berbuat, Adapun isi ketentuan penahanan itu sebagal berikut:
a.
Yang berwenang menahan: Jaksa atau Jaksa Pembantu.
b.
Lamanya menahan: 20 hari (lihat pasal 72).
c.
Syarat-syaratnya:
1)
Ada orang yang berbuat tindak pidana di luar kedapatan tengah
berbuat.
2)
Ada keterangan-keterangan dan bahan-bahan, cukup untuk menguatkan
keyakinan tentang kesalahan orang yang disangka.
3)
Penahanan itu memang sangat perlu untuk:
a.
kepentingan pemeriksaan atau,
b.
menjaga jangan sampai tersangka mengulangi berbuat tindak pidana,
atau.
c.
menjaga jangan sampai tersangka dapat melarikan diri dan
menghindar dari pidana yang akan dijatuhkan, dan
d.
tersangka dituduh telah berbuat sesuatu pasal dari pasal-pasal
yang disebutkan dalam ayat (2) pasal 62.
e.
Penjelasan lebih lanjut:
1)
Jika Jaksa Pembantu yang mengeluarkan surat perintah, dalam tempuh
24 jam salinannya harus disampaikan kepada Jaksa.
2)
Disini pun dipakai surat perintah penahanan model A yang turunannya
senantiasa harus disampaikan kepada tersangka, harus dicatat, diberi bertanggal
dan ditanda-tangani.
3)
Dalam surat perintah itu harus disebutkan alasan-alasan dan tempat
menahan.
4)
Cara penahanan ini sama dengan penahanan menurut pasal 62, bedanya
jika menurut pasal 62 penahanan itu dilakukan dalam tindak pidana kedapatan
tengah berbuat, sedangkan penahanan menurut pasal 75 dilakukan dalam hal di
luar kedapatan tengah berbuat.
5)
Tersangka yang ditahan sesudah ia dibawa ke tempat tahanan, dalam
24 jam harus didengar keterangannya oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu yang
melakukan pemeriksaan (pasal 76).
Pasal 76
Si tertuduh
yang ditahan menurut peraturan dalam pasal yang lalu harus didengar oleh
pegawai penuntut Umum atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan itu dalam
dua puluh empat jam sesudah ia dibawa ke tempat tahanan, yaitu kalau tadinya ia
belum lagi didengar.
Penjelasan:
Apabila
cukup alasan-alasan sebagaimana termuat dalam pasal 75, maka orang oleh Jaksa
atau Jaksa Pembantu dapat ditahan. Menurut pasal ini orang itu jika belum
didengar keterangannya, setelah sampai di tempat penahanan dalam tempuh 24 jam
harus diperiksa keterangannya.
Pasal 77
(1)
Dengan seizin ketua pengadilan negeri, maka pegawai penuntut umum
atau jaksa-pembantu yang melakukan pemeriksaan dapat menggeledah rumah, yaitu
di mana-mana hal itu perlu.
(2)
Kecuali dalam hal yang dimaksud dalam pasal berikut:
maka waktu menggeledah itu pegawai penuntut
umum atau jaksa-pembantu tidak boleh memeriksa atau merampas surat-surat, buku
dan surat-surat lain yang bukan masuk barang yang menjadikan perbuatan yang
dapat dihukum itu atau yang dipakai untuk melakukan perbuatan itu, kalau ia
tidak dengan tegas dapat kuasa dari ketua pengadilan negeri untuk melakukan
itu. Kuasa yang seperti itu perlu juga, bila pekerjaan menggeledah rumah itu
disuruh kepada pegawai pencari kejahatan yang lain.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka pada umumnya untuk menggeledah tempat itu harus ada izin dari
Ketua Pengadilan Negeri, bahkan untuk memeriksa surat-surat, buku-buku dan
lain-lain tulisan yang tidak menjadi pokok (bersangkut paut dengan) peristiwa
pidana yang terjadi, diperlukan surat izin tersendiri (khusus) dari Ketua
Pengadilan Negeri.
Boleh juga
penggeledahan itu oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu tanpa izin dilakukan, akan
tetapi dengan syarat bahwa peristiwanya harus "kedapatan tengah
berbuat" atau dalam keadaan "sangat penting sekali" (mendesak).
Bahkan para pegawai penyidik lain-lainnya yang bukan Jaksa atau Jaksa Pembantu
pun boleh juga melakukan penggeledahan, akan tetapi syarat-syaratnya adalah
bahwa peristiwa itu "kedapatan tengah berbuat" dan keadaan
"sangat penting sekali"(mendesak). Untuk kedua-duanya ini tempat yang
boleh digeledah dibatasi hanyalah sampai tempat-tempat yang disebutkan dalam
pasal 65 saja (Lihat pasal-pasal 78 dan 58).
Pasal 78
(1)
Dalam hal yang sangat penting sekali, pegawai penuntut umum atau
jaksa pembantu yang melakukan pemeriksaan itu boleh juga menggeledah rumah
dengan tidak seizin ketua pengadilan yaitu:
1.e
di pekarangan tempat sitertuduh itu diam atau tinggal, dan dalam
sekalian yang lain-lain, yang kedapatan di atasnya;
2.e
pada tiap-tiap tempat yang lain tempat si tertuduh itu diam atau
tinggal;
3.e
di tempat perbuatan itu dilakukan atau ada meninggalkan bekas;
4.e
di rumah tempat menumpang, di warung kopi dan di tempat umum yang
lain-lain.
(2)
la boleh juga menyuruh pegawai pencari kejahatan yang lebih rendah
melakukan pekerjaan menggeledah rumah itu.
(3)
Jika penggeledahan rumah itu harus dilakukan di luar daerah
pegangannya, maka atas permintaannya, rumah itu digeledah oleh pegawai penuntut
umum atau jaksa-pembantu yang sedekat-dekatnya.
Penjelasan:
Pasal ini
memberi peraturan tentang penggeledahan tempat dalam hal di luar
"kedapatan sedang berbuat". Adapun isinya sebagai berikut:
a.
Yang berwenang menggeledah: Jaksa atau Jaksa Pembantun
b.
Syarat-syaratnya: Penggeledahan itu sangat penting sekali
(mendesak), tidak perlu memakai izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Sangat
penting sekali atau keadaan mendesak artinya, bahwa penggeledahan dan
pembeslahan perlu sekali harus secepat-cepatnya dilakukan, oleh karena jika
menunggu surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri; besar kemungkinan tidak akan
dapat ditemukan lagi orang yang akan ditangkap atau barang yang akan dibeslah
untuk bukti. Perumusan yang tetap tentang anti "amat perlu sekali"
itu susah diberikan. Tiap-tiap kasus harus ditinjau sendiri-sendiri, akan
tetapi dalam prakteknya sifat "amat perlu sekali" itu selalu ada,
jadi praktis alasan "amat perlu sekali" itu senantiasa dipergunakan.
c.
Tempat yang boleh digeledah:
1)
Di seluruh halaman tersangka bertempat tinggal atau berdiam,dan selanjutnya
semua perumahan yang terdapat di atas halaman itu.
2)
Di lain-lain tempat tersangka bertempat tinggal atau berdiam.
3)
Di tempat kejadian perkara atau di mana saja ada terdapat bekas-bekas.
4)
Di rumah penginapan, warung kopi dan lain-lain tempat umum.
d.
Barang-barang apa yang boleh dibeslah: Barang-barang yang ada
sangkut-pautnya dengan tindak pidana yang terjadi.
e.
Penjelasan lebih lanjut:
1)
Apabila Jaksa atau Jaksa Pembantu sendiri tidak sempat menjalankan
penggeledahan itu, senantiasa dapat melimpahkan wewenangnya kepada para pegawai
penyidik rendahan, baik secara tertulis atau secara lisan.
2)
Penggeledahan yang harus dilakukan di suatu tempat yang berada di
luar daerah wewenang Jaksa atau Jaksa Pembantu, dapat diminta bantuan dari dan
penggeledahan akan dilakukan oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu yang berwenang di
daerah itu.
Oleh karena peraturan penggeledahan rumah
serta pembeslahan surat-surat itu amat penting, maka di bawah ini diberikan
catatan untuk dapat diperhatikan:
1.
Di dalam peristiwa kedapatan tengah berbuat Baik Jaksa atau Jaksa
Pembantu, maupun para pegawai penyidik lainnya (buat pegawai ini apabila amat
perlu), tanpa izin Ketua.
2.
Pengadilan Negeri diperkenankan melakukan penggeledahan tempat
serta memeriksa dan membeslah barang-barang dan surat-surat yang ada
sangkut-pautnya dengan peristiwa yang terjadi (pasal-pasal 58, 64 dan 65).
3.
Di luar peristiwa kedapatan tengah berbuat.
Jaksa dan Jaksa Pembantu apabila. hendak
menggeledah. tempat, memeriksa dan membeslah barang-barang dan surat-surat yang
ada sangkut-pautnya dengan peristiwa yang terjadi, harus ada izin dari Ketua
Pengadilan Negeri, kecuali dalam keadaan yang amat penting, sedangkan untuk
memeriksa dan membeslah surat-surat, buku-buku dan lain sebagainya yang tidak
ada sangkut-pautnya dengan peristiwa yang terjadi, dibutuhkan surat kuasa
tersendiri (khusus) dari Ketua Pengadilan Negeri. (Pasal-pasal 77 dan 78). Para
pegawai penyidik Lain-lainnya dalam hal ini hanya boleh bertindak apabila ada
perintah dari Jaksa atau Jaksa Pembantu di atas. ini.
Pasal 79
Terhadap
pada penggeledahan rumah yang dimaksud dalam bagian ini, maka peraturan dalam
pasal-pasal 64 ayat dua, 66 dan 67 berlaku sejalan dengan itu.
Penjelasan:
Peraturan-peraturan
yang tersebut dalam Pasal 64 ayat (2) yaitu tentang kewajiban membuat
proses-perbal dan pembeslahan barang yang dicari.
Pasal 66
yaitu tentang pembungkusan dan penyegelan barang-barang yang dibeslah.
Pasal 67 yaitu
tentang keharusan hadir dan kalau perlu menandai barang-barang yang akan
dibungkus dan disegel.
Pasal 80
(1)
Pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan
pemeriksaan itu menyuruh supaya sitertuduh dan saksi-saksi yang dianggapnya
perlu, datang kepadanya untuk didengarnya.
(2)
Untuk pemeriksaan ini si tertuduh, ia tidak ditahan dan
saksi-saksi disuruh panggilnya; orang-orang yang dipanggil itu wajib datang
kepadanya, dan selain dari itu saksi-saksi wajib memberi keterangan tentang apa
yang sebenarnya terjadi. Kalau orang-orang yang tersebut itu tidak datang, maka
mereka itu dapat disuruh panggilnya sekali lagi dan dalam hal itu dapat
disertakannya perintah untuk membawanya, ataupun kemudian dari pada itu
diperintahkannya akan menjemput dan membawanya.
Penjelasan:
1.
Untuk pemeriksaan tersangka dan saksi dipanggil oleh Jaksa atau,
Jaksa Pembantu. Tersangka dan saksi yang dipanggil itu harus datang, kalau
tidak, dipanggil sekali lagi disertai perintah untuk membawanya dengan kekuatan
polisi, artinya jika perlu dengan kekerasan. Jika mereka itu membangkang,
diancam pidana dalam pasal 212 atau pasal 216 K.U.H.P. Dalam hal ini saksi yang
tidak mau menghadap, tidak bisa dikenakan ketentuan pidana yang tersebut dalam
pasal 224 atau 522, K.U.H.P., oleh karena pasal-pasal ini hanya berlaku bagi
saksi yang dipanggil oleh hakim untuk menghadap di muka pengadilan.
2.
Menurut pasal 81, maka saksi atau tersangka yang dipanggil memberi
keterangan yang dapat diterima (beralasan), bahwa ia tidak dapat datang
(seperti misalnya karena sakit dan lain sebagainya), maka Jaksa atau Jaksa
Pembantu itu harus pergi ke rumah mereka.
Pasal 81
Bila saksi
atau si tertuduh memberi keterangan yang dapat diterima, bahwa ia tidak dapat
datang kepada pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan
pemeriksaan itu, maka pegawai atau jaksa-pembantu itu hendaklah pergi ke
rumahnya.
Penjelasan:
"Memberi
keterangan yang dapat diterima" artinya dapat memberi alasan yang patut
diterima oleh pemanggil, seperti misalnya karena sakit, anak sakit keras,
kematian keluarga, punya hajat menikahkan, khitanan dan lain sebagainya. Apakah
tidak dapat datang karena tidak punya uang untuk naik bis itu dapat digolongkan
alasan yang dapat diterima?
Itu
tergantung pada jauh dekatnya tempat tinggal. Semuanya itu diserahkan pada
pendapat dan kebijaksanaan pemanggil.
Pasal 82
(1)
Saksi-saksi itu didengar dengan tidak disumpah, kecuali dalam
hal-hal yang teristimewa kalau diduga bahwa mereka itu tidak dapat datang dalam
pemeriksaan yang lebih lanjut. Mereka itu seberapa dapat hendaklah didengar
berasing-asing, tetapi boleh diperhadapkan seorang dengan yang lain.
(2)
Waktu memeriksa si tertuduh itu hendaklah ditanyakan kepadanya
adakah saksi-saksi yang menyangkal tuduhan atasnya, yang dimintanya supaya
didengar, dan kalau ada siapa saksi-saksi itu. Pertanyaan itu hendaklah dicatat
dalam proses perbal.
(3)
Jika si tertuduh itu menerangkan untuk membela dirinya, bahwa
ketika kejahatan . itu dilakukan ia ada di tempat lain atau jika dikatakannya,
bahwa barang-barang yang dicurigai yang kedapatan padanya diperolehnya dengan
jalan yang sah, maka kepadanya haruslah diminta dengan sungguh supaya
ditunjukkannya saksi-saksi yang dapat meneguhkan keterangannya itu; kebenaran
keterangan itu haruslah diperiksa menurut mestinya.
Penjelasan:
1.
Pemeriksaan seorang saksi dalam pemeriksaan di muka hakim
dilakukan dengan penyumpah saksi itu terlebih dahulu (secara promissoris) atau
kemudian setelah diperiksa (secara assertoris) (lihat ayat (3) pasal 265), akan
tetapi menurut pasal 82 maka pemeriksaan saksi dalam pemeriksaan pendahuluan
yang dilakukan oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu harus dilakukan tanpa disumpah,
kecuali dalam hal-hal yang khusus kalau diduga bahwa saksi itu dikhawatirkan
tidak bisa menghadap dalam pemeriksaan selanjutnya, seperti misalnya sakit
keras, luka berat, pergi ke luar negeri, tidak punya tempat tinggal yang tetap
dan lain sebagainya. Pemeriksaan saksi dengan disumpah ini harus disebutkan
dalam proses-perbal.
Kelak di muka sidang pengadilan kalau saksi
itu betul-betul tidak hadir, maka proses-perbal pemeriksaan keterangan saksi
ini tinggal dibacakan di muka sidang, dan keterangan ini dihargai sama dengan
keterangan saksi secara lisan di muka sidang pengadilan yang disumpah (lihat
pasal 259).
Saksi-saksi boleh "diperhadapkan"
seorang dengan yang lain artinya "diadu-mukakan" atau
"dikonfrontasikan".
2.
Saksi-saksi yang dimaksudkan dalam ayat (2), pasal ini ialah saksi
yang meringankan kesalahan tersangka, yang biasa disebut saksi "de
charge". Lawannya adalah saksi "a charge", yaitu saksi yang memberatkan
kesalahan tersangka.
3.
Keterangan. yang disebutkan dalam ayat (3) pasal ini adalah yang
biasa disebut keterangan tentang "alibi" tersangka. Keterangan ini
adalah penting sekali, oleh karena jikalau terdapat betul, maka keterangan itu
dapat membebaskan tersangka dari tuduhan.
Pasal 83
Keterangan-keterangan
si tertuduh dan saksi-saksi harus dituliskan; dari keterangan-keterangan, itu
hendaklah dibuat proses-perbal dan proses-perbal itu tidak saja mesti
ditanda-tangani oleh pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang melakukan
pemeriksaan itu, tetapi juga oleh orang yang memberi keterangan itu. Kalau
orang yang memberi. keterangan itu tidak dapat atau tidak mau 'menandatangani
itu maka hal ini harus disebutkan.
Penjelasan:
Keterangan
tersangka dan saksi-saksi yang diperiksa harus dituliskan dalam suatu
proses-perbal; proses perbal ini tidak saja ditandatangani oleh perbalisan,
akan tetapi juga oleh orang yang didengar keterangannya, sebagai tanda
persetujuannya atas isi keterangan itu. Apabila orang ini tidak menanda
tangani, seperti misalnya karena tidak dapat menulis atau menganggapnya tidak
perlu, maka orang itu tidak perlu dipaksa untuk menanda-tangani, akan tetapi
cukup hal itu disebutkan dalam proses-perbal saja.
Pasal 83a
Sebanyak
kali harus didengar keterangan saksi-saksi atau orang-orang yang dituduh, yang
diam atau tinggal di luar daerah pegawai penuntut umum atau jaksa-pembantu yang
melakukan pemeriksaan itu, maka pemeriksaan itu kalau ia harus dilakukan di
luar daerah jaksa, dengan perantaraan jaksa itu - boleh diperintahkan kepada
pegawai penuntut umum. atau kepada jaksa-pembantu yang berkuasa di tempat diam
atau di tempat tinggal saksi-saksi atau si tertuduh itu.
Penjelasan:
Hal ini
dalam praktek lazim dilakukan, Biasanya Jaksa atau Jaksa Pembantu yang meminta
bantuan Jaksa atau Jaksa Pembantu dari luar daerah untuk memeriksa atau
mendengarkan keterangan seseorang yang berada di luar daerah itu, membuat suatu
proses-perbal dalam bentuk "tanya-jawab", yang hanya diisi dengan
pertanyaan-pertanyaannya saja, sedangkan ruang jawaban dikosongkan yang nanti
akan diisi dan ditanda-tangani oleh Jaksa atau Jaksa Pembantu yang dimintai
bantuan, sesudahnya proses-perbal itu dikirim kembali.
Pasal 83b
(1)
Kalau dianggap perlu oleh pegawai-penuntut umum atau oleh
jaksa-pembantu, yang melakukan pemeriksaan itu, maka ia boleh meminta rencana
yang perlu kepada tabib atau ahli-ahli yang lain.
(2)
Mereka itu haruslah bersumpah di hadapan pegawai penuntut umum
atau jaksa-pembantu, bahwa mereka akan memberi rencana menurut kebenaran yang
sesungguh-sungguhnya, yakni sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Di
sini berlaku peraturan dalam pasal 70 dan pasal 83a.
Penjelasan:
Dalam
prakteknya jarang sekali terjadi bahwa orang ahli atau tabib itu mengangkat
sumpah di depan Jaksa, lebih-Iebih Jaksa Pembantu. Rencana atau surat
keterangan keahlian tersebut biasanya dibuat oleh yang bersangkutan dengan
mengingat sumpah jabatan, atau suatu kesediaan untuk meneguhkannya dengan
mengangkat sumpah di kemudian, sumpah mana kelak dilakukan di depan pengadilan.
Ayat (2)
dari pasal ini menentukan bahwa pasal 70 berlaku untuk ini, yang berarti bahwa
tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi bantuan kepada justisi sebagai
orang ahli atau tabib, wajib datang memberi bantuan itu. Sengaja tidak memenuhi
kewajiban itu diancam pidana dalam pasal 216 K.U.H.P.
Pasal 83c
(1)
Bila terhadap si tertuduh ada hal-hal yang sangat memberatkan dan
cukup pasti bahwa perbuatan itu masuk pada yang diterangkan dalam ayat 2 pasal
62 dan perkara itu diduga tidak akan dapat diperiksa pengadilan dalam waktu
yang ditetapkan dalam pasal 72, maka untuk kepentingan pemeriksaan atau untuk
mencegah supaya perbuatan itu tidak akan diulangi atau untuk mencegah supaya si
tertuduh tidak melarikan diri, jaksa dapat memerintahkan menangkap si tertuduh,
atau kalau ia sudah. ditahan buat sementara, memerintahkan supaya ia tetap
ditahan.
(2)
(Ditiadakan oleh undang-undang darurat No.1/1951).
(3)
Si tertuduh harus didengar oleh jaksa atau jaksa-pembantu dalam
tempo dua puluh empat jam sesudah perintah itu dijalankan, jikalau hal itu
tadinya belum dilakukan.
(4)
Kecuali dalam hal yang ditentukan pada pasal 83j ayat (2), maka
perintah yang dimaksud dalam ayat pertama pasal ini tidak dapat berlaku lebih
lama dari tiga puluh hari, terhitung mulai dari hari perintah itu dijalankan.
Selama pemeriksaan belum habis maka tuntutan jaksa perintah itu dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri, tiap-tiap kali dengan tiga puluh
hari, kalau sesudah sambungan yang penghabisan hal itu ditimbang perlu oleh
ketua pengadilan.
(5)
(Tidak ada artinya lagi berhubung dengan dihapuskannya jabatan
ajunct jaksa).
Penjelasan:
1.
Pasal ini menentukan perihal penahanan dengan surat perintah yang
isinya sebagai di bawah ini:
a.
Yang berwenang menahan: Jaksa Kepala atau Jaksa.
b.
Lamanya menahan: 30 hari terhitung dari waktu perintah itu
dijalankan.
c.
Syarat-syaratnya:
1)
Harus ada hal-hal yang timbul memberatkan kesalahan tersangka dan
ada alasan-alasan nyata yang cukup kuat, bahwa ia melakukan tindak pidana yang
tersebut dalam pasal 62 (2) H.I.R.
2)
Dapat dikira-kirakan, bahwa perkara tersebut tidak akan dapat
diadili dalam waktu 20 hari.
3)
Penahanan perlu diteruskan karena:
a.
kepentingan pemeriksaan, atau
b.
mencegah pengulangan tindak pidana oleh tersangka, atau
c.
mencegah jangan sampai tersangka melarikan diri.
d.
Penjelasan lebih lanjut:
1.
Dalam waktu 24 jam sesudah perintah penahanan dijalankan,
tersangka harus didengar keterangannya oleh Jaksa Kepala, Jaksa atau Jaksa
Pembantu.
2.
Jika perintah itu dikeluarkan oleh Jaksa, maka dalam waktu 24 jam
ia wajib mengirimkan salinannya kepada Jaksa Kepala, dan Jaksa Kepala ini dapat
memerintahkan mencabut perintah penahanan ini dengan segera.
3.
Untuk perintah penahanan ini dipakai model S.I.
4.
Menurut ayat (4) dari pasal ini maka atas tuntutan Jaksa Kepala
atau Jaksa, perintah penahanan itu dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan
Negeri, tiap-tiap kali dengan 30 hari, jikalau sambungan yang penghabisan hal
itu. ditimbang perlu oleh Ketua Pengadilan. Untuk ini dipakai surat perintah
penahanan model S.VI.
Terangnya sebagai berikut: menurut pasal 72 dan
65 penahanan hanya sampai 20 hari saja. Menurut ayat (1) dari pasal 83 c ini,
maka apabila kiranya perkara yang sedang diperiksa itu tidak dapat dihadapkan
kemuka pengadilan dalam tempuh 20 hari, maka Jaksa Kepala atau Jaksa dapat
memberi perintah agar tersangka ditahan terus, dan kelanjutan penahanan ini
berlaku tidak lebih lama dari 30 hari (surat perintah penahanan model S.I.).
Atas tuntutan Jaksa Kepala atau Jaksa waktu 30 hari itu dapat disambung-sambung
oleh Ketua Pengadilan Negeri, tiap-tiap kali dengan 30 hari (Surat perintah
penahanan model S. V I.).
Pasal 83d
(1)
Ketua pengadilan negeri baik oleh karena jabatannya maupun atas
permintaan si tertuduh, berhak meminta supaya surat-surat yang berhubungan
dengan perkara itu di kemukakan kepadanya dan setelah bermupakat dengan jaksa
memerintahkan, supaya pemeriksaan disudahi dengan lekas. Kalau ada alasan buat
itu, ia boleh menetapkan bila pemeriksaan itu selambat-lambatnya harus sudah
diselesaikan.
(2)
Jika menurut pendapatnya, perbuatan itu tidak masuk pada aturan
pasal 62 ayat 2, maka ia akan memerintahkan supaya si tertuduh yang ada dalam
tahanan, dikeluarkan.
Penjelasan:
Dalam
praktek sering terjadi, bahwa penahanan terhadap tersangka itu, karena
kelalaian atau kelambatan dalam pemeriksaannya, berlangsung berlarut-larut
hingga waktu lama, sehingga amat merugikan pada orang yang ditahan. Pengawasan
jangan sampai hal itu terjadi demikian, menurut pasal ini diletakkan di pundak
Ketua Pengadilan Negeri.
Baik arena
jabatannya maupun atas permintaan tersangka Ketua Pengadilan Negeri apabila
suatu penahanan dirasa sudah berlangsung agak terlalu lama, dapat menjalankan
koreksi atau teguran kepada Kejaksaan dengan meminta agar surat-surat atau
berkas yang berhubungan dengan perkara itu diserahkan kepadanya. Setelah berunding
dengan Kepala Kejaksaan, dapat diperintahkan kepada pejabat yang bersangkutan
agar supaya pemeriksaan perkara segera diselesaikan dan disudahi, kalau perlu
sambil ditentukan waktu selambat-lambatnya pemeriksaan itu harus sudah
diselesaikan.
Kalau
ternyata tidak ada alasan lagi untuk menahan tersangka lebih lanjut, tersangka
harus dengan segera dibebaskan.
Pasal 83e
Surat-surat
pemeriksaan dan sekalian barang-barang yang dapat dipakai jadi tanda bukti,
hendaklah diserahkan dengan selekas-lekasnya kepada jaksa.
Pasal 55,
ayat 3 berlaku sejalan dengan itu.
Pasal 83f
(1)
Jaksa pembantu berbuat menurut aturan pada ayat-ayat yang berikut
dalam pasal ini, menyimpang dari aturan pasal 55 dan dari aturan pada
pasal-pasal yang lalu dalam bagian ini
1e.
(Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).
2e.
jika ternyata pada waktu dilakukan pemeriksaan sementara pada si
tertuduh dan saksi-saksi bahwa perkara itu perkara bersahaja, demikian juga
tentang buktinya dan perihal mengenakan undang-undang dan perbuatan itu biasanya
tidak dihukum dengan hukuman utama yang lebih berat dari selama-lamanya satu
tahun penjara.
(2)
Bilamana menurut timbangan jaksa pembantu, cukup alasan akan
menuntut si tertuduh, maka ia dengan segera mengirimkan laporan dengan surat
kepada jaksa bersama-sama dengan surat-surat rencana yang dikirimkan kepadanya
dan sekalian yang lain-lain yang dapat dipakai jadi keterangan dari perbuatan
yang dilakukan itu.
(3)
Laporan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, hendaklah menyebutkan
perbuatan yang boleh menyebabkan akan menuntut si tertuduh, dengan menerangkan
waktu bilamana,- di tempat mana dan keadaan perbuatan itu dilakukan, mana dan
tempat diam (alamat) saksi-saksi, isi pokok dari keterangan-keterangannya dan
sekalian yang lain-lain yang dianggap penting untuk menyelesaikan perkara itu.
(4)
Kalau si tertuduh ditahan buat sementara, karena sesuatu perbuatan
yang dimaksud dalam pasal 62 ayat 2, maka ia dikirim bersama-sama dengan
laporan, yang dimaksud pada kedua ayat yang lalu dalam pasal ini, kepada jaksa
atau disuruh bawa i ke hadapan pegawai itu.
(5)
Pun dalam hal ia tidak ditahan buat sementara, si tertuduh dapat
juga ditahan dan dengan tidak bertangguh lagi dikirim bersama-sama dengan
laporan itu kepada jaksa atau disuruh bawa ke hadapan pegawai itu, kalau dengan
hal yang demikian, dapat dicapai, perkara itu diperiksa pengadilan pada hari
itu juga atau pada hari kerja yang berikutnya.
Dalam hal ini saksi-saksi dapat juga dikirim
bersama-sama atau disuruh bawa e hadapan jaksa.
(6)
Bilamana menurut timbangan jaksa pembantu, tidak cukup alasan
untuk menuntut si tertuduh, atau bilamana ia tidak dapat dituntut oleh karena
sesuatu perbuatan seperti dimaksud dalam asal 62 ayat (2), maka si tertuduh,
jikalau ia. ditahan, hendaklah dimerdekakan dengan tidak bertangguh lagi,
tetapi dalam hal-hal yang tersebut terakhir ini dengan memperhatikan aturan
pada ayat yang lalu pasal ini.
(7)
Bilamana jaksa pembantu memerdekakan si tertuduh karena aturan
pada ayat yang lalu, maka hal itu hendaklah dengan segera diberitahukan kepada
jaksa.
Penjelasan:
Pasal 83 f
ini mengatur tentang mengajukan perkara-perkara ringan kepada pengadilan, yaitu
perkara-perkara:
Yang dulu
masuk kekuasaan Landgerecht (Hakim Kepolisian) yang menurut Undang-undang
Darurat Nomor 1/1951 telah dihapuskan dan menjelma menjadi: Sidang tanpa
dihadiri Jaksa yang biasa disebut Sidang Kecil Pengadilan Negeri, yang
kekuasaannya adalah mengadili perkara-perkara pidana sipil yang diancam dengan
pidana yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, atau yang dianggap diancam dengan pidana pengganti yang tidak lebih
dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, begitu juga kejahatan
"penghinaan ringan" yang dimaksudkan dalam pasal 315 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Yang masuk
kekuasaan "Landraad" pemeriksaan secara sumir dahulu yang sekarang
menjelma menjadi pemeriksaan dalam Sidang Besar Pengadilan Negeri secara sumir,
yaitu mengenai perkara-perkara yang sifatnya sederhana baik tentang pelaksanaan
hukumnya, maupun tentang pembuktiannya, dan pula tidak akan dijatuhkan (bukan
ancaman) pidana utama yang lebih berat dari satu tahun penjara.
Dalam hal
ini apabila Jaksa Pembantu berpendapat, bahwa perkara itu masuk kekuasaan
"Landgerecht" dan perkara itu dapat diputus pada hari itu juga atau
pada hari kerja yang berikut, sedangkan ada cukup alasan untuk menuntut
tersangka, maka berkas perkara, barang-barang bukti, tersangka dan
saksi-saksinya dikirimkan kepada Jaksa yang segera mengajukan perkara itu
kepada hakim "Landgerecht" (sekarang Pengadilan Negeri Sidang Kecil).
Apabila Jaksa Pembantu berpendapat, bahwa
perkara itu masuk kekuasaan "Landraad" dan perkara itu karena
sifatnya sederhana baik mengenai pelaksanaan hukumnya, maupun tentang
pembuktiannya serta tidak akan dijatuhkan pidana utama yang lebih berat dari
satu tahun penjara, dan oleh karena itu dapat diadili secara sumir, maka berkas
perkara yang berisikan sebutan peristiwa pidana yang dilakukan, identitas dan
keterangan tersangka dan saksi-saksi, bersama-sama barang-barang bukti,
tersangka dan saksi-saksinya dikirimkan kepada Jaksa. Untuk mengajukan perkara
secara sumir ini di muka pengadilan Negeri, Jaksa tanpa surat perintah
berwenang untuk menahan tersangka lamanya 8 hari (periksa ayat (3) pasal 83 k).
Bagian
Keenam.
TENTANG
MENYUDAHKAN PEMERIKSAAN PERMULAAN
Pasal 83g
(1)
Dengan selekas-lekasnya sesudah diterima surat-surat pemeriksaan,
jaksa berbuat seperti ditetapkan dalam pasal-pasal berikut.
(2)
(Tidak ada artinya lagi berhubung dengan susunan kejaksaan
sekarang).
Penjelasan:
Pekerjaan-pekerjaan
yang harus dilakukan oleh Jaksa dalam pasal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang
tersebut dalam pasal 83 h s/d 83 m.
Pasal 83h
Jika
pemeriksaan yang telah dilakukan itu memerlukan penambahan pemeriksaan, maka
jaksa melakukan sesuatu yang diperlukan atau menyuruh melakukan oleh jaksa
pembantu atau oleh pegawai lain yang menurut pendapatnya patut disuruh
melakukan pekerjaan itu.
Kalau pada
pemeriksaan lanjutan itu ada dugaan, bahwa pemalsuan surat-surat ada dilakukan,
maka ia dapat memerintahkan kepada penyimpan umum, supaya dikirimkan ke
kantornya surat-surat yang sah yang disimpannya, yang disangka palsu atau yang
dipalsukan; atau yang perlu dipakai untuk dibandingkan dengan surat lain. Jika
satu surat yang dianggapnya perlu untuk pemeriksaan, sebagian dari suatu
daftar, yang tidak dapat dipisahkan, maka ia dapat memerintahkan supaya daftar
itu seluruhnya dibawa ke kantornya untuk diperiksa selama waktu yang ditentukan
dalam surat perintah itu. Perintah jaksa itu disampaikan kepada penyimpan
sambil menerima surat tanda penerimaan, atau dikirimkan kepadanya dengan surat
tercatat.
Mengenai
pengiriman ini jaksa memberi keterangan tanda terima. Jika hal. ini tidak
dilakukan pada waktu yang ditentukan dalam surat perintah itu, dengan tidak ada
sebab-sebabnya yang sah, maka jaksa dapat memberi perintah supaya penyimpan itu
dipaksa dengan paksa badan akan mengirimi surat itu. Jika surat yang
dikehendaki oleh jaksa itu tidak sebagian dari satu daftar, maka penyimpan
membuat salinan surat itu untuk menjadi pengganti surat asli sampai surat asli
itu diterima kembali. Di sebelah di bawah salinan itu dicatatnya apa sebabnya
salinan itu dibuat, catatan mana disebutkan juga pada salinan dan
salinan-salinan yang diberikan itu.
Segala
ongkos pengiriman atau membawa surat itu dan ongkos membuat salinan oleh
penyimpan dihitung masuk ongkos kehakiman.
Jaksa
sendiri melakukan pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini dan ia dapat
meminta penerangan dari seorang ahli atau lebih. Yang ditentukan dalam pasal 69
ayat 2 dan pasal 70 berlaku dalam hal ini.
Jika
seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum
dengan hukuman mati, maka jaksa menanyakan kepadanya, apakah ia berkehendak
pada sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau, ahli hukum.
Penjelasan:
Jaksa harus
selekas mungkin mempelajari proses perbal pemeriksaan pendahuluan yang
diterimanya dari Jaksa Pembantu. Apabila ternyata bahwa isinya ada yang kurang
atau salah, maka ia dapat memerintahkan kepada Jaksa Pembantu yang bersangkutan
atau pegawai lain, untuk mengadakan penambahan atau perbaikan yang dianggapnya
perlu.
Apakah yang
dimaksudkan dengan "pemalsuan" sebagaimana tercantum dalam ayat (2).
Pemalsuan ini ada tiga kemungkinan ialah
surat yang
dipakai itu palsu, artinya surat itu dari semula memang sudah palsu, atau
surat yang
dipakai itu dipalsukan, artinya semula atau asalnya surat itu betul, akan
tetapi kemudian dipalsukan, mungkin diubah isinya, sebagian atau semuanya,
mungkin dihilangkan beberapa bagian, mungkin telah dilakukan kedua-duanya.
surat yang
dipakai itu sebetulnya sudah. dibuat secara yang semestinya, akan tetapi isinya
tidak sama dengan apa yang semestinya, seperti misalnya suatu Akte notaris yang
dibuat menurut semua syarat-syarat yang diperlukan, memuat keterangan atau
pernyataan orang yang menghadap pada notaris, tetapi keterangan itu
bertentangan dengan kebenaran. Dalam hal ini bukan aktenya yang di palsu, akan
tetapi isinya.
Kepalsuan yang tersebut pada sub a dan b di
atas biasa disebut "kepalsuan material", sedangkan kepalsuan yang
disebut pada sub c itu adalah "kepalsuan intelektual."
Apabila ternyata dengan sengaja dipergunakan
surat-surat palsu, maka yang bersalah diancam pidana dalam salah satu pasal
dari pasal-pasal 264 s/d 276 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Yang disebut
"penyimpan umum" adalah pejabat yang karena kedudukannya dibebani
dengan tugas dan kewajiban menyimpan dan memelihara surat-surat, akte-akte,
daftar-daftar, register-register dan lain sebagainya yang sifatnya umum,
seperti misalnya Notaris, Pegawai pencatatan Sipil dan Pegawai Pencatatan
warga, Penyimpan pendaftaran tanah dan lain sebagainya.
Para
"pemimpin umum" yang dimintai surat-surat atau bantuannya oleh Jaksa
atau Jaksa Pembantu harus memenuhinya, apabila tanpa alasan tidak mau memenuhinya,
ia dapat dipaksa dengan paksaan badan, misalnya disandera (gijzeling).
Ketentuan dalam pasal 70 berlaku di sini,
sehingga yang bersalah itu diancam pidana dalam pasal 216 atau 225 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Ketentuan
dalam ayat (6) pasal 83h ini ada hubungannya dengan perihal "penasehat
hukum" atau "pembela" dalam berperkara. Bolehkah seorang
tersangka pada waktu diperiksa perkaranya oleh Polisi atau Jaksa (pemeriksaan
pendahuluan) dibantu oleh seorang pembela atau penasihat hukum? Menurut ayat
(6) pasal ini jika seorang tersangka dituduh melakukan sesuatu kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, maka Jaksa wajib menanyakan kepadanya apakah ia
berkehendak di sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli
hukum. Menurut pasal 254 (1) H.I.R. seorang terdakwa memang berhak untuk
kepentingannya didampingi oleh pembela, ini boleh seorang sarjana hukum atau
ahli hukum lain yang biasa disebut pokrol atau pengacara, malahan menurut pasal
250 (5) H.I.R. bagi terdakwa yang dituduh melakukan peristiwa pidana yang ada
ancamannya pidana mati, oleh Hakim ditunjuk seorang penasihat hukum dengan
percuma, akan tetapi hal ini mengenai pada waktu di sidang pengadilan, atau
tepatnya setelah perkara itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pada
waktu pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Polisi dan Jaksa, tidak ada
satu pasal pun yang menyebutkan 'hak tersangka atas bantuan seorang pembela,
sehingga Jaksa atau Jaksa Pembantu berwenang menolak seorang pembela yang akan
mendampingi tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan, ini adalah sifat
inquisitoir yang masih melekat pada H.I.R., lain halnya dengan hukum acara
pidana di Negeri Belanda misalnya yang sifatnya sudah accusatoir, yaitu
memberikan kesempatan kepada seorang tersangka untuk dapat didampingi pembela
pada waktu perkaranya mulai diperiksa oleh Polisi.
Dalam Undang-undang Pokok Kehakiman (UU. No.
14/1970) telah ditentukan, bahwa tersangka sejak saat ditangkap/ditahan
(pemeriksaan pendahuluan) berhak untuk dibantu oleh pembela atau penasihat
hukum, cara bagaimana pelaksanaannya masih harus diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Selama undang-undang yang baru ini belum dibuat, maka yang
berlaku masih tetap peraturan yang ditentukan dalam H.I.R.
Pasal 83i
Jika menurut
timbangan jaksa perkara itu sudah cukup diperiksa dan masuk pemeriksaan
pengadilan negeri, maka sekalian surat diserahkannya kepada ketua pengadilan
negeri yang dianggapnya berhak dan dalam hal dituntut supaya perkara itu
diperiksa dalam sidang pengadilan dengan menerangkan seksama-seksamanya atau
menunjukkan perbuatan-perbuatan tentang mana diminta supaya yang tertuduh
dituntut.
Penjelasan:
Tentang
Pengadilan Negeri yang berkuasa mengadili silahkan periksa catatan pada pasal
252.
Pasal 83j
Sewaktu
memajukan tuntutan yang dimaksud dalam pasal yang lalu maka jaksa dapat juga
menuntut supaya si tertuduh ditangkap atau ditahan dalam penjara.
Kalau si
tertuduh berada dalam tahanan karena pasal-pasal 62, 75 dan 83c reglemen ini,
pada waktu tuntutan itu diserahkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri yang
berhubung dengan perbuatan-perbuatan yang ada tersebut di dalamnya, maka ia
tetap tinggal dalam tahanan sampai ketua pengadilan negeri mengambil keputusan
tentang tuntutan itu.
Dalam pada
itu selama jaksa belum memasukkan tuntutannya, ia senantiasa berkuasa untuk
menyuruh memerdekakan si tertuduh yang ditahan buat sementara atau yang ditahan
dalam penjara, jika penahanan buat sementara atau penahanan dalam penjara
dianggap tidak perlu lagi. Akan tetapi ia wajib mencabut perintah-perintah yang
ada dalam perkara itu untuk menahan buat sementara, untuk menangkap, atau untuk
menahan dalam penjara, jika pada waktu mengirimkan surat-surat yang tersebut di
atas itu tidak dituntutnya supaya orang itu ditahan dalam penjara.
Penjelasan:
Sebagaimana
telah diterangkan dalam penjelasan pada pasal-pasal 60, 72, 75 dan 83 c, maka
penahanan itu yang mula-mula dilakukan oleh Jaksa Pembantu dengan surat
perintah penahanan model A, kemudian, dapat disambung dengan penahanan dengan
surat perintah model S.I. oleh Jaksa kemudian atas tuntutan Jaksa dapat
disambung lagi tiap-tiap kali dengan 30 hari dengan surat perintah model S.VI
oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Menurut
pasal 83 j maka jikalau pemeriksaan pendahuluan sudah selesai dikerjakan dan
menurut pendapat Jaksa pemeriksaannya sudah cukup baik serta masuk kekuasaan
Pengadilan Negeri, maka berkas perkara kemudian oleh Jaksa disampaikan kepada
Ketua Pengadilan Negeri dengan surat tuntutan agar supaya perkara itu diperiksa
dalam sidang pengadilan. Bersama surat ini Jaksa dapat pula memajukan tuntutan
agar supaya tersangka yang sudah berada di dalam tahanan, tetap ditahan.
Lamanya penahanan ini tergantung dari pertimbangan dan pendapat Ketua
Pengadilan Negeri. Tiap-tiap kali perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan
Negeri lamanya 30 hari (surat perintah model S.VI) sampai perkara itu dapat
diputus.
Pasal 83k
(1)
Dalam hal-hal yang dimaksud dalam pasal 83f ayat 1 sub 2e dan
pasal 335, menyimpang sekedar dari apa yang ditetapkan dalam pasal 83j, jaksa
akan membawa selekas-lekasnya dengan langsung perkara itu ke hadapan hakim yang
berhak, kecuali pada hal yang ditentukan dalam ayat ke-4 pasal ini.
(2)
Jaksa dapat dengan langsung, bilamana perlu, meminta keterangan
yang lebih lanjut dari pegawai yang melakukan pemeriksaan sementara.
(3)
Kalau si tertuduh berada dalam tahanan, dan perkara itu tidak
dapat dibawa ke hadapan hakim sebelum lewat waktu yang tersebut dalam pasal 72
ayat 1, atau tidak dapat dibawa ke hadapannya selambat-lambatnya dalam delapan
hari sesudah si tertuduh didengar oleh jaksa, yaitu dalam hal yang tersebut
dalam pasal 83f ayat 5, maka dengan mengingat peraturan dalam pasal 83c ayat 1,
jaksa itu hendaklah memutuskan, teruskah ditahan si tertuduh itu dalam penjara
atau tidakkah.
(4)
Tentang perkara yang dikirimkan oleh jaksa pembantu kepada jaksa
menurut aturan yang ditentukan dalam pasal 83f, maka jaksa berhak untuk
memutuskan:
a.
bahwa tidak ada alasan untuk menuntut si tertuduh: dalam hal ini,
kalau si tertuduh ditahan, hendaklah ia dimerdekakan, dengan tidak bertangguh
lagi;
b.
bahwa perkara itu tidak dapat dimajukan sumir; dalam hal ini
surat-surat dikirimkan kepada jaksa pembantu untuk menyempurnakan pemeriksaan,
kecuali kalau jaksa mempunyai alasan akan menyudahi sendiri pemeriksaan
sementara itu.
Penjelasan:
1.
Menurut ayat (1) pasal ini maka jika perkaranya itu sifatnya
sederhana baik mengenai penyelenggaraan hukum maupun pembuktiannya lagi pula
tidak akan dijatuhi pidana utama Lebih dari satu tahun penjara, dan dapat
diperiksa secara sumir, Jaksa dengan selekas-lekasnya membawa perkara itu ke
hadapan hakim yang berhak, sehingga prosedur ini menyimpang dengan apa yang
ditetapkan dalam pasal 83 i, yaitu prosedur biasa, artinya pengajuan perkara ke
pengadilan dengan memakai surat tuntutan atau surat penyerahan perkara.
2.
Ayat (2) pasal ini menentukan, bahwa apabila diperlukan oleh Jaksa
guna memastikan tindakan apa yang harus dilakukan lebih lanjut, Jaksa dengan
langsung dapat meminta keterangan dari pegawai yang melakukan pemeriksaan
pendahuluan.
3.
Di dalam pasal 83 f disebutkan ketentuan-ketentuan tentang cara
mengajukan perkara sumir Ayat (4) dari pasal 83 k ini menentukan selanjutnya
bahwa terhadap perkara sumir yang diajukan oleh Jaksa Pembantu itu Jaksa
berwenang memutuskan:
1)
bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk menuntut tersangka; dalam
hal ini jika tersangka berada dalam tahanan, harus dengan segera dibebaskan;
2)
bahwa perkara itu tidak dapat diajukan secara sumir; dalam hal ini
berkas perkaranya dikirimkan kembali kepada Jaksa Pembantu, untuk menyelesaikan
berkas perkara itu secara prosedur biasa, kecuali kalau Jaksa sanggup akan
menyelesaikan sendiri.
Lain halnya apabila Jaksa berpendapat bahwa
perkara itu dapat diperiksa secara sumir seperti yang dimaksud dalam pasal 83 f
(1) sub 2 dan pasal 335, maka Jaksa dapat membawa perkara itu langsung
kehadapan hakim yang berwajib.
Pasal 83l
Ditiadakan
oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).
(seperti di
atas).
(seperti di
atas).
Jika perkara
itu dapat diadili pada hari itu juga, maka si tertuduh, jika ia ditahan buat
sementara atau ditahan dalam penjara, hendaklah dimerdekakan dengan segera,
dengan perintah supaya ia datang pada hari yang ditentukan atau pada hari yang
akan diberitahukan kelak.
Pasal 83m
Bila nyata
pada jaksa, bahwa hal-hal yang diberatkan kepada si tertuduh tidak cukup untuk
menuntutnya, atau perbuatan yang diberatkan kepadanya itu tidak dapat dituntut
menurut, hukum, sebab tidak betul hal itu suatu kejahatan atau pelanggaran,
maka jaksa hendaklah dengan segera menyuruh melepaskan si tertuduh.
Pasal 83n
(Ditiadakan
oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).
BAB KETUJUH
TENTANG
PENGADILAN DISTRIK
(Seluruhnya
dari pasal 84 s/d pasal 99 ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).
BAB
KEDELAPAN
TENTANG
PENGADILAN KABUPATEN
(Seluruhnya
dari pasal 100 s/d pasal 114 ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor
1/1951).
BAR
KESEMBILAN
PERIHAL
MENGADILI PERKARA PERDATA YANG HARUS DIPERIKSA OLEH PENGADILAN NEGERI
Bagian
Pertama
TENTANG
PEMERIKSAAN PERKARA DI DALAM PERSIDANGAN
(Pasal 115
s/d pasal 117 ditiadakan oleh undang-undang darurat Nomor 1/1951).
Pasal 118
(1)
Gugatan perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan
pengadilan Negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani
oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau jika tidak diketahui
tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
(2)
Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di
dalam itu dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah
seorang dari tergugat itu, yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugat-tergugat
satu sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung, maka
penggugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat orang yang
berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang utama itu, kecuali
dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasal 6 dari reglemen tentang aturan
hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman (R.O.).
(3)
Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat
tinggal sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka
surat gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal
penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu
tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan
negeri di daerah hukum siapa terletak barang itu.
(4)
Bila dengan surat syah dipilih dan ditentukan suatu tempat
berkedudukan, maka penggugat, jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu
kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat
kedudukan yang dipilih itu.
Penjelasan:
1.
Bab kesembilan H.I.R. berisi perihal mengadili "perkara
perdata" yang harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Di sini kami anggap
berfaedah untuk sekedar memberi keterangan tentang pengertian
"hukum perdata". Hukum perdata yang
juga disebut hukum sipil itu dibagi atas: 1. hukum perdata material dan 2.
hukum perdata formal. Yang dinamakan "hukum perdata material" yaitu
kumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan-perhubungan antara
orang-orang atau badan-badan hukum satu sama lain, yang timbul dari perhubungan
pergaulan masyarakat, seperti misalnya peraturan-peraturan tentang jual beli,
sewa-menyewa, gadai, perseroan dagang, tentang kawin dan perceraian dan lain
sebagainya.
Hukum perdata material ini terutama tercantum
dalam Kitab,Undang-undang Hukum Sipil, Kitab Undang-undang Hukum Perniagaan dan
dalam Hukum Adat yang tidak tertulis.
Yang disebut "Hukum perdata formal"
yaitu kumpulan peraturan-peraturan hukum yang menetapkan cara memelihara hukum
perdata material karena pelanggaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul
dari hukum perdata material itu, atau dengan perkataan lain kumpulan
peraturan-peraturan hukum yang menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi
pada melangsungkan persengketaan di muka Hakim Perdata, supaya memperoleh suatu
keputusan dari padanya, dan selanjutnya yang menentukan cara pelaksanaan
putusan Hakim itu.
Hukum Perdata formal itu menurut Pasal 6
Undang-undang Darurat Nomor 1/1951 tersebut untuk daerah Jawa dan Madura
tercantum dalam H.I.R., sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura tercantum
dalam "Rechtsreglement Buitengewesten".
2.
Menurut pasal 118 ini maka pendahuluan akan' pemeriksaan perkara
perdata oleh Pengadilan Negeri adalah pemasukan surat permohonan yang harus
ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya. Dalam pasal ini tidak ada
ketentuan tentang bentuk dan isi surat permintaan itu. Menurut lazimnya surat
permohonan itu dinamakan "introductief rekest" yang biasanya berisi
nama-nama dan tempat tinggal kedua pihak yang bersengketa (penggugat dan
tergugat), apa yang digugat dan alasan-alasan dari gugatan itu.
Surat permohonan itu, sesudah diterima dan
setelah penggugat membayar biaya administrasi dan ongkos pemanggilan dan
pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya materai, yang harus dibayar oleh
penggugat, dicatat dalam daftar perkara perdata oleh Panitera.
Ketua Pengadilan Negeri menetapkan hari
persidangan pengadilan dengan perintah untuk memanggil ke dua pihak untuk
datang menghadap di persidangan itu. Bersamaan dengan pemanggilan itu salinan
surat permintaan atau surat gugatan (introductief rekest) diserahkan kepada
tergugat, dengan •pemberitahuan, bahwa ia, jika dikehendakinya, dapat menjawab
dengan surat (periksa pasal 121).
3.
Menurut pasal 120 maka apabila penggugat itu buta huruf, gugatan
dapat diajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang akan mencatat
atau menyuruh mencatatnya.
Siapakah yang sebenarnya dapat berperkara di
muka pengadilan itu? Dapat dikatakan semua orang dan badan hukum, kecuali
mereka yang belum dewasa dan yang berada di bawah pengampunan; mereka ini harus
diwakili oleh wakil atau walinya.
Pasal 119
Ketua
pengadilan negeri berkuasa memberi nasihat dan pertolongan kepada penggugat
atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan surat gugatnya.
Penjelasan:
Peraturan
ini adalah amat berguna bagi orang-orang yang mencari keadilan, yang biasanya
tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum umumnya dan tidak tahu akan
pemeriksaan perkara perdata khususnya, lagi pula tidak mampu untuk membayar
pertolongan seorang penasihat hukum. Peraturan ini sebenarnya bertentangan
dengan larangan umum bagi Hakim dalam perkara yang telah diserahkan kepada
pengadilannya, atau yang dapat diduganya akan diajukan kepadanya, dengan
langsung atau tidak langsung, untuk memberi nasihat atau pertolongan kepada
pihak-pihak yang berperkara atau pengacaranya, akan tetapi ternyata sesuai
benar dengan jiwa Undang-undang Pokok Kehakiman (UU Nomor 14/1970) pasal 5 ayat
(2) yang mengatakan bahwa dalam perkara, Pengadilan membantu para pencari
keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dari rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 120
Bilamana
penggugat buta huruf, maka surat gugatnya yang dapat dimasukkannya dengan lisan
kepada ketua pengadilan negeri, yang mencatat gugat itu atau menyuruh
mencatatnya.
Penjelasan:
Peraturan
ini amat menolong dan berguna sekali bagi orang-orang pencari keadilan yang
pengetahuannya masih sederhana dan tidak mampu untuk membuat dan menuliskan
surat gugatan. Gugatannya dapat,diajukan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang akan membuatkan gugatan itu, atau menyuruh membuatkannya.
Ketentuan
ini sesuai dengan kehendak penyusunnya, Jhr.Mr.H.L. Wichers, yang menghendaki
agar pemeriksaan perkara perdata di muka pengadilan untuk bangsa Indonesia yang
di waktu itu tahap pengetahuannya masih amat bersahaja, diatur secara praktis,
mudah dan tidak memakan banyak ongkos. Dengan amat kebetulan sesuai pula dengan
jiwa Undang-undang Pokok Kehakiman (UU No. 14/1970) pasal 4 ayat (2) yang
menentukan bahwa peradilan harus dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan.
Pasal 120a
(Ditiadakan
oleh undang-undang darurat No. 1/1951).
Pasal 121
Sesudah
surat gugat yang dimasukkan itu atau catatan yang diperbuat itu dituliskan oleh
panitera dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari,
dan jamnya perkara itu akan diperiksa di muka pengadilan negeri, dan ia
memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada waktu itu, disertai
oleh saksi-saksi yang dikehendakinya untuk diperiksa, dan dengan membawa segala
surat-surat keterangan yang hendak dipergunakan.
Ketika
memanggil tergugat, maka beserta itu diserahkan juga sehelai salinan surat
gugat dengan memberitahukan bahwa ia, kalau mau, dapat menjawab surat gugat itu
dengan surat.
Ketetapan
yang dimaksud dalam ayat pertama dari pasal ini dicatat dalam daftar yang
tersebut dalam ayat itu, demikian juga pada surat gugat asli.
Memasukkan
ke dalam daftar seperti di d~lam ayat pertama, tidak dilakukan, kalau belum
dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah uang yang akan diperhitungkan
kelak yang banyaknya buat sementara ditaksir oleh ketua pengadilan negeri
menurut keadaan untuk bea kantor kepaniteraan dan ongkos melakukan segala
panggilan serta pemberitahuan yang diwajibkan kepada kedua belah pihak dan
harga meterai yang akan dipakai.
Penjelasan:
Surat
gugatan yang dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri, sesudahnya diterima
dan penggugat membayar semua biaya administrasi dan ongkos pemanggilan serta
pemberitahuan kepada kedua pihak dan biaya meterai yang harus dibayar oleh
penggugat (lihat ayat (4) pasal ini) dicatat dalam daftar perkara perdata oleh
Panitera.
Ketua
Pengadilan Negeri menetapkan hari dan jam persidangan pengadilan dengan
perintah untuk memanggil kedua belah pihak untuk datang di persidangan.
Bersamaan dengan pemanggilan ini sehelai salinan surat gugatan diserahkan
kepada tergugat, dengan pemberi tahuan, bahwa ia jika dikehendakinya dapat
menjawab dengan surat. Surat jawaban ini mungkin akan berisi tangkisan yang
bersifat:
Tangkisan
prinsipal yaitu tergugat membantah kebenaran hal-hal yang dikemukakan oleh
penggugat dalam surat gugatannya, atau
Tangkisan
eksepsi, yaitu tergugat tidak membantah secara Langsung isi surat gugatannya,
yaitu menolak gugatannya dengan jalan mengatakan, bahwa dengan alasan-alasan
tertentu pengadilan tidak berwenang untuk mengadili perkaranya secara relatif,
artinya yang berhubungan dengan wewenang hakim yang berhubungan dengan daerah
hukumnya, bukan yang secara absolut, wewenang yang berhubungan dengan sifat
perkaranya.
Bagi
penggugat yang buta huruf ada ketentuan dalam pasal 120 untuk memaukan
gugatannya dengan lisan, akan tetapi bagi tergugat tidak ada ketentuan boleh
menjawab surat gugatan dengan lisan, malahan menurut ayat (2) pasal 121, kalau
mau ia boleh menjawab gugatan itu, tetapi dengan surat.
Pasal 122
Ketika
menentukan hari persidangan, ketua menimbang jarak antara tempat diam atau
tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat pengadilan negeri bersidang dan
kecuali dalam hal perlu benar perkara itu dengan segera diperiksa, dan hal ini
disebutkan dalam surat perintah, maka tempo antara hari pemanggilan kedua belah
pihak dari hari persidangan tidak boleh kurang dari tiga hari kerja.
Penjelasan:
Mengetahui
dekat jauhnya jarak dari tempat kediaman kedua belah pihak sampai tempat
persidangan itu perlu untuk menentukan lamanya waktu antara saat pemanggilan
dan saat mulai bersidang.
Kalau
jaraknya dekat, waktunya pendek, kalau jaraknya jauh, waktunya juga lama; akan
tetapi tempuh antara hari pemanggilan ke dua belah pihak itu dari hari
bersidang paling sedikit tiga hari kerja.
Pasal 123
(1)
Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau
diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa
teristimewa, kecuali kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat
dapat juga memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditandatanganinya dan
dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan
lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus
disebutkan dalam catatan yang dibuat surat gugat ini.
(2)
Pegawai yang karena peraturan umum, menjalankan perkara untuk
Indonesia sebagai wakil negeri, tidak perlu memakai surat kuasa yang
teristimewa yang sedemikian itu.
(3)
Pengadilan Negeri berkuasa memberi perintah, supaya kedua belah
pihak, yang diwakili oleh kuasanya pada persidangan, datang menghadap sendiri.
Kuasa itu tidak berlaku buat Presiden.
Penjelasan:
1.
Kuasa yang boleh mewakili sebagaimana tersebut dalam pasal ini ada
dua macam, yaitu yang biasa disebut "Kuala umum" dan kuasa
khusus". Kuasa umum yaitu kuasa yang telah ditunjuk di dalam surat gugatan
(pasal 118) atau pada waktu mengajukan gugatan lisan (pasal 120), sedangkan
yang dimaksud kuasa khusus yaitu orang yang dengan surat kuasa tersendiri
(khusus) dikuasakan untuk mewakili berperkara.
2.
Prinsip acara berperkara menurut H.I.R. dalam hal ini memang
berlainan dengan prinsip acara berperkara menurut "Reglemaiit op de Burgerlijke
Rechtsvordering" yang berlaku bagi orang barat di zaman Hindia Belanda
dahulu. Kalau menurut H.I.R. ke dua belah dimaksudkan supaya menghadap sendiri
(kalau dikehendaki barulah .kedua belah pihak boleh diwakili oleh kuasa ), maka
menurut "reglement" yang lain itu kedua belah pihak yang berperkara
senantiasa diharuskan menggunakan bantuan seorang pengacara yang biasa disebut
"procureur", kalau mereka datang tanpa "procureur",
dianggap tidak datang.
3.
Pegawai Negeri yang menjalankan perkara untuk Indonesia sebagai
wakil Negara menurut Staatsblad 1922 Nomor 522 yang diubah dengan Staatsblad
1941 Nomor 31 jo Nomor 98 untuk Pengadilan Negeri adalah Opsir justisi pada
Pengadilan Negeri itu. Dengan keluarnya Undang-Undang Darurat Nomor 1/1951
pegawai itu adalah Jaksa Kepala atau Jaksa.
Pasal 124
Jika
penggugat tidak datang menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan
itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula menyuruh orang lain
menghadap mewakilinya, maka surat gugatnya dianggap gugur dan penggugat dihukum
biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi,
sesudah membayar lebih dahulu biaya perkara yang tersebut tadi.
Penjelasan:
Kalau
penggugat tidak hadir pada hari persidangan, baik sendiri maupun kuasanya,
sedangkan ternyata bahwa ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatannya
dianggap gugur, artinya tidak berlaku lagi, dan bersamaan dengan itu ia dihukum
untuk membayar ongkos perkaranya.
Setelah itu
sudah barang tentu ia berwenang untuk mengajukan gugatannya, lagi sesudah
membayar lebih dahulu membayar biaya yang diwajibkan.
Pasal 125
Jika
tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula
menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut,
maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata
kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak
beralasan.
Akan tetapi
jika tergugat, di dalam surat jawabannya yang tersebut pada pasal 121,
mengemukakan perlawanan (exceptie) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa
memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, ketua
pengadilan Negeri wajib memberi keputusan tentang perlawanan itu, sesudah
didengarnya penggugat dan hanya jika perlawanan itu tidak diterima, maka ketua
pengadilan negeri memutuskan tentang perkara itu.
Jika surat
gugat diterima, maka atas perintah ketua diberitahukanlah keputusan pengadilan
negeri kepada orang yang dikalahkan itu serta menerangkan pula kepadanya, bahwa
ia berhak memajukan perlawanan (verzet) di dalam tempo dan dengan cara yang
ditentukan pada pasal 129 tentang keputusan itu di muka pengadilan itu juga.
Panitera mencatat
di bawah surat putusan itu kepada siapakah dulunya diperintahkan menjalankan
pekerjaan itu dan apakah yang diterangkan orang itu tentang hal itu, baik
dengan surat maupun dengan lisan.
Penjelasan
Kalau yang
tidak datang menghadap di persidangan itu penggugat, gugatan akan diperlakukan
seperti yang tersebut dalam pasal 124, akan tetapi apabila yang tidak datang
pada hari perkara itu tergugat, lagi pula ia tidak pula mewakilkan kepada
kuasanya untuk menghadap, meskipun ia sudah dipanggil dengan patut, maka
tuntutan dalam surat gugatan itu diterima dengan putusan "verstek"
atau "in absensia", yang artinya putusan tak hadir, kecuali jika
nyata pada pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak
beralasan. Putusan hakim yang dijatuhkan dengan putusan tak hadir ini menurut
ketentuan yang tersebut dalam pasal 128 tidak boleh dijalankan sebelum lewat
empat belas hari sesudah diberitahukan, kecuali dalam hal yang perlu, yaitu
atas desakan orang yang menggugat.
Dalam hal
ini jikalau ternyata, bahwa tergugat sebelumnya telah mengajukan suatu eksepsi
sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pada pasal 121, maka meskipun
tergugat atau wakilnya tidak datang menghadap di sidang pengadilan, Ketua
Pengadilan Negeri diwajibkan memeriksa dahulu kebenarannya eksepsi itu dan
memberikan keputusannya, setelah itu barulah memulai memeriksa pokok
perkaranya.
Eksepsi yang dimaksud dalam ayat (2) pasal
125 ini ialah yang ditujukan kepada tidak berwewenangnya pengadilan buat
memeriksa perkaranya secara relatif, maksudnya wewenang yang berhubungan dengan
daerah hukumnya, bukan wewenang secara absolut, yaitu wewenang yang tergantung
pada sifat perkaranya.
Pasal 126
Di dalam hal
yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan negeri dapat, sebelum
menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil
buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari persidangan lain, yang
diberitahukan oleh ketua. di dalam persidangan kepada pihak yang datang, bagi
siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan.
Penjelasan:
Kedua pasal
yang tersebut di atas, yaitu pasal 124 dan pasal 125, masing-masing mengatur
apa yang harus dilakukan, apabila penggugat, ataupun tergugat, walaupun sudah
dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap persidangan, juga tidak menyuruh
orang lain sebagai wakilnya. Terhadap penggugat gugatannya dianggap gugur,
sedangkan bagi tergugat yang tidak datang itu dikalahkan perkaranya dengan
putusan verstek.
Pasal 126
ini memberikan suatu kelonggaran, yaitu dalam hal-hal tersebut dalam
pasal-pasal 124 dan 125 hakim tidak wajib segera mengambil keputusan seperti
tersebut di atas itu, akan tetapi dapat memerintahkan agar supaya pihak yang
tidak datang itu dipanggil sekali lagi supaya menghadap. Apabila pada panggilan
yang ke dua kali ini juga mereka itu tetap tidak menghadap atau menyuruh
wakilnya untuk menghadap, maka barulah diambil keputusan seperti yang tersebut
dalam pasal-pasal 124 dan 125 di atas.
Ketentuan
dalam pasal 126 ini seakan-akan memberi peringatan agar hakim jangan sampai
bertindak dengan tergesa-gesa. Mudah dimengerti misalnya kemungkinan tetap ada,
bahwa pemanggilan untuk menghadap, walaupun barangkali secara formil telah
disampaikan dengan patut, akan tetapi m,angkin sesungguhnya orang yang
dipanggil itu tidak mengetahui tentang pemanggilan itu. Ini bukan hal yang
mustahil, oleh karena menurut ketentuan surat panggilan itu dijalankan oleh
juru sita. la tidak bertemu sendiri dengan orang yang dipanggil, akan tetapi
menyerahkan panggilan itu kepada kepala desa dan kepala desa itu lalai untuk
menyampaikannya, lebih-lebih kalau diingat, bahwa karena banyaknya pekerjaan di
balai desa itu biasanya semrawut.
Pasal 127
Jika seorang
atau lebih dari tergugat tidak datang atau tidak menyuruh orang lain menghadap
mewakilinya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai pada hari
persidangan lain, yang paling dekat. Hal mengundurkan itu diberi tahukan pada
waktu persidangan kepada pihak yang hadir, bagi mereka pemberitahuan itu sama
dengan panggilan, sedang tergugat yang tidak datang, disuruh panggil oleh ketua
sekali lagi menghadap hari persidangan yang lain. Ketika itu perkara diperiksa,
dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dalam satu keputusan, atas mana
tidak diperkenankan perlawanan (verzet).
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan apa yang harus dilakukan, apabila tergugat tidak semuanya datang
menghadap atau tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai kuasanya. Dalam hal
ini hari sidang pemeriksaan perkara diundurkan sampai pada hari persidangan
yang lain yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, waktu pengunduran mana
tidak boleh terlalu lama. Pengunduran ini diberitahukan dalam persidangan dan
bagi para yang hadir pada waktu itu pemberitahuan ini berlaku sebagai
panggilan, sedangkan bagi yang tidak hadir, oleh Ketua Pengadilan Negeri
diperintahkan supaya dipanggil. Dalam sidang yang akan datang itu diputuskan
perkaranya bagi semua tergugat sekaligus, baik bagi yang datang maupun tidak.
Atas keputusan hakim ini tidak diperkenankan mengajukan perlawanan.
Pasal 128
(1)
Putusan yang dijatuhkan sedang pihak yang dilakukan tak hadir
(verstek), tidak dapat dijalankan sebelum lewat empat belas hari sesudah
pemberitahuan, yang dimaksud pada pasal 125.
(2)
Jika sangat perlu, maka putusan itu dapat diperintahkan supaya
dijalankan sebelum lewat tempo itu, baik dalam putusan atau oleh ketua sesudah
dijatuhkan keputusan, atas permintaan penggugat baik dengan lisan maupun dengan
surat.
Penjelasan:
Dalam pasal
ini ditentukan, bahwa keputusan verstek hakim itu tidak boleh dieksekusi
sebelum lewat waktu empat betas had sesudah pemberitahuan Ketua Pengadilan
Negeri kepada yang dikalahkan sebagaimana yang tercantum dalam ayat (3) pasal
125. Walaupun demikian jika oleh Ketua Pengadilan Negeri dianggap perlu,
keputusan tersebut boleh juga dilakukan dalam tempuh kurang dari 14 hari itu,
atas permintaan orang yang menggugat secara lisan maupun secara tertulis.
Ketentuan melakukan keputusan dalam tempuh yang kurang dari 14 hari ini dapat
disebutkan sama sekali dalam putusan hakim itu juga, maupun dengan perintah
tersendiri yang dikeluarkan sesudah dijatuhkan keputusan.
Pasal 129
Tergugat,
yang dihukum sedang ia tak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu,
dapat memajukan perlawanan atas keputusan itu.
Jika putusan
itu diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat
diterima dalam tempo empat belas hari sesudah pemberitahuan itu. Jika putusan
itu tidak diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu
dapat diterima sampai hari kedelapan sesudah peringatan yang tersebut pada
pasal 196, atau dalam hal tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut,
sampai hari kedelapan sesudah dijalankan keputusan surat perintah kedua, yang
tersebut pada pasal 197.
Surat
perlawanan itu dimasukkan dan diperiksa dengan cara yang biasa, yang diatur
untuk perkara perdata.
Memajukan
surat perlawanan kepada ketua pengadilan negeri menahan pekerjaan, menjalankan
keputusan, kecuali jika diperintahkan untuk menjalankan keputusan walaupun ada
perlawanan (verzet).
Jika yang
melawan (opposant), yang buat kedua kalinya dijatuhi putusan sedang ia tak
hadir, meminta perlawanan lagi, maka perlawanan itu tidak dapat diterima.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini tergugat yang dikalahkan dengan verstek dan tidak menerima putusan
itu, berhak untuk mengajukan perlawanan atas keputusan itu. Adapun batas waktu
untuk mengajukan perlawanan itu ditentukan sebagai berikut:
apabila
keputusan verstek itu oleh hakim sendiri diberitahukan kepada orang yang kalah,
maka tempuhnya dalam 14 hari sesudah pemberitahuan itu, atau.
apabila
keputusan itu tidak diberitahukan oleh hakim sendiri, maka tempuhnya sampai
hari ke 8 sesudah teguran yang tersebut dalam pasal 196, yaitu sesudah Ketua
Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dan menasehati supaya ia memenuhi
keputusan itu atau.
apabila ia
tidak datang sesudah dipanggil dengan patut, tempuhnya sampai hari ke 8 sesudah
dijalankan surat perintah Ketua Pengadilan Negeri yang tersebut pada pasal 197,
yaitu surat perintah supaya disita sekian barang-barang milik pihak yang kalah,
sehingga dirasa cukup untuk membayar sejumlah uang yang tersebut dalam
keputusan itu serta biaya menjalankan keputusan.
Menurut ayat
(3) pasal ini cara memasukkan dan memeriksa tuntutan perlawanan terhadap
putusan verstek itu dilakukan dengan cara yang sama seperti memasukkan dan
memeriksa perkara biasa.
Apabila
tuntutan perlawanan terhadap putusan verstek telah dimasukkan ke Pengadilan
Negeri, maka eksekusi keputusan tersebut tidak dijalankan, kecuali jika hakim
dengan khusus memerintahkan untuk melakukannya (lihat ayat (4) pasal ini).
Adapun atas keputusan verstek ke dua kalinya terhadap tergugat perlawanannya
tidak akan diterima, artinya keputusan itu tidak dapat dilawan lagi.
Pasal 130
Jika pada
hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri
dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.
Jika
perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang,
diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum
akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan
akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.
Keputusan
yang sedemikian tidak diizinkan dibanding.
Jika pada
waktu mencoba akan memperdamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru
bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini apabila pada hari yang ditentukan ke dua belah pihak datang menghadap
di persidangan, baik mereka sendiri atau pun kuasa mereka, maka Hakim berusaha
untuk mendamaikan lebih dahulu ke dua pihak itu. Apabila usaha ini berhasil,
maka di persidangan lalu dibuat suatu Akte persetujuan. Diputuskan bahwa ke dua
belah pihak harus memenuhi persetujuan itu. Kekuatan akte ini sama dengan
kekuatan suatu keputusan Hakim biasa dan dijalankan pula seperti keputusan
biasa, akan tetapi putusan semacam itu tidak boleh dimintakan banding atau
kasasi.
Apabila
perlu dipergunakan juru bahasa, dapat dipakai peraturan dalam pasal 131.
Pasal 131
Jika kedua
belah pihak menghadap, akan tetapi tidak dapat diperdamaikan (hal ini mesti
disebutkan dalam pemberitaan pemeriksaan, maka surat yang dimasukkan oleh
pihak-pihak dibacakan, dan jika salah satu pihak tidak paham bahasa yang
dipakai dalam surat itu diterjemahkan oleh juru bahasa yang ditunjuk oleh ketua
dalam bahasa dan kedua belah pihak.
Sesudah itu
maka penggugat dan tergugat didengar kalau perlu dengan memakai seorang juru
bahasa.
Juru bahasa
itu, jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang sudah disumpah, harus
disumpahkan di hadapan ketua, bahwa ia akan menterjemahkan dengan Lulus dan
ikhlas apa yang harus diterjemahkan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain.
Ayat ketiga
dari pasal 154 berlaku bagi juru bahasa.
Penjelasan:
Apabila
perdamaian yang diusahakan berdasarkan ketentuan dalam pasal 130 tidak dapat
tercapai, artinya ke dua belah pihak tidak dapat didamaikan, maka pertama-tama
surat gugatan harus dibacakan Sesudah itu Hakim memberi kesempatan kepada
tergugat untuk menjawab gugatan itu. Tidak hanya tergugat, akan tetapi penggugat
pun di dengar keterangannya. Dalam hal ini apabila perlu dapat digunakan juru
bahasa. Kalau dipakai juru bahasa dari luar Pengadilan Negeri, yang belum
disumpah, maka ia harus disumpah terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Negeri,
bahwa ia akan menterjemahkan dengan benar apa yang harus diterjemahkan dari
suatu bahasa ke bahasa yang lain.
Dalam hal
ini biasanya tergugat, kecuali kalau ia mengakui gugatan itu sepenuhnya, mulai
dengan mengajukan eksepsi atau tangkisan, misalnya tangkisan bahwa Hakim tidak
berkuasa mengadili perkara itu, artinya tidak mempunyai kekuasaan relatif
maupun absolut, dan lalu mengajukan jawabannya atas pokok gugatan, jika dan
perlu mengajukan gugatan melawan atau gugatan balasan (gugatan reconventie)
terhadap penggugat, gugatan mana harus diperiksa dan diputuskan secara yang
sama seperti cara bagi gugatan yang semula. Gugatan melawan ini harus pula
mengandung keterangan tentang apa yang digugat dan alasan-alasan gugatan itu
seperti isi gugatan yang semula (pasal 132 a).
Apabila ternyata bahwa tangkisan itu
beralasan, maka Hakim memutuskan, bahwa ia tidak berkuasa untuk mengadili
perkara itu Apabila tangkisan itu ditolak, maka pemeriksaan perkara itu di
teruskan.
Menurut
bunyi ayat (4) pasal ini maka ketentuan dalam ayat (3) pasal 154 berlaku bagi
juru bahasa, yaitu yang menerangkan bahwa mereka yang tidak dapat didengar
sebagai saksi, tidak dapat diangkat menjadi Juru bahasa.
Pasal 132
Ketua
berhak, pada waktu memeriksa, memberi penerangan kepada kedua belah pihak dan
akan menunjukkan supaya hukum dan keterangan yang mereka dapat dipergunakan
jika ia menganggap perlu, supaya perkara berjalan baik dan teratur.
Penjelasan:
1.
Peraturan ini, sifatnya seperti peraturan dalam pasal 119, pada
hakekatnya bertentangan dengan azas, bahwa bagi Hakim dalam perkara yang telah
berada di tangannya, atau yang dapat diduganya akan diajukan kepadanya, dengan
langsung atau tidak langsung dilarang untuk memberi nasihat atau pertolongan
kepada pihak-pihak yang berperkara atau pengacaranya, akan tetapi amat berguna
bagi kelancaran jalannya pengadilan pada umumnya dan bagi kepentingan ke dua
belah pihak khususnya, dan hal ini sesuai pula dengan jiwa Undang-undang Pokok
Kehakiman (Undang-Undang Nomor 14/1970) pasal 5 ayat (2) yang menentukan bahwa
dalam perkara perdata, Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha
sekeras-kerasnya mengatasi segala rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
2.
Yang dimaksud "upaya hukum" dalam pasal ini, yang dalam
kata aselinya disebut "rechtsmiddel", adalah jalan-jalan menurut
hukum yang dapat ditempuh untuk dapat dicapai suatu keadilan seperti inisalnya
eksepsi terhadap kekuasaan hakim untuk mengadili, perlawanan terhadap putusan
verstek, Bandingan, kasasi dan lain sebagainya. Ini semua adalah upaya hukum
yang biasa. Di samping itu masih ada lagi yang disebut upaya hukum yang luar
biasa. ini tidak disebut dalam H.I.R. akan tetapi baik juga untuk diterangkan
di sini.
Tentang upaya hukum luar biasa ini, menurut
Mr. R. Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R., seperti
berikut:
a.
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet), diatur dalam Buku I.
titel 10 dari Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Raad van Justitie dan
Hooggerechtshof (pasal 378 - 384). Pokoknya, ialah bahwa orang ketiga dapat
memajukan keberatan terhadap sesuatu keputusan yang dapat merugikan haknya,
jikalau baik ia sendiri ataupun yang ia wakili, tidak pernah dipanggil di dalam
perkaranya atau tidak ikut serta sebagai pihak, baik dengan jalan
"voeging" maupun dengan jalan "tusschenkomst".
b.
Rekes - sipil. Diatur dalam Buku I titel XI Reglemen Hukum Acara
Perdata tersebut di atas (pasal 385 - 401). Pokoknya ialah bahwa atas
permohonan orang yang menjadi pokok atau pernah dipanggil, keputusan yang
dijatuhkan dalam persidangan atas perlawanan dan keputusan-keputusan tidak
hadir yang sudah tidak dapat dilawan (verzet) lagi, dapat ditarik kembali di
dalam hal-hal yang tertentu, seperti satu persatu dimuat dalam pasal 385.
c.
"Voeging"dan "tusschenkomst": Ini adalah dua
macam percampuran tangan dari pihak ke tiga di dalam satu perkara, diatur dalam
Buku I, titel II, bagian ke 17 Reglemen Hukum Acara Perdata tersebut di atas
(pasal 297 - 282).
Pasal 297 bunyinya: "Setiap orang yang
berkepentingan di dalam suatu perkara perdata, yang terjadi di antara dua belah
pihak yang lain, dapat menuntut supaya ia diperbolehkan ikut serta atau
mencampuri". Bedanya "voeging" (ikut serta) dan
"tusschenkomst" (mencampuri) ialah seperti berikut:
"Voeging" (ikut serta) =
menempatkan diri di samping salah satu pihak bersama-sama dengan pihak 4ni
menghadapi pihak yang lain. "Tusschenkomst" (mencampuri = menempatkan
diri) di tengah - tengah antara ke dua belah pihak.
d.
"Vrijwaring" (ditarik masuk dalam perkara). Diatur dalam
Buku I, titel I bagian ke lima dari Reglemen Hukum Acara Perdata tersebut di
atas (pasal 70 - 76).
Vrijwaring ini terjadi jikalau dalam suatu
perkara di luar ke dua belah pihak yang ditarik masuk dalam perkara sebagai
pihak ke tiga.
3.
Yang dimaksud "keterangan" yaitu "upaya
keterangan" atau "bukti" (bewijsmiddel) seperti bukti dengan
surat, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah sebagaimana
tersebut dalam pasal 164.
Pasal 132a
Tergugat
berhak dalam tiap-tiap perkara memasukkan gugatan melawan kecuali.
kalau
penggugat memajukan gugatan karena suatu sifat, sedang gugatan melawan itu akan
mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya;
kalau
pengadilan negeri yang memeriksa surat gugat penggugat tidak berhak memeriksa
gugatan melawan itu berhubung dengan pokok perselisihan.
dalam
perkara perselisihan tentang menjalankan keputusan.
Jikalau
dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimajukan gugat melawan, maka dalam
bandingan tidak dapat memajukan gugatan itu.
Penjelasan:
Oleh karena
bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya.
untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan
tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu
bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya. Gugatan melawan ini
dapat diajukan baik secara tertulis, maupun secara lisan (lihat pasal 132 b).
Dengan
diberikannya kesempatan untuk gugat-menggugat ini maka jalannya berperkara
menjadi lebih lancar, oleh karena dua persoalan dapat diperiksa sekaligus.
Pada sub 1,2
dan 3 dari pasal ini disebutkan pengecualiannya, yaitu:
1.
Jikalau penggugat dalam perkara itu bertindak untuk orang atau
badan lain, sedangkan gugatan melawan itu untuk kepentingan pribadi penggugat.
Hal ini memang beralasan, sebab penggugat pertama dengan penggugat melawan di sini
merupakan dua oknum yang satu sama lain tidak ada hubungannya.
2.
Jikalau Pengadilan Negeri yang memeriksa gugatan pertama tidak
mempunyai wewenang guna memeriksa gugatan melawan, seperti misalnya isi gugatan
melawan itu karena sifatnya termasuk kompentensi Pengadilan Agama atau
pengadilan lain yang bukan pengadilan Negeri itu.
3.
Jikalau perkara itu tentang sengketa mengenai eksekusi keputusan
hakim, oleh karena dalam pelaksanaan keputusan hakim itu pada hakekatnya sudah
tidak ada persoalan lagi tentang persengketaan, sebab segala sesuatu oleh hakim
telah diselesaikan, sehingga tidak ada alasan lagi untuk saling bergugatan.
Pasal 132b
(1)
Tergugat wajib memajukan gugatan melawan bersama-sama dengan
jawabannya, baik dengan surat maupun dengan lisan.
(2)
Buat gugatan melawan itu berlaku peraturan dari bagian ini.
(3)
Kedua perkara itu diselesaikan sekaligus dan diputuskan dalam satu
keputusan, kecuali kalau sekiranya pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara
yang pertama dapat lebih dahulu diselesaikan daripada yang kedua, dalam hal
mana demikian dapat dilakukan, tetapi gugatan mula-mula dan gugatan melawan
yang belum diputuskan itu masih tetap diperiksa oleh hakim itu juga, sampai
dijatuhkan keputusan terakhir.
(4)
Bandingan diperbolehkan, jika banyaknya wang dalam gugatan tingkat
pertama ditambah dengan wang dalam gugatan melawan lebih daripada jumlah wang
yang sebanyak-banyaknya yang dapat diputuskan oleh pengadilan negeri sebagai
hakim yang tertinggi.
(5)
Bila kedua perkara itu dibagi-bagi dan keputusan dijatuhkan
berasing-asing, maka haruslah dituruti aturan biasa tentang hak bandingan.
Penjelasan:
Menurut ayat
(1) dan (3) pasal ini gugatan perlawanan diajukan bersama-sama jawaban tergugat
atas gugatannya, baik secara tertulis maupun secara lisan.
Gugatan
pertama dan gugatan perlawanan itu harus diperiksa dan diputus sekali gus dalam
satu surat keputusan. Apabila pengadilan Negeri berpendapat lain, bisa juga;
perkara itu diperiksa dan diputus secara terpisah, akan tetapi yang tidak boleh
diabaikan ialah, bahwa kedua gugatan itu harus senantiasa diselesaikan
pemeriksaannya oleh hakim itu juga sampai dijatuhkan putusan yang terakhir.
Pasal 133
Jika
tergugat dipanggil menghadap pengadilan negeri sedang ia menurut aturan pasal
118 tidak usah menghadap hakim maka ia dapat meminta pada hakim, jika hal ini
dimajukan sebelum sidang pertama, supaya hakim menyatakan bahwa.
ia tidak
berkuasa: surat gugat itu tidak akan diperhatikan lagi, jika tergugat telah
melahirkan sesuatu perlawanan lain.
Penjelasan:
Pasal 133
ini mengatur tentang mengajukan eksepsi tentang tidak berwenangnya hakim untuk
mengadili perkara, secara lisan, sedangkan pasal 125 ayat (2) memuat peraturan
mengenai eksepsi semacam itu secara tertulis.
Eksepsi
secara lisan itu harus diajukan kepada hakim di sidang permulaan.
Pasal 134
Jika
perselisihan itu suatu perkara yang tidak masuk kekuasaan pengadilan negeri,
maka pada setiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, dapat diminta supaya
hakim menyatakan dirinya tidak berkuasa dan hakim pun wajib pula mengakuinya
karena jabatannya.
Penjelasan:
Eksepsi atau
penyangkalan yang disebutkan dalam pasal-pasal 125 dan 133 itu dikenakan kepada
penyangkalan wewenang pengadilan negeri yang bersifat relatif, yaitu wewenang
yang berhubungan dengan daerah hukumnya, sedangkan eksepsi atau penyangkalan
yang disebutkan dalam pasal 134 ini adalah penyangkalan mengenai wewenang
pengadilan negeri yang bersifat absolut, yaitu wewenang yang berhubungan dengan
sifat perkaranya.
Apabila
mengenai wewenang yang bersifat relatif, eksepsi atau penyangkalan itu hanya
dapat diperhatikan, jika eksepsi itu diajukan dengan segera pada sidang
permulaan atau dengan surat jawaban yang dimaksud dalam pasal 121, maka eksepsi
atau penyangkalan wewenang yang bersifat absolut dapat diajukan pada sembarang
waktu dalam pemeriksaan perkara.
Apabila
penyangkalan itu ternyata betul dan beralasan, maka hakim karena jabatannya
wajib mengakui, bahwa ia tidak berwenang.
Pasal 135
Jika tidak
ada pernyataan tidak berkuasa, atau jika ada pernyataan yang ditimbang tidak
beralasan, maka pengadilan negeri, sesudah mendengar kedua belah pihak, akan
dengan segera memeriksa dengan saksama dan adil kebenaran surat gugatan yang
dilawan itu dan syah-nya pembelaan tentang itu.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka hakim barulah mulai dengan teliti dan adil memeriksa kebenaran
surat gugatan yang dilawan atau syah-nya perlawanan tentang perkara itu,
apabila tidak ada perlawanan tentang wewenang hakim untuk mengadili, atau
apabila perlawanan semacam itu ada, akan tetapi ternyata tidak beralasan, sedangkan
ke dua belah p1hak sudah didengar keterangannya. Pada hakekatnya inilah tugas
hakim yang sesungguhnya, ialah memberi keputusan di dalam persengketaan yang
diajukan kepadanya.
Pasal 135a
Jika gugatan
itu mengenai perkara pengadilan yang sudah diputus oleh hakim desa, maka
pengadilan-pengadilan negeri meminta diberitahukan padanya tentang keputusan
itu dan sebanyak-banyaknya tentang alasan-alasannya.
Jika gugatan
itu perkara pengadilan yang belum diputus oleh hakim desa, sedang pengadilan
negeri berpendapat perlu keputusan yang sedemikian itu, maka ketua
memberitahukan hal itu pada penggugat sambil menyerahkan selembar surat
keterangan, dan pemeriksaan perkara itu diundurkan sampai persidangan yang akan
datang, yang akan ditentukan oleh ketua, jika perlu oleh karena jabatannya.
Jika hakim
desa telah menjatuhkan keputusan, maka penggugat memberitahukan isi keputusan
itu pada pengadilan negeri, kalau dapat dengan menunjukkan salinannya, jika ia
menghendaki perkara itu dilanjutkan sesudah itu maka pemeriksaan perkara itu
dilanjutkan.
Jika Hakim
desa belum juga menjatuhkan keputusan, sesudah dua bulan penggugat memajukan
perkaranya kepadanya,. maka atas permintaan penggugat untuk itu, pemeriksaan
perkara itu diulangi pengadilan negeri.
Kalau
penggugat tidak dapat dengan cukup menjelaskan alasan-alasan yang dapat
diterima menurut pendapat hakim yang menyebabkan hakim desa tidak mau
menjatuhkan keputusan, maka oleh karena jabatannya hakim harus meyakinkan
keadaan itu.
Jika
ternyata bahwa penggugat tidak memajukan perkara itu pada hakim desa, maka
gugatannya itu dipandang gugur.
Penjelasan:
"Hakim
desa" yang dimaksud dalam pasal ini ialah suatu macam hakim atau
pengadilan menurut hukum adat guna mendamaikan persengketaan-persengketaan,
perselisihan-perselisihan dan pertikaian-pertikaian yang timbul di antara
penduduk desa, seperti pertikaian tentang pembagian air, mengenai pemakaian
tanah, penggembalaan ternak dan segala sesuatu yang mengenai adat kebiasaan di
desa dan peri kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan desa itu.
Hakim desa itu tidak pernah dan memang
dilarang untuk menjatuhkan pidana seperti yang dimaksud dalam pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Pada umumnya keputusan hakim desa itu mengandung
sifat mendamaikan dan lazimnya orang tunduk kepada keputusan hakim desa itu
berkat rasa solidaritas sebagai sama-sama warga desa. Mereka itu tidak dipaksa
untuk tunduk pada keputusan itu dan tidak dihalang-halangi apabila mereka
menghendaki keputusan hakim-hakim negara yang dibentuk dengan undang-undang.
Apabila
Ketua Pengadilan Negeri memand4g perlu, bahwa perkara yang diajukan kepadanya
itu diputus dahulu oleh hakim desa, maka pemeriksaan di muka pengadilan Negeri
diundurkan. Keputusan Hakim desa ini perlu agar supaya Pengadilan Negeri
mempunyai pegangan dan pandangan bagaimana hakim desa itu melihat perkara
tersebut dari sudut hukum adat.
Kalau setelah diperintahkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri, ternyata bahwa penggugat tidak membawa perkara itu kepada
hakim desa, maka gugatannya dipandang tidak diteruskan lagi.
Pasal 136
Perlawanan
yang sekiranya hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal
hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing,
tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Penjelasan:
1.
Mr. R. Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar
H.I.R." pada pasal 136 ini memberikan penjelasan bahwa dalam hal ini ada
perbedaan sistem acara perdata di muka "Raad van Justitie" dahulu:
Pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum acara perdata tersebut menentukan bahwa
"procureur" dari tergugat diwajibkan mengajukan sekalian segala
eksepsi-eksepsi dan jawaban yang mengenai pokok gugatan, apabila tidak, maka
gugurlah eksepsi-eksepsi yang tidak sekalian diajukannya dan jikalau tidak sekalian
mengajukan jawaban yang mengenai pokok gugatan, maka apabila eksepsinya
ditolak, gugurlah hak untuk mengajukan jawaban itu.
Pengukuhan serupa itu tidak terdapat dalam
pasal 136 H.I.R. Dengan demikian pemisahan antara eksepsi dan perlawanan pokok
bagi pemeriksaan di muka pengadilan Negeri tidak mempunyai arti.
2.
Apakah yang dimaksud dengan eksepsi, dikatakan bahwa eksepsi itu
harus diartikan sebagai perlawanan tergugat yang tidak mengenai pokok
persoalannya, melainkan misalnya hanya mengenai acara belaka.
Eksepsi itu macam-macamnya seperti berikut:
1)
declinatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa
pengadilan tidak berkuasa mengadili atau bahwa tuntutan terhadapnya itu batal.
2)
dilatoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan, bahwa
tuntutannya belum sampai waktunya untuk diajukan, di antaranya oleh karma masih
ada surat perjanjian yang belum dipenuhi:~atau oleh karena jangka waktunya
belum terlewat atau oleh karena tergugat masih sedang berada di dalam waktu
pertimbangan.
3)
paremptoire exeptie, yaitu yang mengajukan perlawanan mutlak
terhadap tuntutan penggugat, misalnya karena perkaranya sudah usang atau
daluwarsa, oleh karena yang digugat telah diberikan pembebasan dari utangnya,
atau oleh karena telah diadakan perhitungan bayar-membayar atau oleh karena telah
ada keputusan pengadilan yang tidak dapat digugat lagi.
3.
Walaupun pasal 136 H.I.R. memuat ketentuan yang tegas, akan tetapi
di dalam prakteknya pemeriksaan perkara-perkara perdata di muka Pengadilan
Negeri ketentuan tersebut tidak begitu dipegang dengan teguh.
Lagi pula, oleh karena terhadap pasal 136 itu
tidak ada sanksinya seperti halnya terhadap pasal 114 ayat (1) Reglemen Hukum
acara perdata tersebut di atas, maka Mr. R. Tresna berpendapat sesuai dengan
pendapat Mr. Wirjono Projodikoro, bahwa pasal 136 itu sebaiknya diartikan
sebagai anjuran saja kepada tergugat supaya seberapa boleh mengumpulkan segala
sesuatu yang ingin diajukannya dalam jawabannya, pada waktu ia mengadakan
perlawanan pada permulaan pemeriksaan perkara.
Pasal 137
Pihak-pihak
dapat menuntut melihat surat-surat keterangan lawannya dan sebaliknya, surat
mana diserahkan kepada hakim buat keperluan itu.
Penjelasan:
Pasal ini
memberikan kesempatan kepada ke dua belah pihak yang berperkara untuk saling
mengontrol dengan meyakinkan isi surat-surat yang sebagai bukti oleh kedua
belah pihak diserahkan kepada hakim, dengan mata sendiri melihat dan memeriksa
apakah ada alasan untuk menyangkal keabsahan surat-surat itu.
Pasal 138
Jika satu
pihak membantah kebenaran surat keterangan yang diserahkan oleh lawannya, maka
pengadilan negeri dapat memeriksa hal itu, sesudahnya ia akan memberi
keputusan, apa sarat yang dibantah itu dipakai atau tidak dalam perkara itu.
Jika
ternyata buat keperluan pemeriksaan pemakaian surat yang dipegang oleh penyimpan
umum, maka pengadilan negeri memerintahkan supaya surat itu diperlihatkan pada
persidangan yang akan ditentukan untuk itu.
Jika ada
keberatan akan memperlihatkannya, baik karena perihal surat itu, maupun karena
jauhnya tempat tinggal penyimpan, maka pengadilan negeri memerintahkan supaya
pemeriksaan itu dijalankan di muka pengadilan negeri pada tempat tinggal
penyimpan itu, atau supaya surat itu dikirimkan kepada ketua itu dalam tempo
yang ditentukan dan menurut cara yang akan ditentukannya. Pengadilan negeri
yang tersebut terakhir membuat surat pemberitaan dari pemeriksaannya itu dan
mengirimkan surat itu kepada pengadilan negeri yang tersebut lebih dahulu.
Penyimpan,
dengan tidak ada sebab yang syah, tidak memenuhi perintah memperlihatkan atau
mengirimkan surat itu, dapat dipaksa dengan paksaan badan untuk memperlihatkan
atau mengirimkan surat itu atas perintah ketua pengadilan negeri yang berwajib
memeriksa surat itu, atas permintaan pihak yang berkepentingan itu.
Jika surat
itu tidak sebahagian dari sebuah daftar, maka penyimpan memperbuat salinan
surat itu sebelum diperlihatkan atau dikirimkan akan jadi ganti surat asli
selama surat itu belum diterima kembali. Di sebelah bawah pada salinan surat
itu dicatatnya apa sebabnya salinan itu diperbuat, catatan mana diperbuatnya
pada surat asli yang akan diberikan itu dan pada salinan tersebut.
Segala biaya
dibayar oleh pihak yang memasukkan surat perlawanan itu kepada penyimpan
menurut taksiran ketua pengadilan negeri yang akan memutuskan perkara itu.
Jika pemeriksaan
tentang kebenaran surat yang dimasukkan itu menimbulkan sangkaan bahwa surat
itu dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka pengadilan negeri mengirim
segala surat itu kepada pegawai yang berkuasa untuk menuntut kejahatan itu.
Perkara yang
dimajukan pada pengadilan negeri dan belum diputus itu, dipertangguhkan dahulu,
sampai perkara pidana itu diputuskan.
Penjelasan:
Apabila
surat keterangan yang diserahkan oleh salah satu pihak kepada hakim dibantah
kebenarannya oleh pihak yang lain, maka keaslian surat keterangan itu akan
diperiksa dan diputuskan lebih dahulu, sebelum meneruskan pemeriksaan pokok
gugatannya.
Jika
ternyata buat keperluan pemeriksaan surat keterangan itu perlu dicocokkan
dengan surat yang dipegang oleh penyimpan umum, maka Pengadilan Negeri dapat
memerintahkan kepada penyimpan umum itu untuk menyerahkan surat itu kepada
pengadilan untuk diperiksa dalam sidang yang akan ditentukan lebih lanjut.
Apabila
ternyata ada keberatan untuk mengirimkan surat itu, misalnya karena jauhnya
tempat tinggal penyimpan atau sebab lain-lainnya, maka Pengadilan Negeri yang
berkepentingan memerintahkan agar supaya pemeriksaan terhadap surat itu
dilakukan oleh Pengadilan Negeri di tempat penyimpanan umum itu. Dari hasil
pemeriksaannya itu, Pengadilan Negeri ini membuat proses verbal yang kemudian
dikirimkan kepada Pengadilan Negeri yang berkepentingan itu.
Penyimpan
umum yang tanpa sebab yang syah tidak memenuhi perintah untuk memperlihatkan
atau mengirimkan surat itu dapat dipaksa dengan paksaan badan serupa sandera
(gijzeling).
Yang disebut
"penyimpan umum" di atas adalah pejabat yang karena kedudukannya
dibebani dengan tugas dan kewajiban menyimpan dan memelihara surat-surat,
akte-akte, daftar-daftar dan lain sebagainya yang sifatnya umum, seperti
misalnya Notaris, Pegawai Pencatatan Sipil, Penyimpan Pendaftaran tanah dan
lain sebagainya.
Menurut ayat
(7) dan ayat (8) pasal 138 ini maka apabila pemeriksaan surat tersebut
menimbulkan sangkaan bahwa surat ini palsu, maka segala surat-surat yang
mengenai hal itu disampaikan kepada Jaksa, yang berwajib untuk menuntut
kejahatan itu berdasarkan pasal 242 KUHP.
Berhubung
dengan itu maka pemeriksaan perkara gugatan perdata dipertangguhkan dahulu
sampai perkara penuntutan pidana terhadap pemalsuan itu diputuskan.
Apa yang
tersebut di atas itu adalah suatu perkara pidana yang dapat mempengaruhi
pemeriksaan perkara perdata. Sebaliknya sering terjadi pula bahwa pemeriksaan
perkara perdata dapat mempengaruhi juga pemeriksaan perkara pidana.
Pasal 139
(1)
Jika penggugat atau tergugat hendak meneguhkan kebenaran
tuntutannya dengan saksi-saksi, akan tetapi oleh sebab mereka tidak mau
menghadap atau oleh sebab hal lain tidak dapat dibawa menurut yang ditentukan
pada pasal 121, maka pengadilan negeri akan menentukan hari persidangan
kemudian, pada waktu mana akan diadakan pemeriksaan serta memerintahkan supaya
saksi-saksi yang tidak mau menghadap persidangan dengan rela hati dipanggil
oleh seorang penjabat yang berkuasa menghadap pada sidang hari itu.
(2)
Panggilan serupa itu dijalankan juga kepada saksi-saksi yang mesti
didengar oleh pengadilan negeri menurut perintah o!eh karena jabatannya.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang pemeriksaan saksi-saksi. Pemeriksaan saksi-saksi itu dapat
dilakukan atas permintaan baik yang menggugat maupun tergugat yang hendak
meneguhkan kebenaran tuntutannya, atau atas inisiatif hakim sendiri. Penggugat
dan tergugat itu dapat membawa sendiri saksi-saksi itu ke muka persidangan
untuk didengar keterangannya oleh hakim, akan tetapi saksi-saksi itu mungkin
karena mereka itu sudah diajak oleh yang berperkara akan tetapi ternyata tidak
datang (pasal 121) dapat juga dipanggil oleh hakim atas permintaan pihak-pihak
yang berperkara dengan perantaraan orang yang berkuasa untuk itu.
Apabila
seorang saksi tidak datang di persidangan, meskipun telah dipanggil dengan
semestinya, maka ia dihukum oleh hakim untuk membayar ongkos-ongkos yang telah
dikeluarkan untuk pemanggilan yang sia-sia itu. Kemudian ia dipanggil sekali
lagi atas ongkosnya sendiri (pasal 140). Jikalau ia masih pula tidak datang
saja, walaupun telah dipanggil dengan patut, maka ia untuk ke dua kalinya
dihukum oleh hakim untuk membayar ongkos-ongkos yang ke dua kalinya telah
dikeluarkan dengan sia-sia itu, dan lagi untuk membayar kerugian yang telah ditimbulkan
bagi ke dua belah pihak, oleh karena ia tidak datang menghadap itu. Lagi pula
hakim dapat memerintahkan agar supaya ia dihantarkan ke persidangan oleh
kekuasaan umum (pasal 141).
Saksi-saksi
itu dihadapkan, oleh karena setiap orang yang sanggup dan berwenang untuk
menjadi saksi, wajib menolong, jika diminta oleh sesama manusia yang
mempertahankan hak-haknya atau mencari keadilan. Selain itu menurut pasal 522
KUHP ia dapat dituntut kriminal.
Akan tetapi
jikalau saksi yang tidak datang menghadap itu membuktikan, bahwa tidak
datangnya itu disebabkan karena ada halangan yang syah, maka Ketua Pengadilan
Negeri wajib menghapuskan segala hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya (pasal
142).
Di samping
itu ada ketentuan, bahwa orang yang tempat kediamannya atau tempat tinggalnya
di luar daerah Keresidenan tempat kedudukan Pengadilan Negeri, tidak dapat
dipaksa datang menghadap Pengadilan Negeri untuk memberi kesaksian di dalam
perkara perdata (pasal 143).
Pasal 140
Jika saksi
yang dipanggil demikian itu tidak datang pada hari yang ditentukan itu, maka
dihukum oleh pengadilan negeri membayar segala biaya yang dikeluarkan dengan
sia-sia itu.
Ia akan
dipanggil sekali lagi atas ongkos sendiri.
Penjelasan:
Periksa
penjelasan pada pasal 139.
Pasal 140
itu menetapkan dengan tegas bahwa saksi yang lalai itu "dihukum membayar
segala biaya", akan tetapi bagaimana cara menetapkan itu harus diadakan
pemeriksaan sendiri, tidak ada ketentuannya, sehingga segala sesuatu diserahkan
kepada pendapat dan kebijaksanaan hakim.
Pasal 141
(1)
Jika saksi yang dipanggil kedua kalinya itu tidak juga datang maka
ia dapat dihukum buat kedua kalinya membayar biaya yang dikeluarkan dengan
sia-sia itu, dan akan mengganti kerugian yang terjadi pada kedua belah pihak
oleh karena ke tidak datangnya itu.
(2)
Kemudian ketua dapat memerintahkan, supaya: saksi yang tidak
datang itu oleh pegawai umum dibawa menghadap pengadilan negeri untuk memenuhi
kewajibannya.
Penjelasan:
1.
Periksa penjelasan pada pasal 139.
2.
Dalam pasal 141 ini ditentukan dengan tegas, bahwa saksi yang
untuk kedua kalinya dipanggil juga tidak datang, maka ia dihukum selain untuk
"membayar segala biaya" untuk pemanggilan yang sia-sia, juga untuk
"membayar ganti segala kerugian" yang terjadi bagi kedua belah pihak
karena ia tidak menghadap itu, akan tetapi cara menentukan berapa besarnya
jumlah itu dan apakah harus diadakan sidang tersendiri untuk itu, tidak ada
ketentuannya, sehingga segala sesuatunya diserahkan kepada pendapat dan
kebijaksanaan hakim sendiri.
Pasal 142
Jika saksi
yang tidak datang itu membuktikan, bahwa ia tidak dapat datang memenuhi
pengadilan karena sebab yang syah, maka setelah diberikan keterangannya itu,
ketua wajib menghapuskan hukuman yang dijatuhkan padanya.
Penjelasan:
Periksa
penjelasan pada pasal 139.
Saksi yang meskipun
telah dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap dikenakan sanksi hukuman
tertentu, akan tetapi kalau tidak datangnya itu disebabkan karena ada halangan
yang syah, maka Ketua Pengadilan Negeri wajib meniadakan hukuman-hukuman itu.
Alasan-alasan yang syah seperti misalnya
sakit, kematian, halangan-halangan dalam perjalanan dan lain sebagainya.
Pasal 143
(1)
Tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan
negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat diamnya atau
tempat tinggalnya di luar keresidenan, tempat kedudukan pengadilan negeri itu.
(2)
Jika saksi yang demikian itu dipanggil, tetapi tidak datang maka
ia tidak dapat dihukum karena itu, tetapi pemeriksaan diserahkan kepada
pengadilan negeri dalam daerah hukumnya saksi itu diam atau tinggal; dan
majelis itu wajib dengan segera mengirimkan surat pemberitaan pemeriksaan itu.
(3)
Perintah yang demikian dapat juga terus diberikan dengan tidak
memanggil saksi itu lebih dahulu.
(4)
Surat pemberitaan pemeriksaan itu dibacakan dalam persidangan.
Penjelasan:
1.
Periksa penjelasan pada pasal 139.
2.
Seorang yang tempat tinggalnya di dalam daerah Keresidenan tempat
kedudukan Pengadilan Negeri, apabila dipanggil untuk memberikan kesaksian di
Pengadilan Negeri tersebut, harus datang menghadap, kalau tidak, dapat
dikenakan hukuman, akan tetapi kewajiban ini tidak dikenakan kepada saksi yang
tempat tinggalnya berada di luar Keresidenan tempat kedudukan Pengadilan Negeri
yang memanggil itu.
Dalam hal ini pemeriksaan keterangan saksi
itu diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di daerah Keresidenan
tempat tinggal saksi itu. Dari pemeriksaan saksi itu Pengadilan Negeri ini
harus membuat proses perbal pemeriksaan dan menyampaikan kepada Pengadilan
Negeri yang membutuhkan keterangan saksi itu. Proses perbal ini dibacakan dalam
sidang pengadilan dan dimaksud mempunyai hanya sebagai bukti kesaksian,
walaupun hal itu tidak ada ketentuan dalam H.I.R. Di dalam H.I.R. juga tidak
ada diatur bagaimanakah kiranya apabila saksi itu tidak memenuhi panggilan atau
tidak mau memberikan keterangannya kepada Pengadilan Negeri yang diserahi
memeriksa keterangan saksi itu. Apakah saksi yang tidak mau datang atau tidak
mau berbicara itu bisa dikenakan juga pasal 224 atau 522 KUHP? Pendapat kami
bisa saja. Bukankah perbuatan saksi itu memenuhi baik unsur-unsur dari pasal
224 maupun dari pasal 522 KUHP tersebut?
Pasal 144
Saksi yang
menghadap pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam seorang demi
seorang.
Ketua
menanya namanya, pekerjaannya, umurnya dan tempat diam atau tinggalnya, lagi
pula apakah mereka itu berkeluarga sedarah dengan kedua belah pihak atau salah
satu dari padanya, atau karena berkeluarga semenda, dan jika ada, berapa pupu,
dan apakah mereka makan gajih atau jadi bujang pada salah satu pihak.
Penjelasan:
Saksi
dipanggil dan didengar keterangannya "seorang demi seorang",
maksudnya tidak bersama-sama, jangan sampai saksi yang sudah didengar
keterangannya berbicara dengan saksi yang belum diperiksa. Saksi yang sudah
diperiksa keterangannya tetap turut duduk di dalam ruang persidangan, kecuali
jika Ketua Pengadilan Negeri menganggap perlu dipisahkan, misalnya apabila
diduga bahwa saksi baru yang akan diperiksa keterangannya itu takut untuk
memberikan keterangan di hadapan saksi yang lain.
Identitas
saksi seperti nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggalnya, itu perlu guna dapat
memanggil saksi itu kembali, andaikata ia di 'kemudian hari dibutuhkan. Saksi
yang dalam hal ini menyebutkan nama atau keadaan palsu diancam pidana dalam
sub. 3 dari pasal 507 KUHP.
Menanyakan
hubungan kekeluargaan kepada saksi yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini ialah
untuk menimbang apakah saksi itu tidak termasuk dalam golongan orang yang tidak
boleh diperiksa sebagai saksi atau yang mempunyai hak undur diri dari kesaksian
sebagaimana yang tersebut dalam pasal-pasal 145 dan 146.
"Keluarga
sedarah" yaitu kekeluargaan antara orang-orang yang mempunyai "nenek
moyang" atau "darah" yang sama seperti kakek, bapak, anak, cucu
dan seterusnya (Pasal 290 B.W.).
Yang dimaksud
dengan "keluarga semenda" yaitu keluarga karena perkawinan, yaitu
pertalian kekeluargaan yang timbul antara salah satu pihak dengan para keluarga
sedarah dari pihak yang lain yang di kawin (pasal 295 B.W.), seperti misalnya
ipar laki-laki dan ipar perempuan.
Yang dimaksud "pupu" yaitu
"derajat" digambarkan sebagai "kelahiran". Sepupu =
sederajat = diciptakan oleh satu kelahiran.
Berlangsungnya terus-menerus
"derajat" itu merupakan. "pancaran", keturunan, garis atau
"linie".
Yang dimaksud "keturunan lurus"
yaitu keturunan, garis, pancaran atau linie yang menggambarkan derajat atau
kelahiran antara orang-orang yang berturut-turut diberanakkan (dilahirkan).
Keturunan yang bukan "keturunan lurus" termasuk "keturunan
menyimpang" (pasal 291 B.W.).
Ketentuan tentang kekeluargaan yang tersebut
di atas itu adalah ketentuan menurut Hukum Sipil barat yang berlaku bagi:
a.
golongan bangsa barat.
b.
golongan bangsa Indonesia aseli yang dalam zaman Hindia Belanda
menyatakan takluk kepada Hukum Sipil Barat,
c.
golongan bangsa Indonesia aseli yang beragama Kristen dan
menyampingkan Hukum adat.
d.
golongan bangsa Indonesia Keturunan Barat, dan
e.
golongan bangsa Indonesia keturunan Cina.
Adapun bagi bangsa Indonesia golongan aseli
di dalam hal ini dikuasai oleh hukum adat.
Pasal 145
Sebagai
saksi tidak dapat didengar:
keluarga
sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang
lulus.
istri atau
laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian;
anak-anak
yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun;
orang, gila,
meskipun ia terkadang - kadang mempunyai ingatan terang.
Akan tetapi
kaum keluarga sedarah dan .keluarga semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi
dalam perkara perselisihan kedua belah. pihak tentang keadaan menurut hukum
perdata atau. tentang sesuatu perjanjian pekerjaan.
Hak
mengundurkan diri memberi kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat di
atas ini tidak berlaku buat orang-orang yang disebutkan pada pasal 146 kesatu
dan kedua.
Pengadilan
negeri berkuasa memeriksa di luar sumpah anak-anak yang tersebut di atas tadi
atau orang gila yang terkadang-kadang mempunyai ingatan terang, tetapi
keterangan mereka hanya dapat dipandang semata-mata sebagai penjelasan.
Penjelasan:
1.
Setiap orang harus sanggup menjadi saksi.
Seperti juga halnya dalam perkara pidana,
pada dasarnya dalam perkara perdata pun, setiap orang sanggup untuk menjadi
saksi, kecuali:
1)
Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak
menurut keturunan lurus,
2)
Isteri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada per
ceraian,
3)
Anak-anak yang tidak diketahui benar sudah cukup umurnya lima
belas tahun,
4)
Orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
Mengenai orang-orang yang disebutkan dalam,
sub. 1 dan 2 di atas, sebabnya mereka itu tidak sanggup menjadi saksi Wali oleh
karena mereka itu tidak dapat dianggap tanpa memihak, sehingga keterangannya
dengan demikian tidak dapat dipercaya.
Mengenai orang-orang yang tersebut dalam sub
3 alasannya adalah, karena umurnya sangat muda itu, ia dianggap tidak sanggup
untuk menghayati pentingnya keterangannya, sedangkan mengenai orang-orang yang
tersebut dalam sub. 4 alasannya ialah karena orang gila itu tidak dapat
menginsyafi dengan sepenuhnya arti sumpah.
Akan tetapi menurut ketentuan dalam ayat (2)
pasal 146 ini, keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak dapat dinyatakan
tidak sanggup untuk menjadi saksi dalam perkara perselisihan ke dua belah pihak
tentang keadaan menurut hukum perdata atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
Yang dimaksud "tentang keadaan menurut
hukum perdata" yaitu "tentang kedudukan• warga" dalam bahasa
Belanda tentang "burgerlijke stand", seperti misalnya perselisihan
tentang perkawinan, perceraian, keturunan dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan tentang "perjanjian
pekerjaan" yaitu "perjanjian perburuhan", seperti misalnya
persengketaan tentang banyaknya upah, uang pesangon, pemberhentian dari
pekerjaan dan lain sebagainya.
Tentang anak-anak dan orang gila oleh ayat
(4) pasal 145, bahwa mereka itu boleh juga didengar keterangannya dengan tidak
disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak merupakan bukti kesaksian,
melainkan hanya sebagai penerangan saja.
Apa yang dimaksudkan dengan
"penerangan" itu dalam H.I.R. tidak ada ketentuannya. Menurut pasal
1912 B.W. (Kitab Undang-undang Hukum Sipil) "penerangan" artinya
sesuatu guna•dapat mengetahui dan menyidik data-data yang kebenarannya kemudian
akan dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang biasa.
2.
Periksa juga penjelasan pada pasal 144.
Pasal 146
Untuk
memberikan kesaksian dapat mengundurkan diri:
saudara laki
dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak.
keluarga
sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan. perempuan dari
laki atau isteri salah satu pihak.
semua orang
yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan
rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan
padanya.
Tentang
benar tidaknya keterangan orang, yang diwajibkan menyimpan rahasia itu terserah
pada pertimbangan pengadilan negeri.
Penjelasan:
Orang-orang
yang disebutkan dalam pasal ini adalah mereka yang biasanya dikatakan
orang-orang yang mempunyai hak undur diri dari memberikan kesaksian. Yang
dimaksud dengan orang-orang yang tersebut pada sub. 1 adalah sudah jelas.
Tentang
orang-orang yang tersebut pada sub: 2 membutuhkan sedikit penjelasan. Yang
dimaksud dengan "keluarga sedarah" yaitu keluarga yang mempunyai
nenek moyang atau darah yang sama. Yang diartikan, "keturunan yang
lurus" yaitu keturunan, pancaran, garis atau linie yang menggambarkan
kelahiran dari orang-orang yang berturut-turut diberanakkan. Adapun
"keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus" itu seperti misalnya
pertalian antara anak dan bapak atau sebaliknya, antara kakek dan cucu atau
sebaliknya dan lain sebagainya (Lihat juga penjelasan pada pasal 144).
"Saudara
laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak" adalah
ipar laki-laki dan ipar perempuan dari pihak itu sendiri dan oleh karena itu
mereka sudah termasuk juga dalam orang-orang yang disebutkan pada sub. 1. Maka
dari itu penyebutan orang-orang ini pada sub. 2 dari pasal 146 dapat dikatakan
berlebihan.
Orang-orang
yang disebutkan pada sub. 3 adalah mereka yang biasa disebut para
"penyimpan rahasia" pekerjaan atau jabatan mereka. Siapa yang
termasuk dalam golongan ini sebenarnya tidak mudah,ditentukan. sebagai
perumpamaan boleh disebutkan seperti: para pastur atau pendeta Katolik, para
tabib, apotaker, notaris, pegawai telekomunikasi dan lain sebagainya. Apakah
pegawai polisi dan wartawan terhadap rahasia informannya juga masuk di sini
sering menjadi persoalan.
Akhirnya
Pengadilan Negerilah sebagai hakim yang berwenang menentukan apakah seseorang
dapat diberikan hak undur diri karena martabat, pekerjaan dan jabatannya yang syah
diwajibkan menyimpan rahasia.
Orang-orang
yang mempunyai hak undur diri itu boleh minta dibebaskan dari memberi
kesaksian, namun apabila mereka mau, boleh juga memberikan kesaksian itu di
muka pengadilan.
Mudah dapat
dimengerti bahwa pada hakekatnya bagi mereka ini sulit untuk memilih akan
memakai atau tidak haknya untuk undur diri itu. Jikalau ia memakai haknya undur
diri, ia akan membiarkan orang yang bersalah bebas dari pemidanaan, sedangkan
jikalau ia tidak memakainya dan sanggup untuk memberikan kesaksian, mungkin ia
sendiri paling sedikit akan kehilangan muka terhadap kliennya, mungkin malahan
akan kena pengaduan dari mereka itu kepada hakim pidana sebagai melanggar pasal
322 dan 323 KUHP (membuka rahasia).
Perlu
diperingatkan di sini bahwa orang-orang yang tersebut pada sub. 1 dan 2 itu,
berdasarkan ketentuan yang tersebut pada ayat (3) dari pasal 145 tidak dapat
menggunakan haknya buat mengundurkan diri dari menjadi saksi di dalam perkara
perselisihan tentang "kedudukan warga" dan perselisihan tentang
"perjanjian kerja, sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal 145,
Pasal 147
Jika tidak
diminta mengundurkan diri, atau jika penolakan ini dianggap tidak beralasan
buat memberikan kesaksiannya, maka sebelum saksi itu memberi keterangannya, ia
lebih dahulu disumpah menurut agamanya.
Penjelasan:
Jikalau hak
undur diri tidak diminta, atau betul diminta akan tetapi ternyata tidak
beralasan, maka saksi harus didengar keterangannya akan, tetapi harus disumpah
lebih dahulu secara menurut, agama dan kepercayaannya masing-masing.
Boleh
diketahui bahwa cara penyumpahan itu ada dua macam, yaitu secara
"promissoris" (disumpah lebih dahulu sebelumnya menyampaikan
keterangannya) dan secara "assertoris" yaitu menyampaikan
keterangannya lebih dahulu, kemudian sesudah itu barulah diteguhkan dengan
sumpah.
Pasal 148
Jika di luar
hal tersebut pada pasal 146, seorang saksi menghadap di persidangan dan enggan
disumpah, atau enggan memberi keterangannya, maka atas permintaan pihak yang
berkepentingan, ketua dapat memberi perintah, supaya saksi itu disanderakan
sampai saksi itu memenuhi kewajibannya.
Penjelasan:
Jikalau kita
bandingkan penyanderaan (gijzeling) pada saksi yang tersebut dalam pasal ini
dengan penyanderaan pihak yang berhutang yang tersebut dalam pasal-pasal 209 dan
seterusnya, maka nampak benar, bahwa penyanderaan menurut pasal 209 diatur
lebih lengkap, yaitu diatur pula tentang lamanya orang dapat disandera (pasal
210), orang-orang yang tidak dapat disandera (pasal 211) dan tempat-tempat yang
dilarang untuk dipakai sebagai tempat menyandera (pasal 212), akan tetapi
mengenal penyanderaan saksi tersebut dalam pasal 148 ini tidak diberikan
peraturan-peraturan lebih lanjut tentang hal-hal. seperti itu, sehingga
penyanderaan saksi dalam pasal 148 ini sulit dipraktekkan. Ada baiknya bahwa di
samping itu dibuka kemungkinan oleh undang-undang untuk menuntut saksi yang
tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan sengaja di muka hakim Dalam pasal
224 KUHP ditentukan bahwa barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang sebagai
saksi, sebagai ahli atau juru bahasa dengan sengaja tidak memenuhi suatu
kewajiban yang menurut undang-undang diharuskan kepadanya, akan dihukum.
1)
dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya
sembilan bulan;
2)
dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam
bulan.
Pasal 149
(Ditiadakan
oleh undang-undang darurat Nomor I/1951).
Pasal 150
Kedua belah
pihak akan memajukan pertanyaan yang akan ditanyakan kepada saksi melalui
ketua.
Jika di
antara pertanyaan itu ada yang ditimbang pengadilan negeri tidak mengenai
perkara itu, maka pertanyaan itu tidak ditanyakan kepada saksi.
Hakim dapat
memajukan segala pertanyaan kepada saksi dengan maunya sendiri yang
ditimbangnya berguna untuk mendapat kebenaran.
Penjelasan:
Para pihak
yang berperkara tidak diperkenankan langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada saksi. Semua pertanyaan yang diajukan kepada saksi harus diberitahukan
kepada hakim dan hakimlah yang akan meneruskan kepada saksi.
Jika hakim
memandang pertanyaan itu tidak ada gunanya, pertanyaan itu tidak diteruskan
kepada saksi, sebaliknya apabila dipandang perlu untuk mencari kebenaran, maka
hakim sendiri boleh mengajukan pertanyaan kepada saksi.
Walaupun
bagi perkara perdata tidak ada larangan untuk mengganggu saksi seperti dalam
perkara pidana yang tersebut dalam pasal 268, juga meskipun tidak ada larangan
untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjirat seperti dalam
perkara pidana yang disebutkan dalam pasal 269, namun untuk menjaga supaya
saksi tidak diganggu waktu memberikan keterangannya, menjadi gugup dan memberi
keterangan yang bukan semestinya, dalam perkara perdata pun sebaiknya hakim
berusaha untuk menghindarkan hal-hal seperti itu.
Pasal 151
Ketentuan-ketentuan
pada pasal 284 dan 285, tentang saksi-saksi dalam perkara pidana, berlaku juga
dalam hal ini.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka bagi pemeriksaan saksi di muka sidang perkara perdata
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemeriksaan perkara pidana, seperti yang
tersebut dalam pasal-pasal 284 dan 285, berlaku juga.
Pasal 284
mengatur tentang pemakaian juru bahasa, jika saksi tidak paham akan bahasa yang
dipakai dalam persidangan, sedangkan pasal 285 mengatur tentang pengangkatan
juru bahasa untuk saksi yang bisu dan tuli
Pasal 152
Keterangan
saksi yang diperiksa dalam persidangan dituliskan dalam proses perbal
persidangan itu oleh panitera pengadilan negeri.
Penjelasan:
Dari
tiap-tiap persidangan pemeriksaan perkara Pengadilan Negeri itu senantiasa
dibuatkan Berita Acara yang biasa disebut "Berita Acara Persidangan"
dan dikerjakan oleh Panitera. Segala keterangan saksi-saksi yang diperiksa
harus dicatat dalam Berita Acara itu.
Pasal 153
(1)
Jika ditimbang perlu atau ada faedahnya, maka Ketua boleh
mengangkat satu atau dua orang Komisaris dari pada dewan itu, yang dengan
bantuan panitera Pengadilan Negeri akan melihat keadaan tempat atau menjalankan
pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim.
(2)
Panitera Pengadilan hendaklah membuat proses perbal atau berita
acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya yang perlu ditandatangani oleh
komisaris-komisaris dan panitera pengadilan itu.
Penjelasan:
Azas dan
sifat pemeriksaan pada umumnya menghendaki, misalnya sesuai dengan bunyi pasal
154, bahwa agar supaya hakim dapat. memperoleh keterangan yang jelas di dalam
perkara yang diperiksanya, perlu diadakan pemeriksaan setempat, baik oleh hakim
sendiri, oleh orang ahli atau satu atau dua orang komisaris.
Satu atau
dua orang komisaris itu diangkat dari dewan Jika Hakim Pengadilan Negeri itu
berupa majelis yang terdiri dari Hakim Ketua dan 2 orang Hakim Anggota, maka
yang diangkat menjadi dua orang komisaris itu adalah dua orang hakim anggota
tersebut yang kemudian dengan dibantu oleh Panitera pengadilan mengadakan
pemeriksaan setempat.
Apabila
Pengadilan Negeri itu berupa hakim tunggal, maka satu atau dua orang komisaris
itu dapat diangkat yang terdiri dari Hakim Ketua dan panitera, atau diangkat
dari rekan-rekan hakim atau panitera lain yang sama-sama ditempatkan di
Pengadilan Negeri itu.
Yang penting
adalah agar supaya dapat diadakan pemeriksaan setempat seperti misalnya tentang
keadaan rumah, pekarangan, tanaman, barang-barang besar dan lain sebagainya
yang tidak mungkin dibawa ke muka sidang pengadilan.
Pasal 154
Jika menurut
pendapat ketua pengadilan negeri, perkara itu dapat dijelaskan oleh pemeriksaan
atau penetapan ahli-ahli, maka karena jabatannya, atau atas permintaan
pihak-pihak, ia dapat mengangkat ahli-ahli tersebut.
Dalam hal
yang demikian, maka ditentukan hari persidangan pada waktu mana hal itu memberi
laporannya baik dengan surat, maupun dengan lisan dan menguatkan keterangan itu
dengan sumpah.
Sebagai ahli
tidak dapat diangkat orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi.
Ketua
Pengadilan Negeri sekali-sekali tidak diwajibkan menuruti perasaan orang ahli
itu, jika berlawanan dengan keyakinannya.
Penjelasan:
Pada
seseorang, tidak. dapat dituntut untuk mengetahui segala-galanya. Demikian pula
pada seorang hakim, oleh karena itu dalam pasal 153 hakim diberi kesempatan
apabila diperlukan untuk memperoleh pertolongan dari sebuah panitia untuk
memeriksa keadaan sesuatu tempat, sedangkan dalam pasal ini apabila dipandang
berfaedah, kepada hakim diberi kemungkinan untuk minta pertolongan atau
pendapat seorang ahli. Pada hakekatnya kedua hal tersebut adalah merupakan alat
atau sarana bagi hakim untuk mencari kebenaran yang hakiki agar dapat
menjatuhkan keputusan yang adil.
Untuk
meneguhkan keterangannya yang dapat diajukan secara lisan maupun tertulis, para
ahli itu harus disumpah, walaupun hakim tidak terikat untuk senantiasa
mempercayainya; keterangan itu boleh diabaikan, apabila itu berlawanan dengan
keyakinannya.
Orang yang
dilarang menjadi saksi, juga tidak diperkenankan untuk diangkat menjadi seorang
ahli.
Pasal 155
(1)
Jika kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan atas itu tidak
cukup terang, akan tetapi ada juga kebenarannya, dan sekali-kali tidak ada
jalan lagi akan menguatkannya dengan upaya keterangan-keterangan yang lain,
maka ketua pengadilan negeri dapat karena jabatannya menyuruh salah satu pihak
bersumpah, baik oleh karena itu untuk memutuskan perkara itu atau untuk
menentukan jumlah uang yang akan diperkenankan.
(2)
Dalam hal yang terakhir itu ketua pengadilan negeri menentukan
jumlah uang hingga jumlah mana penggugat dapat dipercaya atas sumpahnya.
Penjelasan:
Sumpah yaitu
suatu alat bukti yang syah dalam pemeriksaan perkara perdata. Sumpah itu
dibeda-bedakan dalam sumpah pihak, juga dinamakan sumpah "decisoir"
dan sumpah jabatan yang juga disebut sumpah "suppletoir" atau sumpah
tambahan.
Sumpah
"decisoir" itu dibebankan oleh pihak yang satu kepada pihak yang
lain. Ini dapat terjadi, jikalau sama sekali tidak ada bukti untuk menguatkan
gugatan atau untuk membu1 tikan pembelaan yang diajukan terhadap gugatan itu.
Keputusan dalam perkara ini tergantung kepada sumpah itu.
Syarat untuk
membebankan sumpah itu adalah bahwa sumpah itu mengenai suatu perbuatan yang
dilakukan oleh orang itu sendiri, atau mengenai suatu keadaan yang diketahuinya
sedemikian rupa, sehingga ia sanggup memberi keterangan tentang keadaan itu
atas sumpah (Lihat pasal 156).
Sumpah
"suppletoir" atau sumpah jabatan, yaitu sumpah yang disebutkan dalam
pasal 155 ini, yang dinamakan pula sumpah penambah, itu dibebankan oleh hakim
kepada salah satu dari ke dua belah pihak, untuk menggantungkan keputusan dalam
perkara itu kepada sumpah tersebut, maupun untuk menetapkan besarnya jumlah
uang yang akan dikabulkan.
Hakim hanya
boleh berbuat demikian kalau kebenaran gugatan itu atau perlawanan terhadap
gugatan itu tidak seluruhnya terbukti, tetapi tidak pula tidak terbukti sama
sekali, dan tidak ada kemungkinan untuk membuktikannya dengan alat-alat bukti
lain, jadi dalam keadaan yang membimbangkan.
Sumpah
suppletoir untuk menetapkan besarnya jumlah uang yang akan dikabulkan di atas
itu dinamakan juga "sumpah penilaian". Sumpah ini hanya dapat
diperintahkan oleh hakim kepada penggugat dan ia dapat memerintahkan sumpah ini
hanya kalau tidak ada jalan lain untuk menetapkan harga tuntutan itu dari pada
taksasi.
Semua macam
sumpah tersebut di atas itu harus diucapkan masing-masing menurut agama atau
kepercayaan,yang dipeluk oleh orang yang harus mengucapkan sumpah itu.
Semua itu
harus diucapkan sendiri oleh orang itu, kecuali kalau hakim karena
alasan-alasan penting yang mengizinkan kepada suatu, pihak, bahwa sumpah itu
boleh diucapkan oleh orang yang diberi kuasa khusus untuk itu, kuasa mana harus
diberikan dengan akte otentik (akte notaris).
Sumpah itu
harus diucapkan di muka pihak lawan, atau kalau ia tidak hadir, ia telah
dipanggil dengan semestinya.
Pasal 156
Bahkan jika
sekalipun tidak ada keterangan untuk memperkuat gugatan atau lawanan atas
gugatan, satu pihak meminta supaya pihak lain disumpah di hadapan hakim, agar
membuat keputusan bergantung dari pada itu, asal saja sumpah itu tentang satu
perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, dari pada sumpahnyalah keputusan itu
akan bergantung.
Jika
perbuatan itu, satu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka ia,
yang tidak mau bersumpah itu, dapat menolak sumpah itu kepada lawannya.
Barang siapa
disuruh bersumpah, tetapi ia enggan bersumpah atau. menolak sumpah itu kepada
lawannya, ataupun barang siapa menyuruh bersumpah, tetapi sumpah itu ditolak
kepadanya dan ia enggan bersumpah, maka ia akan dikalahkan.
Penjelasan:
Sumpah yang
disebutkan dalam pasal ini ialah yang biasa disebut "sumpah pihak"
atau sumpah "decisoir", juga disebut pula sumpah yang menentukan.
Berbeda dengan sumpah yang tersebut dalam pasal 165, yang lazim dinamakan
"sumpah jabatan" atau sumpah "suppletoir", disebut pula
sumpah "penambah" yang diperintahkan oleh hakim, maka "sumpah
pihak" ini dibebankan oleh salah satu pihak kepada lawannya.
Perbedaan
yang lain lagi ialah bahwa sumpah pihak ini dapat dibebankan, walaupun tidak
ada bukti sama sekali, sedangkan sumpah penambahan hanya dapat dibebankan oleh
hakim dalam keadaan perkara "tidak cukup terang, akan tetapi ada juga
kebenarannya".
Dengan
adanya ketentuan sumpah dalam pasal ini sebenarnya kedua belah pihak yang
berperkara diberi kesempatan untuk menarik kembali persengketaannya dari tangan
hakim dengan menyerahkan lawannya untuk bersumpah dan menggantungkan
penyelesaian perkaranya dari penyumpah itu.
Keputusan
hakim yang didasarkan atas sumpah ini sebenarnya sifatnya- agak berlainan dari
pada keputusan yang biasa, karena keputusan ini pada hakekatnya adalah
penyelesaian persengketaan secara "bawah tangan" oleh pihak-pihak
yang berperkara sendiri. Keputusan hakim itu sifatnya hanya memberi pengesyahan
kepada penyelesaian bawah tangan itu.
Pasal 157
Sumpah itu,
baik yang diperintahkan oleh hakim, maupun yang diminta atau ditolak oleh satu
pihak lain, dengan sendiri harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan
negeri memberi izin kepada satu pihak, karena sebab yang penting, akan menyuruh
bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu,
kuasa yang mana hanya dapat diberi dengan surat yang syah, di mana dengan
saksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan diangkat itu.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa bermacam-macam sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim
atau yang dibebankan oleh salah satu pihak, harus dilakukan sendiri oleh
orang-orangnya, kecuali kalau ada alasan penting hakim memberi izin kepada
salah satu pihak, akan menyuruh bersumpah seorang kuasa atau wakilnya yang khusus.
Penguasaannya harus dilakukan dengan akte otentik (akte notaris). yang disebut
akte otentik yaitu suatu akte yang dibuat oleh atau di muka pejabat umum, oleh
siapa di dalam akte itu dicatat pernyataan pihak yang menyuruh membuat akte
itu. Pejabat umum di sini yaitu pejabat yang ditetapkan dengan undang-undang
berwenang untuk membuat akte itu.
Pasal 158
Hal
mengangkat sumpah itu selalu dilakukan dalam sidang pengadilan negeri, kecuali
jika hal itu tidak dapat dilangsungkan karena ada halangan yang syah; dalam hal
yang demikian ketua pengadilan negeri boleh memberi kuasa kepada salah seorang
anggota, supaya dengan bantuan panitera pengadilan, yang akan membuat proses
perbal tentang hal itu, disumpahnya pihak yang berhalangan itu di rumahnya.
Sumpah itu
hanya boleh diambil di hadapan pihak yang lain, atau sesudah pihak itu
dipanggil dengan patut.
Penjelasan:
Penguasaan
oleh ketua pengadilan negeri kepada salah seorang anggota untuk mengambil
sumpah di rumah pihak yang berhalangan datang di sidang pengadilan itu hanya
dapat dilakukan apabila pengadilan negeri itu berupa hakim majelis yang kecuali
ketua terdiri dari dua orang anggota.
Apabila
pengadilan negeri, itu berupa hakim tunggal, hal ini tentu tidak dapat
dilaksanakan, atau ketua sendiri yang harus melakukannya.
Yang penting
adalah bahwa sumpah itu harus dilakukan di muka pihak yang lain, atau apabila
orang ini tidak menghadap sidang, sesudah orang itu dipanggil dengan
semestinya.
Pasal 159
Jika suatu
perkara k tidak dapat diselesaikan pada- hari persidangan pertama, yang
ditetapkan untuk memeriksanya, maka pemeriksaan perkara itu diundurkan untuk
melanjutkan sampai hari persidangan lain, yang sedapat-dapatnya tidak berapa
lama kemudian, dan demikian juga seterusnya.
Hal
pengunduran itu harus diterangkan dalam persidangan di hadapan kedua belah
pihak, bagi siapa keputusan itu berlaku sebagai panggilan.
Jika salah
satu pihak dari yang, menghadap pada hari persidangan pertama, tidak menghadap
di persidangan kemudian, waktu diperintahkan pertangguhan yang baru, maka ketua
pengadilan negeri wajib menyuruh memberitahukan kepada pihak itu bila
persidangan itu akan dilanjutkan.
Tidak dapat
diberi pertangguhan atas permintaan kedua belah pihak, lagi pula tidak dapat
diperintahkan oleh pengadilan negeri karena jabatannya, jika tidak perlu benar.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan pengunduran persidangan pada hari dekat yang akan datang, apabila
pemeriksaan perkara itu tidak selesai dalam sidang pertama. Demikian ini
dilakukan seterusnya sampai pemeriksaan perkara dapat diselesaikan.
Pengunduran
itu tiap-tiap kali diperintahkan dalam sidang itu juga, dan bagi mereka yang
pada waktu itu menghadap, pengunduran pada hari sidang di kemudian ini harus
dianggap sebagai panggilan resmi, sedangkan bagi mereka yang tidak menghadap
harus diadakan pemanggilan baru. Pengunduran persidangan sekali-kali tidak
boleh dilakukan, baik atas permintaan salah satu pihak maupun oleh inisiatif
hakim sendiri, jikalau tidak perlu benar.
Pasal 160
(1)
Jika pada waktu acara ada suatu perbuatan yang harus dilakukan,
sedang biaya perkara menurut pasal 182 akan dapat dipikulkan kepada orang yang
dikalahkan maka ketua dapat memerintahkan supaya salah satu pihak lebih dahulu
membayar biaya itu di kantor kepaniteraan dengan tidak mengurangkan hak dari yang
lain, akan membayar lebih dahulu uang itu atas maunya sendiri.
(2)
Jika kedua belah pihak enggan membayar lebih dahulu biaya perkara
dan nasihat oleh ketua untuk membayar biaya itu percuma saja, perbuatan yang
diperintahkan itu tidak dilakukan, kecuali jika diwajibkan oleh peraturan
undang-undang dan pemeriksaan perkara diteruskan kalau perlu pada persidangan
lain yang akan ditetapkan oleh ketua, yang diberitahukan kepada kedua belah
pihak.
Pasal 161
(1)
Kalau perkara itu sebanyak mungkin sudah diselesaikan baik pada
waktu persidangan pertama juga, maupun dalam persidangan kemudian, maka sesudah
disuruh keluar kedua belah pihak, saksi dan segala orang yang datang mendengar,
ketua pengadilan negeri akan meminta pendapat penasehat, yang menghadiri
pemeriksaan perkara itu pada waktu persidangan menurut pasal 7 Reglemen tentang
aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan kehakiman di Indonesian
(Staatsblad 1914: 317).
(2)
Kemudian diadakan permusyawaratan dan putusan diperbuat menurut
ketentuan pada pasal 39 dan 40 Reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta
kebijaksanaan kehakiman di Indonesia (R.O).
Penjelasan:
Menurut
pasal 161 ini maka apabila pemeriksaan perkara dalam sidang pertama dan
sidang-sidang selanjutnya telah selesai dilakukan, maka semua pihak, saksi-saksi
dan para penonton disilahkan untuk keluar dari ruang sidang pengadilan,
sehingga hakim mendapat kesempatan yang leluasa untuk mempelajari hasil
pemeriksaannya dan mengambil keputusan.
Dahulu waktu
zaman Hindia Belanda, sewaktu "Landraad" hakimnya terdiri dari
seorang ketua, 2 orang anggota dan 1 orang penghulu sebagai penasehat, ketua
lalu mengadakan permusyawaratan dan minta pendapat dari penasihat dan kedua
orang anggota itu dan kemudian mengambil keputusan. Sidang umum dibuka kembali
dan keputusan hakim diberitahukan dalam sidang tersebut.
Pengadilan
Negeri sekarang ada yang berupa hakim majelis dan ada yang hakim tunggal, dan
kedua-duanya tanpa penasihat (penghulu).
Apabila
pengadilan negerinya berupa hakim majelis maka keputusan diambil dalam permusyawaratan
ketua dengan ke dua anggotanya, sedangkan apabila hakim tunggal, maka keputusan
diambil sendiri oleh ketua.
Bagian Kedua
TENTANG
BUKTI
Pasal 162
Tentang
bukti dan tentang menerima atau menolak alat-alat bukti dalam perkara perdata,
ketua pengadilan negeri wajib mengingat aturan utama yang disebut di bawah ini.
Penjelasan:
Dalam
perkara perdata soal pembuktian memegang peranan yang amat penting seperti juga
dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata hakim akan segera harus memikirkan
pertanyaan tentang dasar-dasar yang dikemukakan oleh penggugat telah terbukti
atau tidak?
Untuk dapat
menjawab pertanyaan ini hakim akan melihat pada peraturan tentang pembuktian
tentang perkara-perkara perdata yang tercantum, dalam pasal 162 s/d 177 H.I.R.
Pasal 163
Barang
siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan
untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.
Penjelasan:
Apabila kita
membaca pasal ini, kita mudah memperoleh kesan, bahwa seakan-akan para pengadu
perkara pada pengadilan negeri itu senantiasa harus membuktikan kebenaran
hal-hal yang ia ajukan, pada hal sesungguhnya bukan begitu, sebab yang harus
dibuktikan kebenarannya itu hanyalah segala sesuatu yang tidak disetujui oleh
tergugat, seperti misalnya A mengajukan gugatan pada pengadilan, menuntut agar
supaya B mengembalikan sepeda milik A yang berada di tangan B. Dalam tuntutan
itu tidak perlu misalnya A sebagai pemilik harus juga menyatakan dalam
tuntutannya, bahwa. sepeda itu didapat olehnya dari pembelian yang syah dengan
melampirkan kwintasi tanda pembayarannya, ia cukup mengemukakan bahwa ia adalah
menjadi pemilik sebuah sepeda yang ia terangkan tanda-tandanya, dan sepeda itu
berada di tangan B yang tidak mau menyerahkan kepada A, Apabila kemudian B
menyangkal dan mengatakan bahwa sepeda itu bukan milik A akan tetapi milik B
sendiri, asal pembeliannya 6 bulan yang lalu dari toko X, maka B harus
membuktikan apa yang ia katakan itu.
Apa yang
tersebut dalam pasal 163 ini adalah yang biasa disebut "pembagian beban
pembuktian", yang maksudnya adalah bahwa yang harus dibuktikan itu
hanyalah perbuatan-perbuatan dan kejadian-kejadian yang dipersengketakan oleh
ke dua belah pihak yang berperkara, artinya yang tidak mendapat persetujuan
kedua pihak. Dengan kata-kata lain, bahwa perbuatan-perbuatan dan
kejadian-kejadian yang telah diakui atau yang tidak disangkal oleh pihak lawan,
tidak usah dibuktikan lagi.
Perlu diterangkan di sini bahwa juga hal-hal
yang telah diketahui oleh umum dan oleh hakim sendiri tidak perlu dibuktikan,
sebab "membuktikan" itu berarti "memberikan kepastian kepada
hakim" tentang adanya kejadian-kejadian dan keadaan-keadaan itu. Pihak
yang mengemukakan sesuatu kejadian atau keadaan, baik penggugat maupun
tergugat, yang tidak diakui oleh pihak- lawan, harus membuktikan kejadian atau
keadaan itu, seperti misalnya A (penggugat) menerangkan, bahwa ia telah menjual
dan menyerahkan barang-barang kepada B (tergugat) dan menuntut dari pada B
pembayaran harga pembelian itu. B menyangkal, bahwa ia telah membeli dan
menerima barang-barang itu.
Dalam hal ini A harus membuktikan penjualan
dan penyerahan barang-barang itu. B (tergugat) dalam hal ini tidak memajukan
suatu kejadian atau keadaan tertentu, ia hanya menyangkal saja apa yang
diterangkan oleh A (penggugat), oleh karena itu B dari pihaknya tidak usah
membuktikan apa-apa.
Kalau di samping penyangkalan itu, B
mengatakan pula bahwa ia telah menerima barang-barang itu sebagai hadiah dari
A, maka B harus membuktikan. pemberian sebagai hadiah itu, jika ini disangkal
oleh A.
Menurut
Prof. R. Subekti S.H. dalam bukunya yang berjudul "Hukum Pembuktian",
maka "pembagian beban pembuktian" itu adalah suatu masalah yang amat
penting dalam buku Hukum Pembuktian, oleh karena itu pembagian beban pembuktian
itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian
beban pembuktian yang berat sebelah berarti apriori menjerumuskan pihak yang
menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian
beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal juridis, yang
dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka mahkamah Agung.
Melakukan beban pembuktian yang tidak adil
dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan
alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan
rendahan yang bersangkutan.
Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.)
atau pasal 163 H.I.R. sebenarnya memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal
pembagian beban pembuktian.
Dalam hal itu Malikul Adil dalam bukunya yang
berjudul "Pembaharuan Hukum Perdata Kita" mengatakan bahwa
"Hakim yang insyaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam
membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan
membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat
dibuktikan."
Dalam hubungan ini hukum material sering kali
sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:
a.
Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (pasal
1244 B.W.).
b.
Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (pasal 1365 B.
W.).
c.
Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah
membayar semua angsuran (pasal 1394 B.W.).
d.
Barang siapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya (pasal 1977 ayat (1) B.W.).
Pasal 164
Maka yang
disebut alat-alat bukti, yaitu:
bukti dengan
surat
bukti dengan
saksi
persangkaan-persangkaan
pengakuan
sumpah
di dalam
segala hal dengan memperhatikan aturan-aturan yang ditetapkan dalam pasal-pasal
yang berikut.
Penjelasan:
1.
Apa yang disebutkan sebagai alat-alat bukti dalam pasal ini
sebenarnya kurang lengkap. Menurut HIR sesungguhnya masih ada lagi beberapa
macam alat bukti lain lagi, seperti misalnya: hasil pemeriksaan hakim sendiri
atau hasil penyelidikan setempat yang tersebut dalam pasal 154, hasil
pemeriksaan orang ahli yang disebutkan dalam pasal 155 dan begitu pula hal-hal
yang diakui oleh umum, atau yang diakui kebenarannya oleh kedua belah pihak.
2.
Kalau kita bandingkan isi pasal ini dengan pasal 295 HIR, maka
sebagian daripada alat-alat bukti dalam perkara perdata ini berlainan dari
alat-alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Kalau dalam pembuktian
perkara pidana, keyakinan hakim mempunyai peranan yang penting, maka dalam
pembuktian perkara perdata tidak demikian. Keyakinan hakim tidak berperanan
sama sekali.
Pasal 165
Surat (Akte)
yang syah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan
pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua
belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya
tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada
dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika
yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte)
itu.
Penjelasan:
"Akte"
yaitu suatu surat, yang ditandatangani, berisi perbuatan hukum, seperti
misalnya suatu persetujuan jual beli, gadai, pinjam-meminjam uang, pemberian
kuasa, sewa-menyewa dan lain sebagainya.
"Surat
(akte) yang syah" yang dimaksud dalam pasal ini ialah akte otentik.
"Akte otentik" yaitu akte yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat
umum yang mengenai isi surat itu berkuasa untuk membuatnya, dan pula berkuasa
di tempat surat itu dibuat seperti misalnya Akte notaris, berita acara, Akte
yang dibuat oleh juru sita, oleh pejabat Kantor "Burgerlijke Stand" dan
lain sebagainya. Lawannya adalah Akte bawah tangan.
"Akte
bawah tangan" yaitu suatu akte yang ditandatangani di bawah tangan dan
dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum, seperti misalnya akte jual beli,
sewa-menyewa, utang-piutang dan lain sebagainya yang dibuat tanpa perantaraan
pejabat umum.
Menurut
pasal 165 ini, Akte otentik itu merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya,
tentang segala hal yang disebutkan dalam akte itu dan juga tentang yang ada
dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja. Isi dari akte otentik itu dianggap
tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa apa
yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai benar, tetapi tidaklah demikian
halnya.
Akte bawah
tangan pun mempunyai kekuatan bukti seperti akte otentik, apabila akte itu
diakui oleh pihak, terhadap siapa akte itu dipakai sebagai alat bukti.
Bedanya
kekuatan Akte otentik dan Akte bawah tangan antara lain adalah, bahwa apabila pihak
lain mengatakan, bahwa isi Akte otentik itu tidak benar, maka pihak yang
mengatakan itulah yang harus membuktikan, bahwa akte itu tidak benar, sedangkan
pihak yang memakai Akte itu tidak usah membuktikan, bahwa isi akte itu betul,
sedangkan pada akte bawah tangan, apabila ada pihak yang meragukan kebenaran
akte tersebut, maka pihak ini tidak perlu membuktikan, bahwa akte itu tidak
betul, akan tetapi pihak yang memakai Akte itulah yang harus membuktikan bahwa
akte itu adalah betul.
Pasal 166
Dicabut menurut
Staatblad 1927 Nomor 146.
Pasal 167
Hakim dapat
memberikan kekuatan bukti yang demikian syah pada pembukuan seseorang, buat
keuntungan orang itu, sebagaimana patut menurut pikirannya, sehingga dapat
dihargakan dalam tiap-tiap hal yang istimewa.
Penjelasan:
Apabila
dipandangnya patut, menurut pasal 167 ini, hakim bebas untuk memberikan
kekuatan bukti kepada pembukuan bagi keuntungan orang yang memegang buku itu.
Ini adalah hal yang luar biasa. Biasanya suatu surat tidak mungkin digunakan
sebagai bukti bagi keuntungan orang yang menulisnya; surat itu selalu dipakai
sebagai bukti terhadap dan bagi kerugian orang itu.
Pasal 168
(Ditiadakanolehundang-undangdaruratNo.1/1951).
Pasal 169
Keterangan
dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain, di dalam
hukum tidak dapat dipercaya.
Penjelasan:
Sampai pada
dewasa ini kesaksian itu oleh undang-undang dipandang sebagai bukti yang
penting, walaupun dengan adanya kemajuan teknik pembuktian secara ilmiah dengan
mempergunakan bukti-bukti berupa benda-benda mati seperti sidik jari, telapak
kaki, bekas darah, lampu ultra violet dan lain sebagainya, yang ternyata dapat
lebih dipercaya kebenarannya daripada keterangan dari seseorang saksi.
Berhubung saksi itu amat tidak boleh dipercaya, maka dalam HIR baik untuk
pemeriksaan perkara pidana maupun' perdata seperti yang disebutkan dalam pasal
169 ini ditetapkan sistem "seorang saksi, bukan saksi" yang artinya
untuk menetapkan sesuatu sebagai kebenaran harus didasarkan atas
sedikit-dikitnya dua orang saksi. Apakah sebabnya maka kesaksian itu amat tidak
boleh dipercaya? Oleh karena seorang saksi memberikan keterangan itu acap kali
jauh dari hal yang sebenarnya, sengaja atau tidak sengaja. Hal ini tergantung
sekali kepada kecakapan untuk menangkap dengan panca indera, mengingat apa yang
telah ditangkap, dan menceriterakan kembali apa yang telah ditangkap dan
diingat itu. Orang yang tajam panca inderanya akan lebih dapat menangkap
keadaan dan hal-hal di sekelilingnya daripada orang yang kurang sempurna keadaan
panca inderanya. Seorang yang biasa memusatkan pikirannya, akan lebih baik
dapat mengingat dari orang yang biasa tidak pernah mengontrol pikirannya.
Akhirnya orang yang terdidik akan lebih pandai menguraikan kembali apa yang
telah ia alami daripada seorang yang tidak pernah memperoleh pendidikan
sekolah,
Hal itu
semua tidak berarti, bahwa keterangan seorang saksi itu tidak berarti sama
sekali.
Jikalau menurut pertimbangan hakim keterangan
seorang saksi saja itu dapat dipercaya, maka secara dihubungkan bersama-sama
dengan lain-lain bukti yang syah, dapatlah dijadikan bukti yang lengkap,
artinya apabila di samping penyaksian seorang saksi itu ada alat bukti yang
lain, misalnya suatu persangkaan atau sumpah tambahan, maka hakim boleh
memperhatikan keterangan saksi tunggal itu.
Pasal 170
Jika
kesaksian yang berasing-asing dan yang tersendiri dari beberapa orang, tentang
.beberapa kejadian dapat menguatkan satu perkara yang tertentu oleh karena
kesaksian itu bersetuju dan berhubung-hubungan, maka diserahkan pada
pertimbangan hakim buat menghargai kesaksian yang berasing-asing itu sedemikian
kuat, sehingga menurut keadaan.
Penjelasan:
Pasal ini
menerangkan, bahwa penyaksian yang masing-masing berdiri sendiri dari beberapa
orang, dapat meneguhkan suatu hal yang tertentu, apabila kesaksian-kesaksian
itu satu lama lain bersetuju dan berhubungan, artinya bahwa buat meneguhkan
sesuatu hal, tidaklah diperlukan keterangan dari dua orang saksi, seperti
misalnya A pada suatu waktu yang tertentu meminjam uang sebanyak Rp 100.000,-
dari B dengan tidak ada yang menyaksikan. C seorang saksi lain, tidak
menyaksikan. Pada waktu terjadinya pinjam-meminjam itu, akan tetapi pada saat
lain sesudah pinjam-meminjam uang itu. B mengatakan kepada C bahwa uangnya
sebesar Rp 100.000,- baru saja dipinjamkan kepada A.
Dalam hal
ini sesungguhnya hal peminjaman uang itu tidak disaksikan oleh dua orang
sekaligus, akan tetapi penyaksian dari B dan C itu masing-masing berdiri
sendiri, walaupun demikian satu sama lain bersetujuan dan berhubungan, sehingga
dapat menguatkan hal peminjaman A uang Rp 100.000,- itu dari B.
Pasal 171
(1)
Tiap-tiap kesaksian harus berisi segala sebab pengetahuan.
(2)
Pendapat-pendapat atau persangkaan yang, istimewa, yang disusun
dengan kata akal, bukan kesaksian.
Penjelasan:
Yang
dimaksudkan "sebab pengetahuan" yaitu alasan-alasan pengetahuan,
artinya dasar-dasar seorang saksi dapat mengatakan hal sesuatu dalam
kesaksiannya, seperti misalnya: saksi mengatakan baju itu "kotor",
ini saja belum cukup ia harus dapat mengatakan alasannya ia mengatakan kotor
itu, misalnya "baju itu putih tetapi kena banyak noda-noda hitam"
jadi "kotor".
Misalnya
lagi: Saksi mengatakan, bahwa kendaraan itu memuat "kelebihan", ini
saja tidak cukup, harus disertai alasan pengetahuannya "kelebihan"
itu dan alasan itu dapat berupa begini: menurut surat pemeriksaan kendaraan,
kendaraan itu hanya diperuntukkan memuat paling banyak 7 orang, sedangkan
banyaknya penumpang waktu itu dihitung ada 10 orang, jadi kendaraan memuat
"kelebihan".
Ketentuan
dalam pasal 171 ini ialah bahwa pada umumnya seorang saksi itu harus memberikan
keterangan dari hal-hal yang ia lihat, dengar dan alami sendiri, dan bukanlah
yang ia tahu dari keterangan orang lain, yang biasa disebut kesaksian "de
auditu". Lagi pula seorang saksi harus pula dapat menerangkan
alasan-alasannya ia dapat menyaksikan suatu hal atau peristiwa itu.
Ayat (2)
pasal itu menentukan, bahwa pendapat-pendapat atau pikiran-pikiran dari saksi
sendiri yang biasanya disusun sebagai kesimpulan itu bukan merupakan kesaksian
yang syah.
Pasal 172
Dalam hal
menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang
permufakatan dari saksi-saksi: cocoknya kesaksian-kesaksian dengan yang
diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan; tentang
sebab-sebab, yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan duduk perkara
dengan cara begini atau begitu; tentang peri kelakuan adat dan kedudukan saksi,
dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya
benar atau tidak.
Penjelasan:
Dari bunyi
pasal ini jelaslah bahwa untuk menghargai sesuatu kesaksian itu hakim harus
memperhatikan dengan seksama:
kecocokannya
keterangan saksi yang satu dengan yang lain;
apakah
keterangan saksi itu sesuai dengan apa yang diketahui tentang perkara itu dari
sudut lain;
apakah ada
hubungannya dengan perkara yang dipersengketakan;
peri
kehidupan, adat-istiadat dan martabat saksi;
pada umumnya
segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mempercayai atau tidak
mempercayai saksi.
Jelaslah
bahwa hakim tidak akan menerima begitu saja persaksian seseorang. Hakim
betul-betul harus mempertimbangkan keterangan saksi itu dengan masak-masak.
Saksi harus diuji betul-betul apakah ia dapat dipercaya atau tidak.
Apabila ada alasan-alasan bahwa saksi itu
tidak dapat dipercaya, maka hakim dapat menolak atau tidak menerima
keterangannya.
Mengukur kejujuran orang yang menjadi saksi
itu amat sulit, lebih-lebih apabila saksi itu seorang yang tidak dikenal oleh
hakim, sehingga hakim tidak mengetahui sifat, watak dan keadaan orang itu.
Dalam praktek sering terjadi hakim menaruh
kepercayaan pada seorang saksi yang berdusta, atau sebaliknya menaruh
syakwasangka terhadap saksi yang kelihatannya pembohong, tetapi sebenarnya
seorang saksi yang jujur.
Pasal 173
Persangkaan
saja yang tidak berdasarkan suatu peraturan undang-undang yang tertentu, hanya
harus diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan keputusan jika persangkaan itu
penting, saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan.
Penjelasan:
Pasal ini
memberi ketentuan tentang alat bukti persangkaan, tetapi tidak memberi
perumusan apa yang dinamakan "persangkaan" itu, pasal itu hanya
memberi ketentuan, bahwa persangkaan-persangkaan saja, yang tidak didasarkan
atas suatu undang-undang, hanya boleh diperhatikan oleh hakim pada
mempertimbangkan suatu perkara, kalau persangkaan-persangkaan itu penting,
seksama, tertentu dan bersesuaian satu sama lain.
Dari bunyi
pasal itu dapat diambil kesimpulan, bahwa sebenarnya ada dua macam persangkaan,
yaitu persangkaan saja seperti yang telah diuraikan di atas, dan persangkaan
berdasarkan undang-undang.
Persangkaan-persangkaan
saja itu sifatnya sama dengan "isyarat" atau "penunjukan"
dalam perkara pidana yang tersebut dalam pasal 310, yaitu tidak lain daripada
kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh hakim dari suatu kejadian atau keadaan
yang telah terbukti, sehingga menjelaskan suatu kejadian atau keadaan yang
tidak terbukti.
Kejadian-kejadian
dan keadaan-keadaan yang diketahui itu dapat dibuktikan dengan berbagai-bagai
jalan, misalnya dengan surat-surat, penyaksian-penyaksian, pengakuan,
pemeriksaan setempat dan lain-lain.
Untuk
membuktikan perbuatan atau kejadian yang dikemukakan atau tuntutan yang
tersebut dalam gugatan, misalnya pinjaman uang diperlukan sekurang-kurangnya dua
persangkaan, sebab pasal 173 ini menyebutkan, bahwa persangkaan-persangkaan itu
"satu sama lain harus bersetujuan".
Penilaian
terhadap kekuatan bukti sangkaan saja ini diserahkan kepada kebijaksanaan dan
pendapat hakim, sehingga persangkaan saja itu merupakan bukti bebas, bukan
bukti mutlak.
Apa yang
telah diuraikan di atas itu hanya berlaku bagi "persangkaan saja",
dan tidak berlaku bagi "persangkaan berdasarkan undang-undang". Yang
tersebut terakhir ini adalah persangkaan-persangkaan yang ditetapkan oleh
undang-undang sendiri dan yang bersifat kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya
dari kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang diketahui (periksa pasal 1916
BW).
Suatu
persangkaan semacam itu misalnya apa yang tersebut dalam pasal 1394 BW yang
menetapkan bahwa tentang sewa, bunga uang yang dipinjam, dan umumnya tentang
segala sesuatu yang dapat dibayar dalam jangka setahun atau dengan jangka
tertentu yang lebih pendek, oleh tiga buah kwitansi, dari mana ternyata
pembayaran dari tiga jangka yang berturut-turut, ditimbulkan persangkaan, bahwa
jangka-jangka yang lebih dahulu telah dilunasi, kecuali kalau dapat dibuktikan
yang sebaliknya.
Penilaian
terhadap kekuatan bukti "persangkaan berdasarkan undang-undang" ini
hakim tidak bebas seperti terhadap "persangkaan saja". Orang yang
memakai persangkaan semacam itu, misalnya penyewa bebas dari segala pembuktian
tentang pembayaran yang telah dilakukan itu bagi sewa yang harus dibayarnya,
artinya hakim tidak boleh menuntut pembuktian lain dari padanya, di samping ketiga
lembar kwitansi yang telah diserahkan dalam perkara itu, dari sewa yang telah
dibayarnya lebih dahulu, kecuali apabila pihak lawannya membuktikan sebaliknya.
Oleh karena
itu "persangkaan berdasarkan undang-undang" ini adalah merupakan
bukti mutlak, bukan bukti bebas.
Pasal 174
Pengakuan
yang diucapkan di hadapan Hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang
yang mengaku itu, baik yang diucapkannya sendiri, maupun dengan pertolongan
orang lain, yang istimewa dikuasakan untuk itu.
Penjelasan:
1.
Pengakuan itu ada dua macam, yaitu "pengakuan di muka
hakim" (pasal 174) dan "pengakuan di luar sidang" (pasal 175).
Pengakuan di muka hakim, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan pertolongan
kuasanya, merupakan bukti yang cukup dan mutlak, artinya hakim harus menerima
pengakuan itu sebagai bukti yang cukup. Misalnya apabila tergugat mengakui apa
yang menjadi tuntutan penggugat, maka bagi hakim tidak ada lain jalan daripada
ia harus menerima gugatan itu dan menghukum tergugat, sehingga pengakuan itu
harus dianggap sebagai bukti yang menentukan. Adapun pengakuan di luar sidang
sebaliknya merupakan bukti yang bebas, artinya penentuan harga kekuatan bukti
dari pengakuan ini diserahkan kepada pertimbangan dan pendapat hakim, artinya
hakim bebas untuk menghargai atau tidak menghargai pengakuan itu.
2.
Syarat pengakuan itu harus diucapkan sendiri, atau dengan
pertolongan orang lain yang "istimewa" dikuasakan untuk itu.
Keharusan adanya "kuasa istimewa"
untuk melakukan pengakuan-pengakuan, hendaknya tidak diartikan seperti harus
ada suatu surat kuasa yang khusus guna melakukan pengakuan di dalam tiap-tiap
perkara. Sudah cukup kiranya jikalau di dalam suatu surat kuasa umum dikatakan
secara tentu, bahwa yang menjadi kuasa boleh melakukan pengakuan untuk dan atas
nama yang menguasakan. Sebaliknya surat kuasa umum yang tidak memuat ketentuan
yang demikian, tidaklah cukup bagi yang menjadi kuasa buat melakukan pengakuan
itu.
Perlu dicatat, bahwa pengakuan. di muka hakim
dalam perkara perdata berlainan dengan dalam perkara pidana (pasal-pasal 294
dan 307) tidak memerlukan keyakinan hakim dan tidak usah dikuatkan oleh
keterangan atau alat bukti lain.
Pengakuan itu harus diterima seluruhnya dan
tidak boleh dipisah-pisahkan (Lihat pasal 176).
Pasal 176
Tiap-tiap
pengakuan harus diterima segenapnya, dan hakim tidak bebas akan menerima
sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang mengaku itu,
kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan dirinya,
menyebutkan perkara yang terbukti yang kenyataan dusta.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa tiap-tiap pengakuan itu harus diterima seluruhnya, dan hakim
tidak boleh menerima sebagian dari pengakuan) itu, dan menolak bagian yang
lain, yang akan merugikan orang yang telah mengaku itu, kecuali kalau yang
berhutang dengan maksud untuk membebaskan diri mengemukakan perbuatan atau
kejadian yang terbukti bahwa perbuatan atau kejadian itu palsu, seperti
misalnya orang yang menggugat dalam surat gugatannya telah menerangkan, bahwa
tergugat telah meminjam uang sebanyak satu juta rupiah dari padanya yang harus
dibayar lunas pada tanggal 1 November 1978; bahwa jangka waktu terakhir itu
telah lewat, akan tetapi tergugat telah menolak untuk membayar hutang itu; dan
bahwa ia oleh karena itu memohon supaya tergugat itu dihukum untuk membayar
uang satu juta rupiah kepada penggugat.
Atas gugatan
itu tergugat menjawab, bahwa kejadian-kejadian yang dikemukakan penggugat itu
adalah benar, akan tetapi ia menambahkan pada keterangannya itu, bahwa ia telah
melunasi hutang satu juta rupiah itu seluruhnya pada penggugat; hal ini
disangkal oleh penggugat.
Memisah-misahkan
pengakuan itu misalnya: Tergugat yang tersebut di atas itu sebagai jawaban atas
gugatan itu. memberikan suatu keterangan; sebagian dari keterangan itu
mengandung suatu pengakuan, sebagian yang lain berisi suatu pembelaan (sudah
membayar lunas) yang pada hakekatnya akan membatalkan gugatan itu.
Andaikata
sekarang hakim memisahkan pengakuan itu dari bagian yang lain dari keterangan
tergugat itu, dan menganggap pengakuan itu sebagai suatu pengakuan yang berdiri
sendiri, maka pemisahan pengakuan itu akan memberi akibat, bahwa pihak yang
menggugat tidak akan perlu membuktikan lagi dasar-dasar gugatannya yang telah
dimajukan itu.
Tindakan
hakim untuk memisahkan pengakuan di atas itu tidak diperkenankan oleh pasal
176, sebab pemisahan pengakuan seperti itu akan merugikan. orang (tergugat)
yang memberikan keterangan tersebut, yang hanya untuk sebagian mengandung suatu
pengakuan.
Pasal 177
Kepada
seorang, yang dalam satu perkara telah mengangkat sumpah yang ditanggungkan
atau ditolak kepadanya oleh lawannya atau yang disuruh sumpah oleh hakim tidak
dapat diminta bukti yang lain untuk menguatkan kebenaran yang disumpahkannya
itu.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan kekuatan bukti dari sumpah, yang mengatakan bahwa dari orang yang
dalam suatu perkara telah mengangkat sumpah yang diperintahkan kepadanya oleh
pihak lawan, atau yang dipulangkan kepadanya, atau yang diperintahkan oleh
hakim kepadanya, tidak boleh diminta bukti-bukti lain untuk menguatkan apa yang
telah diucapkannya dalam. sumpah itu.
Apakah sumpah itu? Suatu sumpah yaitu suatu
keterangan yang diucapkan dengan khidmad, bahwa jika orang yang mengangkat
sumpah itu memberi keterangan yang tidak benar, ia bersedia untuk dikutuk oleh
Tuhan. Oleh karena itu maka sumpah adalah suatu cara untuk menguatkan suatu
keterangan seseorang sebagai satu pihak dalam suatu perkara, dan menjadi alat
bukti yang sesungguhnya amat lemah, sebab banyak orang tidaklah begitu takut
akan kutukan Tuhan. Oleh karena itu perintah untuk bersumpah itu dipakai
sebagai alat bukti, jikalau tidak ada jalan yang lain lagi.
Sumpah itu
ada dua macam, yaitu:
a.
Sumpah pihak, atau sumpah "decisoir", yaitu sumpah yang
dibebankan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak yang lain;
b.
Sumpah jabatan, atau sumpah suppletoir, yaitu sumpah.. yang
menurut jabatan diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang
berperkara.
Menurut pasal 177 ini ternyata dengan jelas,
bahwa sumpah itu baik decisoir maupun suppletoir merupakan bukti yang mutlak,
artinya setelah pihak yang bersangkutan mengangkat sumpah, maka hakim harus
menetapkan keterangan untuk apa pihak itu telah bersumpah sebagai telah cukup
terbukti, meskipun barangkali ia sendiri tidak yakin tentang kebenaran
keterangan itu.
Lagi pula pihak lawan tidak diperkenankan
untuk melawan pada kebenaran sumpah yang telah diucapkan itu; walaupun hal ini
tidak mengurangkan, bahwa ia senantiasa berhak untuk mengadukan pihak lawannya
supaya dituntut kriminal tentang sumpah palsu yang tersebut dalam pasal 242
KUHP.
Bagian
Ketiga
TENTANG
MUSYAWARAT DAN KEPUTUSAN
Pasal 178
Hakim karena
jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum; yang
tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.
Hakim wajib
mengadili atas segala bahagian gugatan.
Ia tidak
diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau
memberikan lebih dari pada yang digugat.
Penjelasan:
Dalam ayat
(1) hakim harus mencukupkan segala alasan hukum. Apakah yang dimaksud
"alasan hukum" itu? Alasan-alasan hukum yaitu pasal-pasal dari
peraturan-peraturan undang-undang yang digunakan sebagai dasar tuntutan
penggugat, atau dasar yang digunakan hakim untuk meluluskan atau menolak
tuntutan penggugat.
Dengan
adanya ketentuan ini maka penggugat sebenarnya sekali-kali tidak perlu khawatir
kalau ia lupa tidak menyebutkan atau keliru mengemukakan pasal
perundang-undangan yang ia pakai untuk mendasarkan tuntutannya, sebab semuanya
itu toh akan dibetulkan oleh hakim yang pada hakekatnya berkewajiban menggunakan
peraturan perundang-undangan dalam mempertimbangkan perkara yang berada di
tangannya.
Ayat (2)
mewajibkan kepada hakim mengadili dan memberikan putusan atas semua bagian dari
apa yang digugat atau dituntut, artinya apabila dalam gugatan itu disebutkan
beberapa hal yang dituntut seperti misalnya membayar pokok hutang, membayar
bunga dan membayar kerugian, maka atas ketiga macam tuntutan ini Pengadilan
Negeri harus dengan nyata memberikan keputusannya. Tidak diperkenankan
misalnya, apabila atas tuntutan yang pertama ia memberi keputusan meluluskan,
sedangkan tuntutan kedua dan ketiga tidak ia singgung sama sekali karena
persoalannya sulit umpamanya.
Ayat (3)
melarang hakim untuk menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat atau
meluluskan yang lebih daripada yang digugat, seperti misalnya apabila seorang
penggugat dimenangkan di dalam perkaranya untuk membayar kembali uang yang
dipinjam oleh lawannya, akan tetapi ia lupa untuk menuntut agar supaya tergugat
dihukum pula membayar bunganya, maka hakim tidak diperkenankan menyebutkan
dalam putusannya supaya yang kalah itu membayar bunga atas uang pinjaman itu.
Pasal 179
(1)
Sesudah keputusan diperbuat dengan mengingat aturan-aturan di atas
ini, maka kedua belah fihak dipanggil masuk kembali dan keputusan diumumkan
oleh ketua.
(2)
Jika kedua fihak atau salah satu dari mereka tidak hadir pada
waktu keputusan itu diumumkan, maka isi keputusan itu atas perintah ketua
diberitahukan kepadanya oleh seorang pegawai yang diwajibkan untuk itu.
(3)
Ayat penghabisan dari pasal 125 berlaku dalam hal ini.
Penjelasan:
Menurut
hasil-hasil pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan, dengan memperhatikan
peraturan tentang pembuktian dan pula dengan memperhatikan hukum perdata
material yang berlaku antara kedua belah pihak, maka hakim mengambil keputusan
dalam sidang, tertutup tanpa hadirnya kedua belah pihak dan para penonton, yang
mungkin merupakan keputusan sela atau keputusan akhir, semuanya ini tergantung
daripada tingkat pemeriksaan perkara itu.
Ayat (1)
pasal ini menentukan, bahwa sesudah keputusan itu diumumkan, maka atas perintah
ketua pengadilan isi keputusan itu diberitahukan kepada mereka oleh seorang
pegawai yang diwajibkan untuk itu (ayat (2) pasal ini).
Selanjutnya
ayat (3) menerangkan bahwa ayat penghabisan pasal 125 berlaku dalam hal ini,
yang artinya bahwa panitera pengadilan harus mencatat di bawah surat keputusan
itu kepada siapakah dulunya diperintahkan menjalankan pemberitahuan itu, dan
apakah yang diterangkan orang itu tentang hal tersebut, baik dengan surat
maupun dengan lisan.
Pasal 180
Ketua
pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu
biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang syah, suatu surat
tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika
ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti,
demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan
tentang hak kepunyaan.
Akan tetapi
hal menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang
disanderakan.
Penjelasan:
Ada
anggapan, bahwa keputusan hakim itu baru dapat dijalankan, baik dengan jalan
penagihan, penyitaan atau penyanderaan, maupun dengan jalan paksaan langsung,
ialah sesudahnya keputusan itu memperoleh kekuatan yang pasti, yaitu setelah
lampau waktu buat mengadakan perlawanan naik banding atau kasasi. Keharusan
menunggu ini sesungguhnya dapat menimbulkan kesukaran.
Dari bunyi
pasal 180 ini ternyata bahwa Pengadilan Negeri boleh memerintahkan supaya
keputusan hakim itu dijalankan dahulu, walaupun pihak yang kalah membantah
keputusan itu atau naik banding. Apakah hakim boleh memerintahkan menjalankan
keputusan dengan segera tanpa diminta oleh yang berkepentingan? Di dalam HIR
tidak ada ketentuan tentang hal itu. Mr. R. Tresna dalam bukunya
"HIR" menjelaskan, bahwa menurut pendapat umum yang juga diikuti di
dalam praktek pengadilan, hal itu tidak diperkenankan. Oleh karena itu
dianjurkan sebaiknya di dalam surat gugatan dicantumkan permintaan itu, agar di
kemudian hari tidak harus mengalami kekecewaan.
Sekarang
bagaimanakah akibatnya, apabila keputusan yang telah dijalankan dengan segera
itu, di dalam pemeriksaan banding dibatalkan? Sudah barang tentu oleh karena
ada pembatalan itu maka keputusan hakim semula harus dianggap tidak ada, dan
harus diadakan pemulihan terhadap apa yang sudah dijalankan, artinya kedua
belah pihak harus dikembalikan kepada keadaan semula.
Ayat (2)
pasal 180 membatasi, bahwa menjalankan putusan hakim dengan segera itu sekali-kali
tidak diperkenankan sampai berakibat orang disandera.
Pasal 181
(1)
Barang siapa, yang dikalahkan dengan keputusan akan dihukum
membayar biaya perkara. Akan tetapi semua atau sebagian biaya perkara itu dapat
diperhitungkan antara: laki isteri, keluarga sedarah dalam turunan yang lurus,
saudara laki-laki dan saudara perempuan atau keluarga semenda, lagi pula jika
dua belah fihak masing-masing dikalahkan dalam beberapa hal;
(2)
Pada keputusan sementara dan keputusan yang lain yang lebih dahulu
dari keputusan penghabisan maka dapatlah keputusan tentang biaya perkara
ditangguhkan sampai pada waktu dijatuhkan keputusan terakhir.
(3)
Biaya perkara yang diputuskan dengan keputusan sedang yang
dikalahkan tak hadir, harus dibayar oleh orang yang dikalahkan, meskipun ia
akan menang perkara sesudah dimajukan perlawanan atau bandingan, kecuali pada
waktu pemeriksaan perlawanannya atau bandingannya, bahwa ia tidak dipanggil
dengan patut.
(4)
Di dalam hal yang tersebut pada pasal 127, maka ongkos panggilan
ulangan orang-orang tergugat yang tidak datang, harus dibayar oleh orang-orang
yang tergugat itu, meskipun mereka menang perkara, kecuali jika pada waktu
persidangan pertama mereka itu ternyata tidak dipanggil dengan patut.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka pihak yang kalah harus dihukum untuk membayar ongkos perkara,
dan menurut keadaan pembayaran ongkos perkara itu dapat diperhitungkan antara:
laki dan
isteri,
keluarga
sedarah turunan lurus, yaitu misalnya antara anak dan orang tua, antara cucu
dan, kakek/nenek dan sebagainya,
saudara
laki-laki dan saudara perempuan,
keluarga-keluarga
semenda atau keluarga karena perkawinan, seperti misalnya ipar laki-laki, ipar
perempuan dan sebagainya,
kedua belah
pihak masing-masing yang dikalahkan dalam beberapa hal.
Ayat (2)
menentukan, bahwa penghukuman membayar ongkos itu senantiasa ditentukan dalam
surat keputusan terakhir.
Apabila
sebelumnya ada penghukuman-penghukuman membayar ongkos perkara dalam keputusan
sementara atau keputusan-keputusan sela lainnya, maka semuanya itu ditangguhkan
sampai pasta waktu dijatuhkan keputusan yang terakhir.
Ayat (3)
menentukan, bahwa pihak yang dikalahkan dengan keputusan "verstek",
senantiasa harus dihukum membayar ongkos perkara, walaupun ia kelak bisa menang
perkara dalam perlawanannya terhadap putusan-verstek itu.
Pasal 182
(1)
Hukuman membayar biaya itu dapat meliputi tidak lebih dari:
1o.
biaya kantor panitera dan biaya meterai, yang perlu dipakai dalam
perkara itu;
2o.
biaya saksi, orang ahli dan juru bahasa terhitung juga biaya
sumpah mereka itu, dengan pengertian bahwa fihak yang meminta supaya diperiksa
lebih dari lima orang saksi tentang satu kejadian itu, tidak dapat
memperhitungkan bayaran kesaksian yang lebih itu kepada lawannya;
3o.
biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim dan lain-lain;
4o.
gaji pegawai yang disuruh melakukan panggilan, pemberitahuan dan
segala surat jurusita yang lain;
5o.
biaya yang tersebut pada pasal 138, ayat keenam;
6o.
gajih yang harus dibayar kepada panitera atau pegawai lain karena
menjalankan keputusan;
semuanya itu menurut undang-undang dan daftar
harga yang telah ada atau yang akan ditetapkan kemudian oleh Menteri Kehakiman
dan jika itu tidak ada menurut taksiran ketua.
Pasal 183
Banyaknya
biaya perkara, yang dijatuhkan pada salah satu fihak harus disebutkan dalam
keputusan.
Aturan itu berlaku
juga tentang jumlah biaya, kerugian dan bunga uang, yang dijatuhkan pada satu
fihak untuk dibayar kepada fihak yang lain.
Penjelasan:
Kedua pasal
tersebut mengatur tentang penghukuman untuk membayar ongkos perkara yang harus
dibebankan pada pihak yang kalah. Pasal 182 menyebutkan perincian dari hal-hal
yang boleh ditarik biaya. Jenis-jenis pengeluaran di luar perincian itu tidak
boleh dimasukkan dalam ongkos perkara.
Penentuan
jumlahnya harus didasarkan atas tarip yang ada atau yang akan ditetapkan oleh
Departemen Kehakiman, atau kalau tidak ada, didasarkan atas taksiran Ketua
pengadilan.
Pasal 184
Keputusan
harus berisi keterangan ringkas, tetapi yang jelas gugatan dan jawaban, serta
dasar alasan-alasan keputusan itu: begitu juga keterangan, yang dimaksud pada
ayat keempat pasal 7. Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta
Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia dan akhirnya keputusan pengadilan, negeri
tentang pokok perkara dan tentang banyaknya biaya, lagi pula pemberitahuan
tentang hadir tidaknya kedua belah fihak pada waktu mengumumkan keputusan itu.
Di dalam
keputusan-keputusan yang berdasarkan pada aturan undang-undang yang pasti, maka
aturan itu harus disebutkan.
Keputusan-keputusan
itu ditandatangani oleh ketua dan panitera.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka surat keputusan hakim itu harus berisi:
a.
suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan,
b.
jawaban tergugat atas gugatan itu,
c.
alasan-alasan keputusan,
d.
keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara,
e.
keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu
keputusan itu dijatuhkan,
f.
kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus
disebutkan,
g.
tanda-tangan hakim dan panitera.
Dicatat di
sini, bahwa tentang isi keputusan pengadilan pasal 23 Undang-undang Pokok
Kehakiman (UU No. 14/1970) mengatakan bahwa:
1)
Segala keputusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
2)
Tiap putusan Pengadilan harus ditandatangani oleh Ketua, Hakim
Anggota yang memutus dan Panitera yang ikut bersidang.
3)
Penetapan-penetapan, ikhtisar-ikhtisar rapat permusyawaratan dan
berita-acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera.
Apakah
keputusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata apabila tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan di atas itu menjadi batal? Di dalam HIR tidak ada
ketentuannya.
Pasal 185
Keputusan
yang bukan keputusan terakhir, sungguhpun harus diucapkan dalam persidangan
juga, tidak diperbuat masing-masing sendiri, tetapi hanya dilakukan dalam surat
pemberitaan persidangan.
Kedua belah
fihak dapat meminta supaya diberikan kepada masing-masing salinan yang sah dari
peringatan yang demikian dengan membayarnya sendiri.
Penjelasan:
Menurut
penjelasan Mr.R.Tresna dalam bukunya yang berjudul "Komentar H.I.R., maka
yang dimaksud dengan "putusan yang bukan putusan, terakhir itu mungkin apa
yang dinamakan "interlocutoire vonnis", suatu macam keputusan yang
tidak dikenal oleh H.T.R. Mungkin juga yang dimaksud adalah yang biasa disebut
"provisionele vonnis" sebagaimana yang disebut dalam pasal 180 H.I.R.
yang telah kita kenal sebagai keputusan hakim yang segera harus dijalankan.
Sesungguhnya
hukum acara pidana itu mengenal beberapa macam keputusan, tetapi tidak dimuat
dalam H.I.R., oleh karena H.I.R. dulu dibuat untuk mengadili golongan Bumiputra
dan sengaja dibuat sesederhana mungkin.
Untuk
diketahui ada baiknya macam-macam keputusan itu disajikan di bawah ini:
a.
keputusan declaratoir: yaitu keputusan yang hanya menegaskan
sesuatu keadaan hukum semata-mata, misalnya tentang anak yang syah, tentang hak
milik atas suatu benda dan lain sebagainya.
b.
keputusan constitutief: yaitu suatu keputusan yang mentiadakan
sesuatu keadaan hukum atau yang menimbulkan sesuatu keadaan hukum baru,
diantaranya: keputusan-keputusan yang memutuskan perkawinan pernyataan jatuh
pailit dan lain sebagainya.
c.
keputusan condemnatoir: yaitu keputusan yang menetapkan bagaimana
hubungannya sesuatu keadaan hukum (duduknya hubungan hukum), disertai dengan
penetapan hukuman terhadap salah satu pihak.
Keputusan-keputusan serupa ini merupakan
sekalian keputusan declaratoir, oleh karena hakim, sebelum menjatuhkan keputusannya,
lebih dahulu menetapkan bagaimana duduknya hubungan hukum diantara kedua belah
pihak itu.
Sebagian besar dari keputusan-keputusan hakim
termasuk golongan keputusan ini, dan dari ini sebagian besar lagi mengandung
hukuman membayar sejumlah uang.
d.
keputusan preparatoir: yaitu keputusan persiapan mengenai jalannya
pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan keputusan
terakhir, misalnya keputusan hakim untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
e.
keputusan interlocutoir: yaitu keputusan hakim dengan mana sebelum
dijatuhkan keputusan, diperintahkan mengadakan pemeriksaan dahulu, yang dapat
mempengaruhi bunyinya keputusan terakhir, seperti misalnya tentang mendengar
saksi, mengambil sumpah, pemeriksaan buku, pemeriksaan ahli dan lain-lain.
Bedanya di antara keputusan preparatoir dan
interlocutoir, terutama terlihat di dalam pengaduan banding dan kasasi.
Jikalau terhadap keputusan preparatoir,
banding itu baru dapat diajukan sekalian dengan banding terhadap keputusan
terakhir, maka banding terhadap keputusan interlocutoir dapat segera diajukan,
kecuali jika hakim menetapkan lain.
f.
keputusan incidentieel: yaitu keputusan atas sesuatu perselisihan,
yang tidak begitu berhubungan dengan pokok perkaranya, seperti misalnya
keputusan atas tuntutan supaya lawan di dalam perkara mengadakan jaminan
terdahulu, yang dinamakan "cautie" (cautie judicatum solvi);
begitupun keputusan yang membolehkan seseorang ikut serta di dalam perkara
(voegirrg, tusschenkomst atau vrijwaring).
g.
keputusan provisioneel: yaitu keputusan atas tuntutan supaya di
dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu,
sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu
pihak atau ke dua belah pihak.
Keputusan yang demikian itu banyak digunakan
di dalam pemeriksaan singkat (kortgeding).
h.
keputusan, contradictoir: yaitu keputusan di dalam perkara di mana
tidak saja yang digugat mengadakan perlawanan, melainkan juga jikalau yang
digugat itu segera menerima tuntutan penggugat.
i.
keputusan verstek: yaitu keputusan di mana yang digugat, meskipun
dipanggil sebagaimana mestinya, tidak datang menghadap atau tidak menyuruh
orang lain menghadap untuknya sebagai kuasa.
Pasal 186
(1)
Panitera membuat berita acara dari tiap-tiap satu perkara di dalam
berita acara itu disebut juga selain dari yang terjadi dalam persidangan,
nasehat yang tersebut pada ayat ketiga pasal 7 Reglemen tentang Aturan Hakim
dan Mahkamah serta Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia.
(2)
Berita acara ini ditandatangani oleh hakim dan panitera.
Pasal 187
(1)
Jika ketua tidak dapat menandatangani keputusan atau berita acara
persidangan, maka hal itu dilakukan oleh anggota yang turut dalam pemeriksaan
perkara itu, yang tingkat jabatannya langsung di bawah ketua.[*])
(2)
Jika panitera tidak dapat menandatangani keputusan hukuman atau
berita acara persidangan maka hal itu harus di jelaskan dalam keputusan atau
berita acara.
Penjelasan:
Menurut
pasal 186 bagi pemeriksaan tiap-tiap suatu perkara Panitera Pengadilan harus
membuat berita-acara persidangan yang harus berisi segala sesuatu yang telah
terjadi selama persidangan, juga keterangan yang dimaksud pada ayat tiga pasal
7 Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan Kehakiman di
Indonesia (R.O.). "Keterangan" yang dimaksud di sini adalah nasihat
dari Penasihat (Penghulu) yang di zaman Hindia-Belanda harus ikut duduk dalam
persidangan (Landraad").
Di dalam
susunan Pengadilan Negeri sekarang ini Penasehat (Penghulu) itu sudah tidak ada
lagi, sehingga ""keterangan" itu tidak perlu ada. Walaupun pada
hakekatnya pada waktu majelis hakim Pengadilan Negeri mengambil keputusan
dengan berdasarkan suara terbanyak, akan tetapi menurut bunyi pasal 136 ini, di
dalam berita acara persidangan itu tidak boleh disebutkan. bahwa keputusan itu
dijatuhkan dengan suara terbanyak atau dengan suara bulat.
Berita-acara
itu harus ditanda-tangani oleh Ketua dan Panitera Pengadilan, yang berdasarkan
pasal 187, apabila Ketua tidak dapat menanda tangani putusan hakim dan
berita-acara persidangan, maka hal itu harus dikerjakan oleh hakim anggota yang
ikut memeriksa perkara itu, yang pangkatnya setingkat di bawah pangkat ketua.
Kalau yang
tidak dapat menanda tangani itu Panitera, maka tidak perlu diganti, tetapi
cukup hal itu disebutkan saja dalam berita-acara.
Bagian Keempat
TENTANG
MEMBANDING KEPUTUSAN (APEL)
Pasal 188
s/d pasal 194. (Ditiadakan oleh undang-undang darurat No. 1/1951).
Bagian
Kelima
TENTANG
MENJALANKAN KEPUTUSAN
Pasal 195
(1)
Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang
pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan
dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa
perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut ini:
(2)
Jika hal itu harus dilakukan sekaligus atau sebagian, di luar
daerah hukum pengadilan negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya meminta
bantuan ketua pengadilan yang berhak, dengan surat demikian juga halnya di luar
Jawa-Madura.
(3)
Ketua pengadilan negeri yang bantuannya diminta, berlaku sebagai
ditentukan pada ayat di atas ini juga, jika nyata padanya, bahwa hal
menjalankan keputusan itu harus terjadi sekaligus atau sebagian di luar daerah
hukumnya pula.
(4)
Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya oleh rekannya
dari luar Jawa dan Madura, berlaku peraturan dalam bahagian ini, tentang segala
perbuatan yang akan dilakukan disebabkan perintah ini.
(5)
Ketua yang diminta bantuannya itu, memberitahukan dalam dua kali
dua puluh empat jam, segala daya upaya yang telah diperintahkan dan kemudian
tentang kesudahannya kepada ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama,
memeriksa perkara itu.
(6)
Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang
menyatakan bahwa barang yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti
segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan
negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi penjalanan keputusan itu.
(7)
Dari perselisihan yang timbul dari keputusan tentang perselisihan
itu ketua pengadilan negeri memberitahukan dengan surat tiap-tiap kali dalam tempo
dua kali dua puluh empat jam kepada ketua pengadilan negeri, yang pada tingkat
pertama memeriksa perkara itu.
Penjelasan:
Apabila cara
menjalankan putusan hakim, perdata kita bandingkan dengan cara menjalankan
putusan hakim pidana, maka boleh dikatakan, bahwa cara menjalankan putusan
hakim pidana itu agak mudah, sedangkan cara menjalankan putusan hakim perdata
agak sulit.
Eksekusi
putusan hakim pidana dijalankan oleh Jaksa, sedangkan menjalankan putusan hakim
perdata dilakukan oleh panitera atas perintah hakim pengadilan negeri.
Dalam
perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim
yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang
diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan
hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan
untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya.
Lazimnya
pihak yang kalah dengan kemauan sendiri memenuhi keputusan itu, akan tetapi
sering juga terjadi, bahwa terhukum tidak mau mematuhi keputusan itu.
Dalam hal
ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya
itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi
putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan
pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah
dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau
putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan,
banding atau kasasi.
la lalu
mengajukan permohonan dengan lisan atau dengan surat kepada Hakim Pengadilan
Negeri yang menjatuhkan keputusan itu untuk eksekusi, sebab eksekusi itu
dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan hakim (Iihat pasal 196).
Menurut ayat
(2) pasal 196, apabila keputusan itu sebagian harus dilaksanakan di luar daerah
hukum pengadilan negeri yang telah memutus itu, maka ketua pengadilan negeri
ini meminta bantuan dengan surat kepada pengadilan negeri yang berwenang di
daerah itu.
Menurut ayat
(5) pasal 196, ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya dalam dua kali
dua puluh empat jam harus memberitahukan kepada ketua pengadilan negeri yang
meminta bantuan, segala daya upaya atau usaha yang telah diperintahkan dan
kemudian tentang kesudahannya.
Menurut ayat
(6) apabila timbul perlawanan terhadap keputusan itu, baik dari pihak. lawan
maupun dari fihak ketiga yang menyatakan bahwa barang-barang yang disita itu
miliknya, maka perselisihan itu diperiksa dan diputus secara lazimnya oleh
Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terhadap eksekusi keputusan itu.
Pasal 196
Jika pihak
yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan
damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun
dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama
pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang
dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam
tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.
Penjelasan:
Biasanya
pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi keputusan hakim, akan
tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak yang menang baik
dengan lisan maupun dengan surat memajukan permintaan kepada pengadilan negeri
yang telah memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Ketua
pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan diberi ingat
supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya delapan
hari, memenuhi keputusan itu.
Setelah
lewat tempoh yang ditetapkan itu dan yang kalah belum juga memenuhi perintah
hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian memerintahkan kepada Panitera
untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang kalah sekira cukup untuk
memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.
Pasal 197
Jika sudah
lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi
keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap,
maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita
sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau
ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan
itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam
keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan
itu.
Penyitaan
dijalankan oleh panitera pengadilan negeri.
Apabila
panitera berhalangan karena pekerjaan jabatannya atau oleh sebab yang lain,
maka ia digantikan oleh seorang yang cakap atau yang dapat dipercaya, yang
untuk itu ditunjukkan oleh ketua atau atas permohonan panitera oleh Kepala
Daerah, dalam hal penunjukkan yang menurut tersebut tadi, ketua berkuasa pula,
menurut keadaan bilamana perlu ditimbangnya untuk menghemat biaya berhubung
dengan jauhnya tempat penyitaan itu harus dilakukan.
Penunjukkan
orang itu dilakukan dengan menyebutkannya saja atau dengan mencatatnya pada
surat perintah yang tersebut pada ayat pertama pasal ini.
Panitera itu
atau orang yang ditunjukkan sebagai penggantinya membuat berita acara tentang
pekerjaannya, dan kepada orang yang disita barangnya itu diberitahukan
maksudnya, kalau ia ada hadir.
Di waktu
melakukan penyitaan itu ia dibantu oleh dua orang saksi, yang namanya,
pekerjaannya dan tempat diamnya disebutkan dalam pemberitaan acara, dan mereka
turut menandatangani surat asli pemberitaan acara itu dan salinannya.
Saksi itu
haruslah penduduk Indonesia, telah cukup umurnya 21 tahun dan terkenal sebagai
orang yang dapat dipercaya pada yang melakukan penyitaan itu.
Penyitaan
barang yang tidak tetap kepunyaan orang yang berutang, termasuk juga dalam
bilangan itu uang tunai dan surat-surat yang berharga uang dapat juga dilakukan
atas barang berwujud, yang ada ditangan orang lain, akan tetapi tidak dapat
dijalankan atas hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh dipergunakan
menjalankan pencaharian orang yang terhukum itu.
Panitera
atau orang yang ditunjuk menggantinya, menurut keadaan, dapat meninggalkan
barang-barang yang tidak tetap atau sebagian dari itu dalam persimpanan orang
yang barangnya disita itu, atau menyuruh membawa sebagian dari barang itu ke
satu tempat persimpanan yang patut. Dalam hal pertama, maka ia memberitahukan
kepada polisi desa atau polisi kampung, dan polisi itu harus menjaga, supaya
jangan ada dari barang itu dilarikan. Opstal Indonesia tidak dapat dibawa ke
tempat lain.
Penjelasan:
Jika tempo
yang diberikan oleh ketua pengadilan sudah lewat dan pemenuhan surat keputusan
belum juga dilaksanakan, maka oleh karena jabatannya, ketua memberi perintah
dengan surat supaya dilakukan penyitaan atas barang-barang yang tidak tetap
(terangkat) milik orang yang kalah, sekira cukup untuk membayar jumlah uang
yang ditagih dan biaya eksekusi. Jika barang-barang tidak tetap tidak ada, atau
tidak cukup banyaknya, supaya disita juga barang-barang yang tetap (tidak
terangkat).
Penyitaan
dilakukan oleh Panitera Pengadilan, jika ia berhalangan digantikan oleh seorang
yang cakap dan boleh dipercaya, yang ditunjuk oleh Ketua atau atas permohonan
panitera, oleh Kepala Daerah Penunjukan orang itu cukup dilakukan dengan
mencatatnya pada surat perintah penyitaan tersebut.
Yang
dimaksud dengan barang-barang tidak tetap atau barang-barang terangkat
(roerendegoederen) yaitu barang-barang yang dapat diangkat seperti misalnya
perabot rumah tangga, kendaraan, barang-barang perhiasan, uang tunai,
surat-surat yang berharga uang, dan barang-barang berwujud lain-lainnya.
Semuanya ini dapat disita, kecuali hewan dan perkakas yang sungguh-sungguh
dipergunakan menjalankan pencahariannya untuk memperoleh nafkah.
Yang dinamakan barang-barang tetap atau
barang-barang tak terangkat (onroerende goederen) yaitu barang-barang yang
tidak dapat diangkat, seperti misalnya tanah, kebun, pekarangan, rumah, gedung
(rumah kampung yang terbuat dari kayu dan bambu beratap genting yang biasa
dapat diangkat, tidak masuk disini), dan lain sebagainya
Barang-barang ini baru dapat disita, apabila
barang-barang yang terangkat tidak ada atau kurang jumlahnya untuk memenuhi
tagihan dan biaya eksekusi.
Panitera
atau orang, penggantinya yang menjalankan putusan hakim dengan menyita
barang-barang itu harus membuat berita acara? tentang pekerjaannya dan kepada
orang yang disita barangnya itu diberitahukan maksudnya, jika ia hadir.
Pada waktu melakukan penyitaan, panitera
dibantu oleh dua orang saksi, penduduk Indonesia yang telah cukup berumur 21
tahun dan dapat dipercaya, yang mana, pekerjaan dan tempat tinggalnya harus
disebutkan dalam berita-acara, dan mereka turut menanda tanganinya.
Di manakah barang-barang yang disita itu
harus disimpan? Menurut keadaan, Panitera dapat meninggalkan barang-barang yang
tidak tetap atau sebagian dari itu dalam penyimpanan orang yang barangnya
disita, atau menyuruh membawa barang itu ke suatu tempat simpanan yang layak.
Polisi desa diberi tahu hal itu dan ia harus menjaga barang yang berada dalam
penyimpanan pemiliknya atau jangan sampai dilarikan.
Yang disebut "opstal Indonesia"
yaitu bangunan atau rumah orang-orang Indonesia dari kayu atau bambu yang tidak
melekat (ditembok) pada tanah (yang dapat dipindah-pindah) seperti pernah
diuraikan di atas.
Yang
dimaksudkan oleh ayat (8) dengan "yang ada di tangan orang lain"
yaitu bahwa penyitaan juga boleh dilakukan terhadap barang-barang dan
sebagainya itu milik pihak yang kalah, akan tetapi yang berada di tangan pihak
ketiga.
Dalam hal ini satu salinan
"exploit" penyitaan diberikan kepada pihak ke tiga itu, dan pihak
ketiga ini berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap penyitaan itu;
perlawanan ini diperiksa dan diputus menurut cara yang lazim oleh Pengadilan
Negeri.
Orang yang
disita itu tidak diperkenankan memindahkan ke tangan lain, membebani atau
menyewakan barang-barang yang disita itu, dan seterusnya ia sebagai penyimpan
barang-barang sitaan itu menurut pasal 281 K.U.H.P. dapat dipidana, jika ia
dengan sengaja menyingkirkan atau menggelapkan sebuah atau lebih dari
barang-barang yang disita itu.
Setelah
penyitaan itu kemudian menyusul penjualan barang-barang yang disita dengan
pertolongan kantor lelang atau oleh Panitera sendiri yang menyita (pasal 200).
Terhadap penyitaan dan penjualan ini yang
disita dapat memajukan perlawanan, kalau ada alasan-alasan tertentu, seperti
misalnya ia sementara telah membayar memenuhi keputusan hakim itu.
Perlawanan ini diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Negeri menurut cara biasa, akan tetapi hal ini tidak menghalangi
eksekusi putusan, kecuali kalau hakim memerintahkan untuk menundanya sambil
menunggu keputusan tentang perlawanan itu (pasal 207).
Pasal 198
(1)
Jika disita barang yang tetap, maka surat pemberitaan acara
penyitaan itu diumumkan, walaupun barang tetap itu sudah atau belum dibukukan
menurut ordonansi tentang membukukan hypotheek atas barang itu di Indonesia
(Staatsblad 1834 No. 27) dengan menyalin pemberitaan acara itu di dalam daftar
yang tersebut pada pasal 50 dari aturan tentang menjalankan undang-undang
baharu (Staatsblad 1848 No. 10); dan jika tidak dibukukan menurut ordonansi
yang tersebut di atas ini, dengan menyalin pemberitaan acara itu dalam daftar
yang disediakan untuk maksud itu dengan menyebut jam, hari, bulan dan tahun itu
harus disebut oleh panitera pada surat asli yang diberikan kepadanya.
(2)
Lain dari itu orang yang disuruh menyita barang itu, memberi
perintah kepada kepala desa supaya hal penyitaan barang itu diumumkan di tempat
itu menurut cara yang dibiasakan, sehingga diketahui seluas-luasnya oleh ketua,
yang tinggal di tempat penjualan itu dilakukan atau di dekat tempat itu.
(2)
Akan tetapi jika penjualan, yang dimaksud dalam ayat pertama,
harus dilakukan untuk menjalankan suatu keputusan berguna untuk membayar suatu
jumlah, yang lebih dari tiga ratus rupiah, biaya perkara tidak dihitung, atau
jika menurut timbangan ketua ada persangkaan, bahwa barang yang disita itu dikuatirkan
tidak akan menghasilkan lebih dari tiga ratus rupiah, maka penjualan itu
sekali-kali tidak dapat dilakukan dengan perantaraan kantor lelang.
(3)
Penjualan dalam hal ini akan dilakukan oleh orang yang menjalankan
penyitaan itu, atau oleh orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, seperti
dimaksud pada ayat pertama. Orang yang diperintahkan menjual itu memberi
pertelaan dengan surat kepada ketua tentang kesudahan penjualan itu.
(4)
Yang terhukum berkuasa akan menunjukkan tertib barang, sitaan yang
akan dijual itu.
(5)
Setelah hasil penjualan barang itu sama dengan jumlah yang
tersebut dalam keputusan yang dilakukan ditambah dengan biaya untuk menjalankan
keputusan itu, maka penjualan itu dihentikan dan barang-barang yang selebihnya,
pada saat itu juga dikembalikan kepada yang terhukum.
(6)
Penjualan barang-barang yang tidak tetap, dilakukan diumumkan pada
waktunya menurut kebiasaan setempat; penjualan tidak dapat dilakukan sebelum
lewat hari kedelapan setelah barang-barang itu disita.
(7)
Jika bersama-sama dengan barang yang tidak tetap barang yang tetap
disita dan dari barang-barang yang tidak tetap itu tidak ada yang Akan lekas
jadi busuk, maka penjualan itu dengan memperhatikan tertib yang diberikan
dilakukan serentak pada satu waktu; akan tetapi hanya sesudah diumumkan dua
kali yang berselang 15 hari;
(8)
Jika penyitaan itu dilakukan semata-mata atas barang-barang.
Penjelasan:
Jika disita
barang tetap (tak terangkat), maka berita acara penyitaan itu dimaklumkan
kepada umum. Adapun jalannya dua macam yaitu:
kalau barang
yang disita itu telah didaftar menurut Staatsblad 1834 No. 27, dengan menyalin
isi berita acara itu kedalam daftar yang dimaksud dalam pasal 50 Staatsblad
1848 No. 10.
Kalau barang
yang disita itu belum atau tidak didaftar menurut Staatsblad 1834 No. 27, dengan
menyalin berita-acara itu ke dalam daftar yang untuk maksud itu tersedia di
Kantor Panitera.
Dalam daftar
a dan b tersebut di atas itu harus disebutkan jam, hari, bulan dan tahun
pengumuman pensitaan itu.
Semenjak
jam, hari, bulan dan tahun tersebut di atas maka pihak yang disita barangnya
itu tidak dapat lagi memindahkan kepada orang lain, memberatkan atau menyewakan
barang-barang tetap yang disita itu. Kalau ia berbuat demikian, diancam pidana
dalam pasal 281 K.U.H.P. (Pasal 199).
Pasal 199
(1)
Terhitung mulai dari hari pemberitaan acara penyitaan barang itu
diumumkan fihak yang disita barangnya, itu tidak dapat lagi memindahkan kepada
orang lain, memberatkan atau mempersewakan barang-barang tetap yang disita itu.
(2)
Perjanjian yang bertentangan dengan larangan ini, tidak dapat
dipakai akan melawan yang menjalankan penyitaan itu.
Penjelasan:
Menurut
pasal mi maka terhitung mulai jam, hari, bulan dan tahun berita-acara penyitaan
itu dimaklumkan pada umum, pihak yang disita barangnya tidak dapat lagi
memindahkan, memberatkan atau menyewakan barang yang disita itu kepada orang
lain.
Apabila ia
toh berbuat demikian juga, diancam pidana dalam pasal 28 K.U.H.P.
Pasal 200
(1)
Penjualan barang yang disita dilakukan dengan perantaraan kantor
lelang, atau menurut keadaan, menurut pertimbangan ketua, oleh orang yang
melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang
ditunjuk barang yang tetap maka syarat-syarat yang tersebut pada ayat di atas
ini, dipakai bagi penjualan itu.
(9)
Penjualan barang tetap yang kenyataan berharga lebih dari seribu
rupiah, harus diumumkan suatu kali, selambat-lambatnya empat belas hari sebelum
hari penjualan, di dalam suatu surat kabar harian yang terbit di tempat barang
itu akan dijual, dan jika tidak ada surat kabar harian seperti itu maka
diumumkan dalam surat kabar harian disatu tempat yang terdekat.
(10)
Hak orang yang barangnya dijual, atas barang tetap yang dijual itu
berpindah kepada pembeli, karena pemberian hak padanya setelah ia memenuhi
syarat-syarat pembelian. Setelah syarat-syarat itu dipenuhi maka kepadanya
diberikan surat keterangan oleh kantor lelang, atau oleh orang yang diserahi
penjualan yang bersangkutan.
(11)
Jika orang yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang
yang tetap itu, maka ketua pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada
orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera
pengadilan negeri, jika perlu dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu
ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh
kaum keluarganya.
Penjelasan.
1.
Penjualan barang-barang yang disita dilakukan:
a.
dengan perantaraan kantor lelang.
b.
oleh pejabat yang menyita barang itu, atau
c.
orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, satu sama lain menurut
pertimbangan ketua.
2.
Apabila penjualan itu untuk menjalankan keputusan hakim untuk
membayar jumlah yang tidak lebih dari tiga ratus rupiah di luar ongkos perkara,
atau apabila diduga bahwa penjualan itu tidak akan menghasilkan lebih dari tiga
ratus rupiah, maka penjualan itu tidak boleh dilakukan dengan perantaraan
kantor lelang.
3.
Orang yang barang-barangnya disita berwenang untuk menunjukkan
tertib barang sitaan yang akan dijual. Setelah jumlah uang yang dibutuhkan
tercapai, maka penjualan dihentikan dan barang-barang yang ketinggalan
dikembalikan kepada pemiliknya.
4.
Penjualan barang-barang yang tidak tetap dilakukan setelah
penjualan diumumkan menurut lazimnya di tempat, dan tidak boleh dilakukan
sebelum hari kedelapan sesudah penyitaan barang itu dilakukan. Apabila
barang-barang yang tidak tetap disita bersama-sama barang yang tetap dan barang
yang tidak tetap itu tidak lekas rusak, maka penjualannya dilakukan serempak
pada suatu waktu, akan tetapi sesudah penjualan itu diumumkan dua kali dengan
antara 15 hari.
Jikalau penjualan itu mengenai barang tetap
melulu, yang harganya kira-kira lebih dari seribu rupiah, maka penjualannya
harus diumumkan dalam suatu surat kabar yang terbit pada tempat penjualan,
pengumuman mana dilakukan satu kali, selama-lamanya empat belas hari sebelum
hari penjualan.
5.
Bagaimana kalau keputusan hakim itu mengenai pengosongan barang
tetap oleh pihak yang kalah, atau sesudah barang tetap itu dijual lelang, orang
yang dijual barangnya tidak mau meninggalkan barang itu? Dalam hal ini ketua
pengadilan negeri membuat surat perintah kepada pejabat yang berkuasa
menjalankan penyitaan untuk dengan bantuan panitera serta jika perlu dengan
pertolongan polisi, agar barang tetap itu dikosongkan.
Pasal 201
Jika pada
suatu waktu dimajukan lagi permintaan atau lebih untuk menjalankan keputusan
yang dijatuhkan kepada seorang yang berhutang itu juga, maka dengan satu
pemberitaan disitalah sekian banyak barang-barang, sehingga kiranya cukup untuk
jumlah uang dari keputusan itu bersama-sama dan ditambah pula dengan biaya menjalankan
keputusan itu.
Pasal 202
Jika
dimasukkan lagi permintaan untuk menjalankan keputusan-keputusan yang
dijatuhkan terhadap yang berhutang itu juga, lain dari pada yang dimaksud pada
pasal 195 ayat pertama, oleh hakim dapat pula dikirimkan kepada ketua yang
menyuruh penyitaan itu, supaya dijalankannya. Ketentuan-ketentuan dari pasal
202 berlaku bagi permintaan itu.
Pasal 203
Dalam tempo
yang tersebut dalam pasal di mulai itu, maka keputusan hukuman yang dijatuhkan
kepada seorang yang berhutang itu juga, lain dari pada yang tersebut dalam
pasal 195 ayat pertama, oleh hakim boleh juga dikirimkan kepada ketua yang
telah memberi perintah pensitaan barang itu, supaya dijalankannya. Aturan yang
ditentukan dalam pasal 202 juga berlaku bagi permintaan itu.
Pasal 204
Dalam hal
yang tersebut pada ketiga pasal ini, ketika menentukan cara membagi hasil
penjualan itu di antara penagih hutang, sesudah didengarnya atau dipanggilnya
dengan patut orang yang berhutang dan penagih hutang yang meminta supaya
dijalankan keputusan itu.
Penagih
hutang, yang datang menurut pengadilan yang tersebut pada ayat di atas ini,
dapat meminta bandingan pada pengadilan tinggi tentang pembagian itu bagi
permintaan bandingan itu berlaku pasal 188 sampai pasal 194.
Penjelasan:
Pasal-pasal
201, 202, 203 dan 204 itu memberikan peraturan tentang hal apabila suatu waktu
harus diurus bersama-sama dua permintaan atau lebih untuk menjalankan putusan
hakim yang dijatuhkan pada seorang berutang itu juga, jadi harus mengeksikusi
beberapa keputusan hakim dengan serentak terhadap seorang berutang.
Dalam hal
yang demikian maka harus disitalah dengan satu berita acara sekian banyak
barang-barang orang yang berutang itu, sehingga kiranya cukup untuk membayar
jumlah uang dari semua keputusan itu beserta biaya eksekusinya.
Jika hasil
penjualan barang-barang itu mencukupi untuk membayar semua-hutang maka semua
tagihan dipenuhi dari padanya, dan sisanya dibayarkan kembali kepada pemilik
barang-barang. Apabila basil penjualan tidak mencukupi, maka ketua pengadilan
menentukan cara membagi pendapatan penjualan itu di antara penagih hutang,
yaitu sesudah didengarnya atau dipanggilnya dengan patut orang yang berutang
dan para penagih hutang yang minta supaya dijalankan keputusan itu.
Para penagih
utang yang telah datang memenuhi panggilan ketua, menurut ayat (2) pasal 204,
bila tidak menerima atas putusan ketua itu, boleh minta banding kepada
"Raad van Justitie", sekarang Pengadilan Tinggi.
Pasal
"188 sampai dengan 194" dihapuskan oleh Undang-undang Darurat No.
1/1951 dan yang berlaku untuk hal itu sekarang pasal 7 sampai dengan pasal 15
Undang-undang No. 20/1947.
Pasal 205
Demi
keputusan ketua pengadilan negeri tentang pembahagian itu telah dipastikan,
maka ketua mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau kepada
orang yang diperintahkan melelangkan itu, untuk dipakainya menjadi dasar pada
pembagian uang penghasilan lelang itu.
Penjelasan:
Apabila
keputusan ketua pengadilan negeri tentang pembagian sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 204 itu sudah pasti, maka ketua mengirimkan suatu daftar pembagian
kepada pejabat yang telah menjalankan penjualan lelang, agar supaya dipakai
sebagai dasar pada pembagian uang hasil pelelangan itu.
Pasal 206
s/d pasal 208
(Ditiadakan
oleh undang-undang darurat No. 1/1951).
Pasal 209
(1)
Jika tidak ada atau tidak cukup barang untuk memastikan penjalanan
keputusan, maka ketua pengadilan negeri atas permintaan fihak yang menang
dengan lisan atau dengan surat, memberi perintah dengan surat pada orang yang
berkuasa untuk menjalankan surat sita, supaya orang yang berhutang itu
disenderakan (digijzel).
(2)
Lamanya orang berutang dapat disanderakan, menurut pasal berikut,
harus disebut dalam surat perintah itu.
Penjelasan:
Selain
daripada cara-cara eksekusi keputusan hakim yang telah kita kenal dalam pasal
197 yaitu dengan jalan menyita dan menjual lelang barang-barang milik pihak
yang kalah, apabila ia tidak mau memenuhi keputusan hakim, ada lagi cara yang
lain dengan jalan menyanderakan (gijzeling), yaitu menyuruh tahan pihak yang kalah
di dalam rumah lembaga pemasyarakatan dengan maksud untuk memaksanya supaya
memenuhi keputusan hakim.
Alat
eksekusi penyanderaan itu hanya boleh dipergunakan, jika barang-barang untuk
memenuhi isi keputusan itu tidak ada atau tidak cukup. Ini adalah alat eksekusi
yang penting sifatnya, karena menyangkut kebebasan manusia.
Ketua
pengadilan negeri mengeluarkan surat perintah untuk menyandera itu atas
permintaan, dengan lisan atau tertulis, dari pihak yang menang. Dalam perintah
itu disebutkan berapa lama pihak yang kalah itu akan ditahan (lihat pasal 210).
Perintah itu dijalankan pihak yang berkuasa, yaitu juru-sita. Biaya penahanan
itu, terutama biaya pemeliharaan orang yang disandera, untuk sementara
ditanggung oleh pihak yang mengajukan permintaan untuk menyandera.
Ongkos-ongkos itu di kemudian hari, kalau orang yang ditahan itu memenuhi
sanderanya, akan disuruh menanggung oleh yang disanderakan (lihat pasal 216).
Pasal 210
Penyanderaan
itu diperintahkan untuk enam bulan lamanya, karena hukuman membayar sampai
seratus rupiah; untuk setahun lamanya, karena hukuman membayar lebih dari
seratus sampai tiga ratus rupiah;
untuk dua tahun lamanya, karena hukuman
membayar lebih dari tiga ratus sampai lima ratus rupiah; untuk tiga tahun
lamanya, karena hukuman membayar lebih dari lima ratus rupiah.
Biaya
perkara yang turut ditanggungnya tidak termasuk pada waktu menghitung yang
tersebut di atas ini.
Pasal 211
Penyanderaan
sekali-kali tak dapat diizinkan pada anak dan turunan keluarganya sedarah dan
keluarganya semenda dalam keturunan yang ke atas.
Pasal 212
Orang yang
berutang itu tidak dapat disanderakan:
1o.
di dalam rumah, yang dipergunakan untuk melakukan agama, selama
ada kebaktian;
2o.
pada tempat-tempat, di mana kuasa umum bersidang, selama ada.
Penjelasan:
1.
Pasal 210 mengatur tentang lamanya penyanderaan.
2.
Pasal 211 mengatur tentang larangan permintaan menyandera keluarga
tertentu.
Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dan
keluarga semenda (perkawinan) turunan ke atas yaitu: seperti bapak, ibu, kakek,
nenek dan seterusnya, bapak mertua, ibu mertua, kakek dan nenek mertua dan
seterusnya.
3.
Pasal 212 menentukan tempat-tempat yang dilarang untuk dipakai
sebagai sandera.
Pasal 213
(1)
Jika orang yang berutang itu memajukan perlawanan terhadap
penjalanan penyanderaan itu, berdasarkan pernyataan bahwa perbuatan itu melawan
hukum dan atas itu ia meminta keputusan dengan segera, maka ia harus memasukkan
surat kepada ketua pengadilan negeri, yang memerintahkan penyanderaan itu atau,
jika orang itu menghendaki, supaya ia dibawa menghadap pegawai yang di dalam
kedua hal itu akan memutuskan dengan segera, patut atau tidaknya orang yang
berutang itu disanderakan dahulu, menunggu keputusan pengadilan negeri.
(2)
Ayat yang keempat, keenam dan ketujuh dari pasal 218 berlaku dalam
hal itu.
(3)
Jika orang yang berutang memasukkan perlawanan dengan surat, maka
ia, dapatlah dijaga, supaya jangan melarikan diri, sementara menunggu keputusan
ketua.
Penjelasan:
Apabila
orang yang akan disanderakan itu ingin mengajukan perlawanan terhadap
penjalanan sandera itu, karena dianggapnya tidak syah dan meminta putusan
dengan segera, maka ia harus mengajukan surat kepada ketua pengadilan negeri
yang memerintahkan penyanderaan itu, atau . jika ia menghendaki, dapat juga
dibawa menghadap ketua itu.
Ketua
kemudian akan memutuskan dengan segera, patut atau tidaknya orang itu
disanderakan lebih dahulu atau ditangguhkan dan menunggu keputusan pengadilan
negeri. Dalam hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan dalam ayat (4), (6) dan
(7) dari pasal 218.
Ayat (4)
mengatakan, bahwa perkara itu dikemukakan oleh ketua dalam persidangan
pengadilan negeri yang pertama akan datang dan diputuskan oleh pengadilan
negeri itu dengan sepatutnya menurut pendapatnya, jika perlu, sesudah memeriksa
orang gang akan disanderakan itu dan penagih utang yang mendapat izin akan
menyuruh menyanderakan itu.
Ayat (6)
mengatakan, bahwa dalam segala hal itu boleh dimintakan banding terhadap
putusan pengadilan negeri itu ke pengadilan tinggi, akan tetapi dalam hal ini
putusan pengadilan negeri itu boleh juga dijalankan lebih dahulu.
Ayat (7)
mengatakan bahwa peraturan tersebut dalam pasal 188 sampai dengan pasal 194
berlaku dalam hal itu, akan tetapi menurut UU Darurat No. 1/1951 pasal-pasal
188 s/d 194 itu dlhapuskan. Pasal-pasal itu mengatur tentang hal banding.
Apabila
orang yang akan disanderakan itu mengajukan perlawanan dengan surat, maka
sementara ia menunggu keputusan pengadilan negeri, ia boleh dijaga jangan
sampai melarikan diri.
Dalam
hal-hal tertentu orang yang disanderakan itu harus dikeluarkan dari rumah
lembaga pemasyarakatan (pasal 217), yaitu:
a.
apabila diizinkan oleh pihak yang menang, yang menyuruh
memasukkannya ke dalam tahanan,
b.
apabila memenuhi keputusan membayar uang yang ditagih, biaya-biaya
perkara, biaya menyandera dan pula biaya-biaya yang telah dikeluarkan lebih
dahulu untuk pemeliharaan orang yang disandera.
Pasal 214
Orang yang
berutang yang tidak memajukan perlawanan atau yang ditolak perlawanannya,
dengan segera harus dibawa ke dalam penjara tempat penyanderaan.
Pasal 215
Penjaga penjara
harus memberitahukan hal penyanderaan di dalam waktu dua puluh empat jam pada
panitera pengadilan negeri.
Penjelasan:
Pasal-pasal
214 dan 215 ini mengatur tentang memasukkan orang yang disandera ke dalam rumah
lembaga pemasyarakatan (penjara).
Pasal 214
menentukan, bahwa orang yang kalah yang tidak memasukkan bantahan atau yang
bantahannya ditolak oleh pengadilan negeri, dengan segera harus dibawa ke dalam
rumah lembaga pemasyarakatan (penjara) tempat penyanderaan.
Pasal 215
mengharuskan penjaga penjara (pemimpin lembaga pemasyarakatan) tersebut untuk
memberitahukan hal penyanderaan itu dalam waktu dua puluh empat jam pada
panitera pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 216
Segala biaya
pemeliharaan orang yang disanderakan itu dipertanggungkan pada fihak yang dapat
izin akan menyanderakan itu, dan akan dibayarnya lebih dahulu kepada penjaga
penjara; tiap-tiap kali untuk tiga puluh hari lamanya, menurut aturan yang
telah ada untuk hal itu, atau yang akan diadakan oleh Menteri Kehakiman.
Jika penagih
hutang itu tidak memenuhi kewajiban ini sebelum hari yang ketiga puluh satu,
maka atas permintaan barang yang berhutang itu atau atas permintaan penjaga
penjara, ketua pengadilan negeri dengan segera memberi perintah supaya orang
yang berhutang itu dilepaskan dari penyanderaan.
Hal
melakukan perintah melepaskan itu, dalam hal ini dan dalam tiap-tiap hal yang
lain, harus diberitahukan oleh penjaga penjara dalam waktu dua puluh empat jam
kepada panitera pengadilan negeri.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa biaya pemeliharaan orang yang disandera itu harus dibayar di
muka, tiap-tiap kali buat tiga puluh hari lamanya, oleh pihak yang
menyanderakan kepada pemimpin lembaga pemasyarakatan (penjaga penjara), menurut
aturan yang telah ada untuk itu atau yang akan diadakan oleh Menteri Kehakiman.
Apabila
pihak yang menyanderakan itu tidak memenuhi kewajibannya di atas sebelum hari
yang ketiga puluh satu, maka atas permintaan orang yang disandera atau penjaga
penjara, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan dengan segera memberi
perintah supaya orang yang disandera itu dibebaskan, dan hal pelaksanaan
perintah ini tiap-tiap kali oleh penjaga penjara, dalam waktu dua puluh empat
jam harus diberitahukan kepada panitera pengadilan negeri. Orang berhutang yang
penyanderaannya dibatalkan atau dilepaskan semacam itu, tidak boleh
disanderakan lagi karena utang itu juga, jikalau belum lalu sekurang-kurangnya
delapan hari sesudah dilepaskan, sedangkan orang yang menyanderakan tidak boleh
minta penyanderaan lagi, apabila ia belum membayar uang muka biaya pemeliharaan
tersandera untuk tiga bulan lamanya (lihat pasal 219).
Selain apa
yang tersebut di atas itu, maka orang yang disanderakan itu mesti dibebaskan
dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 217.
Pasal 217
Orang yang berhutang
itu, yang disanderakan menurut hukum, mendapat kelepasan yang tak dapat diubah:
karena izin
dari yang menagih uang, yang menyuruh menyanderakan, izin mana selain dari pada
dengan surat yang sah, juga dapat diberikan dengan lisan pada panitera pengadilan
negeri yang wajib mencatat keterangan itu di dalam daftar, yang disebut pada
pasal 222;
karena
bayaran atau disimpankan dengan syah pada kantor panitera pengadilan negeri
uang yang harus dibayar kepada orang yang menjalankan paksaan badan itu serta
dengan bunganya, biaya perkara yang telah diselesaikan, belanja penyanderaan
dan belanja pemeliharaan yang telah dibayar lebih dahulu.
Penjelasan:
Lihat
penjelasan pada pasal-pasal 215 dan 216 di atas.
Pasal 218
(1)
Orang berhutang yang tidak memajukan perlawanan menurut cara yang
diatur dalam pasal 213, tidak hilang haknya disebabkan itu untuk meminta kepada
pengadilan negeri supaya dibatalkan pengurungannya, jika ia memberi keterangan
bahwa penyanderaan atas dirinya itu berlawanan dengan aturan-aturan dari pasal
211 atau 212 atau karena sebab lain penyanderaan itu berlawanan dengan hukum.
(2)
la harus memasukkan surat permintaan kepada ketua pengadilan
negeri dengan perantaraan penjaga penjara, untuk mencapai maksud itu.
(3)
Jika orang yang berhutang itu tidak pandai menulis, maka kepadanya
diberi kesempatan, untuk memajukan keberatannya dengan lisan kepada ketua, yang
membuat catatan atau menyuruh mencatat perihal itu.
(4)
Perkara itu dikemukakan oleh ketua dalam persidangan pengadilan
negeri yang pertama yang akan datang, dan diputuskannya sebagaimana menurut
pendapatnya dan menurut patutnya, jika perlu, sesudah memeriksa orang-orang
yang berhutang itu dan penagih utang, yang mendapat izin menyuruh menyanderakan
itu.
(5)
Demikian pula dilakukan, jika orang yang berhutang itu menyangka
bahwa ia dapat, memberikan sebab yang syah akan melepaskan dirinya dari
penyanderaan, kecuali sebab yang tersebut pada pasal 216, yang diputuskan oleh
ketua sendiri.
(6)
Dalam segala hal ini maka keputusan pengadilan negeri dapat
dibanding, tetapi dalam pada itu keputusan itu dapat juga dijalankan lebih
dahulu.
(7)
Aturan pada pasal 188 sampai dengan pasal 194 berlaku dalam hal
meminta banding itu.
Penjelasan:
Menurut
ketentuan pasal 213 maka orang yang akan disanderakan itu sebelumnya berhak
untuk memajukan perlawanan dengan alasan-alasan yang disebutkan dalam pasal
itu.
Sesudah
masuk sandera, walaupun orang yang disandera itu dahulu tidak memajukan
perlawanan, ia masih tetap berhak kapan saja untuk mengajukan perlawanan itu.
Adapun cara-cara memajukan perlawanan itu dan penyelesaiannya oleh pengadilan
negeri sama dengan cara-cara yang ditentukan dalam pasal 213, hanya bedanya
sudah tentu bahwa sekarang segala sesuatunya dilakukan dengan melewati penjaga
penjara.
Pasal 219
(1)
Orang yang berhutang yang penyanderaannya dibatalkan atau
dilepaskan karena uang muka belanja untuk pemeliharaannya tidak dibayar tidak
dapat. disanderakan lagi karena hutang itu juga, jika belum lewat
sekurang-kurangnya delapan hari. sesudah ia dilepaskan.
(2)
Jika kelepasannya itu diperintahkan karena uang muka belanja untuk
pemeliharaannya tiada dibayar, maka penagih hutang itu tidak dapat meminta
supaya orang yang berhutang disanderakan lagi jika ia tidak membayar uang muka
belanja pemeliharaan untuk tiga bulan lamanya.
(3)
Di dalam segala hal waktu penyanderaan yang sudah dijalani itu
selalu dikurangkan dari pada waktu yang diizinkan untuk penyanderaan orang
dalam beberapa hal yang telah diizinkan.
Pasal 220
Orang yang
lari dari penyanderaan, dapat sekali lagi terus disanderakan berdasarkan
perintah yang dahulu, dengan tidak mengurangkan kewajibannya akan mengganti
segala kerugian dan biaya yang ditimbulkannya.
Pasal 221
Walaupun
telah dijalankan paksaan badan, maka segala barang-barang orang yang berhutang
itu masih tetap menanggung hutangnya yang menyebabkan ia disanderakan.
Penjelasan:
1.
Pasal 219 menentukan, bahwa pihak yang berutang yang dikeluarkan
dari penyanderaan karena uang muka pemeliharaannya tidak dibayar, atas utang
yang sama itu juga tidak dapat disanderakan lagi sebelum lewat sekurang-kurangnya
8 hari sesudah la dilepaskan, sedangkan pihak yang mengutangkan tidak dapat
minta orang yang berutang itu dimasukkan ke dalam sandera lagi, apabila ia
tidak membayar uang muka belanja pemeliharaan untuk tiga bulan lamanya. Waktu
penyanderaan yang telah dijalani senantiasa mengurangkan lamanya waktu yang
diizinkan untuk penyanderaan orang itu.
2.
Pasal 220 menentukan, bahwa orang yang melarikan diri dari
penyanderaan sekali lagi terus dapat disanderakan berdasarkan perintah yang
sama, dan ia berkewajiban untuk mengganti segala kerugian dan biaya yang
ditimbulkan.
3.
Pasal 221 memberi ketentuan, bahwa walaupun orang yang berhutang
itu telah melakukan sandera, maka segala barang-barangnya masih tetap
menanggung utang yang menyebabkan ia disanderakan.
Pasal 222
Panitera
pada tiap-tiap pengadilan negeri harus memegang daftar berasing-asing tentang
orang yang disanderakan dalam daftar itu dicatat:
perintah
akan menyanderakan, yang diberikan oleh ketua pengadilan negeri, dengan
menyebutkan tanggalnya, nama, pekerjaan dan tempat kediaman orang-orang atas
nama siapa penyanderaan itu diberikan dan lamanya orang itu dapat disanderakan;
tanggalnya
orang yang berhutang itu dikurung;
tanggalnya
orang itu dilepaskan dari penyanderaan;
Pasal 223
Ketua
pengadilan negeri wajib menyuruh supaya daftar itu diperlihatkan kepadanya
sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan dan ia mengawas-awasi dengan cermat,
supaya tiap-tiap orang yang disanderakan, yang waktunya sudah lewat, dengan
segera dilepaskan.
Pasal 224
Surat asli
dari pada surat hipotek dan surat hutang yang diperkuat di hadapan notaris di
Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan "Atas nama
Undang-undang" berkekuatan sama dengan putusan hakim, jika surat yang
demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya
dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam
daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih tempat
tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-pasal di atas dalam bagian
ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan itu hanya dapat
dilakukan, jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan
keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebahagian di luar daerah hukum
pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka
peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya dituruti.
Penjelasan:
1.
Pasal 224 ini menerangkan, bahwa surat-surat yang dianggap
mempunyai kekuatan yang pasti untuk dieksekusikan seperti surat keputusan hakim
yaitu:
a.
surat utang memakai hipotik.
b.
surat utang yang dilakukan di hadapan notaris (akte notaris) yang
kepalanya memakai perkataan-perkataan dahulu "Atas nama Raja",
kemudian berturut-turut diubah menjadi "Atas nama Republik
Indonesia", "Atas nama Undang-undang" dan sekarang berdasarkan
pasal 4 UU Pokok Kehakiman No. 14/1970 menjadi "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
2.
Apabila surat-surat yang tersebut di atas itu tidak ditepati
dengan jalan damai, maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu
dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam
daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih sebagai
tempat tinggalnya, akan tetapi mengenai paksaan badan (sanders = gijzeling)
hanya dapat dilakukan apabila sudah diizinkan dengan keputusan pengadilan
negeri.
Bagian Keenam
TENTANG BEBERAPA HAL MENGADILI
PERKARA YANG ISTIMEWA
Pasal 225
Jika seorang
yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukannya di dalam waktu
yang ditentukan hakim, maka fihak yang menang dalam keputusan dapat memohonkan
kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua, baik dengan surat, maupun
dengan lisan, supaya kepentingan yang akan didapatnya, jika putusan itu
dipenuhi, dinilai dengan uang tunai, jumlah mana harus diberitahukan dengan
tentu jika permintaan itu dilakukan dengan lisan, harus dicatat.
Karena
mengemukakan perkara dalam persidangan pengadilan negeri yang menolak perkara
itu menurut pendapatnya dan menurut keadaannya, atau menilai permohonan yang
telah diperintahkan tetapi belum dijalankan, atau yang menilai di bawah
permohonan yang dikehendaki pemohon dan dalam hal ini yang berhutang dihukum
membayarnya.
Penjelasan:
Kalau
pasal-pasal 196 sampai dengan 200 mengatur tentang penjalanan keputusan hakim
yang berisi tentang penghukuman supaya membayar tagihan uang atau mengosongkan
barang yang tetap, maka pasal 225 ini memberikan peraturan tentang eksekusi
keputusan hakim yang mengandung penghukuman kepada pihak yang kalah supaya
melakukan suatu perbuatan. Untuk melakukan perbuatan itu terhukum sesungguhnya
tidak dapat dipaksa misalnya membuat lukisan, atau memberikan perhitungan dan
tanggung jawab, artinya terhukum harus melakukan perbuatan yang hanya dapat
dilakukan sendiri. Dalam hal yang demikian ini bagaimanakah eksekusi itu
dilakukan?
Apabila
pihak yang kalah dalam waktu yang telah ditentukan tidak mau memenuhi melakukan
perbuatan yang diwajibkan kepadanya, maka pihak yang menang dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan negeri dengan perantaraan ketua, baik dengan surat
maupun dengan lisan, agar supaya kepentingan yang akan diperolehnya jika
keputusan itu dipenuhi, dihargai dengan uang yang jumlahnya harus ditetapkan.
Hakim mengabulkan permohonan itu menurut pendapatnya setelah memeriksa atau
memanggil terhukum dengan sepatutnya, ataupun ia sendiri tanpa sidang
menghargai perbuatan itu sebesar jumlah tertentu dan menghukum pihak yang kalah
itu untuk membayar jumlah tersebut. Putusan pengganti dalam pasal 225 di atas adalah
dijatuhkan tanpa sidang terbuka, sebab pasal itu tidak mengharuskan memanggil
kedua belah pihak untuk datang pada sidang, hanya pihak yang kalah saja yang
harus dipanggil untuk menerima putusan pengganti, den tidak dikatakan bahwa ia
harus di keterangannya dalam sidang pengadilan.
Pasal 225
itu sebetulnya bukan saja mengenai keputusan hakim yang berisi untuk
"berbuat sesuatu" akan tetapi memberi kemungkinan juga suatu
keputusan yang menghukum untuk "tidak berbuat sesuatu".
Menurut Mr.
Tresna dalam bukunya yang berjudul "komentar HIR" maka pasal 225 ini
sesungguhnya sudah tidak mencukupi lagi kebutuhan dalam praktek. Sejak lama di
dalam praktek orang telah menggunakan akal yang lebih memuaskan dan praktis,
yaitu dengan apa yang dinamakan "atreinte" atau "dwangsom",
artinya uang paksaan atau uang jaminan. Dengan jalan uang paksaan ini, maka di
dalam keputusan yang menghukum orang yang kalah perkaranya harus melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu perbuatan, sekalian ditetapkan bahwa apabila
keputusan itu tidak dilaksanakan, maka yang dikenakan hukuman itu diharuskan
membayar sejumlah uang, biasanya suatu jumlah yang tetap buat tiap hari ia
melalaikan keputusan itu. Uang paksaan itu tidak bisa disamakan dengan membayar
ganti rugi, sebab kewajiban untuk melakukan, suatu perbuatan atau tidak
melakukan suatu perbuatan itu pada pokoknya tetap ada. Uang paksaan itu hanya
merupakan akal untuk memaksa orang yang dikenakan itu buat melaksanakan
keputusan hakim.
Pasal 226
Orang yang
empunya barang yang tidak tetap, dapat meminta dengan surat atau dengan lisan
kepada ketua pengadilan negeri, yang di dalam daerah hukumnya tempat tinggal
orang yang memegang barang itu, supaya barang itu disita.
Barang yang
hendak disita itu harus dinyatakan dengan saksama dalam permintaan itu.
Jika
permintaan itu dikabulkan, maka penyitaan dijalankannya menurut surat perintah
ketua. Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang
syarat-syaratnya yang harus dituruti, maka pasal 197 berlaku juga.
Tentang
penyitaan yang dijalankan itu diberitahukan dengan segera oleh panitera pada
yang memasukkan permintaan, sambil memberitahukan kepadanya, bahwa ia harus
menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk
memajukan dan menguatkan gugatannya.
Atas perintah
ketua orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil untuk
menghadap persidangan itu juga.
Pada hari
yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa dan diputuskan seperti biasa.
Jika gugatan
itu diterima, maka penyitaan itu disyahkan dan diperintahkan, supaya barang
yang disita itu diserahkan kepada penggugat, sedang jika gugatan itu ditolak,
harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang. penyitaan barang yang biasa disebut penyitaan
"revindicatoir", yaitu bahwa seorang pemilik sesuatu barang yang
tidak tetap (dapat diangkat) dapat mengajukan permohonan dengan lisan atau
dengan surat kepada hakim agar supaya barang itu, yang berada di tangan orang
lain, disita.
Tuntutan
pemohon seperti misalnya: untuk menghukum orang yang barangnya disita itu guna
mengembalikan dan menyerahkan barang yang disita itu kepada pemohon, umpamanya
oleh karena ia menguasai barang itu dengan tidak syah atau tidak berhak dan di
samping itu untuk menyatakan bahwa penyitaan itu syah.
Bersamaan
dengan penyitaan itu kepada pemohon diberitahukan untuk menghadap di
persidangan pada hari yang telah ditetapkan oleh hakim untuk memajukan
tuntutannya di persidangan.
Pihak yang
lain pun dipanggil untuk menghadap di persidangan itu. Perkara itu lalu
diperiksa dan diputus secara biasa oleh hakim. Jika gugatan itu diterima, maka
penyitaan itu disyahkan dan diperintahkan supaya barang yang disita itu
diserahkan kepada penggugat, sedangkan jika gugatan itu ditolak harus
diperintahkan supaya penyitaan itu dicabut.
Tentang
orang yang harus menjalankan penyitaan dalam hal ini dan tentang syarat-syarat
yang harus dipenuhi dipakailah peraturan yang tersebut dalam pasal 197.
Pasal 227
(1)
Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang,
selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang
mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau
membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan
menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang
yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya
disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan
kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan
negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
(2)
Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah ketua akan
menghadap persidangan itu.
(3)
Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang
aturan yang harus dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka
pasal 197, 198, dan 199 berlaku juga.
(4)
Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti
biasa. Jika gugatan itu ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan
itu.
(5)
Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika
ditunjuk jaminan atau tanggungan lain yang cukup.
Pasal 228
(1)
Tentang putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri menurut
ketiga pasal-pasal di muka ini, berlaku aturan umum untuk meminta bandingan.
(2)
Keputusan yang disebut pada segala pasal itu, dijalankan secara
biasa.
Penjelasan:
Pasal 227
itu menentukan suatu tindakan hukum, bahwa apabila ada dugaan yang beralasan
kiranya seorang yang berutang, terhadap siapa belum dijatuhkan keputusan hakim
atau ada suatu keputusan hakim yang belum dapat dijalankan, berusaha untuk
menggelapkan atau mengangkut barang-barangnya yang tidak dapat diangkat atau
barang-barangnya yang dapat diangkat supaya menjauhkan barang-barang itu dari
pihak yang mengutangkan, maka hakim atas permohonan dengan surat untuk itu dari
yang berkepentingan dapat memberi perintah untuk menyita barang-barang demikian
itu untuk menjaga hak orang yang memajukan permohonan.
Pemohon
harus memberi keterangan tentang haknya untuk menuntut dan untuk apa penyitaan
itu dipergunakan. Dalam surat permohonan itu pun ia harus menerangkan
perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian apa yang dapat menyatakan bahwa
orang yang berutang itu berusaha untuk menjauhkan hartanya dari pihak yang
memberi utang.
Penyitaan demikian
itu dinamakan penyitaan "conservatoir" dan hakim bebas untuk menerima
permohonan penyitaan "conservatoir" itu atau tidak.
Waktu
melakukan penyitaan itu kepada pemohon diberitahukan supaya menghadap di
persidangan pada hari yang telah ditetapkan oleh hakim untuk mengajukan
tuntutannya di muka persidangan.
Dalam
tuntutan ini misalnya ia meminta supaya orang yang disita barang-barangnya itu
dihukum membayar suatu jumlah uang yang tertentu karena pinjaman uang.
Di samping
itu dituntutnya supaya penyitaan "conservatoir" itu disyahkan. Orang
yang menghutangkan juga dipanggil menghadap di persidangan dan perkara lalu
diperiksa dan diputus secara sang biasa.
Apabila
tuntutan itu dikabulkan, maka penyitaan "conservatoir" itu disyahkan,
dan apabila ditolak maka hakim memerintahkan supaya penyitaan itu dicabut.
Apabila
penyitaan "conservatoir" itu disyahkan, lalu menjelma menjadi
penyitaan karena eksekusi biasa yang juga disebut penyitaan
"executorial".
Tentang
orang yang harus melakukan penyitaan "conservatoir", syarat-syarat
yang harus dipenuhi dan akibat yang berhubungan dengan hal itu berlakulah
peraturan yang tersebut dalam pasal-pasal 197, 198 dan 199.
Menurut
pasal 228 maka tentang keputusan hakim yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri
menurut pasal 227 itu, berlakulah peraturan umum tentang banding.
Perlu
dicatat di sini, bahwa tiap-tiap perbuatan dari pihak orang yang disita
barang-barangnya itu, yang bertentangan dengan atau melanggar tindakan
penyitaan ini adalah batal menurut hukum dan dapat dikenakan pula ancaman
pidana yang tersebut dalam pasal-pasal 231 dan 232 KUHP.
Perbedaan
antara penyitaan "revindicatoir" dalam pasal 226 dan penyitaan
"conservatoir" dalam pasal 227 ialah, bahwa penyitaan
"conservatoir" dapat dikenakan pula atas barang-barang yang tidak
bergerak.
Menurut ayat
(5) dari pasal 227 ini maka penyitaan "conservatoir" ini senantiasa
dapat dicabut, jika orang yang dikenakan penyitaan itu memberikan tanggungan,
baik yang berupa uang maupun jaminan lainnya.
Pasal 229
Jika seorang
yang sudah akil balik, tidak bisa memelihara dirinya dan mengurus barangnya,
karena kurang akal, maka tiap-tiap sanak saudaranya, dan jika ini tidak ada
jaksa pada pengadilan negeri berkuasa akan meminta supaya diangkat seorang wali
(kurator) untuk memelihara orang itu dan mengurus barangnya.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang tindakan mengurangi kebebasan seseorang untuk pengurusan harta
bendanya, sedangkan apa yang diatur dalam pasal 234 dan 234 a adalah tindakan
mengurangi kemerdekaan seseorang untuk bergerak.
Orang
dikatakan "sudah akil balig" yaitu sudah "cukup umur" atau
sudah "dewasa". yang dimaksud "belum dewasa" (bagi orang
Indonesia menurut Lembaran Negara No. 54/1931, bagi orang Eropa dan yang
disamakan dengan orang itu, menurut pasal 330 BW), ialah mereka yang belum
berumur 21 tahun dan belum kawin; jika orang kawin dan bercerai sebelum berumur
21 tahun, ia tetap dipandang dewasa.
Yang
dimaksud "wali" yaitu "kurator" atau "pengampu".
Menurut
pasal 229 ini maka bagi orang yang sudah dewasa, akan tetapi karena kurang
akalnya tidak mampu mengurus sendiri harta kekayaannya, salah satu saudaranya
atau jaksa pengadilan negeri berkuasa akan minta ke pengadilan negeri untuk
mengangkat seorang wali untuk memelihara harta bendanya.
Permintaan
itu disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang kemudian menyuruh memanggil
pihak yang minta, saksi yang ditunjuk, dan orang yang akan diberi wali untuk
menghadap di persidangan. Perkara lalu diperiksa secara biasa dan jika
permintaan itu dikabulkan, maka pengadilan negeri terus mengangkat seorang wali
yang dapat diharap akan memelihara orang yang diberi wali dan harta bendanya
dengan sebaik-baiknya.
Pada umumnya
dapat dikira-kirakan yang akan diangkat menjadi wali itu dicari dahulu dari
kalangan sanak keluarga orang yang akan diberi wali, termasuk juga suami atau
isterinya. Jika tidak ada yang cakap dan sanggup dari kalangan itu, maka hakim
akan menunjuk orang lain dengan persetujuan sanak saudara orang yang diberi
wali.
Apabila
perwalian itu berakhir karena dicabut atau sebab-sebab lain, maka wali wajib
memberi perhitungan dan tanggung jawab pada yang berhak tentang urusan itu
(lihat pasal-pasal 230, 231, 232 dan 233 berikut ini).
Pasal 230
Permintaan
yang demikian itu dimajukan pada ketua pengadilan negeri, yang akan menyuruh
memanggil orang yang memajukan permintaan itu dan saksi yang ditunjukkannya,
lagi pula orang yang akan diberi wali supaya mereka datang menghadap pengadilan
negeri pada hari persidangan yang ditentukan.
Pasal 231
(1)
Pada hari yang ditentukan untuk itu segala orang yang dipanggil
itu diperiksa, sedang pemeriksaan saksi dilakukan sesudah mereka disumpah.
(2)
Jika permintaan itu dikabulkan, maka pengadilan negeri terus
mengangkat juga seorang wali yang dapat diharap akan memelihara orang yang
diberi berwali dan barangnya dengan sebaik-baiknya.
Pasal 232
(1)
Perwalian (kuratele) itu dapat dicabut oleh ketua pengadilan
negeri, jika tidak ada lagi alasan-alasan yang menyebabkan perwalian itu
diberikan.
(2)
Permintaan untuk itu, pemeriksaan dalam hal itu dan keputusan tentang
itu juga diperbuat menurut acara yang tersebut di muka ini.
Pasal 233
Jika
perwalian itu berakhir, karena dicabut atau karena sebab-sebab lain, maka wali
itu wajib memberi perhitungan dan tanggung jawab pada yang berhak tentang
urusannya itu.
Pasal 234
(1)
Pengadilan Negeri berkuasa menahan seseorang atas permintaan sanak
saudaranya atau juga atas permintaan jaksa pengadilan negeri, untuk memelihara
ketertiban umum dan menghindarkan kecelakaan, jika orang itu biasa berkelakuan
jahat dan tidak cakap mengurus diri sendiri atau berbahaya bagi keamanan orang
lain, setelah orang itu diperiksa dengan patut, di dalam lembaga (gesticht)
yang disediakan untuk itu rumah atau tempat lain yang layak selama orang itu
tidak menunjukkan tanda-tanda sudah baik.
(2)
Permintaan yang demikian tidak bergantung pada perwalian
(kuratele), yang dapat diminta pada waktu itu juga atau kemudian jika belum
diperkenankan dan jika untuk itu seterusnya ada cukup sebab-sebab menurut
aturan di muka ini.
(3)
Aturan yang ditentukan pada ayat pertama dari pasal ini berlaku
juga bagi orang yang berpenyakit yang mengerikan, orang minta-minta di hadapan
umum atau mengembara dengan tidak mempunyai pencaharian, atau dengan sesuatu
jalan mempergunakan nasibnya akan menyusahkan orang-orang lain dengan pengertian:
a.
bahwa orang-orang yang dimaksud hanya dapat dimasukkan ke dalam
lembaga atau rumah-rumah sakit, yang dinyatakan baik untuk itu, sesudah mufakat
dengan kepala jawatan kesehatan, oleh kepala daerah, yang jika perlu juga
sesudah mufakat dengan kepala jawatan kesehatan dapat menghubungkan beberapa
janji pada keterangan baik itu.
b.
bahwa orang-orang yang terhadapnya dikenakan keputusan hakim
seperti tersebut pada ayat pertama dari pasal ini, tidak dapat dimasukkan ke
dalam lembaga atau rumah sakit, yang hanya diuntukkan buat orang yang menderita
suatu penyakit menular yang tertentu, kalau belum diterangkan dengan surat
bahwa mereka menderita penyakit itu atau disangka benar menderitanya, oleh
tabib yang sedapat-dapatnya ahli dalam pemeriksaan penyakit itu dan yang
ditunjuk oleh kepala daerah sesudah mufakat dengan inspektur yang berhubungan
atau wakil Inspektur Jawatan Kesehatan.
c.
bahwa pengadilan negeri melepaskan dari tempat itu, mereka yang
ditutup menurut aturan yang tersebut tadi, setelah penahanannya itu dipandang
tidak perlu lagi berhubung dengan syarat-syarat untuk itu, atas permintaan
orang-orang yang berkepentingan atau sanak saudaranya, atau atas permintaan
jaksa pada pengadilan negeri.
Penjelasan:
Kalau pasal
229 mengatur, tentang tindakan mengurangi kebebasan seseorang untuk mengurus
harta kekayaannya, maka pasal 234 ini mengatur tentang tindakan mengurangi
kebebasan seseorang juga akan tetapi untuk bergerak, yaitu terhadap orang yang:
selalu
berkelakuan tidak baik dan melewati batas, atau yang sekali-kali tidak boleh
dibiarkan sendirian, atau yang karena itu berbahaya terhadap orang lain seperti
orang sakit gila dan lain-lain.
yang
berpenyakit mengerikan, orang minta-minta di hadapan umum atau mengembara
dengan tidak mempunyai pencaharian, atau mempergunakan nasibnya untuk
menyusahkan orang lain, seperti misalnya orang yang berpenyakit lepra, orang
tuna karya dan tuna wisma, dan lain sebagainya.
Mereka itu
dapat ditahan di dalam rumah kurungan yang disediakan untuk itu, atau dalam
rumah sakit, atau di dalam tempat lain yang layak untuk itu, selama belum
kelihatan betul tanda-tanda, bahwa mereka itu sudah baik.
Penahanan atau
harus diputuskan oleh pengadilan negeri atas permintaan sanak saudaranya atau
jaksa pengadilan negeri, serta maksudnya untuk memelihara ketertiban umum dan
menjaga jangan sampai timbul kecelakaan.
"Reglement
op de rechterlijke organisasi" (Staatsblad 1847 No. 23) pasal 134 berisi
ketentuan yang sama dengan pasal 234 HIR ini, akan tetapi hanya terhadap
orang-orang yang tersebut pada sub a, dan lamanya penahanan maksimum satu tahun
dan dapat diperpanjang satu kali dengan satu tahun (pasal 135 RO), dalam HIR
tidak ada ketentuan batas waktunya, hanya dikatakan "sampai mereka sudah
baik".
Sehubungan
dengan pasal 234 HIR ini patut dikemukakan pula adanya Peraturan Perawatan
Penyakit Jiwa di Indonesia (staatsblad 1931 No. 168) yang menerangkan bahwa
Pengadilan Negeri dapat menempatkan pasien sakit jiwa di Rumah Sakit Jiwa
selamanya maksimum satu tahun dan dapat diperpanjang sampai pasien itu sembuh
(pasal 26 Peraturan itu).
Pasal 234a.
(1)
Pengadilan negeri berhak juga, atas tuntutan jaksa pada pengadilan
negeri, dengan keputusan bersahaja memerintahkan memasukkan orang-orang dewasa
ke dalam suatu tempat bekerja, yang diuntukkan buat itu jika menurut keterangan
menteri kehakiman, mereka itu masuk penganggur yang takut bekerja yang tidak
cukup mempunyai nafkah hidup, serta kalau mereka mengganggu ketertiban karena
minta-minta, karena merisau atau karena kelakuan yang berlawanan dengan keadaan
masyarakat.
(2)
Tuntutan yang dimaksud dalam ayat pertama itu tidak diputuskan,
sebelum didengar keterangan dari orang yang dituntut itu atau setidak-tidaknya
dipanggil dengan patut. Pengadilan negeri memutuskan berdasarkan rencana dan
laporan-laporan yang dikemukakan, tetapi berhak mendengar saksi-saksi yang
dapat memberi keterangan yang lebih lanjut tentang perbuatan-perbuatan yang
dimajukan.
(3)
Keputusan yang disebutkan dalam kedua ayat yang di atas ini
berkekuatan selama satu tahun, dan waktu itu tiap-tiap kali dapat diperpanjang
dengan satu tahun, atas tuntutan yang demikian itu dalam semuanya itu menteri
kehakiman berhak untuk melepaskan orang yang bersangkutan setiap waktu dari
tempat itu, bilamana sebab memasukkannya itu tidak ada lagi atau keadaan
badannya atau pikirannya sudah sedemikian sehingga ia tidak dikehendaki lebih
lama tinggal di sana.
(4)
Barang siapa yang dituntut supaya diperpanjang waktunya tinggal di
sana, maka ia tetap tinggal di lembaga itu selama pemeriksaan pengadilan
negeri. Jika pengadilan menolak memperpanjang waktu itu, dan jika jaksa pada
pengadilan negeri menyatakan akan membanding keputusan itu, orang yang
bersangkutan tetap tinggal di tempat itu selama pemeriksaan pengadilan tinggi.
(5)
Keputusan yang dijatuhkan pengadilan negeri menurut pasal ini
dapat dijalankan pada ketika itu.
(6)
Surat-surat yang diperlukan untuk masukkan ke tempat bekerja dan
keputusan-keputusan hakim dibebaskan dari meterai.
(7)
Penunjukan tempat bekerja yang dimaksud dalam ayat pertama itu dan
segala sesuatu yang perlu akan menjalankan pasal ini diatur dengan peraturan
pemerintah.
Penjelasan:
1.
Maksud tindakan yang tersebut dalam pasal 234 a ini adalah sama
dengan apa yang tersebut dalam pasal 234, yaitu dikenakan terhadap kebebasan
perseorangan, untuk kebaikan dan keselamatan mereka sendiri serta ketertiban
umum.
Kalau pasal 234 mengatur apa yang harus
dilakukan terhadap orang-orang yang berkelakuan jelek, sehingga berbahaya untuk
keselamatan orang lain dan orang-orang yang berpenyakit mengerikan sehingga
menyusahkan orang lain, maka pasal 234 a mengatur apa yang harus dilakukan
terhadap orang-orang penganggur yang tidak mau bekerja dengan tidak mempunyai
nafkah untuk penghidupannya, menjalankan minta-minta sehingga mengganggu
ketertiban umum, membuat risau tetangganya dan berkelakuan yang bertentangan
dengan keadaan dalam masyarakat.
2.
Yang dimaksud dengan "putusan bersahaja" di sini ialah
bahwa keputusan itu bukan hasil dari sidang pengadilan negeri yang bertindak
"mengadili" sesuatu perkara, akan tetapi bertindak sebagai pejabat negara
melakukan tindakan "tata usaha" untuk mengatur sesuatu keadaan dalam
masyarakat.
3.
Lain dari apa yang tersebut dalam pasal 234, maka dalam pasal 234
a pihak yang berwenang mengajukan tuntutan itu bukan sanak saudaranya atau
jaksa pengadilan negeri, akan tetapi hanya jaksa pengadilan negeri saja.
4.
Lamanya penahanan itu satu tahun dan tiap-tiap kali dengan
tuntutan baru, dapat diperpanjang dengan satu tahun, akan tetapi menteri
kehakiman tiap-tiap waktu berhak untuk membebaskan orang yang bersangkutan, apabila
sebab memasukkannya itu tidak ada lagi, atau keadaan badan dan pikirannya
sedemikian rupa sehingga ia tidak perlu lebih lama tinggal dalam tempat
penahanan.
5.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (7) pasal ini dimuat
dalam Staatsblad 1936 No. 160.
Pasal 235
(1)
Jika ada orang hilang, atau yang meninggalkan tempat diamnya
dengan tidak mengurus hal pemeliharaan harta bendanya, maka tiap-tiap pegawai
polisi wajib dan tiap-tiap orang yang berkepentingan berkuasa dengan segera
memberitahukan hal itu kepada ketua pengadilan negeri, yang wajib pergi dengan
segera bersama-sama dengan orang yang memberitahukan itu ke rumah orang yang
hilang atau tak ada itu, dan menjaga dengan memeteraikan atau dengan daya upaya
lain yang patut, supaya harta benda yang ditinggalkan dan tidak terpelihara itu
jangan suatupun dapat diambil orang lain.
(2)
Pemberitaan tentang perbuatan itu akan dikemukakan oleh ketua pada
persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu, dan jika nyata perlu
pengadilan negeri menyerahkan pemeliharaan barang itu untuk sementara waktu
kepada penjaga harta benda (boedelmeester) atau badan lain yang sebagai itu,
yang telah dinyatakan atau akan dinyatakan berkuasa melakukan pekerjaan itu.
(3)
Jika harta benda itu, yang menurut peraturan yang berlaku tentang
itu, tidak dapat diurus oleh badan-badan yang dimaksud tadi, maka haruslah
diikhtiarkan pengurusannya dengan cara lain yang dapat dipandang akan
menguntungkan sebanyak-banyaknya kepada yang berkepentingan.
(4)
Dengan alasan, bahwa harta benda itu sedikit, pengadilan negeri
berhak juga akan menyerahkan pemeliharaan harta benda itu kepada keluarga
sedarah atau keluarga semenda atau laki (isteri) orang yang hilang atau yang
tak ada itu, yang ditunjukkannya, dengan satu kewajiban saja akan mengembalikan
barang itu atau harganya kepada orang yang hilang atau yang tak ada, kalau ia
kembali, dengan tidak memberi sesuatu hasil atau pendapatan sesudah dipotong
segala hutang yang sudah dibayar sementara itu.
(5)
Jika ketua berhalangan, maka segala pekerjaan yang tersebut pada
ayat pertama pasal ini, dapat dilakukan oleh panitera pengadilan negeri atau
oleh pegawai lain, yang sesudah dua puluh empat jam menyampaikan surat
pemberitaan kepada ke tua yang memberi kuasa itu.
Penjelasan:
1.
Menurut pasal ini maka ketua pengadilan negeri atau apabila ia
berhalangan, panitera pengadilan negeri, jikalau karena pemberitahuan polisi
yang berwajib, atau orang-orang yang berkepentingan yang berkuasa untuk itu,
mengetahui ada orang yang menghilang meninggalkan tempat kediamannya tanpa mengadakan
pemeliharaan terhadap harta bendanya, wajib pergi dengan segera bersama-sama
orang yang memberitahukan itu ke rumah orang yang hilang itu dan melakukan
segala daya upaya agar harta benda itu tetap terpelihara dan tidak diambil
orang.
2.
Apabila harta bendanya itu tergolong besar, akan diserahkan
pemeliharaannya kepada Pengurus Harta Benda (budelmester) atau badan-badan lain
yang semacam itu, akan tetapi apabila harta bendanya itu tergolong sedikit
dapat diserahkan pemeliharaannya kepada salah seorang keluarga sedarah atau
keluarga karena perkawinan, atau kepada laki (isteri) orang yang hilang itu
dengan kewajiban akan mengembalikan barang itu atau harganya kalau ia kembali,
setelah di potong segala hutang yang harus dibayar.
Pasal 236
(1)
Keputusan yang diambil oleh pengadilan negeri menurut pasal-pasal
231, 232, 234, 234a, dan 235 dapat dibandingkan kepada pengadilan tinggi.
Pembandingan ini dapat dilakukan dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal
keputusan itu, dan pembandingan itu dimajukan secara yang ditentukan untuk
keputusan pengadilan negeri. Pengadilan tinggi memutuskan dengan tidak
beracara.
(2)
Keputusan yang diambil menurut pasal-pasal 234 dan 234a,
dijalankan oleh atau atas perintah pegawai yang dimaksud dalam pasal 325 ayat
1.
Pasal 236a
Atas permintaan
bersama dari ahli waris atau bekas isteri orang yang meninggal, maka pengadilan
negeri memberi bantuan juga mengadakan pemisahan harta benda antara orang-orang
Indonesia yang beragama manapun juga, serta membuat surat (akte) dari itu di
luar perselisihan.
Bagian
Ketujuh
TENTANG IZIN
UNTUK BERPERKARA DENGAN TAK BERBIAYA
Pasal 237
Orang-orang
yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara
akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk
berperkara dengan tak berbiaya.
Penjelasan:
Pasal 237
sampai dengan pasal 245 mengatur tentang kemungkinan untuk berperkara dengan
tidak membayar biaya bagi orang yang tidak mampu, syarat-syarat dan
cara-caranya berperkara itu.
Adapun
mereka yang tidak mampu diberi izin untuk berperkara dengan tidak membayar
biaya itu sebabnya yaitu oleh karena dalam suatu negara yang beradab harus juga
diberikan kesempatan kepada mereka itu untuk dapat mencari keadilan pada hakim.
Sebagai
akibat dari izin berperkara dengan cuma-cuma itu ialah tidak diminta biaya
administrasi kepaniteraan dan juga tidak akan ditarik pembayaran upah juru sita.
Apabila yang
meminta izin itu penggugat, maka permohonan itu harus diajukan pada waktu ia
memasukkan surat gugatannya atau pada waktu ia mengajukan gugatannya dengan
lisan, sedangkan apabila yang memohon untuk diperkenankan berperkara dengan
cuma-cuma itu orang yang digugat, maka permintaan itu harus diajukan pada waktu
ia menjawab gugatan itu.
Dalam ke dua
hal permohonan itu harus disertai surat keterangan tidak mampu yang diberikan
oleh kepala polisi tempat tinggal pemohon itu yang harus berisi suatu
keterangan bahwa kepala polisi setelah menyelidiki mengetahui bahwa pemohon itu
sama sekali tidak mampu (pasal 238).
Pada hari
persidangan yang pertama pemeriksaan dan keputusan tentang berperkara dengan
tidak membayar biaya itu diselenggarakan terlebih dahulu sebelum pokok perkara
itu diperiksa. Pada sidang pemeriksaan itu pihak lawan orang yang meminta
berperkara dengan Cuma-cuma itu dapat menentang permohonan izin itu, baik
dengan menyatakan bahwa tuntutannya itu atau pembelaan pemohon tidak beralasan
ataupun dengan membuktikan bahwa ia mampu untuk membayar ongkos perkara. Selain
dari itu hakim sendiri karena jabatannya, atas sesuatu alasan, juga dapat
menolak permohonan itu (pasal 239).
Keputusan
tentang izin berperkara tanpa biaya itu tidak dapat dibanding atau dimintakan
kasasi (pasal 241). Izin berperkara dengan cuma-cuma hanya berlaku untuk
pemeriksaan tingkat pertama, dan izin berperkara tanpa bayaran pada tingkat
banding harus diperoleh dengan baru dari hakim tingkat banding (pasal
242,244,245 dan pasal 12 U.U No. 20/1947).
Apabila
pihak yang mendapat izin berperkara tanpa bayaran itu menang perkaranya, maka
pihak lawan dihukum membayar ongkos perkara itu seolah-olah pihak yang lain
tidak berperkara dengan percuma.
Pasal 238
Apabila
penggugat menghendaki izin itu, maka ia memajukan permintaan untuk itu pada
waktu memasukkan surat gugatan, atau pada waktu ia memajukan gugatannya dengan
lisan, sebagaimana diatur pada pasal 118 dan 120.
Apabila izin
dikehendaki oleh tergugat, maka izin itu diminta pada waktu itu memasukkan
jawabnya yang dimaksudkan pada pasal 121.
Permintaan
dalam kedua hal itu harus disertai surat keterangan tidak mampu, yang diberikan
oleh kepala polisi pada tempat diam peminta, yang berisi keterangan dari
pegawai tadi, bahwa padanya nyata benar sesudah diadakan pemeriksaan, bahwa
orang itu tidak mampu membayar.
Pasal 239
Pada hari
menghadap ke muka pengadilan negeri, maka pertama sekali diputuskan oleh
pengadilan negeri apakah permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya dapat
dikabulkan atau tidak.
Lawan orang
yang memajukan permintaan itu dapat memajukan perlawanan atas permintaan itu,
baik dengan mula-mula menyatakan, bahwa gugatan atau perlawanan peminta itu
tidak beralasan sama sekali, maupun dengan menyatakan bahwa ia mampu juga akan
membayar biaya perkara itu.
Pengadilan
Negeri juga dapat menolak permintaan yang beralasan salah satu alasan itu
karena jabatannya.
Pasal 240
Balai harta
peninggalan dapat diizinkan juga dengan cara serupa di atas untuk berperkara
dengan tak berbiaya, baik sebagai penggugat, maupun sebagai tergugat, dengan
tidak usah menunjukkan surat tidak mampu, jika harta benda yang
dipertahankannya itu atau harta benda orang yang di wakilinya itu pada waktu
berperkara tidak mencukupi akan membayar biaya perkara, yang ditaksir dan akan
dibayar itu.
Pasal 241
Keputusan
pengadilan negeri tentang izin akan berperkara dengan tak berbiaya, tidak dapat
dibanding, dan tidak dapat ditundukkan dengan aturan yang lain.
Pasal 242
(1)
Permintaan supaya berperkara dengan tak berbiaya di dalam
bandingan, harus dimajukan dengan memberikan keterangan tidak mampu dengan
lisan atau tulisan, sebagai dimaksud di dalam ayat tiga dari pasal 238, kepada
panitera pengadilan negeri yang memutuskan perkara itu pada tingkat pertama
oleh orang yang hendak membanding dalam tempo 14 hari sesudah tanggal keputusan
atau sesudah diberitahukan, menurut pasal 179; oleh fihak yang lain dalam tempo
14 hari sesudah diberitahukan tentang bandingan ataupun sesudah pemberitahuan
pada ayat terakhir yang dimaksud dalam pasal ini.
(2)
Permintaan itu dicatat oleh panitera dalam daftar yang tersebut
pada pasal 191.
(3)
Ketua menyuruh memberitahukan permintaan itu, dalam tempo empat
belas hari sesudah dituliskan, pada fihak lawan dan menyuruh memanggil kedua
belah fihak supaya datang menghadapnya.
Pasal 243
(1)
Jika orang yang meminta itu tidak menghadap, maka permintaan itu
dipandang gugur.
(2)
Pada hari yang ditentukan itu, maka orang yang memajukan
permintaan itu dan lawannya, diperiksa oleh ketua jika ia datang.
Pasal 244
Pemberitaan
pemeriksaan serta segala surat-surat tentang perkara itu, pemberitaan
persidangan, salinan yang syah dari keputusan dan petikan dari catatan yang
diperbuat dalam daftar tentang permintaan akan berperkara dengan tak berbiaya
dikirim oleh panitera pengadilan negeri pada pengadilan tinggi.
Pasal 245
(1)
Pengadilan tinggi memberikan keputusan dengan tidak beracara atau
dengan jalan hukum, dan hanya atas surat itu saja. Dengan salah situ
alasan-alasan yang tersebut pada ayat kedua pasal 239, maka pengadilan tinggi
karena jabatannya menolak permintaan itu.
(2)
Panitera pengadilan tinggi dengan segera mengirim salinan yang
syah dari keputusan pengadilan itu bersama-sama dengari segala surat yang
tersebut pada pasal di atas pada ketua pengadilan negeri, yang menyuruh
memberitahukan keputusan itu pada kedua belah fihak menurut cara yang tersebut
pada pasal 194.
BAB
KESEPULUH
TENTANG
MENGADILI PERKARA PIDANA DI MUKA PENGADILAN NEGERI
Bagian
Pertama
TENTANG
MENYERAHKAN PERKARA KEPADA PERSIDANGAN
Pasal 246
Penyerahan
perkara kepada persidangan dilakukan oleh ketua.
la dengan
segera sesudah diterimanya menimbang dengan seksama, isi surat-surat yang dikirim
padanya menurut pasal 83i.
Penjelasan:
Menurut
pasal 83 i H.I.R. maka jika menurut pendapat jaksa perkara sudah diperiksa
dengan cukup dan termasuk dalam kekuasaan pengadilan negeri, maka surat
pemeriksaan pendahuluan yang biasa disebut "berkas perkara" itu
diserahkan kepada ketua pengadilan negeri yang dianggapnya berkuasa untuk
mengadili perkara itu dan menuntut bersama itu supaya perkara itu dilanjutkan
ke persidangan, dengan keterangan sejelas-jelasnya dan penjelasan tentang
hal-hal untuk apa penuntutan itu diajukan.
Ayat (2)
pasal ini mewajibkan kepada ketua pengadilan negeri untuk mempelajari dan
mempertimbangkan isi tuntutan jaksa itu segera setelah ia menerima berkas
perkara yang diajukan oleh jaksa itu.
Pasal 247
Jika ketua
berpendapat, bahwa perkara itu masuk pemeriksaan hakim yang lain, maka dengan
satu surat ketetapan yang beralasan diserahkan perkara itu kepada hakim yang
berhak menurut timbangannya.
Bila yang
tersangka berada dalam tahanan, maka ketua dapat memerintahkan supaya ia terus
ditahan, asal saja perbuatan yang menyebabkan tersangka dituntut, masuk
perbuatan yang diterangkan pada pasal 62 ayat dua reglemen ini.
Jika dalam
tempo tiga puluh hari, pegawai yang berhak memberikan perintah yang baru, untuk
menahan tersangka itu dalam penjara maka yang tersangka dimerdekakan, kecuali
kalau ia harus ditahan alasan-alasan lain.
Ketua
mengirim salinan ketetapan yang diambilnya menurut ayat pertama pasal ini
kepada jaksa pengadilan negeri di dalam tempo dua kali 24 jam sesudah tanggal
ketetapan, juga surat-surat perkara dikirimkannya.
Penjelasan:
Apabila
ketua pengadilan negeri, setelah mempelajari dan mempertimbangkan isi berkas
perkara berpendapat, bahwa perkara itu termasuk pada kekuasaan pengadilan yang
lain, misalnya pengadilan negeri yang lain, mahkamah agung atau pengadilan
militer, maka ia dengan keputusan yang beralasan akan menyerahkan perkara itu
kepada pengadian yang dianggapnya berkuasa.
Apabila ia
berpendapat bahwa perkara itu masuk kompetensi pengadilan negeri yang
dipimpinnya, maka mungkin ia memandang perlu untuk mengadakan pemeriksaan
tambahan, misalnya membutuhkan didengar keterangan saksi-saksi baru, atau
orang-orang ahli, ataupun menyuruh mengadakan pemeriksaan setempat dan lain
sebagainya.
Untuk itu
diminta pertolongan jaksa untuk menyelesaikannya. Jaksa harus melakukan atau
menyuruh lakukan pemeriksaan tambahan itu (pasal 249).
Apabila
menurut pertimbangannya telah lengkap pemeriksaannya, maka pada mengambil
keputusan ia teristimewa harus mengingat akan tuntutan jaksa tersebut; akan
tetapi kalau dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan itu ternyata, bahwa
tersangka bersalah berbuat pelanggaran pidana yang lain atau yang lebih banyak
dari yang dituntut oleh jaksa, maka ia harus juga memperhatikan
pelanggaran-pelanggaran pidana yang lain atau yang lebih banyak itu, kecuali
jika jaksa dalam tuntutannya tegas memberitahukan, bahwa ia tidak menghendaki
menuntut pelanggaran-pelanggaran pidana yang lain atau yang lebih itu
berdasarkan prinsip oportunitas (pasal 250).
Kalau hakim
berpendapat, bahwa apa yang dituntut jaksa itu tidak merupakan suatu kejahatan
maupun pelanggaran, atau juga bahwa hak penuntutan perkara telah gugur, ataupun
pengaduan yang diperlukan untuk menuntut tidak ada, atau pun tidak cukup bukti
tentang kesalahan tersangka, maka dengan surat keputusan yang beralasan hakim
menyatakan bahwa tuntutan jaksa itu tidak diterima dengan perintah untuk segera
membebaskan tersangka itu, kalau ia berada dalam tahanan dan tidak usah tinggal
lebih lama disitu karena sebab-sebab yang lain (ayat (3) pasal 250).
Akhirnya
jikalau hakim berpendapat bahwa ada cukup alasan-alasan akan menuntut tersangka
tentang kejahatan atau pelanggaran, menyerahkan perkara itu kepada persidangan.
Ini dilakukan dengan surat penetapan, dimana harus disebutkan hal-hal yang
dituduhkan dengan menjelaskan waktu dan tempat hal-hal itu dilakukan, semuanya
itu dengan ancaman, bahwa surat penyerahan itu batal jika tidak memenuhi
syarat-syaratnya (ayat (4) pasal 250).
Penetapan
itu dinamakan "surat penyerahan" dan harus pula berisi keterangan
tentang keadaan, dalam mana hal-hal yang dituduhkan itu terjadi, khususnya yang
dapat meringankan dan memberatkan kesalahan tersangka.
Surat
penyerahan itu dalam pemeriksaan perkara pidana dipersidangan merupakan surat
yang amat penting, adalah dasar dari seluruh acara pidana. Terdakwa harus dapat
mengetahui isi surat itu untuk apa ia diperiksa di muka pengadilan, supaya ia
dapat mempersiapkan pembelaannya. Perlu sekali surat itu berisi pemberitahuan
yang cukup dan jelas dari hal-hal yang dituduhkan. Apabila ia tidak memenuhi
syarat-syarat itu batal. la harus berisi pula semua unsur-unsur dari peristiwa
pidana yang dituduhkan.
Pasal 248
(Ditiadakan
oleh undang-undang darurat No. 1/1951).
Pasal 249
Jika ketua
berpendapat, bahwa perbuatan itu masuk pemeriksaan pengadilan yang
diketahuinya, maka ia menimbang, apa ada lagi perbuatan-perbuatan dan
keadaan-keadaan yang harus lebih lanjut diperiksa sebelum diserahkan kepada
pengadilan.
Jika ia
berpendapat, bahwa perlu diadakan lagi pemeriksaan saksi-saksi atau pemeriksaan
tempat oleh hakim atau perbuatan-perbuatan yang lain yang masuk pemeriksaan
sementara, maka untuk keperluan itu ia meminta dengan surat bantuan jaksa
pengadilan negeri, dengan memberitahukan hal-hal yang dikehendakinya supaya
diperiksa lagi.
Jaksa wajib
dengan selekas-lekasnya melakukan atau menyuruh melakukan pemeriksaan itu dan
mengirim dengan segera pemberitaan acara pemeriksaan-pemeriksaan yang diperbuat
tentang itu kepada ketua. Jika untuk pemeriksa itu perlu pengirim surat-surat
syah atau daftar-daftar asli oleh penyimpan umum, maka pekerjaan dilakukan
setuju dengan pasal 83 h.
(Ditiadakan
oleh undang-undang darurat No. 1/1951).
Pasal 250
Demi ketua
menimbang, bahwa tidak diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut, atau bahwa
pemeriksaan yang dimaksud dalam pasal di muka ini dapat dianggap sudah selesai
maka ia mengambil ketetapan dengan surat ketetapan yang menyatakan
sebab-sebabnya, dengan mengingat aturan-aturan yang berikut.
Ketetapan
ketua itu terutama sekali ditujukan kepada tuntutan, yang dimaksud dalam pasal
83i, tetapi bila dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan kenyataan padanya,
bahwa tersangka bersalah melakukan perbuatan pidana yang lain atau melakukan
perbuatan-perbuatan pidana yang lebih banyak yang masuk pemeriksaan pengadilan
negeri, yang diterangkan atau ditujukan dalam pasal di atas, maka perbuatan
pidana yang lain yang lebih banyak itu, hendaklah dimasukkannya dalam
ketetapannya, kecuali kalau jaksa dalam tuntutan tersebut dengan tegas
menyatakan bahwa ia tidak berkehendak melakukan tuntutan tentang perbuatan yang
lain atau yang lebih itu.
Bila ia
menimbang, bahwa perbuatan itu tidak dapat dipandang sebagai kejahatan atau
pelanggaran, atau tidak ada cukup alasan untuk menuntut tersangka, maka ia
menerangkannya dalam ketetapannya dan ia menolak permintaan tuntutan supaya
perkara itu diserahkan kepada persidangan serta supaya tersangka ditangkap atau
ditahan lebih lanjut, jika ini dituntut. Ia memerintahkan supaya tersangka
dengan segera dikeluarkan dari tahanan, jika tersangka dalam tahanan dan tidak
harus ditahan karena alasan lain.
Apabila
ditimbangnya, bahwa ada cukup alasan-alasan akan menuntut tersangka tentang
kejahatan atau pelanggaran maka perkara itu diserahkan kepada persidangan
pengadilan negeri dengan menyatakan dalam surat ketetapan itu
perbuatan-perbuatan yang dituduhkan serta menerangkan kira-kira pada waktu mana
dan kira-kira di tempat mana perbuatan itu dilakukan kalau tidak disebut itu
semuanya surat ketetapan batal, kecuali bila ada perubahan menurut pasal 282.
Dalam surat ketetapan itu diterangkan juga keadaan-keadaan waktu melakukan
perbuatan itu, terutama benar hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan
kesalahan yang tersangka. la memerintahkan juga supaya surat-surat syah dan daftar-daftar
asli yang tersebut dalam pasal 83h diserahkan kepadanya dan untuk penerimaan
ini diberikan surat tanda penerimaan.
Bila si
tertuduh diperintahkan menghadap hakim karena suatu kejahatan yang dapat
dijatuhkan hukuman mati, dan si tertuduh, baik dalam pemeriksaan oleh jaksa
yang ditetapkan dalam ayat enam pasal 83h, baik kemudian hari menyatakan
kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh seorang sarjana hukum
atau seorang ahli hukum maka untuk memberi bantuan itu ketua dalam surat ketetapannya
menunjuk seorang anggota pengadilan negeri ahli hukum, atau seorang pegawai
sarjana hukum atau orang ahli hukum yang lain yang menyatakan bersedia
melakukan pekerjaan itu. Penunjukan itu masih dapat juga dilakukan dengan surat
keputusan yang terasing selama pemeriksaan pada sidang belum selesai, jika
tersangka menyatakan kehendak yang sedemikian itu juga. Akan tetapi penunjukan
tidak terjadi bila pada pengadilan negeri itu tidak ada pegawai sarjana hukum
atau ahli hukum yang diperbantukan pada ketua atau tidak ada sarjana hukum atau
ahli hukum yang lain yang bersedia.
Sarjana
hukum atau ahli hukum yang ditunjukkan menurut ayat tadi wajib dengan percuma
memberi bantuannya itu.
Dalam surat
ketetapan yang ditentukan dalam ayat keempat, ketua selanjutnya menetapkan hari
persidangan dan diperintahkannya supaya saksi-saksi disuruh panggil pada hari
itu dan supaya kepada tersangka diberitahukan isi surat ketetapan itu yang
harus menyatakan nama, pekerjaan, tempat diam atau tempat tinggal dari yang
tersangka atau jika salah satu ini tidak diketahui, ditunjukkan sesama-samanya
sambil memberitahukan juga supaya datang ke persidangan pada hari yang
ditentukan itu. Kepada Jaksa pengadilan negeri diberikan oleh panitera
pengadilan negeri salinan surat keputusan untuk keperluan itu, sedapat mungkin
dalam bahasa negeri dari yang tersangka.
Panggilan
dan pemberitahuan yang dimaksud pada ayat tadi, terhadap saksi-saksi dan yang
tersangka yang tidak dalam tahanan, jika mereka bangsa Indonesia dengan
perantaraan kepala distrik dan jika mereka masuk bangsa Asing, maka selama
mereka di bawah kepala sendiri, dengan perantaraan kepala Bangsa Asing yang
bersangkutan.
Bila pada
waktu menyerahkan perkara itu, hari persidangan tidak dapat ditentukan dengan
segera, maka sebab-sebabnya disebutkan dalam surat penyerahan perkara dan hari
persidangan itu ditentukan kemudian hari dengan surat ketetapan lain.
Pada waktu
menentukan hari persidangan, ketua memperhatikan lamanya waktu yang perlu bagi
saksi-saksi dan bagi tersangka, jika tersangka tidak ditahan untuk menghadap
persidangan dan ditentukan pula waktu yang harus lalu antara waktu
memberitahukan isi surat ketetapan itu kepada tersangka dan hari persidangan.
Demi sudah
dilakukan panggilan saksi-saksi dan pemberitahuan yang ditentukan itu pada
tersangka, maka kepada ketua pengadilan negeri dikirim surat keterangan tentang
itu.
Jika
pesakitan berada dalam tahanan dan penyerahan perkara adalah disebabkan sesuatu
perbuatan yang menurut pasal 62 ayat dua, tidak dapat menyebabkan ia ditahan
sementara, maka ketua memerintahkan sewaktu menyerahkan perkara itu supaya
orang itu dikeluarkan dari tahanan, kecuali jika ia harus ditahan karena alasan
lain.
Jika
pesakitan diserahkan kepada persidangan karena suatu perbuatan yang dimaksud
dalam ayat dua pasal 62, maka ketua menetapkan juga, apa ia terus ditahan untuk
sementara atau akan dikeluarkan dari tahanan; ketetapan mana dapat diubahnya
sampai pada pemeriksaan perkara pada tingkat pertama dan kemudian daripada itu
dapat pula diubah dengan keputusan pengadilan, kalau ada alasan untuk
mengubahnya.
Jika
beberapa surat yang berhubungan dengan pemeriksaan sementara dikirim pada ketua
hampir dengan serempak, baik yang mengenai perbuatan orang itu juga, asal saja
kepentingan pemeriksaan tidak bertentangan dengan penambahan ini, mau pun
perbuatan yang bersangkut-paut, atau yang tidak bersangkut-paut, yang
sebenarnya berhubungan satu sama lain, dan penambahan itu adalah untuk
kepentingan pemeriksaan, maka untuk semua ini penyerahannya dibuat dalam satu surat
ketetapan.
Perbuatan
pidana dapat dianggap bersangkut-paut, bila perbuatan itu dilakukan:
oleh lebih
dari seorang bersama-sama dan serempak;
oleh lebih
dari seorang pada waktu atau tempat yang berlainan, tetapi menurut suatu
permufakatan, yang mereka adakan lebih dahulu;
dengan
maksud akan mendapat upaya untuk melakukan perbuatan pidana yang lain, atau
untuk memudahkan melakukannya atau mengerjakannya; atau untuk melindungi
dirinya dari hukuman tentang perbuatan pidana yang lain.
Jika
surat-surat tentang pemeriksaan sementara yang satu itu juga mengenai
perbuatan-perbuatan pidana, yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, tetapi
tidak masuk dalam aturan yang keempat belas dari pasal ini, maka ketua
memerintahkan orang-orang yang dituduh itu menghadap hakim dengan beberapa
surat ketetapan yang berasing-asing, menurut perlunya.
Jika
surat-surat pemeriksaan sementara yang satu itu juga berhubungan dengan dua
orang atau lebih yang tertuduhi dan ketua memerintahkan beberapa orang
menghadap sidang pengadilan negeri dan yang selainnya tidak, maka jika karena
aturan dalam pasal 251, jaksa memajukan perlawanan terhadap ketetapan yang
bersangkutan hal menentukan hari persidangan diundurkan menurut ayat sembilan
pasal ini, sampai diterima keputusan pengadilan tinggi yang dimaksud dalam
pasal 251, ayat delapan, sembilan dan dua belas.
Dari
keputusan yang diambil oleh ketua menurut ayat ketiga dari pasal ini, ia
mengirim salinan dalam tempo dua kali dua puluh empat jam sesudah tanggal
penandatanganan, kepada jaksa pengadilan negeri dan kepadanya dikirim juga
surat-surat perkara itu.
Penjelasan:
Ayat (1)
menentukan, bahwa apabila pemeriksaan jaksa dianggap telah selesai dan tidak
ada yang perlu ditambah lagi, maka hakim atas perkara itu lalu mengambil
keputusan dengan memakai surat penetapan serta menyatakan alasan-alasannya.
Isi
keputusan itu rupa-rupa tergantung kepada duduk perkara dan keadaan perkara itu
seperti yang tersebut dibawah ini.
Ayat (2)
menentukan bahwa ketetapan ketua harus dipusatkan kepada hal-hal yang dituntut
oleh jaksa, kecuali kalau dalam penuntutan jaksa itu ada peristiwa pidana yang
lain yang belum dimasukkan, maka peristiwa pidana itu harus dimasukkan dalam
surat ketetapan itu juga, kecuali apabila jaksa dalam surat tuntutannya
menerangkan dengan tegas bahwa ia memang tidak mau menuntut peristiwa yang
lebih itu.
Wewenang
jaksa untuk tidak menuntut ini adalah akibat dari pada azas oportunitas yang
dianut oleh peradilan kita.
Menurut ayat
(3) maka apabila yang dituntut oleh jaksa itu tidak merupakan suatu peristiwa
pidana atau tidak cukup bukti yang dapat dipakai alasan untuk menuntut
tersangka, maka ketua dalam surat ketetapan itu menolak tuntutan jaksa dan
memerintahkan supaya tersangkanya dibebaskan.
Ayat (4)
mengatakan, bahwa apabila ada cukup alasan-alasan untuk menuntut tersangka,
maka perkara itu lalu diserahkan oleh ketua kepengadilan negeri. Dalam
ketetapan penyerahan perkara itu harus dimuat:
a.
penyebutan peristiwa-peristiwa pidana yang dipersalahkan kepada
tertuduh.
b.
penyebutan kira-kira waktu dan tempat di mana peristiwa pidana itu
dilakukan.
c.
keterangan tentang keadaan yang meliputi peristiwa pidana itu
khususnya hal-hal yang meringankan dan memberatkan tersangka.
Apa yang
tersebut pada sub a dan b merupakan syarat mutlak untuk syahnya penetapan penyerahan.
Kelalaian tentang hal ini diancam dengan pembatalan oleh Pengadilan Tinggi.
Ayat (5)
menentukan bahwa apabila tertuduh dihadapkan kepengadilan karena tuduhan suatu
peristiwa pidana yang ada ancaman pidana mati, dan tertuduh menghendakinya,
maka untuk membela tertuduh dengan percuma di depan pengadilan, ketua menunjuk
seorang anggota pengadilan negeri atau seorang pegawai pada pengadilan negeri
itu, atau orang lain yang ahli hukum yang bersedia dengan percuma melakukan
pembelaan itu (ayat (6) pasal 250).
Dalam
hubungan ini perlu disebutkan bahwa menurut pasal 35 U.U. Pokok Kehakiman No.
14/1970 setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pelaksanaan hak ini lebih lanjut dapat dibaca dalam Instruksi Pangkopkamtib No:
Ins.03/Kopkam/XI/1978.
Ayat (7)
menentukan, bahwa pada surat penyerahan perkara itu hakim selanjutnya
menetapkan hari persidangan dan memerintahkan untuk menyuruh panggil
saksi-saksi pada hari itu, yang dipandangnya perlu bagi pemeriksaan pengadilan.
Sudah barang tentu yang dipanggil itu hanyalah saksi-saksi yang sungguh-sungguh
penting bagi pembuktian kesalahan tersangka. Tersangka diberitahu isi surat
penyerahan itu dengan perintah untuk menghadap pada hari yang telah ditetapkan
itu di persidangan pengadilan.
Untuk
kepentingan pembelaan oleh tersangka, pada penetapan hari persidangan itu harus
ditentukan jangka yang patut yang berlaku antara hari persidangan dan saat
pemberitahuan isi surat penyerahan itu kepada tersangka.
Kepada jaksa
dikirimkan salinan surat penyerahan perkara itu oleh panitera.
Ayat (12)
menentukan, bahwa apabila dalam penyerahan perkara itu berhubung dengan
ketentuan dalam pasal 62 ayat (2), tersangka tidak dapat ditahan lebih lama,
maka hakim memerintahkan agar supaya tahanan itu dibebaskan, kecuali kalau ia
harus terus ditahan karena alasan lain.
Ayat (14)
mengatur tentang apa yang biasa disebut "penggabungan perkara".
Syarat utama untuk menggabungkan beberapa perkara ke dalam satu surat
penyerahan perkara, ialah bahwa hal itu tidak akan menimbulkan
keberatan-keberatan dalam pemeriksaan di muka persidangan pengadilan. Selain
syarat tersebut masih harus dipenuhi pula syarat-syarat lain yang tersebut
dalam ayat (15).
Dasar
pikiran dari penggabungan perkara ini ialah terutama meringkaskan serta mempermudah
pemeriksaan di dalam satu sidang pengadilan, supaya pemeriksaan beberapa
perkara dapat dilaksanakan dengan lancar dan cepat, oleh karena
hubungan-hubungan yang ada di dalam beberapa perkara itu menjadi lebih mudah
diketahui. Selain itu penggabungan perkara penting juga untuk kepentingan orang
yang didakwa berkenaan dengan ketentuan-ketentuan pidana karena melakukan
kejahatan secara tergabung (samenloop), sehingga pidananya menjadi lebih ringan
dari pada apabila perkara-perkara itu diadili secara sendiri-sendiri satu demi
satu.
Pasal 251 *
(1)
Jaksa dapat membantah keputusan yang diambil menurut pasal 247
ayat pertama, atau pasal 250 ayat ketiga, dalam tempo 14 hari dari tanggalnya,
atau dengan tegas menerimanya dengan jalan memberi keterangan pada kepaniteraan
pengadilan negeri.
(2)
Pencatatan dari keterangan ini dilakukan dalam daftar yang
disediakan untuk itu yang harus ditandatangani oleh jaksa serta panitera.
(3)
Segera sesudah jaksa pada pengadilan negeri menerima keputusan itu
atau sesudah lewat waktu 14 hari yang ditentukan dalam ayat pertama, maka ia
harus berlaku dengan surat-surat itu menurut yang ditetapkan dalam pasal 248,
jika perkara itu diserahkan pada hakim lain.
(4)
Surat bantahan dan surat-surat perkara, jikalau perlu. disertai
sebuah surat keterangan, yang berisi alasan-alasan yang tidak disebutkan dalam
surat, harus dikirim oleh jaksa pengadilan negeri dalam tempo seminggu kepada
jaksa agung pada mahkamah agung, yang berkuasa atas pengadilan negeri itu jaksa
agung harus menyerahkan segala surat-surat itu dengan pendapatnya dan dengan
tuntutannya dalam tiga hari.
(5)
Bila pengadilan tinggi berpendapat bahwa sebelum mengambil
keputusan atas itu, perlu didengar lagi saksi-saksi pemeriksaan tempat atau
pekerjaan yang lain yang masuk pemeriksaan sementara, maka buat keperluan itu
dimintanya dengan surat bantuan jaksa agung pada mahkamah agung dengan
menerangkan hal-hal yang dikehendakinya supaya diperiksa.
(6)
Pegawai ini wajib melakukan atau menyuruh melakukan pemeriksaan
itu dengan selekas-lekasnya dan mengirimkan pemberitaan pemeriksaan yang dibuat
tentang itu kepada pengadilan tinggi dengan segera.
(7)
Jika pengadilan tinggi menimbang, bahwa tidak perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan atau bahwa pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat yang di
muka sudah dapat dianggap selesai, maka hal itu ditetapkannya dengan
selekas-lekasnya dengan surat ketetapan yang menyatakan sebab-sebabnya.
(8)
Jika pengadilan tinggi menguatkan ketetapan ketua pengadilan
negeri maka hal itu diberitahukan dengan surat pada ketua dan pada jaksa agung
pada mahkamah agung. Kalau perkara itu diserahkan pada hakim lain, maka surat
harus dikirim pada hakim itu, atau pada jaksa pada pengadilan yang
bersangkutan. Jika ketetapan itu satu ketetapan seperti yang dimaksud dalam
pasal 250 ayat ketiga, maka surat-surat dikirimkan kembali pada ketua.
(9)
Jika pengadilan tinggi membatalkan ketetapan itu dan menetapkan,
bahwa perkara itu masuk pemeriksaan satu pengadilan negeri yang ada dalam
pegangannya, maka pengadilan tinggi memerintahkan supaya tertuduh dituntut di
hadapan pengadilan negeri itu, dengan menyebutkan dalam surat ketetapannya
perbuatan-perbuatan yang dituduhkan menurut pasal 250 ayat keempat, dengan
tidak menyertakan surat perintah untuk menangkap atau dengan menyertakan surat
perintah untuk menangkap atau menahan yang tertuduh dalam penjara dalam hal
diizinkan penahanan untuk sementara; surat-surat dikirimkan kepada ketua
pengadilan negeri dan salinan ketetapannya itu diserahkannya pula pada ketua
itu, kepada jaksa pada pengadilan negeri itu dan pada jaksa agung pada mahkamah
agung.
(10)
Jika pengadilan tinggi membatalkan ketetapan itu dan menetapkan,
bahwa perkara itu masuk pemeriksaan pengadilan negeri di luar daerah hukumnya,
maka surat-surat dan salinan ketetapannya dikirimkan oleh pengadilan tinggi
pada pengadilan negeri itu dan pada jaksa agung pada mahkamah agung.
(11)
Sesudah diterima surat-surat yang dimaksud dalam ayat kesembilan,
maka ketua pengadilan negeri menentukan hari persidangan dengan menyebutkan-
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan penuntutan sesuai dengan ketetapan majelis
serta dengan mengingat aturan dalam ayat ketujuh, ayat kedelapan dan ayat
kesepuluh pasal 250. Ayat kesebelas dari pasal itu untuk hal ini berlaku juga.
Jika perlu maka .dalam surat ketetapan ini ditunjukkanlah sarjana hukum atau
ahli hukum menurut aturan pada ayat kelima dari pasal 250.
(12)
Jika dalam hal ayat kesembilan dari pasal ini, perkara itu
diserahkan pengadilan negeri yang ketuanya mula-mula memutuskan perkara itu,
demikian juga di dalam hal yang dinyatakan pada ayat kesepuluh dari pasal ini,
maka pengadilan tinggi memberitahukan ketetapannya pada ketua yang tersebut di
atas itu dan pada jaksa agung pada mahkamah agung.
(13)
Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
(14)
Ditiadakan oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan reaksi jaksa atas bermacam-macam keputusan hakim pengadilan negeri
mengenai tuntutannya. Jaksa mungkin menerima suatu penetapan dari ketua
pengadilan negeri yang kurang menguntungkan bagi tuntutannya, akan tetapi
bukan. pula tidak mungkin, bahwa jaksa memajukan protes terhadap
penetapan-penetapan itu, karena ia tidak dapat menyetujuinya, karena
beranggapan bahwa pengadilan negeri benar-benar berkuasa untuk memeriksa
perkara itu, atau bahwa peristiwa yang telah dilakukan itu benar-benar
merupakan suatu peristiwa pidana, atau bahwa hak untuk melakukan penuntutan
tidak hilang atau bahwa dalam perkara itu bukti-bukti cukup akan kesalahan
tersangka. Ini semua diajukan jaksa kepada Pengadilan Tinggi untuk membantah
penetapan ketua pengadilan negeri yang harus diselenggarakannya dalam waktu 14
hari sesudah keputusan itu ditanggali.
Sesudah
menerima surat bantahan jaksa beserta surat-surat perkara, pengadilan tinggi
lalu memeriksa bantahan itu. Kalau penetapan pengadilan tinggi membenarkan
keputusan ketua pengadilan negeri, maka surat-surat itu dikirimkan kepada
pengadilan yang berkuasa untuk mengadilinya atau kepada kejaksaan pada
pengadilan itu.
Dalam hal
ini jaksa yang dikalahkan itu dapat mohon kasasi kepada Mahkamah Agung.
Sebaliknya
kalau penetapan pengadilan negeri itu dibatalkan, maka pengadilan tinggi
memerintahkan kepada pengadilan negeri untuk mengadili terdakwa di persidangan
dengan menyebutkan dalam surat penetapannya hal-hal yang dituduhkan, serta
mengirimkan kembali surat-surat perkara itu kepada hakim pengadilan negeri yang
bersangkutan.
Setelah
menerima surat-surat ini hakim pengadilan negeri ini menetapkan hari
persidangan dengan menerangkan dalam surat penetapannya sesuai dengan keputusan
pengadilan tinggi itu.
Bagian Kedua
TENTANG
PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN
Pasal 252
Tiap-tiap
pengadilan negeri terutama berhak untuk memeriksa segala kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam lingkaran daerah hukumnya.
Pengadilan
negeri yang dalam daerah hukumnya diam, tinggal atau ditangkap orang. yang
tersangka, hanya dapat mengambil pemeriksaan perkara kepadanya, jika tempat
kediaman kebanyakan saksi, yang akan dipanggil, lebih dekat letaknya pada
tempat kedudukan pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya dilakukan
kejahatan itu.
Jika seorang
yang tersangka, melakukan beberapa kejahatan dalam daerah hukum beberapa
pengadilan negeri maka tiap-tiap pengadilan negeri sama haknya memeriksa
pelbagai kejahatan-kejahatan itu, akan tetapi kalau beberapa pengadilan negeri
serempak mencampurinya, maka yang tetap diserahi pekerjaan memeriksa itu, ialah
pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya ditahan orang yang tersangka itu,
atau dalam daerah hukumnya diam atau tinggal orang yang tersangka itu, jika ia
tidak ditangkap.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan tentang apa yang biasa disebut "kompetensi relatip"
pengadilan negeri, yaitu kekuasaan mengadili yang berhubungan dengan daerah
hukum, merupakan lawan dari pada "kompetensi absolut" yaitu kekuasaan
mengadili berdasarkan atas rupa dan sifat peristiwa pidana yang diadili.
Adapun
kompetensi relatip pengadilan negeri, menurut pasal ini adalah:
1.
Sebagai prinsip pokok ialah mengadili peristiwa pidana yang
dilakukan dalam daerah hukumnya, atau
2.
disamping itu juga berkuasa mengadili perkara yang terdakwanya
berdiam, berada atau tertangkap dalam daerah hukumnya, dengan syarat, bahwa
kebanyakan dari saksi-saksinya yang akan didengar berdiam lebih dekat pada
tempat kedudukan pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan
negeri dalam daerah hukumnya peristiwa pidana itu dilakukan,
3.
Apabila terdakwa dituduh melakukan beberapa kejahatan dan
pelanggaran di daerah-daerah hukum lebih dari satu pengadilan negeri, maka
dalam hal ini tiap-tiap pengadilan negeri ini berkuasa mengadili. Oleh karena
suatu sebab perkara-perkara itu diajukan kepada beberapa pengadilan negeri
bersama-sama (serempak), maka yang harus melanjutkan pemeriksaan perkara ialah
pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa berdiam atau berada.
Dalam pasal
252 ini tidak terdapat ketentuan bagaimana kalau peristiwa pidana itu dilakukan
di luar negeri, sepanjang dapat dituntut oleh pengadilan negeri di Indonesia,
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal-pasal 3,4,5 dan 8 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Dalam hal
ini kami rasa tidak ada keberatan apabila dipakai ketentuan yang tersebut dalam
"Reglement op de Strafvordering" bagi Raad van Justitie" dahulu
yang dalam pasal 13 mengatakan, bahwa mengenai perkara-perkara kejahatan yang
dilakukan di luar negeri, sepanjang dapat dituntut di dalam negeri yang
berkuasa menuntut adalah jaksa pada pengadilan di dalam wilayah hukumnya yang
bersalah bertempat tinggal, atau tertangkap, atau yang bersalah paling akhir
berdiam. (lihat pula pasal 48 H.I.R.).
Tidak mudah
untuk menetapkan tempat dilakukannya peristiwa pidana sebagaimana yang tersebut
dalam pasal 252 ini. Tentang penetapan mengenai tempat terjadinya atau
dilakukannya kejahatan itu yang biasa disebut "Locus delicti", dalam
bidang hukum pidana dianut beberapa teori, ialah:
Teori
pembuatan material (leer van de lichamelijke daad). Menurut teori ini yang
menjadi locus delicti ialah tempat dimana pembuat melakukan segala yang
kemudian dapat mengakibatkan delik yang bersangkutan. Pendapat ini dianut oleh
Hoge Raad Neger Belanda dalam keputusannya 16 Oktober 1899 No. 7347, akan
tetapi kemudian ternyata, bahwa teori ini tidak dapat membawa penyelesaian
dalam hal sebagai berikut: Pada waktu perang dunia I (1914-1918) oleh Negeri
Belanda dilarang untuk memasukkan kuda ke dalam wilayah Negeri Jerman. Akan
tetapi seorang penyelundup tahu akal. la menyeberangi perbatasan antara Negeri
Belanda dan Jerman, sedangkan kuda yang hendak dimasukkannya ditinggalkan di
Negeri Belanda sangat dekat di perbatasan tersebut. Dengan suatu tali ia
menarik kuda itu ke dalam wilayah Negeri Jerman. Di muka hakim dikatakan oleh
penyelundup, bahwa ia tidak dapat dipidana karena ketika ia menarik kuda itu ia
berada di Negeri Jerman. Hoge Raad tidak dapat membenarkan pendapat itu dan
mengatakan, bahwa dapat pula terjadi dengan memakai alat-alat orang dapat
berbuat sesuatu di tempat lain dari pada di tempat ia berada. Dengan demikian
maka penyelundup itu dengan surat keputusan Hoge Raad 16 April 1915 diputuskan
bersalah. Ini berarti bahwa Hoge Raad menambah pendapatnya yang terdahulu
dengan teori yang baru yang dinamakan.
Teori alat
yang dipergunakan (leer van het instrument) yang mengatakan, bahwa delik
dilakukan di tempat di mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya, dengan
perkataan lain yang menjadi locus delicti ialah tempat di mana ada
"uitwerking" alat yang dipergunakan.
Teori akibat
(leer van het gevolg). Kadang-kadang juga teori alat yang dipergunakannya tidak
dapat memberi penyelesaian yang dikehendaki, karena tidak semua peristiwa
pidana dilakukan dengan mempergunakan alat. Maka dari itu oleh ilmu hukum
pidana dibuat lagi satu tambahan. Tambahan ini adalah teori akibat. Menurut
teori ini yang menjadi lotus delicti ialah tempat akibat dari perbuatan itu
terjadi, Teori akibat ini membawa keuntungan, misalnya dalam hal penipuan.
Seorang asing di luar negeri yang mempergunakan suatu nama palsu berhasil bahwa
seorang Indonesia yang berada di Indonesia melepaskan suatu benda tertentu.
Perkara ini hanya dapat diselesaikan dengan memakai teori akibat.
Sekarang timbul pertanyaan teori manakah
diantara 3 macam teori itu yang paling cocok? Oleh banyak ahli hukum
dikemukakan bahwa ke tiga teori ini sama pentingnya. Kita dapat memilih mana
yang paling cocok untuk menyelesaikan suatu perkara yang tertentu. Ini disebut
"meervoudige locus delicti" (Hoge Raad 2-1-1923 No. 11028).
Pasal 253
(1)
Apabila pengadilan negeri telah bersidang pada hari yang
ditentukan ketua menurut pasal 250, maka yang tersangka dipanggil masuk, atau
jika ia ada di dalam tahanan, dibawa masuk ke sidang dengan penjagaan baik,
akan tetapi tidak terbelenggu.
(2)
Jika pesakitan tidak ditahan dan atas panggilan yang dilakukan
tidak datang menghadap persidangan, maka ketua dapat memerintahkan menahan
orang itu dan menunda pemeriksaan perkara itu sampai pada hari persidangan yang
akan ditentukannya kemudian.
(3)
Jika di dalam suatu perkara lebih dari satu pesakitan dan tidak
semua pesakitan hadir pada persidangan, maka meskipun seorang atau lebih dari
mereka itu tidak hadir maka pemeriksaan dan pengadilan tentang orang yang hadir
itu diteruskan juga, sedang ketua dapat memberi perintah untuk menahan orang
yang tak hadir itu, agar mereka itu pada hari yang akan ditentukan kemudian
dapat dihadapkan pada persidangan.
(4)
Jika pesakitan yang tak hadir itu, dapat menyatakan karena sebab
yang syah ia tidak datang menghadap pada hari persidangan yang telah ditentukan
setelah ia ditahan, maka memerintahkan, supaya orang itu dikeluarkan pula.
Ketua kemudian menentukan pula hari persidangan yang akan datang, seraya memberi
perintah supaya hal itu diberitahukan kepada orang yang dituduh, menurut pasal
250 ayat ke 6 dan 7.
(5)
Jika tidak menghadap pada hari persidangan yang kemudian itu, maka
dilakukan menurut aturan pada ayat ke 2 dan ke 3 pasal ini, dan pesakitan yang
ditahan itu tinggal dalam tahanan sementara.
Penjelasan:
Apabila
tertuduh berada dalam tahanan sementara, pada waktu masuk ke ruangan
persidangan ia harus betul-betul dijaga, akan tetapi lepas dari segala ikatan,
artinya kalau ia memakai belenggu tangan, lalu dilepaskan, Jika ada pembelanya,
biasanya ia dipersilahkan masuk pula bersama-sama tertuduh. Apabila tertuduh
berada di luar tahanan, dan tidak datang hadir, sidang ditunda pada hari dan
tanggal yang ditentukan. Para saksi yang telah terlanjur datang, diberitahu
untuk datang hadir lagi, pemberitahuan ini dianggap sebagai panggilan.
Dalam
perkara dengan lebih dari seorang tertuduh, sedangkan ada tertuduh yang tidak
hadir, maka sidang diteruskan untuk memeriksa yang hadir, sedangkan terhadap
tertuduh yang tidak hadir diperintahkan supaya ditahan dan dihadapkan di
persidangan kemudian.
Kalau
tertuduh ini dapat menyatakan, bahwa ia tidak menghadap itu ada sebab yang
dapat diterima, maka ia dibebaskan dari tahanan.
Dalam pasal
ini ayat (1) ada kata-kata "telah bersidang", maksudnya persidangan
pengadilan sudah dibuka oleh ketua dengan pernyataan, bahwa sidang itu terbuka
untuk umum.
Untuk
menjamin objektivitas pemeriksaan perkara di muka pengadilan, maka dalam pasal
17 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970 diletakkan ketentuan dasar, bahwa
pemeriksaan dalam sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain.
Pasal 254
Tiap-tiap
orang yang tersangka berhak mempertahankan dirinya pada sidang dengan bantuan
seorang pembela.
Pembela bebas
masuk mengunjungi orang yang tersangka kalau ia dalam tahanan pada waktu atau
mulai dari waktu yang ditetapkan oleh ketua dan dapat berbicara dengan yang
tersangka seorang diri dengan pengawasan sepatutnya.
Atas
pertanyaan yang dimajukan untuk itu, ketua akan menentukan suatu ketika untuk
tersangka dan pembelanya untuk melihat surat-surat pemeriksaan sementara di
kepaniteraan pengadilan negeri.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang pembela atau penasihat hukum bagi terdakwa. Apakah perlunya
seorang terdakwa harus dibela. Dalam perkara terdakwa harus berhadapan dengan
Jaksa dan Polisi di depan Hakim, hal ini tidak seimbang. Terdakwa merasa amat
kecil terhadap tuduhan-tuduhan yang telah disusun rapih oleh Jaksa, ditambah
lagi pikirannya gelisah, dan kacau menghadapi perkara. Oleh karena itu untuk
kepentingan terdakwa dan sebenarnya juga untuk kepentingan keseimbangan dalam
pemeriksaan perkara, dirasakan amat perlu adanya seorang penasihat hukum untuk
membela kepentingan terdakwa.
Hak setiap
orang yang kena perkara untuk memperoleh bantuan dari penasihat hukum (pembela)
diakui dalam pasal 35 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970.
Sejak
kapankah terdakwa boleh menghubungi penasihat hukumnya? pasal 36 U.U. Pokok
Kehakiman menentukan "terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan", akan tetapi pasal 38 undang-undang itu menentukan, bahwa hal
itu masih akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang, sehingga sebelum
undang-undang baru itu berwujud, ketentuan tentang penasihat hukum sebagaimana
tersebut diatas itu belum dapat direalisasikan, dan sambil menunggu keluarnya
undang-undang baru itu, dalam, prakteknya yang dipakai masih
ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam H.I.R.
Sebagaimana
ditentukan dalam pasal 254 H.I.R inilah, diterangkan bahwa baru dalam sidang
pengadilan seorang terdakwa itu dapat dibela oleh seorang penasihat hukum.
Pasal ini
biasanya diartikan, bahwa penasihat hukum itu barulah dapat mengadakan hubungan
dengan terdakwa yang berada dalam tahanan sementara, apabila surat tuduhan
sudah tersusun, dan setelah itulah hakim menentukan saat kapan pembela mulai
dapat menjumpai terdakwa dalam tahanan dan juga dapat membaca surat-surat
pemeriksaan perkara yang berada di kantor panitera pengadilan.
Terang bahwa
menurut hukum yang berlaku sekarang ini, selama pemeriksaan pendahuluan yang
dilakukan oleh polisi dan jaksa, tahanan yang berada tahanan sementara tidak
diperbolehkan memakai seorang penasehat hukum.
Akan tetapi
menurut Instruksi Pangkopkamtib No. Ins.03/Kopkam/XI/1978 seorang tersangka sejak
ditangkap/ditahan memperoleh bantuan hukum.
Hubungan
dengan pembela dan keluarganya boleh dilakukan sejak hari pertama dan kedua
setelah mereka itu mengetahui tentang penangkapan ini. Hubungan hanya boleh
dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan pemeriksaan; selama sedang dilakukan
pemeriksaan oleh Polisi/Jaksa/Oditur tidak diperkenankan didampingi pembela
secara pisik.
Dalam hal
terdakwa diperkenankan memakai pembela maka ia sendirilah yang harus berusaha
mencarinya, kecuali dalam ketentuan yang tersebut dalam pasal 250 ayat (5)
H.I.R. yang menyebutkan penunjukkan penasihat hukum atau pembela oleh hakim
untuk secara Cuma-cuma memberikan bantuan hukum kepada terdakwa, akan tetapi
hal ini hanya mungkin apabila terdakwa dituduh melakukan tindak pidana yang ada
ancaman pidana mati.
Pasal 255
Ketua harus
menanya kepada pesakitan namanya, umurnya, tempat kelahirannya, tempat
kediamannya dan pekerjaannya, lagi pula memperingatkan supaya memperhatikan
apa-apa yang akan didengarnya.
Penjelasan:
Yang
dimaksudkan "pesakitan" yaitu terdakwa atau tertuduh. Kepada tertuduh
ditanyakan tentang identitasnya, seperti nama, umur, tempat kelahiran dan
lain-lain.
Tentang nama
harus dengan selengkap-lengkapnya dengan menyebutkan pula orang tuanya (bin)
atau nama lain (alias). Perlunya disebutkan juga tempat kelahiran, untuk mudah
mencari apabila terdakwa melarikan diri. Kebiasaan orang kalau melarikan diri,
bersembunyi di tempat kelahiran atau asalnya.
Pasal 256
Kemudian
ketua memerintahkan supaya jaksa pada pengadilan negeri membacanya terjemahan
surat tuduhan, segala surat pemberitaan pemeriksaan, pertelaan dan segala
surat-surat lain yang berhubungan dengan perkara itu, kecuali surat keterangan
saksi.
Penjelasan:
Perkataan
"terjemahan" di depan "surat tuduhan" harus dipandang tidak
tertulis, oleh karena surat-surat resmi sekarang sudah tertulis dalam bahasa
nasional.
"Surat
keterangan saksi" yang dimaksud dalam pasal ini ialah pernyataan
saksi-saksi dalam berita acara pemeriksaan pendahuluan.
Menurut
bunyi pasal 256 ini maka yang harus dibacakan oleh jaksa itu selain surat
tuduhan, juga semua surat-surat dari laporan-laporan dari bekas perkara, akan
tetapi dalam prakteknya hal ini sama sekali tidak dilakukan, karena mungkin
memang tidak berguna, sebab yang perlu diketahui oleh terdakwa dan khalayak
ramai itu adalah isi surat tuduhannya saja, dan memang yang biasa dibacakan itu
hanya surat tuduhannya saja.
Pasal 257
Ketua harus
menerangkan isi surat tuduhan dengan jelas kepada pesakitan dan menanyakan
kepadanya, apakah ia mengerti betul akan isinya dan jawaban apakah diberikan
atas hal itu.
Pasal 258
Ketua
melakukan pemeriksaan, apakah semua saksi-saksi yang dipanggil itu hadir dan
memberi perintah yang perlu akan mencegah, supaya sebelum memberi kesaksiannya,
mereka tidak dapat membicarakan seorang kepada seorang tentang perkara orang
yang tersangka.
Pasal 259
Jika seorang
saksi atau lebih meninggal dunia, sesudah memberi keterangan dalam pemeriksaan
sementara, atau oleh karena ada halangan yang syah tidak dapat menghadap persidangan,
atau oleh karena jauhnya tempat diamnya atau tempat tinggalnya tidak dipanggil,
maka keterangan yang telah diberikannya itu harus dibacakan.
Jika
keterangan itu diberi atas sumpah, maka keterangan itu dihargai sama dengan
keterangan yang diberikan dengan lisan serta dengan sumpah; dalam hal yang lain
maka pengadilan negeri dapat mengindahkan keterangan itu sedemikian patut,
menurut timbangannya dengan memperhatikan peraturan pasal 303.
Penjelasan:
Menurut
pasal, 82 maka dalam pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh polisi dan
jaksa, pada waktu diperiksa keterangannya seorang saksi itu tidak disumpah,
kecuali kalau diduga ia tidak akan dapat menghadap persidangan kemudian seperti
misalnya sakit keras, luka parah, tidak punya tempat tinggal tetap, pergi ke
luar negeri dan lain sebagainya.
Keterangan
saksi dalam pemeriksaan pendahuluan seperti itu yang sudah disumpah terlebih
dahulu, menurut ayat (2) pasal 269, kalau saksi tidak hadir dan dibacakan dalam
persidangan harganya sama dengan bukti "kesaksian" yang syah.
Pasal 260
Jika saksi
yang dipanggil itu tidak semuanya hadir maka ketua dapat menunda perkara itu
sampai sidang yang akan datang, yang terdekat, jika pengadilan negeri menimbang
bahwa untuk lengkapnya pemeriksaan hadirnya seorang saksi. yang tidak datang
diperlukan; dalam hal Yang sedemikian ia memberi perintah, supaya saksi yang
tak hadir itu dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada persidangan.
Pasal 261
Jika saksi
yang tak hadir itu telah dipanggil dengan patut maka ketua dapat memerintahkan,
jika ia mendapat alasan yang cukup untuk menyangka, bahwa tidak datangnya
sekali itu dapat disesalkan kepada ketidakmauannya, maka saksi yang tidak
datang itu, dibawa ke muka pengadilan negeri pada hari persidangan yang
ditentukan untuk memeriksa perkara itu.
Pasal 262
Jika seorang
saksi dengan tidak ada sebab yang syah enggan mengangkat sumpah, atau enggan
memberitakan yang benar, maka ketua dapat menunda perkara pada persidangan
kemudian, tetapi tidak boleh lebih lama dari empat belas hari.
Dalam hal
itu maka saksi itu pada saat itu juga disanderakan atas perintah ketua, dan
dibawa menghadap pengadilan negeri sekali lagi pada persidangan yang akan
datang.
Penjelasan:
Perintah
ketua pengadilan untuk menyanderakan saksi yang dimaksud dalam pasal ini
biasanya tidak memakai tata-cara atau formalitas. Sudah cukup dengan perintah
ketua pengadilan negeri saja kepada Pemimpin. Lembaga Pemasyarakatan, supaya
saksi itu disanderakan sampai pada hari persidangan yang akan datang.
Pasal 263
Ditiadakan
oleh Undang Undang Darurat No. 1/1951.
Pasal 264
Jika seorang
yang dipanggil sebagai saksi bersalah melakukan kejahatan pada pasal 224 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, maka ketua pengadilan negeri menyuruh panitera
mencatat kejadian itu dalam pemberitaan persidangan dam mengirimkan petikan
pemberitaan ini kepada pegawai yang berhak menuntut.
Penjelasan:
Pasal ini
menyebutkan pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang bunyinya
"Barang siapa yang dipanggil menurut undang-undang akan menjadi saksi,
ahli atau juru bahasa, dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang
sepanjang undang-undang harus dipenuhi dalam jabatan tersebut, dipidana:
1)
dalam perkara pidana, dengan pidana penjara selama-lamanya
sembilan bulan,
2)
dalam perkara lain, dengan pidana penjara selama-lamanya enam
bulan.
Mengenai
saksi, kewajiban-kewajiban yang tersebut dalam pasal 224 K.U.H.P. itu ialah
untuk memenuhi panggilan menghadap pada persidangan, memberikan sumpah, dan
memberikan keterangan yang sesungguhnya dari apa yang ia ketahui, sehingga
apabila saksi misalnya setelah disumpah dengan tidak ada alasan yang syah,
tidak mau memberikan keterangan, maka di samping tindakan penyanderaan dalam
ayat (2) pasal 262 itu, terhadapnya dapat diadakan penuntutan pidana melanggar
pasal 224 K.U.H.P.
Pasal 265
Saksi itu
dipanggil ke dalam seorang demi seorang menurut tertib yang dipandang oleh
ketua sebaik-baiknya.
Ketua
menanya pada mereka namanya, umurnya, pekerjaannya, dan tempat diamnya; apakah
mereka mengenal pesakitan, sebelum ia melakukan perbuatan yang menyebabkan
menghadap hakim; apakah mereka itu berkeluarga sedarah, atau berkeluarga
semenda dengan orang yang dituduh itu dan dalam berapa pupu kemudian apakah
mereka bekerja pada pesakitan.
Kemudian
daripada itu saksi hendaklah disumpah, masing-masing menurut agamanya, akan
menerangkan kebenaran sesungguh-sungguhnya dan tidak lain daripada yang benar
dan setelah itu mereka memberi keterangannya.
Saksi-saksi
itu tidak dapat memadaikan dengan bertahan saja pada keterangan yang
diberikannya dahulu.
Penjelasan:
Saksi
ditanya tentang "apakah kenal dan apakah bekerja pada terdakwa" itu
perlu untuk menimbang apakah keterangan saksi itu tidak memihak kepada
terdakwa.
Saksi
ditanya "apakah ada hubungan keluarga dengan terdakwa" adalah perlu
untuk mengetahui apakah saksi mempunyai hak undur diri dari kesaksian atau
tidak seperti yang tersebut dalam pasal 274.
Penyumpahan
saksi dilakukan menurut cara agamanya masing-masing. Bagi orang yang tidak
beragama, boleh diganti dengan mengucapkan janji yang harkat dan akibat
hukumnya dianggap sama dengan "'sumpah" (Staatsblad 1920 No.69).
Disini saksi
sebelum memberikan keterangannya disumpah terlebih dahulu. Cara pemeriksaan
semacam ini dinamakan penyumpahan secara "promissoris". Ada cara
lain, yaitu saksi .baru disumpah sesudah ia mengucapkan keterangannya. Cara ini
disebut penyumpahan secara "assertoris" yang dulu dipakai dalam
pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan "Landgerecht" yang
sekarang menjelma menjadi pengadilan Negeri sidang kecil.
Pada azasnya
tiap-tiap saksi dalam sidang pengadilan harus "bersumpah" atau
"berjanji", sebab jikalau tidak demikian, maka bahaya untuk
memberikan keterangan yang tidak benar diperbesar.
Bagaimanakah
kalau saksi menolak untuk bersumpah atau berjanji? Kalau hakim berpendapat bahwa
penolakan bersumpah atau berjanji itu tidak berdasar atas alasan-alasan yang
syah - alasan yang syah untuk menolak yaitu misalnya hak untuk mengundurkan
diri dari kesaksian, maka hakim dapat mengundurkan perkara itu sampai hari
persidangan yang akan ditentukan kemudian, tetapi tidak boleh lebih lama dari
14 hari. Dalam hal demikian atas perintah hakim segera disandera (gijzeling)
dan pada sidang yang akan ditetapkan kemudian akan dibawa ke muka pengadilan
negeri sekali lagi. Di samping itu saksi itu, bersalah telah melakukan
peristiwa pidana yang diancam pidana dalam pasal 224 K.U.H.P.
Pasal 266
Pemeriksaan
itu dilakukan terus menerus, kecuali dalam hal-hal penundaan diizinkan oleh
aturan undang-undang atau jika ketua menganggap, perlu, karena sebab-sebab yang
akan disebutnya di situ.
Pasal 267
(1)
Jika keterangan yang diberikan seorang saksi dalam persidangan
berbeda dengan keterangan yang diberikannya dahulu, maka ketua harus
memperingatkan padanya hal itu, serta ia meminta penjelasan tentang hal itu kepadanya.
(2)
Hal ini akan dicatat dalam surat pemberitaan acara.
Pasal 268
Sesudah
tiap-tiap kesaksian yang diberikan, maka ketua harus menanyakan pada pesakitan
apakah ia ada keberatan atas kesaksian itu.
Saksi tidak
boleh diganggu, sewaktu ia memberi keterangannya.
Akan tetapi
pesakitan berhak memajukan pertanyaan dengan perantaraan ketua sesudah
kesaksian itu diberikan dan akan menyebut keberatannya yang dipandangnya baik
untuk, mempertahankan dirinya, baik tentang saksi itu maupun tentang
kesaksiannya.
Jika
pesakitan dibantu oleh seorang pembela, maka pembela mempunyai hak sedemikian
juga.
Ketua dapat
minta kepada saksi dan kepada pesakitan segala penjelasan yang dipandangnya
perlu untuk mendapat kebenaran.
Penjelasan:
Setelah
memberikan kesaksian, kepada tertuduh ditanya, adakah hal sesuatu mengenai
kesaksian itu yang ia akan kemukakan. Tertuduh, demikian pula pembelanya berhak
mengajukan pertanyaan kepada saksi, akan tetapi harus melalui hakim. Adapun
jaksa berhak mengajukan langsung kepada tertuduh dan saksi, akan tetapi harus
minta izin terlebih dahulu kepada hakim (pasal 272).
Pasal 269
(1)
Pertanyaan menjerat tidak dapat ditanyakan dalam persidangan pada
pesakitan, atau pada saksi, dan hakim tidak dapat mengacuhkan atas jawaban yang
boleh jadi diberikan atas pertanyaan menjerat yang sedemikian.
(2)
Pertanyaan tentang perkara yang berbukti, yang tidak diakui, atau
yang tidak diberitahukan, oleh orang yang tersangka, atau oleh saksi tetapi
dianggap atau disangka sebagai telah diakui oleh mereka itu, maka pertanyaan
itu dipandang seperti pertanyaan menjerat juga.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka dalam sidang pengadilan, baik kepada tertuduh maupun kepada
saksi-saksi tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya
menjerat, misalnya apabila seorang saksi menerangkan, bahwa ia mendengar ada
pencuri di dalam rumahnya dan ketika itu lampu di dalam rumahnya terang
menyala, maka apabila ditanyakan kepadanya: "Apakah yang kamu lihat ketika
itu dilakukan oleh tertuduh? pertanyaan ini sifatnya menjerat, sebab saksi
tidak mengatakan, bahwa pencuri itu adalah tertuduh.
Pasal 270
Jika
pesakitan tidak menjawab pertanyaan yang dimajukan padanya atau enggan
menjawab, maka ketua harus memperingatkan kepadanya kewajibannya akan menjawab
dan sesudahnya meneruskan pemeriksaan perkara itu.
Penjelasan:
Ketentuan,
bahwa ketua harus mengingatkan kepada terdakwa akan "kewajibannya akan
menjawab" menimbulkan kesan seakan-akan seorang terdakwa itu diharuskan
menjawab, sedangkan sesungguhnya kewajiban itu tidak ada sama sekali. Hukum
acara pidana Negeri Belanda pernah menentukan, bahwa hakim dan pegawai penyidik
dilarang berusaha memperoleh suatu keterangan dari terdakwa yang tidak
diberikan dengan sukarela. Ditentukan, bahwa seorang terdakwa diberi "hak
bungkam" artinya ia tidak wajib menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan kepadanya. Malahan ditentukan juga bahwa seorang pemberita acara
sebelum memeriksa keterangan seorang terdakwa, terlebih dahulu harus
memberitahukan adanya hak bungkam itu kepadanya, pemberitahuan mana harus
dicatat dalam berita acaranya, akan tetapi ketentuan ini telah dihapuskan.
Adapun
H.I.R. tidak dengan tegas memberikan "hak bungkam" kepada terdakwa,
malahan dalam pasal 270 ini menyebutkan, bahwa apabila terdakwa dalam sidang
pengadilan tidak menjawab suatu pertanyaan, maka hakim harus memperingatkan
kepadanya akan kewajiban terdakwa untuk menjawab, akan tetapi sanksi atas hal
ini tidak ada. Hanya apabila terdakwa mengeruhkan jalannya persidangan dengan
tindakan-tindakan yang tidak pantas, hakim dapat mengusir terdakwa keluar dari
persidangan, dan pemeriksaan perkara dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa (pasal
271).
Pasal 271
Jika
pesakitan, karena kelakuannya yang tidak senonoh mengganggu ketertiban
persidangan, maka ketua memperingati supaya mesti tenteram dan jika peringatan
itu tidak berhasil, maka ia disuruh bawa keluar tempat persidangan dan
pemeriksaan perkara diteruskan dan diputuskan, seperti pesakitan itu masih
turut hadir segala hal itu tidak mengurangi penuntutan kejahatan yang diperbuat
oleh pesakitan dalam persidangan.
Pasal 272
Anggota-anggota
pengadilan negeri *), jaksa pada pengadilan negeri
dan penasehat berhak juga mengemukakan pertanyaan-pertanyaan yang dipandangnya
perlu untuk memperoleh kebenaran kepada saksi-saksi dan kepada orang pesakitan,
asal saja dimintanya izin lebih dahulu kepada ketua.
Biarpun
begitu ketua masih berkuasa akan mencegah jawaban segala pertanyaan yang
demikian, jika menurut pendapatnya pertanyaan itu tidak dapat dimajukan atau
tidak senonoh.
Ketua dapat
juga menolak permintaan yang dikemukakan oleh pesakitan, untuk menyampaikan
pertanyaan kepada saksi.
Pasal 273
(1)
Tiap-tiap saksi tinggal menghadiri persidangan sesudah memberi
kesaksiannya, kecuali jika ketua mengizinkan kepadanya mengundurkan diri.
(2)
Izin itu tidak akan diberikan, jika jaksa pada pengadilan negeri
atau pesakitan menghendaki, supaya saksi itu tetap tinggal menghadiri
persidangan.
(3)
Saksi-saksi tidak dapat bercakap-cakap seorang kepada seorang di
dalam persidangan.
Pasal 274
Dengan
memperhatikan apa yang ditentukan dalam pasal yang berikut di bawah ini, maka
tidak dapat didengar sebagai saksi dan dapat meminta mengundurkan diri sebagai
saksi:
Keluarga
sedarah atau keluarga semenda dalam turunan ke atas atau ke bawah dari
pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan;
Suami atau
isteri dari pesakitan atau dari salah seorang atau perempuan dari pesakitan
atau dari salah seorang yang turut serta menjadi pesakitan; lagi pula saudara
ibu atau saudara bapa baik laki-laki, maupun perempuan, juga yang karena
perkawinan, dan anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan.
Suami atau
isteri dari pesakitan atau dari salah seorang yang turut serta menjadi
pesakitan, biarpun telah bercerai;
Budak yang
telah dibebaskan oleh pesakitan atau oleh salah seorang yang serta menjadi
tertuduh *).
Penjelasan:
Sebagaimana
antara lain ternyata dalam pasal 80, maka menjadi saksi dalam suatu perkara
pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada sanksinya, akan
tetapi tidak semua orang wajib menjadi saksi. Dalam pasal 274 ini disebutkan
beberapa golongan orang-orang yang dikecualikan untuk itu. Mereka itu yang
biasa disebut "relatief onbevoegde getuigen" (saksi yang mempunyai
hak undur diri relatif dari memberikan kesaksian), umumnya tidak diperiksa
menjadi saksi dan berhak meminta dibebaskan dirinya dari memberikan kesaksian.
"Relatief" maksudnya, bahwa tidak selamanya. mereka itu dibebaskan, sebab
apabila jaksa, terdakwa dan ia sendiri, ketiga-tiganya, tidak menaruh keberatan
untuk memberikan kesaksian, mereka itu dapat pula didengar keterangannya
sebagai saksi (pasal 275).
Golongan-golongan
orang itu ialah yang disebutkan pada sub. 1, 2, 3 dan 4 dari pasal ini, akan
tetapi sub.4 harus dianggap tidak berlaku lagi, oleh karena perbudakan di
Indonesia sudah sejak tahun 1860 tidak ada lagi (pasal 169 Indische
Staatsregeling, lihat pula pasal 10 Undang-undang Dasar Sementara).
Pasal 275
Jika jaksa
pada pengadilan negeri dan pesakitan bersama-sama dengan tegas mengizinkan,
maka orang-orang yang tersebut pada pasal di atas ini, dapat juga dikabulkan
memberi kesaksian asal mereka turut meluluskan.
Orang itu
dapat diluluskan oleh pengadilan negeri untuk memberi keterangan dengan tidak
bersumpah, biarpun tidak ada izin itu.
Pasal 276
(1)
Budak *) dari pesakitan, yang dipanggil
menjadi saksi untuk memberatkan atau membebaskan tuannya, tidak dapat
diperiksa, jika jaksa pada pengadilan negeri dan pesakitan dengan tegas tidak
mengizinkan, atau dalam hal perlawanan, jika pengadilan negeri sesudah mufakat,
memberi perintah akan memeriksa budak itu.
(2)
Aturan ayat penghabisan dari pasal 275, berlaku dalam hal ini.
Penjelasan:
Pasal ini
harus dianggap tidak ada gunanya lagi, oleh karena semenjak tahun 1860
perbudakan sudah tidak ada lagi (pasal 169 Indische Staatsregeling, lihat pula
pasal 10 U.U. Dasar Sementara).
Pasal 277
Orang-orang,
yang diwajibkan menyimpan rahasia karena kedudukannya, pekerjaannya, atau
jabatannya yang sah dapat meminta mengundurkan diri dari memberikan kesaksian;
akan tetapi hanya mengenai hal yang diketahui dan dipercayakan kepadanya itu
saja.
Pertimbangan
apakah permintaan mengundurkan diri itu beralasan atau tidak terserah pada
ketua pengadilan negeri.
Penjelasan:
Dalam pasal
ini disebutkan golongan orang-orang yang dapat minta dibebaskan dari memberikan
kesaksian. Mereka ini ialah orang-orang yang karena martabat, pekerjaan dan
jabatannya yang syah diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi pembebasan ini
hanyalah mengenai hal-hal yang diberitahukan kepadanya karena martabat, pekerjaan
dan jabatannya itu, seperti misalnya pendeta atau pastur harus menyimpan
rahasia umat katolik yang disampaikan kepadanya sebagai pengakuan dosa, seorang
notaris yang harus menyimpan rahasia langganannya yang sengaja diberitahukan
kepadanya. Seorang dokter yang wajib menyimpan rahasia penyakit pasiennya dan
lain sebagainya. Diberikan atau tidaknya pembebasan itu sama sekali terletak
pada kekuasaan hakim.
Berhubung
dengan pasal 277 ini lihatlah pasal 322 K.U.H.P. dimana diancam dengan pidana
penjara paling tinggi 9 bulan atau denda paling tinggi Rp. 9.000,- barang siapa
yang dengan sengaja memberitahukan sesuatu rahasia yang ia diwajibkan
menyimpan, baik dalam hubungan jabatannya atau pekerjaannya yang sekarang atau
yang dahulu.
Pasal 278
Hanya dapat
diperiksa untuk memberi keterangan dengan tidak mengangkat sumpah;
1o.
anak-anak, yang belum diketahui dengan pasti apakah umurnya sudah
sampai lima belas tahun;
2o.
orang gila, meskipun kadang-kadang ia dapat memakai ingatannya
dengan terang.
Penjelasan:
Jikalau
pasal 274 menyebutkan golongan saksi "relatief onbevoegde getuigen"
(orang-orang yang mempunyai hak undur diri relatif diri memberikan kesaksian),
maka pasal 278 ini menyebutkan golongan saksi "absolut onbevoegde
getuigen" (orang-orang yang senantiasa dibebaskan dari memberikan
kesaksian). Golongan orang-orang ini adalah:
1)
Anak-anak yang belum diketahui dengan pasti umurnya sudah sampai
lima belas tahun (mereka ini dibebaskan, karena masih mudah dipengaruhi oleh
orang lain, sehingga keterangannya tidak tetap),
2)
orang gila, walaupun kadangkala ingatannya terang (mereka ini
dibebaskan karena ingatan dan keterangannya tidak tetap, tidak boleh
dipercaya).
Mereka itu
hanya dapat diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah, artinya
keterangannya tidak bernilai sebagai bukti "kesaksian" tetapi hanya
sebagai penjelasan saja.
Pasal 279
Pesakitan
berhak meminta, sesudah saksi-saksi memberi kesaksiannya, supaya saksi yang
ditunjukkannya dikeluarkan dari persidangan, dan supaya seorang saksi atau
lebih disuruh masuk kembali dan diperiksa lagi, baik sendiri-sendiri, maupun
dihadapan seorang kepada seorang.
Jaksa pada
pengadilan negeri mempunyai hak sedemikian juga.
Ketua, oleh
karena jabatannya, juga dapat memberi perintah serupa itu.
Pasal 280
Ketua dapat
menyuruh seorang pesakitan atau pesakitan yang lebih ke luar dari persidangan,
sewaktu diperiksa seorang saksi atau sesudah itu, dan menanyai pada saksi itu
sendiri-sendiri tentang beberapa hal dalam perkara itu, akan tetapi sesudah itu
pemeriksaan perkara tidak dapat diteruskan sebelum diberitahukan kepada
tiap-tiap pesakitan segala yang kejadian pada waktu ia tidak hadir itu.
Pasal 281
(1)
Pada waktu saksi memberi kesaksian atau sesudah itu, maka ketua
memperlihatkan kepada pesakitan segala barang-barang yang dapat membuktikan dan
menanyakan kepadanya, apakah ia mengenal barang itu.
(2)
Ketua akan memperlihatkan juga barang-barang itu kepada saksi,
jika ada alasan untuk itu.
Pasal 282
Jika pada
pemeriksaan itu dapat diketahui beberapa hal yang tidak disebut dalam surat
tuduhan, tetapi yang menurut undang-undang dapat menjadi alasan akan
memberatkan hukuman maka ketua berkuasa lagi menambah tuduhan mengenai hal itu.
Jika di luar
hal yang tersebut pada ayat di muka ini ketua menimbang, bahwa tuduhan harus
diubah, maka ia berkuasalah mengubahnya, meskipun karena perubahan tuduhan itu
perbuatan yang tidak dapat dihukum, menjadi perbuatan pidana; akan tetapi
perubahan, yang menyebabkan isi tuduhan itu menjadi perbuatan lain, menurut
arti pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak diperbolehkan.
Ketua
memberitahukan perubahan surat tuduhan yang tersebut pada segala ayat di atas
ini kepada pesakitan serta memberi kesempatan pula kepadanya akan mengeluarkan
keterangannya tentang itu, jika yang demikian tidak diperbuatnya, maka pengadilan
negeri tidak akan memperhatikannya.
Jika
pesakitan memberi keterangan yang dapat diterima, bahwa karena perubahan itu
perlu diberi tempo kepadanya guna pertahanannya maka pengadilan negeri menunda
pemeriksaan buat waktu yang ditentukan lamanya.
Perubahan
lain pada tuduhan itu daripada yang diizinkan menurut pasal ini, dianggap
seperti tidak diperbuat.
Penjelasan:
Perubahan
dalam surat penyerahan perkara oleh hakim yang menurut undang-undang dapat
menyebabkan pidana lebih berat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini misalnya
apabila ternyata bahwa penganiayaan biasa yang tersebut dalam pasal 251 (1)
K.U.H.P. tidak dilakukan dengan sengaja saja, akan tetapi juga dengan
"direncanakan lebih dahulu" (pasal 253 ayat 1), atau umpamanya lagi
jika ternyata bahwa pencurian yang dilakukan itu, bukan dilakukan pada siang
hari, akan tetapi pada malam hari di dalam rumah dengan jalan membongkar
(bandingkan pasal 362 pencurian biasa dan pasal 362 jo 363 sub 3 dan sub.4
K.U.H.P. pencurian dengan pemberatan).
Perubahan
surat penyerahan perkara oleh hakim yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini
ialah dari "bukan peristiwa pidana" menjadi "peristiwa
pidana", misalnya jika ternyata, bahwa orang dewasa melakukan perbuatan
cabul dengan orang yang sudah dewasa dari jenis kelamin yang sama (bukan
peristiwa pidana), orang yang terakhir ini umurnya kurang dari 21 tahun dan
belum pernah kawin (belum dewasa), sehingga peristiwanya menjadi peristiwa
pidana yang diancam pidana dalam pasal 292 K.U.H.P.; akan tetapi jika
perubahan-perubahan itu mengakibatkan, bahwa, tuduhan itu tidak lagi mengandung
perubahan (felt) itu juga dalam arti menurut pasal 76 KU.H.P., maka
perubahan-perubahan itu tidak dapat diizinkan.
Perubahan
menurut bunyi ayat (5) dari pasal 282 yang tidak boleh dilakukan misalnya
tuduhan "mencuri" diganti dengan "menggelapkan". Menurut
ayat (3) pasal ini maka hakim memberitahukan perubahan-perubahan tuduhan yang
dimaksud dalam ayat-ayat di atas kepada terdakwa, yang kemudian diberi
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya tentang hal itu, dan jika hal itu tidak
diberitahukan kepada terdakwa maka hakim tidak boleh memperhatikan
perubahan-perubahan itu.
Menurut ayat
(4) maka jika dapat dijelaskan bahwa ia karena perubahan-perubahan itu untuk
kepentingan pembelaannya membutuhkan penundaan pemeriksaan, maka hakim
mempertangguhkan pemeriksaan perkara itu untuk waktu yang tertentu.
Pasal 283
(1)
Jika keterangan seorang saksi disangka palsu dihadapan
persidangan, maka ketua harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk
menerangkan kebenaran dan mengingatkan kepadanya hukuman, yang dapat dijatuhkan
padanya, jika ia tetap memberikan keterangan yang tidak benar.
(2)
Jika saksi biarpun demikian tetap juga pada keterangannya yang
disangka palsu itu, maka pengadilan negeri baik karena jabatannya maupun atas
permintaan pada pengadilan negeri atau atas permintaan pesakitan, dapat memberi
perintah supaya saksi yang demikian itu dimasukkan dalam tahanan sementara;
kemudian perkara itu diperiksa, menurut peraturan undang-undang.
(3)
Dalam hal yang demikian, maka dengan segera diperbuat oleh
panitera pemberitaan acara yang berisi keterangan saksi itu, dengan menyatakan
dasar-dasar yang menurut sangkaan palsu itu.
(4)
Jika kepentingan perkara itu menghendaki, maka ketua dapat,
menunda pelanjutan itu sampai pemeriksaan pada saksi itu berkesudahan.
(5)
Jika jaksa pada pengadilan negeri menimbang bahwa tidak cukup
alasan untuk menuntut saksi itu, sesudah dilakukan pemeriksaan sementara, maka
dengan segera diberitahukannya hal itu pada ketua pengadilan negeri.
(6)
Dihapuskan menurut Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951.
(Lembaran Negara No. 9/1951).
Penjelasan:
Apa yang
tersebut dalam pasal ini ialah merupakan suatu kejadian yang kadang-kadang
terjadi dalam praktek pengadilan, bahwa suatu perkara pidana dapat menghambat
jalannya pemeriksaan perkara pidana yang lain, sebab menurut pasal ini, jikalau
seorang saksi disangka memberikan keterangan dengan sengaja yang bertentangan
dengan hal yang sebenarnya dan Ketua Pengadilan negeri memerintahkan supaya
saksi itu dituntut karena melakukan sumpah palsu, maka persidangan perkara yang
semula boleh ditangguhkan terlebih dahulu sampai pada selesainya pemeriksaan
perkara saksi melakukan sumpah palsu itu.
Pasal 284
Jika
pesakitan atau seorang saksi tidak paham akan bahasa yang dipakai dalam
pemeriksaan pengadilan itu, maka ketua harus mengangkat seorang juru bahasa dan
menyuruh orang itu bersumpah jika ia bukan juru bahasa pengadilan negeri yang
memang sudah bersumpah, bahwa ia akan menterjemahkannya dengan tulus dari satu
bahasa ke bahasa yang lain.
Barang siapa
yang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, maka ia tidak juga boleh
menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang penggunaan juru bahasa atau penterjemah dalam sidang
pemeriksaan perkara. Kalau seorang terdakwa atau saksi tidak mengerti bahasa
Indonesia yang dipakai dalam pemeriksaan itu dapat digunakan juru bahasa yang
mengerti bahasa mereka itu.
Juru bahasa
ini harus bersumpah terlebih dahulu di muka persidangan, kecuali kalau ia
seorang penterjemah pada pengadilan negeri itu sendiri yang sudah mengangkat
sumpah jabatan.
Menurut ayat
(2) orang yang tidak boleh menjadi saksi, juga tidak diperbolehkan untuk
menjadi juru bahasa, walaupun ia cakap dalam bahasa yang dibutuhkan.
Pasal 285
(1)
Jika pesakitan itu bisu tuli dan tidak pandai menulis maka ketua
mengangkat sebagai juru bahasa orang yang pandai betul bergaul dengan orang
yang dituduh itu asal saja orang itu sudah cukup umurnya untuk memberikan
kesaksian.
(2)
Demikian pula harus diperbuat, jika seorang saksi bisu dan tidak
pandai menulis.
(3)
Jika orang yang bisu tuli itu pandai menulis maka ketua harus
menyuruh menuliskan segala pertanyaan atau teguran padanya, dan menyuruh
menyampaikan tulisan kepada pesakitan atau saksi yang bisu tuli itu dengan perintah
akan menuliskan jawabannya atas itu, kemudian semuanya itu harus dibacakan.
(4)
Aturan dari pasal ini berlaku juga buat orang-orang yang untuk
sementara tidak dapat mendengar atau bertutur.
Penjelasan:
Pasal ini
mengatur tentang "juru-bahasa" bagi terdakwa atau saksi yang bisu dan
tuli yang tidak pandai menuliskan kehendaknya, sehingga biasanya menyatakan
kehendaknya dengan "bahasa isyarat".
Dalam hal
ini yang diangkat oleh ketua pengadilan negeri sebagai "juru bahasa"
yaitu orang yang pandai bergaul (bicara dengan bahasa isyarat) dengan tersangka
atau saksi yang bisu dan tuli itu dengan syarat bahwa orang itu sudah cukup
umurnya akan menjadi saksi (cukup 15 tahun, lihat pasal 278).
Pasal 286
Segala
aturan yang ada dalam hal ini mengenai saksi-saksi berlaku juga mengenai
orang-orang ahli, tetapi orang-orang ahli itu hendaklah disumpah menurut pasal
83b.
Tiap-tiap
orang yang dipanggil sebagai ahli, wajib memberikan tenaganya bagi pengadilan.
Orang itu
juga, dapat didengar sebagai saksi dan sebagai ahli, asal saja sebelum sumpah
dijalankan, diperingatkan kepadanya bahwa ia disumpah untuk kedua hal itu.
Ketua dapat
memerintahkan kepada kepala daerah dari daerah tempat diam atau tempat tinggal
dari ahli itu untuk mengambil sumpahnya dan mendengarnya menurut pertanyaan-pertanyaan
yang diberikan.
Kepala
Daerah mengirim pemberitaan penyumpahan itu dengan tertutup dan bermeterai
kepada pengadilan negeri.
Pemberitaan
acara itu harus dibacakan.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa semua peraturan mengenai saksi berlaku juga bagi orang ahli,
akan tetapi orang ahli harus bersumpah menurut pasal 83 b, berarti bahwa orang
ahli selain bersumpah sebagai saksi di depan sidang pengadilan, juga harus
bersumpah sebagai orang ahli di muka jaksa atau jaksa pembantu yang bersangkutan.
Ayat (2)
menentukan, bahwa orang yang dipanggil sebagai orang ahli berwajib menyediakan
tenaganya yang berarti bahwa tiap-tiap orang yang dipanggil untuk memberi
bantuan kepada justisi sebagai orang ahli atau dokter, wajib memberikan bantuan
itu. Kalau ia dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban itu, dapat dituntut di
muka pengadilan atas dasar pasal 216 K.U.H.P.
Pasal 287
(1)
Ketua dapat menyuruh memanggil orang lain daripada saksi dan orang
ahli yang sudah dipanggil, selagi pemeriksaan dijalankan, pun juga dengan
perintah akan menghadap persidangan dengan segera, dan dapatlah ia memeriksa
orang-orang itu dengan mengangkat sumpah.
(2)
la dapat juga meminta pertelaan yang dikehendaki dari orang-orang
ahli dan menyuruh mengadakan surat keterangan baru, disebabkan keterangan yang
diberikan oleh pesakitan atau saksi dalam persidangan, supaya perkara itu lebih
terang.
(3)
Tentang meminta pertelaan dari orang yang ahli maka berlaku
ketentuan pada pasal 83a.
Pasal 288
Dalam
perkara pidana tentang memalsukan surat, maka orang ahli yang tersebut pada
pasal 83b dapat didengar sekali lagi dalam persidangan atas sumpahnya yang
dahulu.
Pasal 289
Sesudah
semua saksi diperiksa, maka hakim memeriksa pesakitan dengan menyatakan padanya
segala hal-hal yang memberatkan padanya, sebagai hasil pemeriksaan dalam
persidangan.
Jika
pesakitan-pesakitan lebih dari seorang di dalam perkara itu juga, maka mereka
diperiksanya menurut tertib yang terlebih baik dipandangnya.
Hakim dapat
juga memeriksa pesakitan itu sewaktu menjalankan pemeriksaan pada saksi, jika
ditimbangnya perlu.
Lagi pula
jika pesakitan lebih dari seorang, maka hakim dapat menyuruh ke luar pesakitan
itu, baik seorang atau lebih, untuk memeriksa yang lain pada waktu yang disuruh
ke luar itu tidak hadir.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa sesudah semua saksi diperiksa, kemudian beralih kepada
memeriksa terdakwa. Kalau terdakwanya terdiri lebih dari seorang, maka
pemeriksaan dilakukan berturut-turut menurut tertib yang ditentukan oleh hakim.
Kalau dalam
pemeriksaan terdakwa minta supaya diperiksa saksi-saksi yang meringankan
kepadanya (saksi a decharge), haruslah semuanya itu didengarnya.
Pasal 290
Sesudah
pemeriksaan itu, jaksa berbicara dan dibacakannya surat tuntutan, yang
diserahkannya kepada Pengadilan negeri. Atas surat tuntutan itu pesakitan dan
pembelanya dapat menjawabnya. Jaksa dapat berbicara buat kedua kalinya, tetapi
pesakitan, dan pembelanya selalu dapat berbicara terakhir sekali.
Pembela
dalam hal itu wajib memperhatikan kehormatan pengadilan. Jika lupa akan itu
maka hakim harus memperingatkannya, dan juga mengulang-ulangnya lagi, maka ia
disuruh diam, hal itu tidak mengurangi hak hakim akan menjatuhkan hukuman
kepadanya, jika ada alasannya.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa setelah selesai pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa, jaksa
membacakan surat tuntutannya (rekuisitornya) dan sesudahnya menyerahkan surat
ini kepada ketua. Kemudian terdakwa atau/dan pembelanya mengucapkan
pembelaannya.
Atas
pembelaan itu jaksa mengajukan jawabannya, Akhirnya terdakwa/pembela diberi
kesempatan untuk menjawab lagi, demikian juga jaksa, ganti berganti seterusnya,
tetapi terdakwa/pembela mengucapkan kata yang terakhir.
Ayat (2)
menentukan, bahwa pembela wajib menghormati pengadilan, jika terjadi
berulang-ulang kurang hormat ia disuruh diam dan kalau perlu diambil tindakan
menurut hukum oleh hakim.
Pasal 291
(1)
Jika hal ini semua telah selesai, maka hakim menyatakan bahwa
pemeriksaan itu ditutup.
(2)
Pesakitan-pesakitan, saksi-saksi dan peninjau disuruh ke luar dan
setelah jaksa juga meninggalkan tempat itu, maka pengadilan negeri
bermusyawarat.
(3)
Jika hakim menimbang, bahwa perkara itu tidak dapat diputuskan
pada waktu itu juga, maka dapatlah ia menunda pemberian keputusan sampai pada
hari persidangan yang pertama sesudah itu.
(4)
Penundaan itu pada saat itu juga diucapkan dalam persidangan umum.
Penjelasan:
Apabila
pemeriksaan semua telah selesai, maka jaksa, terdakwa, pembela, saksi-saksi dan
penonton meninggalkan persidangan, kemudian dalam sidang tertutup majelis hakim
bermusyawarah (dalam hal hakim tunggal, musyawarah ini tidak perlu), untuk
mengambil keputusan.
Akhirnya
sidang dibuka kembali untuk diucapkan bunyi keputusan. Biasanya bunyi keputusan
ini ditunda untuk diucapkan dalam sidang tersendiri yang ditentukan di kemudian
dan terbuka untuk umum.
Bagian
Ketiga
TENTANG
PERMUSYAWARATAN, BUKTI DAN KEPUTUSAN
Pasal 292
Pengadilan
negeri harus meminta pendapat penasehat * yang dimaksud pada pasal 7
Reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan justisi di
Indonesia berhubung dengan surat tuduhan dan yang kenyataan dari pemeriksaan
pada persidangan, perihal kesalahan pesakitan tentang perbuatan-perbuatan yang
dituduhkan tentang patut tidaknya dihukum, dan berat ringannya hukuman itu
menurut hukum agamanya, adat dan istiadat dan kemudian bermusyawarat tentang
hal-hal yang berikut:
Perbuatan
mana yang sudah terbukti karena pemeriksaan pengadilan;
telah
terbuktilah, bahwa pesakitan itu salah tentang perbuatan itu;
kejahatan
apakah yang dilakukan oleh karena itu;
hukuman manakah
yang mesti dijatuhkan pada pesakitan;
Dicabut
menurut Staatsblad 1941 No. 32.
Penjelasan:
Dalam
praktek sekarang ini "penasehat" yang dimaksud itu tidak hadir ada
persidangan pengadilan negeri dan oleh karenanya ketentuan tersebut tidak
dilakukan setepat itu.
Permusyawaratan
itu dilakukan, apabila pengadilan negeri bersidang dalam majelis. Apabila
pengadilan negeri itu terdiri atas hakim tunggal, maka permusyawaratan itu
tidak dilakukan.
Pasal 293
Tentang
bukti, pengadilan negeri harus memperhatikan peraturan-peraturan pada sembilan
belas pasal yang berikut.
Pasal 294
(1)
Tidak akan dijatuhkan hukuman kepada seorangpun jika hakim tidak
mendapat keyakinan dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa benar telah
terjadi perbuatan pidana dan bahwa pesakitan salah melakukan perbuatan itu.
(2)
Atas persangkaan saja atau bukti-bukti yang tidak cukup, tidak
seorangpun yang dapat dihukum.
Penjelasan:
Untuk
memutuskan perkara telah diadakan peraturan-peraturan tentang pembuktian dalam
bagian ini peraturan-peraturan itu meliputi:
macamnya
alat-alat bukti yang manakah yang boleh dipakai oleh hakim.
cara memakai
alat-alat bukti, artinya dengan cara bagaimanakah hakim boleh mempergunakan
alat-alat bukti itu, dan
kekuatan
alat-alat bukti, ialah ketentuan-ketentuan banyaknya alat-alat bukti yang harus
ada untuk menetapkan kesalahan terdakwa.
Dalam ilmu
pengetahuan kita jumpai 4 macam teori atau sistem pembuktian, yaitu:
1)
Sistem pembuktian menurut undang-undang yang positif. Sistem ini
berkembangnya di abad pertengahan, sekarang sudah ditinggalkan. Menurut sistem
ini salah atau tidak salahnya terdakwa sepenuhnya bergantung pada ada atau
tidak adanya sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Keyakinan hakim tidak turut ambil bagian sama sekali.
2)
Sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif.
Menurut sistem ini hakim hanya dapat
menjatuhkan pidana, apabila sedikit-dikitnya jumlah alat-alat bukti yang telah
ditetapkan dalam undang-undang ada, ditambah dengan keyakinan hakim akan
kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya.
Walaupun alat-alat bukti cukup dan lengkap, jikalau hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa, maka perkara diputus bebas.
3)
Sistem pembuktian bebas, Menurut sistem ini undang-undang tidak
menetapkan peraturan tentang pembuktian yang harus ditaati oleh hakim. Sudah
barang tentu sistem ini juga menganggap adanya alat-alat bukti tertentu, akan
tetapi alat-alat bukti itu tidak ditetapkan dalam undang-undang seperti sistem
ke 1 dan ke 2 di atas. Dalam menentukan macam dan banyaknya alat-alat bukti
yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, hakim mempunyai
keleluasaan yang penuh. Ia bebas untuk menetapkan itu, satu-satunya peraturan
yang mengikat kepadanya ialah bahwa dalam keputusannya ia harus menyebutkan
pula alasan-alasannya.
4)
Sistem pembuktian atas keyakinan belaka. Menurut sistem ini hakim
tidak terikat kepada alat-alat bukti yang tertentu, ia memutus tentang
kesalahan terdakwa belaka berdasarkan atas keyakinannya. Kalau sistem ke 3
hakim masih diikat dengan: "menyebutkan alasan-alasan" keputusannya,
maka menurut sistem yang terakhir ini hakim bebas dari keharusan itu.
Sistem yang manakah yang sekarang ini dianut
di Indonesia? Jika kita membaca isi pasal 294 ini maka akan kita ketahui, bahwa
hukum acara pidana di negara kita memakai sistem "menurut undang-undang
yang negatif" (lihat pula pasal 298).
Tidak sebuah alat pun akan mewajibkan
mempidana terdakwa, kalau hakim tidak sesungguhnya berkeyakinan akan kesalahan
terdakwa. Sebaliknya keyakinan hakim saja dengan tidak adanya alat-alat bukti
yang syah menurut hukum tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa.
Pasal 295
Sebagai
upaya bukti menurut undang-undang hanya diakui:
1o.
kesaksian-kesaksian
2o.
surat-surat
3o.
pengakuan
4o.
isyarat-isyarat.
Penjelasan:
Yang dianggap
sebagai bukti yang syah hanyalah empat macam alat bukti yang disebutkan dalam
pasal ini. Selain dari empat macam ini tidak dianggap syah, umpamanya: sangkaan
belaka, hasil nujum perdukunan yang lazim dipraktekkan di kampung-kampung
seperti misalnya melihat tanda-tanda dalam sebuah primbon, melihat gambar di
kuku yang telah dicat hitam oleh anak-anak kecil dan lain sebagainya.
Kesaksian-kesaksian
sebagai bukti.
Yang
dimaksud kesaksian yaitu keterangan lisan seorang, di muka sidang pengadilan,
dengan disumpah lebih dahulu, tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat
dan dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai
hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang syah.
Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi "de auditu".
Tiap-tiap
orang yang tidak dikecualikan dalam undang-undang wajib memberikan kesaksian
(pasal-pasal 80 dan 262 H.I.R. dan 224 K.U.H.P.). Siapa yang dikecualikan itu
ditentukan dalam pasal-pasal 274, 275, 277 dan 278 H.I.R.
Keterangan
saksi itu harus diberikan di muka sidang pengadilan, jadi bukan di muka polisi
atau jaksa, kecuali dalam hal tersebut dalam pasal 259 H.I.R. yang menentukan,
bahwa keterangan orang yang diberikan dengan sumpah dalam pemeriksaan
pendahuluan oleh polisi dan jaksa pun dapat dianggap sebagai kesaksian, apabila
itu tidak dapat menghadap sidang pengadilan, karena meninggal dunia atau tidak
dipanggil sebab jauh tempat tinggalnya, dan keterangan itu dibacakan di muka
persidangan.
Keterangan
orang tidak atas sumpah tidak dianggap sebagai alat bukti yang syah (pasal
303).
Surat-surat
sebagai bukti.
Surat-surat
sebagai bukti ditentukan dalam pasal-pasal 304, 305 dan 306 H.I.R. Pasal 304
menentukan, bahwa peraturan tentang kekuatan bukti surat-surat umum dan surat-surat
khusus dalam perkara perdata harus diperhatikan pula terhadap bukti dalam
perkara pidana.
Bukti
surat-surat dalam perkara perdata terdiri atas surat-surat otentik dan
surat-surat bawah tangan (pasal 187 Burgelijk Wetboek).
Surat-surat
otentik yaitu surat-surat yang dibuat dalam bentuk menurut undang-undang oleh
atau dengan disaksikan oleh pejabat umum (notaris, jaksa, polisi, wedana,
camat, juru-sita dan lain sebagainya), yang di tempat surat itu dibuat,
berkuasa untuk itu (pasal 1868 Burgerlijk Wetboek dan 165 H.I.R.).
"Dibuat
oleh" artinya, bahwa pegawai itu sendirilah yang melakukan sesuatu
perbuatan, umpamanya pegawai polisi membuat berita acara pendapatan.
"Dibuat
dengan disaksikan oleh" artinya bahwa pegawai itu hanya menyebutkan
(menuliskan) saja dalam surat itu hal-hal yang diberitahukan kepadanya oleh
orang lain, misalnya pegawai polisi membuat berita-acara pemberitahuan atau
pengaduan, atau seorang notaris membuat surat wasiat atau surat perjanjian
untuk orang-orang yang menghadap kepadanya.
Surat-surat
bawah tangan yaitu surat-surat yang dibuat dengan sengaja untuk membuktikan
suatu pernyataan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian yang tertentu, tidak
dengan perantaraan pegawai umum, ditandatangani oleh orang atau orang-orang
yang menyatakan maksud, perbuatan hukum atau perjanjian tersebut, misalnya
surat perjanjian jual-beli tanah, sewa-menyewa dan lain sebagainya yang dibuat
dan ditandatangani tidak di muka pegawai umum.
Kekuatan
surat-surat otentik dan surat-surat bawah tangan itu pada umumnya dapat
dikatakan sama, hanya apabila ada sangkaan dari pihak lain, bahwa tanda tangan
yang ada di situ palsu, maka bagi surat otentik pihak yang menyatakan palsu itu
harus membuktikan kepalsuannya itu, sedangkan bagi surat bawah tangan pihak
yang mengatakan palsu itu tidak usah membuktikan, tetapi sebaliknya pihak yang
mendasarkan atas surat itu harus membuktikan, bahwa tanda tangan itu betul
tidak palsu.
Surat-surat
sebagai bukti, baik yang berupa surat otentik, maupun yang berwujud surat bawah
tangan, adalah misalnya: surat kelahiran, surat nikah, surat ijazah, surat
wasiat, surat perjanjian hutang, surat perjanjian beli-sewa, surat muatan,
surat neraca, surat kapal, obligasi, visum et repertum, surat keterangan
Lembaga Kriminologi pada Universitas Indonesia, surat dari Laboratorium dari
Markas Besar Kepolisian di Kebayoran Baru Jakarta dan lain sebagainya.
Pengakuan
sebagai bukti.
Pengakuan
yaitu keterangan terdakwa, bahwa ia mengaku telah melakukan suatu peristiwa
pidana yang dituduhkan kepadanya. Supaya pengakuan itu merupakan alat bukti
yang cukup (pasal 307) haruslah memenuhi syarat-syarat:
diberikan
atas kehendak sendiri (bebas dari paksaan);
di berikan
di muka sidang pengadilan; dan
disertai
dengan pemberitahuan yang tentu dan seksama, tentang sesuatu yang diketahui,
baik dari keterangan orang yang menderita peristiwa pidana, maupun dari
alat-alat bukti lainnya yang cocok dengan pengakuan itu.
Pegawai yang
memeras pengakuan dalam perkara pidana diancam pidana dalam pasal 422 K.U.H.P.
Apabila tidak
ada sesuatu hal sama sekali diketahui dalam sidang pengadilan yang dapat
meneguhkan, maka menurut pasal 308, pengakuan belaka itu sekali-kali tidak
dapat dianggap cukup sebagai alat bukti yang syah.
Isyarat-isyarat
sebagai alat bukti.
Isyarat-isyarat
adalah terjemahan dari kata bahasa Belanda "aanwijzingen". Ada yang
menterjemahkan dengan "tanda-tanda" atau
"penunjukkan-penunjukkan".
Menurut
pasal 310 H.I.R. yang dimaksud penunjukkan yaitu perbuatan-perbuatan,
kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang adanya dan persetujuannya, baik
yang satu dengan yang lain, maupun dengan kejahatan itu sendiri dengan nyata
menunjukkan, bahwa ada suatu kejadian telah dilakukan dan siapakah pembuatnya.
Menurut
pasal 311 H.I.R. adanya penunjukkan-penunjukkan itu hanya dapat dibuktikan
dengan:
1)
saksi-saksi,
2)
surat-surat,
3)
penglihatan hakim sendiri, dan
4)
pengakuan (erkentenis), biarpun di luar sidang pengadilan.
Pasal 296
Upaya bukti
itu, baik terdiri sendiri berasing-asing, baik bersama-sama dapat meyakinkan
hakim, jika upaya bukti itu selaras dengan peraturan yang tersebut di bawah
ini.
Pasal 297
Segala rupa
upaya bukti dapat dilemahkan dengan bukti penyangkal.
Penjelasan:
Penyusunan
bukti terhadap terdakwa dalam perkara pidana seluruhnya dikerjakan oleh hakim
sendiri, baik mengenai bukti-bukti yang memberatkan (a charge), maupun
bukti-bukti yang meringankan (de charge) terdakwa. Dalam perkara perdata adalah
lain halnya; disini pembuktian dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing
pihak yang beperkara. Oleh karena itu apabila dalam pasal ini yang mengatur
pembuktian dalam perkara pidana, disebutkan "bukti penyangkal",
janganlah sekali-kali diartikan bahwa ada dua belah pihak yang masing-masing
mengajukan bukti seperti di dalam perkara perdata.
Memang
melemahkan alat-alat bukti dengan bukti penyangkal itu ialah tugas terdakwa
atau/dan pembelanya, untuk mana memang harus disediakan segala kesempatan
baginya. Dengan itu dicobanya untuk menggoncangkan keyakinan hakim yang mungkin
telah diperoleh dan alat-alat bukti yang syah yang ada.
Adapun
maksud pasal 297 ini tidak lain hanyalah suatu pernyataan, bahwa di dalam
perkara pidana tidak ada satu alat bukti pun yang berkekuatan memaksa kepada
hakim demikian rupa sehingga hakim terpaksa menerima saja bukti itu sebagai
tidak bisa disangkal lagi.
Pasal 298
Upaya bukti
sebuahpun tidak mewajibkan akan menghukum pesakitan, jika hakim tidak yakin
benar-benar bahwa perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum ini, yang dituduhkan
kepada pesakitan betul-betul dilakukannya, atau bahwa ia membantu melakukan
perbuatan itu.
Penjelasan:
Pasal ini
menegaskan lagi prinsip pembuktian menurut undang-undang yang negatif
sebagaimana tercantum dalam pasal 294 H. I. R.
Pasal 294
ini mengatakan, bahwa tak seorang pun dapat dipidana, kecuali kalau hakim
karena alat-alat bukti yang syah telah berkeyakinan, bahwa sesuatu perbuatan
pidana sebenarnya telah terjadi dan bahwa terdakwa bersalah akan perbuatan itu,
sedangkan pasal 298 mengatakan, bahwa tak sebuah alat bukti pun akan mewajibkan
untuk terpidananya terdakwa, kalau hakim tidak sesungguhnya berkeyakinan, bahwa
tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, dilakukan oleh terdakwa.
Kebalikan
daripada itu adalah bahwa keyakinan hakim dengan tidak adanya alat-alat bukti
yang syah dan cukup menurut hukum tidak cukup untuk menetapkan bahwa terdakwa
bersalah.
Pasal 299
Yang hanya
berhak untuk memberikan kesaksian dalam perkara pidana, ialah orang-orang yang
tidak dikecualikan menurut pasal 274, 276 dan 278.
Tiap-tiap
kesaksian harus dikuatkan dengan sumpah, dan diberikan menurut acara yang
diatur dalam reglemen ini.
Penjelasan:
Pasal 274
menyebutkan golongan orang-orang yang mempunyai hak undur diri relatif dari
kesaksian (relatief onbevoegde getuigen), pasal 276 menyebutkan seorang budak
dari tersangka, yang pada zaman sekarang ini sudah tidak ada lagi di Indonesia,
sedangkan pasal 278 menyebutkan golongan orang-orang yang absolut dibebaskan
dari memberikan kesaksian (absolut onbevoegde getuigen).
Pasal 300
(1)
Kesaksian yang terdiri sendiri dari seorang saksi saja dan tidak
dikuatkan dengan bukti lain, dan tidak berlaku sebagai bukti menurut
undang-undang.
(2)
Akan tetapi kesaksian yang berasing-asing dan satu-satunya terdiri
sendiri tentang beberapa perbuatan, dapat berlaku sebagai bukti menurut
undang-undang, jika kesaksian itu karena bersetujuan dan perhubungannya dapat
menguatkan satu perbuatan yang tertentu.
(3)
Pertimbangan atas hal itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Penjelasan:
Prinsip yang
dianut oleh perundang-undangan sampai pada waktu ini ialah, bahwa "seorang
saksi bukanlah saksi", itu didasarkan atas sifat tidak dapat dipercayanya
manusia yang sengaja atau tidak sengaja suka mengatakan hal-hal yang tidak
benar. Demikian pula ayat (1) pasal ini menetapkan bahwa kesaksian dari
seseorang yang sama sekali berdiri sendiri dan tidak dikuatkan dengan alat
bukti yang lain yang syah, bahwa seorang telah berbuat peristiwa pidana itu
tidak cukup untuk membuktikan kesalahan orang tersebut. Baru dapat dipandang
cukup, apabila satu kesaksian ini ditambah dengan salah satu dari alat bukti
yang lain, misalnya satu kesaksian lagi, pengakuan tersangka, surat-surat atau
penunjukkan.
Ayat (2)
pasal ini menentukan, bahwa kesaksian-kesaksian yang masing-masing berdiri
sendiri tentang beberapa kejadian itu dipandang sebagai bukti yang syah, jikalau
kesaksian-kesaksian itu karena persesuaian dan hubungannya satu sama lain dapat
menetapkan sesuatu peristiwa yang tertentu. Hal ini diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim untuk menilainya, misalnya:
A pada pukul
8:00 membawa sapi di jalan ke jurusan kampung X, ini dilihat oleh saksi B. Pada
pukul 8.20 C melihat A membawa sapi itu di jalan hampir masuk ke kampung X
tersebut (jarak jalan ke kampung X lebih kurang 20 menit berjalan kaki). Dengan
dua orang saksi ini yang masing-masing berdiri sendiri dapat dibuktikan hal
pembawaan sapi A ke kampung X.
Apabila ada
beberapa orang yang masing-masing berdiri sendiri menerangkan, bahwa pada
berbagai-bagai saat yang tidak sama mereka itu pernah ikut bermain judi
"Hazard" di rumah A yang tidak berhak untuk itu, maka hakim dapat
menganggap ada cukup bukti, bahwa A telah mengadakan permainan judi hazard di
rumah tersebut.
Pasal 301
(1)
Tiap-tiap kesaksian yang diberikan harus mengenai perbuatan yang
didengar, dilihat, atau dialami oleh saksi itu sendiri dan lagi pula harus
dengan tegas diberitahukan sebab-sebabnya hal itu diketahuinya.
(2)
Persangkaan atau agak-agakan yang istimewa, yang dijadikan karena
kata akal, bukanlah kesaksian.
Penjelasan:
Isi pasal
ini adalah sama saja dengan isi pasal 171, akan tetapi disusun dalam bentuk
kalimat yang lebih luas. Maksudnya ialah bahwa pada umumnya yang menjadi saksi
itu harus memberikan keterangan dari hal-hal yang ia dapat melihat, mendengar
atau mengalami sendiri. Apa yang ia ketahui dari orang lain, yaitu yang biasa
disebut penyaksian "de auditu", tidaklah diperkenankan.
Menurut ayat
(2) pengira-iraan atau sangkaan saja yang disusun secara akal pemikiran pun
tidak masuk kesaksian.
Pasal 302
Dalam hal
menimbang harga kesaksian, maka hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya,
atas persamaan dari keterangan masing-masing saksi bersama; hal kesaksian yang
bersamaan dengan diketahui dari tempat lain tentang perkara itu dan acara
segala sebab-sebab yang boleh jadi telah ada pada saksi untuk memberi
keterangan tentang perkara itu dengan cara begini atau. begitu; kelakukan,
adat, istiadat dan kedudukan saksi-saksi dan pada umumnya, segala hal yang
dapat mempengaruhi bertambah atau berkurangnya kepercayaan pada saksi.
Pasal 303
Keterangan,
yang diberikan dengan tidak mengangkat sumpah biarpun dengan persamaan bersama,
tidak menjadi bukti.
Akan tetapi
keterangan yang diberikan dengan tidak bersumpah dapat dipergunakan untuk
menambah keterangan yang lain yang syah, yang bersesuaian dan yang bersamaan
dengan itu.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa keterangan seseorang yang diberikan dengan tidak atas sumpah,
walaupun satu sama lain bersetujuan, tidak dianggap sebagai bukti yang syah,
misalnya keterangan yang diberikan di muka hakim oleh dua orang anak-anak yang
umurnya belum diketahui dengan pasti sudah lima belas tahun dan oleh karenanya
tidak boleh disumpah, bahwa seseorang telah melakukan peristiwa pidana,
walaupun di sini ada dua orang, akan tetapi tidak merupakan bukti yang syah
untuk membuktikan dilakukannya peristiwa pidana itu.
Menurut ayat
(2) keterangan tanpa sumpah itu gunanya hanya untuk menambah bukti yang lain,
artinya hanya boleh dipergunakan sebagai penguat atau Penjelasan saja.
Pasal 304
Peraturan-peraturan
tentang kekuatan bukti dari surat-surat yang umum dan surat-surat yang istimewa
dalam perkara perdata, harus diperhatikan juga berkenaan dengan bukti dalam
pidana.
Penjelasan:
"Surat-surat
umum dan surat-surat istimewa" yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah
sama dengan "akte otentik dan akte bawah tangan", surat-surat mana
baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana harus senantiasa
diperhatikan sebagai bukti.
Pasal 305
Keterangan,
laporan dan pemberitaan yang diperbuat oleh orang-orang yang memangku jabatan,
pangkat atau pekerjaan yang umum, harus berisi pernyataan bahwa mereka
memberikannya atau memperbuatnya atas sumpah ketika menerima jabatan atau
kemudian dapat diperkuat dengan sumpah supaya berlaku sebagai surat keterangan.
Penjelasan:
Yang
dimaksud dalam pasal ini misalnya sebuah berita-acara para pegawai polisi itu
supaya dapat berguna sebagai alat bukti yang syah, harus dibuat atas sumpah
jabatan.
Sehubungan
dengan hal ini maka lazimnya berita-acara pejabat polisi itu pada penutupannya
dituliskan seperti misalnya: "Demikianlah berita-acara ini saya buat
dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan yang sekarang ini, saya tutup
dan tanda tangani di Semarang pada tanggal 5 Desember 1900 tujuh puluh
delapan"
Pasal 306
(1)
Pemberitaan dari orang ahli yang diangkat karena jabatan untuk
menyatakan timbangan dan pendapatnya atau segala hal ihwal atau keadaan sesuatu
perkara, hanya dapat berguna sebagai keterangan kepada hakim.
(2)
Hakim sekali-kali tidak diwajibkan untuk menuruti pendapat orang
ahli yang diberikan itu, jika pendapat itu bertentangan dengan keyakinannya.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka keterangan, laporan atau pendapat yang diberikan oleh orang ahli
seperti dokter, ahli kimia, ahli elektronik, ahli daktiloskopi dan lain
sebagainya itu oleh hakim hanya dipakai sebagai keterangan atau penjelasan saja,
artinya tidak dinilai sebagai alat bukti syah yang penuh. Hakimpun tidak
terikat oleh pendapat yang diberikan oleh orang ahli itu, jika bertentangan
dengan keyakinannya, akan ditolak juga.
Pasal 307
Satu
pengakuan yang diberikan oleh pesakitan di muka hakim bahwa ia melakukan suatu
perbuatan pidana yang dituduhkan padanya disertai dengan keterangan dari
keadaan yang tertentu dan yang saksama maupun juga dari keterangan orang yang
mengalami perbuatan itu, atau yang diketahui dari upaya bukti yang lain, yang
sesuai dengan itu, dapat menjadi upaya yang lengkap tentang kesalahannya.
Penjelasan:
Hubungan isi
pasal ini dengan isi pasal 308. Pasal ini menekankan, bahwa suatu pengakuan
thok dari terdakwa tanpa embel-embel yang berupa apapun, tidak akan cukup untuk
menjadi bukti kesalahan terdakwa. Supaya menjadi cukup harus ditambah dengan:
Keterangan
dari keadaan yang tertentu dan seksama, atau
Keterangan
orang yang mengalami tindak pidana itu, atau
Keterangan
yang diketahui dari alat bukti yang lain, atau
Keadaan-keadaan
yang diketahui dalam persidangan.
Sehubungan
dengan ketentuan ini, maka dalam teknik pemeriksaan perkara pidana, pegawai
penyidik membiasakan diri apabila menghadapi tersangka yang mengaku terus
terang tentang kesalahannya, mencatat dalam berita-acara pengakuannya itu
dengan selengkap-lengkapnya dan seseksama mungkin, ditambah dengan peniruan
kembali (rekonstruksi) tersangka pada waktu ia melakukan kesalahan itu.
Maksudnya agar dapat diperoleh keterangan-keterangan lainnya dan sebanyak
mungkin titik-titik kecocokan, sehingga pengakuannya itu tidak mudah ditarik
kembali dan pengakuan ini tidak akan merupakan pengakuan yang "telanjang
bulat" (pengakuan belaka).
Pasal 308
Pengakuan
saja dari suatu kesalahan, yang sekali-kali tidak dikuatkan keadaan yang
diketahui dalam persidangan, sekali-kali tidak cukup untuk menjadi bukti.
Penjelasan:
Lihat
penjelasan pada pasal 307.
Pasal 309
Pencabutan
dari suatu pengakuan tentang kesalahan di muka pengadilan tidak membatalkannya,
kecuali jika pencabutan itu berdasarkan sebab-sebab yang dapat diterima.
Penjelasan:
Kadang-kadang
terjadi seorang terdakwa dalam sidang pengadilan mencabut kembali pengakuannya
yang diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam sidang pengadilan yang
terdahulu, sebagai alasan dikatakan, bahwa pada waktu itu ia dianiaya oleh
pemeriksa, pikirannya tidak tenang, gelisah dan lain sebagainya. Apabila
alasan-alasan itu tidak nyata dan tidak dapat dianggap oleh hakim, maka
pencabutan itu tidak membatalkan pengakuannya.
Pasal 310
Perkataan
isyarat diartikan perbuatan yang terbukti, kejadian-kejadian atau hal ihwal,
yang keadaannya dan persetujuannya, baik satu sama lain berhubungan dengan
kejahatan itu sendiri, yang menunjukkan dengan nyata, bahwa ada terjadi suatu
kejahatan dan siapa yang melakukannya.
Penjelasan:
Kata
"isyarat" adalah terjemahan dari kata bahasa Belanda
"aanwijzingen"; ada yang menterjemahkan dengan kata-kata:
"tanda-tanda" atau "penunjukkan-penunjukkan". Adapun
menurut pasal ini artinya adalah perbuatan-perbuatan, kejadian-kejadian atau
keadaan-keadaan yang adanya dan persetujuannya, baik yang satu dengan yang
lain, maupun dengan kejahatannya itu sendiri dengan nyata menunjukkan bahwa ada
suatu kejadian telah dilakukan dan siapakah pembuatnya.
"Menurut
pasal 311, maka adanya "isyarat-isyarat atau tanda-tanda" atau
"penunjukkan-penunjukkan" itu hanya boleh dibuktikan dengan:
saksi-saksi, surat-surat, penglihatan hakim sendiri dan pengakuan terdakwa.
Pasal 311
Adanya
isyarat itu hanya dapat dibuktikan:
1o.
oleh saksi-saksi;
2o.
oleh surat-surat;
3o.
oleh pemeriksaan sendiri atau pengadilan sendiri dari hakim;
4o.
oleh pengakuan pesakitan sendiri, biarpun di luar pengadilan.
Penjelasan:
Lihat
penjelasan pasal 310.
Pasal 312
Hal
menimbang kekuatan bukti, yang isyaratnya ada pada tiap-tiap hal istimewa,
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim; ia harus insyaf dengan sungguh-sungguh
dan harus disertai perhatian yang secermat-cermatnya dan seteliti-telitinya di
dalam pemeriksaan itu.
Penjelasan:
Oleh karena
dalam tiap-tiap hal, kekuasaan menimbang kekuatan bukti syarat atau penunjukkan
itu diletakkan kepada kebijaksanaan hakim, maka sudah sepantasnyalah, bahwa
dalam hal ini hakim harus bertindak secermat dan seseksama mungkin, artinya
tidak boleh bertindak sembrono dan gegabah.
Pasal 313
Jika pengadilan
negeri berpendapat, bahwa kesalahan pesakitan tidak terbukti, maka ia
dibebaskan dengan perintah, jika ia ditahan, supaya segera dikeluarkan dari
tahanan kecuali kalau ia harus ditahan, karena alasan lain.
Penjelasan:
Pasal 292
menetapkan, bahwa hakim berhubung dengan surat penyerahan perkara pada
persidangan dan dengan apa yang telah ternyata dari pemeriksaan persidangan
pengadilan akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
1)
perbuatan-perbuatan manakah yang telah terbukti dari pemeriksaan
persidangan?
2)
telah terbuktikah bahwa terdakwa itu bersalah tentang
perbuatan-perbuatan itu?
3)
kejahatan atau pelanggaran yang manakah telah diperbuat oleh
karena itu?
4)
pidana yang manakah harus diberikan kepada terdakwa itu?
Dalam hal
itu ia harus memperhatikan benar-benar, bahwa ia tidak boleh melampaui
batas-batas yang ditetapkan dalam surat penyerahan perkara, yang menjadi dasar
dari pemeriksaan perkara pidana di persidangan.
Jikalau
surat penyerahan itu selama pemeriksaan dalam persidangan mengalami perubahan,
maka surat penyerahan yang telah diubah itu menjadi dasar pemeriksaan itu.
Hasil dari
pemeriksaan persidangan selanjutnya itu mungkin:
pembebasan
seluruhnya (vrijspraak), apabila yang dituduhkan kepadanya dan kesalahan
terdakwa tentang itu tidak terbukti dengan syah dan meyakinkan (pasal 313 ini),
atau.
pembebasan
dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), apabila yang
dituduhkan itu betul terbukti dengan syah dan meyakinkan, akan tetapi tidak
dapat dipidana, karena tidak melakukan tindak yang dapat dipidana atau meskipun
melakukan tindak yang dapat dipidana, tetapi untuknya berlaku salah satu dari
alasan-alasan yang menghindarkan dari pemidanaan, seperti yang tersebut dalam
pasal-pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 K.U.H.P. (pasal 314 H.I.R.).
Pasal 314
(1)
Jika pengadilan negeri menimbang, bahwa perbuatan, yang
menyebabkan pesakitan menghadap hakim betul terbukti, akan tetapi tidak
menjadikan kejahatan atau pelanggaran, maka pengadilan negeri melepaskan
pesakitan dari segala tuntutan tentang perkara itu.
(2)
Dalam hal yang demikian, maka pengadilan Negeri memutuskan jika
pesakitan itu ditahan sementara, apakah ia dilepaskan atau tidak sampai perkara
itu diputuskan dalam tingkatan kedua atau sampai pihak yang meminta
perbandingan itu menarik kembali permintaannya, atau sampai waktu untuk meminta
perbandingan sudah lalu dengan tidak dipergunakan, atau sebelum itu jaksa
pengadilan negeri menerangkan dengan nyata, bahwa ia menerima keputusan itu.
Perintah untuk melepaskan dijalankan dengan segera, sesudah keputusan
dijatuhkan.
Penjelasan:
Lihat
penjelasan pada pasal 313.
Pasal 315
Jika
pengadilan negeri menimbang, bahwa pesakitan itu salah, maka padanya harus
dijatuhkan hukuman yang ditetapkan untuk perbuatan itu, biarpun ternyata dari
pemeriksaan pada persidangan, bahwa kejadian itu hanya pelanggaran, kecuali
yang ditentukan pada pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Jika
pesakitan itu dipersalahkan karena suatu perbuatan pidana, seperti dimaksud
ayat 2 pasal 62, maka pengadilan negeri dapat memerintahkan untuk menahan
dengan segera pesakitan itu, jika ia di luar tahanan. Perintah untuk menahan
atau mengeluarkan dari tahanan dijalankan dengan segera, sesudah keputusan
diucapkan.
Penjelasan:
Walaupun
ternyata oleh pemeriksaan dalam persidangan, bahwa peristiwa yang dituntut itu
hanya merupakan pelanggaran, namun hakim harus juga menjatuhkan pidana.
Hal ini
memang sudah sewajarnya, oleh karena pengadilan negeri merupakan hakim
sehari-hari di Indonesia dan selain kejahatan juga berwenang memutuskan perkara
pelanggaran.
Dalam
menjatuhkan pidana hakim diperingatkan akan bunyi pasal 45 K.U.H.P. yang
menentukan bahwa apabila terjadi:
a.
terdakwa waktu dituntut belum dewasa dan
b.
tuntutan itu mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa tersebut pada waktu sebelum ia berumur 16 tahun, maka hakim dapat
memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan yang berikut:
anak itu
dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi pidana suatu
apa;
anak itu
dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi pidana, akan tetapi diserahkan
kepada Rumah Pendidikan Anak Nakal;
kepada anak
itu dijatuhkan pidana seperti biasa, akan tetapi dalam hal ini ancaman
pidananya dikurangkan dengan sepertiganya.
Pasal 316
(1)
Dalam surat keputusan, yang menyatakan hukuman, kebebasan atau
kebebasan dari segala tuduhan, pengadilan negeri memerintahkan, supaya
barang-barang yang tersebut pada pasal 381, dikembalikan kepada orang, yang
namanya disebutkan dalam keputusan yang menurut timbangan hakim lebih berhak
atas barang itu, kecuali jika menurut undang-undang barang itu dirampas atau
jika diperintahkan supaya barang itu dibinasakan atau dirusakkan sehingga tidak
dapat dipakai lagi.
(2)
Jika ditimbangnya perlu, maka pengadilan negeri dapat
memerintahkan, pengembalian barang itu sebentar itu juga sesudah persidangan.
(3)
Hal membinasakan atau merusakkan perkakas atau barang-barang lain
yang diperkuat atau diperbaiki atau dipakai untuk melakukan perbuatan pidana
dapat diperintahkan dalam keputusan.
Penjelasan:
Menurut
kebiasaannya, barang-barang bukti dalam perkara pidana itu dikembalikan kepada
orang yang tadinya menyerahkan barang-barang itu untuk dipakai sebagai barang
bukti, akan tetapi menurut pasal ini pengadilan negeri secara praktis diberi
wewenang untuk menyerahkan barang-barang itu kepada orang lain, apabila dalam
pemeriksaan perkaranya diperoleh kesan bahwa orang lain itu terlebih berhak
untuk menerimanya.
Adalah
merupakan suatu persoalan bagi pengadilan negeri yang mengadili perkara pidana,
apakah wewenang yang diberikan kepadanya tersebut di atas itu mempunyai
kekuatan sedemikian rupa, sehingga dapat digunakan untuk menolak gugatan dari
pihak lain terhadap barang-barang itu di muka pengadilan perdata. Yang terang
adalah bahwa jikalau orang tidak dapat menerima keputusan hakim pidana tentang
penyerahan barang-barang bukti itu, maka ia leluasa untuk mengajukan gugatan
tentang hak atas barang-barang itu kepada pengadilan perdata. Apakah pengadilan
perdata ini akan menerima putusan pengadilan pidana tentang penyerahan
barang-barang bukti itu sebagai bukti di dalam perkara perdata yang ia periksa
itu, itu adalah soal lain.
Selain
penyerahan barang-barang bukti kepada yang dianggap berhak, hakim dapat pula
mengambil keputusan:
1)
merampas barang-barang bukti itu sebagai pidana tambahan yang
dimaksudkan dalam pasal 10 sub b No. 2, pasal-pasal 39 dan 42 K.U.H.P.
2)
membinasakan atau merusak barang-barang bukti seperti tersebut
dalam ayat (3) pasal 316 ini.
Tindakan ini tidak termasuk pidana, melainkan
tindakan kepolisian untuk menjaga supaya barang-barang itu tidak dapat
dipergunakan lagi untuk melakukan kejahatan atau pelanggaran. Bukankah
pengrusakan barang-barang itu diperintahkan pula oleh hakim, walaupun terdakwa
dibebaskan dari pidana.
Pasal 317
Keputusan
itu harus diucapkan oleh ketua di muka umum dan dihadiri oleh jaksa pada
pengadilan negeri.
Penjelasan:
Bahwasanya
keputusan itu harus diucapkan di muka umum, atau di persidangan yang terbuka
untuk umum itu guna memenuhi pasal 18 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970.
Pasal 318
Pesakitan,
yang ada dalam tahanan, harus menghadap persidangan dengan dijaga, supaya hadir
pada waktu pengumuman keputusan itu; jika ia tidak dapat hadir, maka keputusan
itu harus diberitahukan kepadanya oleh panitera di penjara hal ini harus
dicatat di sebelah bawah dalam surat keputusan.
Kecuali jika
pesakitan dibebaskan dari segala tuduhan, maka sesudah ketua mengucapkan
keputusan, memperingatkan padanya akan haknya meminta perbandingan, untuk
menarik kembali permintaan itu, atau untuk meminta hal menjalankan keputusan
itu ditunda empat belas hari lamanya, supaya dalam tempo itu dapat ia
memasukkan permohonan ampun. Panitera harus berlaku demikian juga, di dalam hal
yang tersebut pada bahagian penghabisan ayat pertama pasal ini.
Jika
pesakitan hadir pada waktu keputusan itu diumumkan maka hal ini dicatat dalam
pemberitaan persidangan.
Jika
keputusan itu diberitahukan kepada pesakitan buat memenuhi aturan yang tersebut
pada ayat di atas ini dalam penjara maka hal ini dicatat oleh panitera pada
surat keputusan itu.
Penjelasan:
Ayat 2, 3
dan 4 dari pasal ini harus dipandang tidak berlaku lagi berhubung dengan
ketentuan dalam pasal 6 ayat 2 s/d 6 dari U.U. Darurat No. 1/1951 yang
disajikan di bawah ini.
Pasal 6
(1)
(2)
Pada saat peraturan ini berlaku, terhadap putusan pengadilan
negeri tentang perkara pidana selainnya daripada yang dimaksudkan dalam ayat
(1) bab. a tadi, oleh terdakwa untuk dirinya sendiri atau oleh jaksa yang
bersangkutan untuk satu atau beberapa terdakwa dapat memohon bandingan oleh
pengadilan tinggi yang daerah, hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri
itu jika putusan itu tidak mengandung pembebasan dari tuntutan seluruhnya.
Bandingan itu tidak mengubah putusan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa
lain.
(3)
Kecuali jika terdakwa dibebaskan, maka sesudah putusan yang dimaksudkan
dalam ayat (2) tadi diucapkan. Hakim mengingatkan terdakwa akan haknya untuk
memohon bandingan dalam tenggang yang ditetapkan, atau untuk minta supaya
menjalankan putusan dipertangguhkan 14 hari lamanya, dalam tempo mana ia akan
memasukkan permohonan grasi.
(4)
Peringatan ini dijalankan oleh Panitera, jika putusan
diberitahukannya kepada terdakwa dalam penjara.
(5)
Perbuatan yang dilakukan menurut ayat (3) tadi harus dicatat dalam
surat catatan pemeriksaan sidang.
(6)
Perbuatan yang dilakukan menurut ayat (4) tadi harus dicatat di
bawah surat putusan.
Pasal 319
Keputusan
itu harus berisi:
1o.
nama-nama, umur sebenar, mungkin, tempat lahir, tempat diam atau
tempat tinggal dan pekerjaan pesakitan;
2o.
keputusan tentang kesalahan pesakitan, serta dengan ringkas
menyebutkan dasar keputusan itu, tetapi tidak perlu memuat isi upaya bukti;
3o.
surat tuntutan jaksa dan hal yang disebutkan pada pasal 7 dalam
reglemen tentang susunan hakim dan mahkamah dan kebijaksanaan justisi di
Indonesia (R.O);
4o.
hukuman, yang dijatuhkan kepada orang yang dinyatakan salah dengan
menyebutkan aturan undang-undang yang pasti yang dikenakan jika keputusan itu
beralasan demikian;
5o.
keputusan tentang biaya perkara dan tentang pengembalian barang
yang dipakai sebagai tanda bukti, dan jika didapati pemalsuan dalam surat itu
sama sekali palsu atau penunjukkan, di dalam hal mana ada pemalsuan;
6o.
penyebutan tanggal menjatuhkan keputusan dan nama hakim, yang
memutuskan, dengan menyebutkan sebab-sebab yang menjadikan hakim tidak dapat menandatangani
surat keputusan itu;
7o.
perintah untuk menahan sementara atau akan mengeluarkan dari
tahanan di dalam hal yang lain daripada hal kebebasan, dengan menerangkan
alasan-alasan yang menyebabkan perintah itu.
Keputusan
tentang semua pesakitan yang tersangkut dalam satu perkara itu juga, dan karena
itu diadili serempak, dimuat di dalam surat keputusan yang satu itu juga.
Pasal 320
(1)
Surat keputusan itu harus ditulis dalam bahasa Indonesia.
(2)
Jika dikehendaki oleh pesakitan, maka diberikan kepadanya dengan
tiada bayaran terjemahan yang cukup dalam bahasa daerahnya baik dari keputusan
bandingan, jika pesakitan tidak mengerti bahasa Indonesia selain dari itu dalam
bahasa Indonesia.
(3)
Penandatanganan keputusan itu harus dilakukan selambat-lambatnya
dalam delapan hari sesudah keputusan itu diucapkan.
Pasal 321
Panitera
melekatkan satu petikan keputusan yang ditandatanganinya, yang berisi
keterangan yang sudah diberikan, yang dimaksud dalam pasal 319, kelima, pada
surat palsu atau yang dipalsukan yang dimaksudkan itu di dalamnya diperbuat
catatan yang menunjuk petikan yang dilekatkan. Tidak diberikan asli atau
turunan dari surat yang palsu atau dipalsukan itu jika tidak ditambah padanya
peringatan itu serta suatu salinan dari petikan itu.
Pasal 322
(1)
Panitera membuat pemberitaan acara persidangan, yang di dalamnya
ditulis segala acara yang dipakai dan semua kejadian dalam persidangan yang
berhubungan dengan perkara itu.
(2)
Pemberitaan ini berisi juga yang mengenai pokok yang perlu dari,
keterangan saksi dan ahli dan keterangan pesakitan, kecuali jika ketua
menimbang cukup mengenai hal itu, jika ditunjukkan saja kepada pemberitaan yang
berisi keterangan yang dahulu yang telah diberikan oleh mereka itu; dengan
menyebut dengan saksama dalam hal itu perbedaan antara keterangan yang dahulu
dengan keterangan yang diberikan dalam persidangan.
(3)
Ketua dapat memerintahkan, supaya sengaja diperbuat catatan
tentang suatu keadaan, keterangan atau pemberitahuan dan ia wajib melakukan
itu, jika ini diminta oleh jaksa pada pengadilan negeri, oleh pesakitan, atau
oleh pembelanya.
(4)
Pemberitaan acara harus ditandatangani oleh ketua dan Panitera.
(5)
Aturan dari pasal 187 berlaku atas hal ini.
Pasal 323
Dicabut
dengan Stbl. 1941 No. 32.
Bagian
Keempat
TENTANG
MENJALANKAN KEPUTUSAN-KEPUTUSAN
Pasal 324
Suatu
keputusan yang dapat diminta bandingan, berkekuatan sebagai keputusan yang
sudah pasti sebentar itu juga setelah pesakitan serta jaksa menyatakan menerima
keputusan itu, lagi pula jika yang demikian tidak dinyatakan oleh kedua pihak,
jika tempo untuk meminta bandingan tidak dipergunakan atau permintaan bandingan
itu dicabut.
Jika
keputusan sudah pasti oleh karena tempo untuk meminta bandingan telah lewat
dengan tidak dipergunakan maka panitera menambahkan pada surat perkara itu satu
surat keterangan yang ditandatangani, yang menyatakan sedemikian.
Dari
keputusan-keputusan yang diambil oleh pengadilan negeri dalam perkara pidana,
yang terhadapnya tidak dapat diminta bandingan, panitera mengirim dalam tempo
satu bulan sesudah surat permintaan untuk itu diterima, salinan surat-surat
perkara kepada pengadilan tinggi yang dalam daerah hukumnya pengadilan negeri
itu berkedudukan.
Penjelasan:
Dengan
mengucapkan keputusannya dalam persidangan yang terbuka untuk umum, maka hakim
telah mengakhiri tugasnya sebagai hakim. Sekarang keputusan itu harus
dilaksanakan, dijalankan atau dieksekusi. Hakim tidak dapat melaksanakan
sendiri. Hal ini diserahkan kepada jaksa sebagai pegawai penuntut umum (pasal
325).
Kalau dalam
perkara perdata eksekusi keputusannya tergantung daripada kehendak yang memenangkan
perkara. Ia dapat memohon pelaksanaan keputusan itu kepada hakim, akan tetapi
juga dapat membiarkan keputusan itu tidak dijalankan, sebaliknya keputusan
pidana mesti dijalankan dengan selekas mungkin, dan yang diserahi dengan
pekerjaan itu adalah jaksa.
Syarat
pertama-tama untuk menjalankan keputusan hakim itu ialah, bahwa keputusan itu
telah menjadi tetap, artinya segera setelah terhadap keputusan itu tidak lagi
terbuka suatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga untuk mengubah
keputusan itu, seperti perlawanan, naik banding atau kasasi. Selama perkara itu
masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu
keputusan tidak dapat dijalankan belum menjadi tetap. Dalam hal-hal manakah
keputusan itu menjadi tetap?
Menurut pasal
324 ini maka suatu keputusan hakim itu menjadi tetap:
1.
Setelah baik terpidana maupun jaksa menerangkan, bahwa mereka itu
masing-masing menerima keputusan itu, atau
2.
Jika keterangan untuk menerima itu tidak ada, akan tetapi waktu
untuk meminta banding telah lewat dan tidak dipergunakan, atau
3.
Jikalau permintaan banding ditarik kembali.
Suatu
keputusan yang tidak dapat dimintakan handing (suatu keputusan yang dijatuhkan
dalam tingkat ke satu dan tingkat tertinggi pula oleh pengadilan negeri) segera
setelah diucapkan menjadi tetap, kecuali jikalau terpidana atau jaksa memohon
kasasi kepada Mahkamah Agung.
Pada umumnya
suatu keputusan mendapat kekuatan tetap, kalau semua jalan hukum biasa untuk
mengubah putusan itu perlawanan, bandingkan, kasasi telah habis atau tidak
dipergunakan, baik oleh karena waktu yang tersedia, oleh undang-undang untuk
mempergunakan jalan-jalan hukum itu tidak dipakai atau pun oleh karena
jalan-jalan hukum tersebut yang dipakai, ditarik kembali.
Menurut ayat
(2) pasal ini maka jika putusan hakim itu sudah menjadi tetap, karena waktu
untuk minta banding telah lewat dengan tidak dipergunakan, maka panitera
menambahkan pada surat perkara itu satu surat keterangan yang ditandatangani,
yang menyatakan demikian.
Menurut ayat
(3) maka dari keputusan yang terhadapnya tidak dapat diminta banding, panitera
dalam tempo satu bulan sesudah surat permintaan untuk itu diterima, mengirim
salinannya beserta salinan surat-surat perkara kepada pengadilan tinggi dalam
daerah hukumnya pengadilan negeri itu berkedudukan.
Pasal 325
Kecuali yang
diatur di dalam aturan ampun, demikian juga dalam ayat kedua dari pasal 316,
dan jika tidak diatur dengan cara lain pada pasal-pasal yang berikut, maka
keputusan-keputusan dijalankan secepat mungkin oleh jaksa pengadilan negeri
atau perintahnya.
Dari
keputusan-keputusan bandingan panitera menerima pada jaksa satu petikan tentang
tiap-tiap pesakitan-pesakitan berasing-asing dalam rangkap dua yang berisi:
nama, umur, tempat lahir, pekerjaan, tempat diam atau tempat tinggal dari
pesakitan, keputusan hakim pertama dan keputusan dalam bandingan dan hari
keputusan-keputusan itu dijatuhkan, demikian juga nama hakim yang turut
memutuskan keputusan tentang menetapkan atau mencabut perintah yang masih ada
dalam perkara itu untuk menahan sementara, ataupun tentang memberi perintah
demikian.
Dari
keputusan pengadilan negeri yang sudah memperoleh kekuatan pasti panitera
mengirimkan kepada jaksa satu petikan dalam rangkap dua, yang diperbuat dengan
cara yang tersebut di atas ini yang berisi catatan bahwa keputusan telah
memperoleh kekuatan pasti, kecuali dalam hal yang tertuduh dibebaskan dari
segala tuduhan.
Pelaksanaan
keputusan tidak dapat dijalankan, sebelum keputusan dalam bandingan dimaklumkan
kepada pesakitan.
Jika belum
dapat diperbuat satu petikan dari keputusan pengadilan negeri, yang menjatuhkan
hukuman yang telah memperoleh kekuatan pasti, maka panitera mengirim pada
pegawai yang dimaksud pada pasal 1 (satu) surat keterangan yang ditandatangani
olehnya dan turut ditandatangani oleh hakim untuk tiap-tiap pesakitan
masing-masing sendiri, petikan mana disusun menurut ayat 2 dan dibubuhi catatan
serupa tentang keputusan yang telah memperoleh kekuatan pasti; jika maksud ayat
2 dan pasal 316 dijalankan maka putusan yang dijatuhkan tentang tanda bukti
tidak usah dimasukkan dalam catatan itu.
Kalau surat
keterangan yang dimaksud dalam ayat di atas ini sudah dikirim lebih dahulu,
maka petikan keputusan hanya satu.
Pegawai yang
dimaksud dalam ayat satu mengirimkan kembali surat petikan, yang berisi catatan
keputusan yang sudah dijalankan, kepada panitera pengadilan negeri, yang
melampirkan pada surat perkara.
Pasal 325a
Kalau
hukuman itu terdiri dari hukuman denda atau hukuman perampasan barang yang
tertentu, maka pegawai yang dimaksud dalam pasal 325, ayat (1) menentukan
tempo, yang selama-lamanya dua bulan dalam waktu mana hukuman denda itu harus
dibayar tunas atau barang-barang yang dirampas itu harus diserahkan, ataupun
jumlah uang yang ditaksir tentang barang itu pada waktu memutuskan itu harus
dibayar. Tempo itu tiap-tiap kali boleh diperpanjang oleh pegawai tersebut,
tetapi sekali-kali tidak dapat lebih dari satu tahun lamanya.
Pasal 326,
327 dan 328
dicabut
dengan Stbl. 1933 No. 2.
Pasal 329
Hukuman mati
dijalankan dihadapan pegawai yang dimaksud dalam pasal 325, ayat (1) atau di
hadapan seorang pegawai yang ditunjuk untuk itu, dan selalu sedemikian sehingga
tidak dapat dilihat oleh umum.
Penjelasan:
Ketentuan
tentang pelaksanaan pidana mati di dalam H.I.R. ini isinya amat singkat.
Ketentuan itu sekarang telah diatur dalam Perpres No.2/1964 yang mengatakan
bahwa.
1.
pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di
suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam
tingkat pertama, dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai di bawah ini;
2.
waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh kepala polisi
komisariat daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut, setelah mendengar
nasihat dari jaksa tinggi/jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana
mati itu;
3.
Kepala polisi komisariat atau perwira yang ditunjuk olehnya
bersama-sama dengan jaksa tinggi/jaksa yang bertanggung jawab, juga
pembela/pengacara terpidana atas permintaannya sendiri atau permintaan
terpidana, menghadiri pelaksanaan pidana mati itu;
4.
terpidana diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu
oleh jaksa tinggi/jaksa tiga kali dua puluh empat jam sebelumnya saat
pelaksanaan, dan pada terpidana diberikan kesempatan untuk mengemukakan sesuatu
keterangan atau pesanan pada hari-hari terakhir. Apabila terpidana adalah
seorang wanita sedang hamil maka pelaksanaan pidana mati baru dilakukan empat
puluh hari setelah anaknya dilahirkan;
5.
untuk pelaksanaan pidana mati itu kepada polisi komisariat
tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari brigade mobil, terdiri
dari seorang bintara, dua belas orang tamtama, di bawah pimpinan seorang
perwira, untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata
organiknya, dan sampai selesainya tugas itu regu penembak ini berada di bawah
perintah jaksa tinggi/jaksa.
6.
dicatat di sini bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh
pengadilan militer juga dilakukan menurut Perpres No.2/1964 sebagaimana
diutarakan di atas, dengan ketentuan bahwa kata-kata "kepala polisi
komisariat daerah", "jaksa tinggi/jaksa", "brigade
mobil" dan "polisi", berturut-turut harus dibaca:
"panglima/komandan daerah militer", "jaksa/oditur militer",
dan "militer".
Pasal 330
Jika
seorang, yang dahulu sudah dihukum kurungan atau dihukum dengan hukuman yang lebih
berat, kemudian dihukum dengan hukuman yang sebesar itu pula, sebelum ia
menjalani hukuman yang dijatuhkan padanya dengan keputusan yang pertama, maka
(jika pada waktu hendak menjalankannya, hukuman yang pertama yang dijatuhkan
itu belum daluwarsa) dijalankan segala hukuman itu sama sekali berturut-turut
dimulai dengan hukuman yang terberat.
Pasal 331
Hukuman
untuk membayar biaya perkara dapat dijalankan atas barang-barang dari orang
yang terhukum.
Menjalankan
keputusan ini harus menurut peraturan dalam bahagian kelima bab kesembilan,
sesudah permintaan yang dimaksud pada pasal 196 diperbuat oleh pegawai yang
tersebut dalam pasal 325 ayat (1), atau atas namanya.
Pasal 332
(1)
Keputusan akan membayar biaya selamanya diuntukkan untuk Negeri,
kecuali kalau pada peraturan istimewa ditentukan lain.
(2)
Bahagian dari uang denda atau barang rampasan, yang dalam beberapa
hal ditentukan bagi pegawai atau badan-badan istimewa, selamanya dibayar dari
kas Negeri kepada pegawai atau badan itu, menurut aturan yang telah ada atau
yang akan diadakan dalam undang-undang mengenai hal itu, sesudah dimasukkan
denda dan uang harga barang-barang itu dalam kas Negeri.
Pasal 333
Semua orang
yang bersama-sama dihadapkan di muka hakim karena satu perbuatan itu juga, dan
dihukum karena itu, menanggung masing-masing pembayaran semua ongkos perkara,
yang dijatuhkan kepada mereka.
Pasal 333a
Dihapuskan
menurut Undang-undang Darurat Indonesia No.1 tahun 1951. (Lembaran Negara No.9
tahun 1951).
BAB
KESEBELAS
TENTANG
PEMERIKSAAN PERKARA SECARA SINGKAT
(SUMIR)
Pasal 334
Pengadilan
negeri memeriksa pada hari-hari yang tertentu pada tiap-tiap minggu, yang
ditetapkan dan dimaklumkan oleh ketua, perkara yang dimajukan secara singkat
terlebih dahulu dari segala perkara yang lain, menurut yang dalam pasal-pasal
yang berikut.
Penjelasan:
Pemeriksaan
perkara "secara singkat" yaitu "secara sumir" terjemahan
dari kata-kata bahasa Belanda "summiere procedure" artinya cara
pemeriksaan perkara yang singkat dan ringkas.
Apakah itu?
Lihat pasal 83 f ayat (1) No. 2 yang mengatakan, bahwa jika ternyata pada waktu
dilakukan pemeriksaan sementara pada tertuduh dan saksi-saksi, perkara itu
bersahaja, baik mengenai pembuktiannya maupun mengenai pengenaan
undang-undangnya dan perkara itu biasanya tidak dipidana (bukan ancamannya)
dengan pidana utama yang lebih berat dari selama-lamanya satu tahun penjara,
maka (lihat selanjutnya pasal 83 k ayat (1) dan (4), begitu pula pasal 335)
kecuali jika ia berpendapat lain, begitu pula dalam kejadian yang tersebut
dalam pasal 335, jaksa pembantu dapat segera memajukan perkara itu kepada
jaksa, kemudian jaksa dapat segera meneruskan perkara itu kepada hakim, yang
akan memeriksa perkara itu secara singkat.
Pasal 335
Jaksa dapat
membawa tersangka ke persidangan pengadilan negeri dengan begitu saja, bila ia
berpendapat, setelah dipelajarinya surat-surat yang dikirim oleh magistrat
pembantu padanya, bahwa perkara itu perkara bersahaja, demikian juga tentang
membuktikannya dan tentang menjalankan hukum dan dalam hal itu tidak akan dijatuhkan
hukuman pokok lebih dari hukuman penjara selama-lamanya tiga tahun.
Penjelasan:
Ini yang
biasa dinamakan pemeriksaan perkara secara singkat, sumir atau ringkas
(summiere procedure). Lihat selanjutnya penjelasan pada pasal 334.
Pasal 336
Jaksa pada
pengadilan negeri berhak untuk memanggil tersangka, demikian juga saksi-saksi,
ahli-ahli dan juru bahasa, dengan surat atau dengan lisan atau dengan
perantaraan polisi, supaya datang menghadap pengadilan negeri, jika perlu
dengan perintah supaya diiring.
Pasal 337
Dalam
perkara dibawa secara singkat, maka peraturan-peraturan dari bagian kedua,
ketiga dan keempat dari bab kesepuluh berlaku, jika peraturan-peraturan itu
bersesuaian dengan peraturan-peraturan dari bab ini dan dengan memperhatikan,
bahwa:
A. |
1e. |
Ketua
segera, sesudah pesakitan itu pada sidang pengadilan negeri memberi jawaban
atas pertanyaan segala yang dimaksud padanya dengan menyebutkan waktu
bilamana, tempat dimana dan keadaan perbuatan itu dilakukan; |
|
2e. |
dari
keterangan dengan lisan ini diperbuat catatan dalam berita acara persidangan
itu; |
|
3e. |
keterangan
dengan lisan ini di dalam segala hal jadi pengganti surat penyerahan. |
B. |
Ketua
pengadilan negeri dapat menunda pemeriksaan perkara itu atas permintaan
pesakitan, untuk beberapa waktu yang dianggap perlu untuk kepentingan
pembelaannya; |
|
C. |
Ketua
pengadilan negeri dapat memerintahkan pada jaksa pada pengadilan negeri, jika
dianggapnya perlu diadakan lagi pemeriksaan lebih dahulu, untuk melakukan
pemeriksaan itu dengan menunda pemeriksaan lanjutan perkara itu sampai sidang
yang terdekat sesudah hari itu. |
|
D. |
Ketua
pengadilan negeri dapat memerintahkan setiap waktu jika pada waktu sidang
kenyataan bahwa perkara itu tidak seharusnya dimajukan secara singkat, supaya
pemeriksaan sementara dilakukan seperti biasa, dalam hal mana ketentuan dalam
ayat keempat sub b dari pasal 83 k berlaku sama; |
|
E. |
keputusan
tidak diperbuat tersendiri, tetapi dimasukkan dalam pemberitaan acara
persidangan; |
|
F. |
kekuasaan
yang diberikan dalam pasal 322, dapat dilakukan, sudah mencukupi jika dalam
pemberitaan acara ditunjuk saja pada surat-surat pemeriksaan sementara, jika
dan dalam hal diperbuat berita acara yang panjang lebar dari keterangan saksi
atau ahli atau dari pesakitan. |
Penjelasan:
Soal apakah
sesuatu perkara dapat diajukan secara "singkat" atau tidak, yang
berwenang mempertimbangkan mula-mula jaksa pembantu (lihat pasal 83 f),
kemudian jaksa (lihat ayat (4) pasal 83 k, dan akhirnya hakim (lihat pasal 337
ini sub D).
Jika jaksa
berpendapat, bahwa perkaranya tidak dapat diajukan secara sumir kepada hakim,
maka ia memerintahkan supaya pemeriksaan itu dilanjutkan seperti biasa.
Demikian pula jika hakim berpendapat, bahwa seperti ternyata dari pemeriksaan
di dalam persidangan, perkara itu tidak dapat diperiksa secara sumir, maka ia
dapat memerintahkan kepada jaksa supaya pemeriksaan perkara itu diselesaikan
seperti biasa dahulu.
BAB
KEDUABELAS
(Ditiadakan
berhubung dengan Undang-Undang Darurat No. 1/1951). (Pasal 338, 339, 340, dan
341 ditiadakan).
Bagian
Pertama
TENTANG
PEMERIKSAAN DI DALAM PERSIDANGAN, PERMUSYAWARATAN DAN KEPUTUSAN
Pasal 342
s/d 349. Ditiadakan oleh Undang-undang Darurat No. 1/1951.
Bagian Kedua
TENTANG
BANDINGAN
Pasal 350
s/d 356. Ditiadakan dengan Stbl.1932-460-580.
Bagian
Ketiga
Pasal 357
Peraturan-peraturan
dalam bab kesepuluh tentang menjalankan keputusan dalam perkara kejahatan,
dituruti pula dalam perkara pelanggaran, sekedar peraturan ini dapat berlaku
untuk itu.
BAB
KETIGABELAS
TENTANG
MEMPERTANGGUHKAN TAHANAN SEMENTARA DAN KURUNGAN SEMENTARA
Pasal 358
Hakim
berkuasa buat memerintahkan, supaya tahanan sementara atau kerugian sementara
dipertangguhkan, atas permintaan yang tersangka, setelah yang tersangka,
menurut acara yang ditentukan oleh hakim menyatakan bersedia memenuhi segala syarat
yang bertalian dengan pertanggungan itu, dengan memberi atau tidak memberi
penjaminan.
Dalam syarat
pertangguhan itu disebut.
bahwa yang
tersangka, jika diperintahkan pencabutan pertangguhan itu, tidak akan
menjauhkan diri dari perjalanan perintah tahanan sementara atau kurungan
sementara;
bahwa yang
tersangka tidak akan menjauhkan diri dan perjalanan hukuman dalam hal ia dapat
ditahan sementara oleh karena satu kejahatan dan jika ia dihukum dengan hukuman
yang bukan hukuman tutupan pengganti.
Penjaminan
untuk memenuhi syarat terdiri dari penyerahan (penyetoran) dari barang-barang
berharga oleh orang lain, atau dengan perjanjian dari orang lain sebagai
jaminan. Dalam hal yang terakhir, maka pada permintaan untuk itu harus
dilampirkan surat keterangan kerelaan dari orang penjaminan.
Hakim
menentukan dalam ketetapannya jumlah uang jaminan dan cara memberi jaminan itu.
Orang yang
tersangka dan orang penjamin harus didengar tentang permintaan itu.
Penjelasan:
Untuk
menjaga supaya orang yang disangka melakukan tindak pidana di mana ia dapat
dikenakan penahanan sementara tidak akan dirugikan kepentingannya yang
disebabkan oleh penahanan itu, yang mungkin sekali akan berlangsung dalam
jangka waktu lama, diadakan kemungkinan bagi tersangka untuk mengajukan permohonan
kepada hakim supaya penahanannya dipertangguhkan. Sudah barang tentu
penangguhan ini hanya diperbolehkan dalam kejadian-kejadian yang tertentu saja,
harus hanya merupakan suatu pengecualian saja, dan jangan sampai merupakan
sikap umum terhadap sembarang perkara dan tersangka.
Pertangguhan
itu oleh hakim dapat diberikan, jika tersangka menyanggupi memenuhi segala
syarat-syarat pertangguhan itu dengan memberikan tanggungan, maupun tidak. Di
antara syarat-syarat yang diperlukan disebutkan dalam pasal 358 ayat (2) ke 1
dan 2, yaitu:
1)
bahwa tersangka, apabila pertangguhan akan dicabut, tidak akan
menjauhkan diri daripada hal melakukan perintah penahanan sementara;
2)
bahwa tersangka dalam hal ia boleh ditahan sementara karena
sesuatu kejahatan, tidak akan menjauhkan dirinya daripada hal menjalankan
pidana, jika ia dipidana dengan pidana penghentian kemerdekaan yang bukan
pengganti pidana lain.
Semuanya itu
berarti, bahwa tersangka yang akan dimerdekakan itu harus berjanji tidak akan
menyulitkan pekerjaan justisi, untuk memasukkan lagi tersangka dalam tahanan
atau penjara, jika kemudian diperintahkan.
Untuk
menjamin supaya tersangka memenuhi syarat-syarat itu, maka ditetapkan
jaminannya yang berupa:
suatu
pembayaran seketika oleh tersangka atau orang lain dari sejumlah uang yang
ditetapkan oleh hakim atau
suatu
perjanjian dari orang ketiga untuk menjamin terlaksananya syarat-syarat yang
ditetapkan itu. Dalam hal ini harus ada kesanggupan dari orang ketiga yang
menanggung itu.
Dalam
menetapkan besarnya uang jaminan dan cara memberi tanggungan itu hakim akan
mempertimbangkan keadaan kehidupan dan kemampuan tersangka, sehingga hal ini
dapat dimungkinkan baik bagi yang mampu, maupun yang tidak beruang banyak.
Oleh karena
penangguhan penahanan itu merupakan suatu kemurahan hakim, maka tiap-tiap kali
dapat dicabutnya.
Pasal 359
(1)
Hakim dapat mengadakan perubahan dalam ketetapannya tentang
pertangguhan itu, atas permintaan yang tersangka.
(2)
Jika diusulkan orang penjamin yang baharu, maka pada permintaan
itu dilampirkan satu surat keterangan kerelaan orang itu.
(3)
Orang yang tersangka dan penjaminannya, atau dalam hal yang
tersebut pada ayat di atas, penjamin yang baharu yang diusulkan, harus didengar
tentang permintaan itu.
Pasal 360
Hakim pada
setiap waktu dapat memberi perintah mencabut pertangguhan itu. Sebelum hakim
memberi perintah yang demikian, maka kalau dapat ia mendengar dahulu yang
tersangka dan untuk itu, dapatlah ia menyuruh memanggil orang itu, jika perlu
menambahkan perintah untuk membawanya.
Penjelasan:
Oleh karena penangguhan
penahanan itu merupakan kemurahan hakim, maka tiap-tiap waktu dapat
mencabutnya. Sebelum memerintahkan pencabutan pertangguhan penahanan itu,
tersangka harus dipanggil dan didengar keterangannya.
Pasal 361
Jika
pencabutan dilakukan oleh karena syarat-syarat tidak dipenuhi, maka pada waktu
mencabut ketetapan dapat ditetapkan, bahwa jaminan itu jadi milik Negeri. Jika
penjamin menjaminnya dengan perjanjian, maka penjamin itu dihukum dalam
keputusan itu membayar kepada Negeri jumlah yang ditentukan jadi tanggungannya,
yang dapat ditagih daripadanya juga dengan paksaan badan.
Ketetapan
itu berlaku seperti keputusan hakim dalam perkara perdata, yang tidak dapat
diubah lagi, serta dijalankan sedemikian.
Waktu yang
paling lama buat paksaan badan ditentukan dalam ketetapan itu, dan jika
ternyata bahwa ia tidak mampu maka lamanya paksa badan tidak dapat lebih dari
enam bulan, kecuali kalau dimulai lagi, kemudian, jika yang terhukum itu sudah
mampu melunaskan utang yang harus dibayarnya, jika belum ada keputusan yang
demikian.
Jika yang
tersangka, menjauhkan diri dari perintah menjalani tahanan sementara atau
kurungan sesudah dicabut pertangguhan itu, maka jaminan itu dinyatakan jatuh
menjadi milik Negeri, biarpun tidak diperintahkan pencabutan pertangguhan
tanggungan itu dijadikan juga milik Negeri, jika yang tersangka tidak memenuhi
syarat-syarat yang dimaksud pada pasal 358, ayat 2, No. 2. Keputusan itu
dijatuhkan karena jabatan atau atas permintaan jaksa. Ayat yang disebut di muka
ini berlaku dalam hal itu.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka jikalau pencabutan itu dilakukan oleh karena:
a.
tersangka tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, atau
b.
sesudahnya penangguhan itu dicabut, tersangka menjauhkan diri dari
keharusan menjalankan penahanan sementara, maka di dalam keputusan pembatalan
penangguhan itu ditentukan, bahwa jaminan uang yang diberikannya menjadi milik
negara. Jika jaminan itu terdiri atas kesanggupan membayar dari orang ketiga,
maka uang ini ditagih dari orang ketiga itu, bila perlu dengan tindakan sandera
(gijzeling).
Ketetapan
penagihan itu menurut ayat (2) pasal ini berlaku seperti keputusan hakim dalam
perkara perdata.
Menurut
ketentuan dalam ayat (3) maka lamanya sandera (gijzeling) tidak dapat lebih
dari enam bulan.
Pasal 362
Jika yang
tersangka tidak memenuhi syarat itu atau jika dari keadaan yang tertentu
ternyata bahwa dikuatirkan ia akan melarikan diri maka perintah untuk
menjalankannya dapat diberikan oleh pegawai-pegawai yang dimaksud dalam pasal
325 ayat (1) yang berkuasa di tempat kedudukan hakim yang memeriksanya pada
tingkat pertama dan di tempat yang tersangka berada, dengan kewajiban akan
memberitahukan hal itu dengan segera pada hakim dengan surat, kawat atau
tilpon, kalau hal ini dapat mempercepat keputusan, dan dalam tempo dua puluh
empat jam sesudah diterimanya pemberitahuan itu, hakim menetapkan apakah
pencabutan itu dipertangguhkan atau tidak.
Penjelasan:
Pegawai yang
dimaksud dalam pasal 325 ayat (1) adalah jaksa. Apabila jaksa mengetahui atau
mengkhawatirkan, bahwa seorang tersangka yang dipertangguhkan penahanannya oleh
hakim dengan bersyarat tidak memenuhi syarat-syarat atau dikhawatirkan akan
melarikan diri, maka jaksa yang berkuasa di tempat tersangka, dapat menangkap
tersangka itu. Hal ini jaksa harus selekas mungkin memberitahukan kepada hakim
yang bersangkutan dan hakim ini dalam 24 jam harus menentukan tentang
penghentian pertangguhan penahanan atau tidak.
Pasal 363
Jika
pelanjutan jaminan itu tidak perlu lebih lama lagi, maka hakim dapat memberi
perintah kalau perlu sesudah memeriksa yang tersangka atau penjaminannya,
supaya uang yang dimasukkan itu, dikembalikan kepada orang yang memberi jaminan
itu, atau perjanjiannya itu akan dihapuskan.
Pasal 364
Segala
ketetapan hakim yang diambil menurut bunyi bab ini harus berisi segala
sebab-sebab dan diberikan oleh ketua pengadilan negeri sebelum diminta
bandingan, sesudah itu oleh pengadilan tinggi.
Keputusan
itu dengan segera diberikan kepada yang tersangka dan penjaminannya.
Ketetapan
untuk mempertangguhkan, untuk mencabut pertangguhan itu dan untuk mengubah
ketetapan akan mempertangguhkan dapat dijalankan sebentar itu juga.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa keputusan hakim tentang penangguhan penahanan dapat diadakan
oleh hakim pengadilan negeri sebelum tersangka mengajukan permohonan banding,
sesudah itu, dilakukan oleh pengadilan tinggi.
Pasal 365
Jika dalam
bab ini dipergunakan perkataan "mempertangguhkan" maka yang dimaksud
dengan itu ialah "menunda.
Penjelasan:
"Mempertangguhkan"
dalam bab ini artinya "menunda" atau "memperlambat ",
terjemahan dari bahasa Belanda "uitstellen".
BAB
KEEMPATBELAS
TENTANG HAL
TIDAK BERLAKU LAGI, HAL PEMBATALAN DAN HAL PEMBEBASAN PENUNTUTAN DAN HUKUMAN
Pasal 366
Segala
penuntutan pidana tidak berlaku lagi atau batal karena amnesti atau abolisi,
yang diberikan oleh Presiden sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung
menurut pasal 107, ketiga dari Undang-Undang Dasar Sementara Republik
Indonesia.
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan tentang akibat dari amnesti dan abolisi. Mengenai hal amnesti dan
abolisi baca pula:
a.
Pasal 14 Undang-undang Dasar 1945;
b.
Pasal 107 Undang-undang Dasar Sementara R.I.;
c.
Undang-undang Darurat No.11/1945 (L.N. No.146/1954).
Dengan
pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang tertentu
dihapuskan, atau boleh dikatakan, bahwa kejahatan-kejahatan tertentu yang
dilakukan di dalam kejadian-kejadian yang disebutkan dalam undang-undang yang
bersangkutan, tidak akan dipidana.
Dengan
pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang tertentu ditiadakan,
artinya bahwa orang yang melakukan peristiwa pidana tidak dituntut.
Pasal 367
Aturan pada
pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi, kecuali sekedar mengenai
penuntutan denda atau perampasan barang-barang yang tertentu, dalam perkara
pelanggaran tentang mata penghasilan dan sewa Negeri.
Tuntutan
untuk membayar denda dan perampasan barang-barang yang tertentu, yang dilakukan
kepada ahli waris atau wakil-wakil orang yang meninggal dunia dalam hal-hal
tersebut di atas akan dihadapkan kepada hakim dalam perkara perdata.
Pemeriksaan,
memutuskan dan menjalankan diselenggarakan sesuai dengan cara perkara perdata
yang biasa.
Penjelasan:
Pasal 77
Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan, bahwa hak penuntutan pidana
(strafvervolging) menjadi gugur karena tertuduh meninggal dunia.
Menurut
pasal 367 ini maka ketentuan tersebut harus dikecualikan sepanjang mengenai
penagihan denda atau perampasan barang-barang tertentu di dalam pelanggaran
tentang penghasilan negara dan cukai. Hal ini berarti, bahwa meskipun
terdakwanya, karena meninggal, tidak lagi dapat dihadapkan di muka hakim,
putusan pidana denda dan perampasan barang-barang tertentu di dalam pelanggaran
tersebut tadi, dapat dijatuhkan juga.
Tuntutan
denda dan perampasan barang-barang itu dilakukan terhadap ahli-waris atau wakil
orang yang mati itu, dan dihadapkan kepada hakim perdata.
Hal
memeriksa, memutus perkara dan menjalankan keputusannya harus dijalankan
seperti dalam perkara perdata yang biasa.
Pasal 368
Jika yang
melakukan sudah meninggal dunia, sesudah hukuman yang dijatuhkan telah menjadi
pasti, maka segala denda dan perampasan, demikian juga biaya dalam perkara
pelanggaran tentang mata penghasilan dan sewa Negeri, ditagih dari ahli waris
atau wakil-wakil orang yang meninggal dunia itu.
Penjelasan:
Apabila
terpidana meninggal sesudahnya keputusan menjadi tetap, maka pidana denda dan
perampasan barang-barang beserta ongkos-ongkos perkara dalam
pelanggaran-pelanggaran penghasilan negara dan cukai, menurut pasal ini, akan
ditagih dari ahli-waris atau wakil terpidana yang meninggal itu.
Dalam hal
ini, sesuai dengan bunyi pasal 367, dapat dikatakan bahwa peraturan dalam pasal
83 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikecualikan tentang melaksanakan putusan
pidana (Strafexecutie) denda, perampasan barang-barang dan ongkos-ongkos
perkara dalam perkara pelanggaran tentang penghasilan negara dan cukai.
Pasal 369
Jika seorang
menjadi gila, sesudah ia melakukan suatu perbuatan, yang dapat menyebabkan
penuntutan pidana, dan keadaan gila itu diakui oleh hakim, yang diwajibkan
memeriksa perkara itu maka penuntutan pidana itu ditangguhkan, sampai orang itu
sudah sembuh, kecuali jika denda perampasan yang tersebut pada pasal 367, dapat
ditagih menurut acara yang tersebut pada pasal tadi, dari walinya, jika pesakitan
orang yang diberi berwali atau dengan jalan lain dapat dimajukan penagihan
terhadap wali orang sedemikian yang ditunjuk oleh hakim mewakili orang gila
itu.
Penjelasan:
Oleh sebab
terdakwa yang akan dituntut pidana di muka pengadilan itu menjadi gila dan
belum tentu akan segera sembuh dari penyakitnya untuk dapat melanjutkan
penuntutan pidana terhadapnya, sehingga perkaranya terpaksa harus ditangguhkan
mungkin buat waktu beberapa lamanya, maka pasal 369 ini menentukan, denda dan
perampasan barang-barang tertentu yang dimaksudkan dalam pasal 367 boleh
ditagih menurut cara yang ditentukan dalam pasal itu kepada wali atau wakil
terdakwa yang sakit gila itu.
Pasal 370
(1)
Hukuman mati tidak dapat dijalankan pada orang itu, jika ia
menjadi gila sesudah dihukum, dan keadaan itu diakui oleh hakim, yang
menjatuhkan putusan pidana itu.
(2)
Demikian juga hukuman mati itu tidak dapat dijalankan pada
perempuan yang hamil.
(3)
Dalam hal pertama maka penjalanan hukuman mati dipertangguhkan
hingga orang sakit gila itu sembuh dan dalam hal yang terakhir sampai perempuan
yang hamil itu melahirkan.
Penjelasan:
Tentang
pelaksanaan pidana mati sudah ada ketentuan baru yang tersebut dalam Penetapan
Presiden R.I. No.2/1964, di mana dalam pasal 7 dikatakan, bahwa apabila
terpidana mati hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan
empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan. Di situ tidak ada ketentuan
bagaimana harus dilakukan apabila terpidana mati mendadak menjadi sakit gila.
Menurut
pasal 84 ayat (4) K.U.H.P. hak melakukan (Strafexecutie) pidana mati tidak bisa
gugur karena daluwarsa.
Pasal 371
Semua
jaksa-jaksa dan semua hakim-hakim karena jabatannya harus menumpahkan perhatian
tentang daluwarsa, meskipun hal ini tidak diminta oleh pesakitan-pesakitan.
Penjelasan:
Pasal ini
merupakan peringatan bagi para hakim dan jaksa untuk senantiasa memperhatikan
tentang daluwarsa. Ketentuan tentang daluwarsa itu tercantum dalam pasal-pasal
77 s/d 85 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 77 s/d
82 K.U.H.P. mengatur tentang gugurnya hak penuntutan pidana (Strafvervolging),
sedangkan pasal 83 s/d 85 mengatur tentang gugurnya hak menjalankan pidana
(Strafexecutie).
BAB
KELIMABELAS
BERBAGAI-BAGAI
ATURAN
Pasal 372
Ketua-ketua
majelis-majelis pengadilan diwajibkan memimpin pemeriksaan dalam persidangan
dan permusyawaratan *).
Dipikulkan
juga pada mereka kewajiban untuk memelihara ketertiban yang baik dalam
persidangan; segala sesuatu yang diperintahkan untuk keperluan itu, harus
dilakukan dengan segera dan saksama.
Penjelasan:
Ketua, menurut
pasal ini, baik pada hakim majelis maupun hakim tunggal, diwajibkan memimpin
sidang pengadilan, dan bertanggung jawab atas ketertiban yang baik dalam
persidangan. Untuk dapat melaksanakan itu segala perintahnya harus dengan
segera dilakukan dengan seksama.
Apabila ada
orang yang mengganggu keamanan dan ketertiban dalam persidangan, misalnya
mengeluarkan perasaan setuju atau tidak setuju dan membuat rusuh dan gempar,
dan pada teguran pertama tidak terus diam, maka ia akan dikeluarkan dengan
perintah ketua. Jikalau orang itu ternyata melanggar sesuatu ketentuan pidana,
maka hakim dapat memerintahkan agar orang itu dituntut pidana di muka sidang
pengadilan, dapat dikenakan pasal 216 atau pasal 217 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. (lihat pasal 373 H.I.R.).
Pasal 373
Barangsiapa
yang mengganggu keamanan selama persidangan atau memberi tanda menyatakan
setuju atau tidak, atau dengan jalan apapun juga membuat gempar atau rusuh, dan
pada teguran pertama ia tidak terus diam, maka ia akan dikeluarkan dengan perintah
ketua; semuanya ini tidak mengurangi tuntutan hakim, jika pada waktu itu ia
melakukan sesuatu perbuatan pidana.
Penjelasan:
Lihat
penjelasan pada pasal 372.
Pasal 374
(1)
Tidak seorang hakimpun dapat memeriksa perkara yang mengenai
kepentingan diri sendiri, baik dengan langsung, maupun dengan tidak langsung,
atau memeriksa perkara yang bersangkut pada isterinya atau salah seorang
keluarga sedarah atau keluarga semenda, dalam turunan menyimpang sehingga pupu
yang keempat.
(2)
Hakim yang dikecualikan dalam hal yang sedemikian itu, wajib atas
kemauan sendiri menarik diri dari pemeriksaan perkara itu, biarpun permintaan
untuk itu tidak dimajukan oleh orang yang bersangkutan.
(3)
Jika mendua-hati atau ada perselisihan, maka hal itu diputuskan
oleh majelis *). Keputusan majelis itu tidak
dapat dibanding lagi.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini maka hakim tidak diperkenankan memeriksa perkara:
mengenai
kepentingan diri sendiri, baik langsung maupun tidak langsung;
yang
bersangkutan dengan isterinya;
yang
bersangkutan dengan keluarganya sedarah, misalnya bapak ibu, kakek nenek, anak,
cucu dan seterusnya.
yang
bersangkutan dengan keluarga semenda atau keluarga perkawinan dalam turunan
(garis) menyimpang sampai empat pupu (derajat), misalnya isteri/laki saudara,
isteri/laki anak saudara, isteri/laki cucu saudara dan lain-lain.
Hakim yang
dalam kedudukan demikian itu wajib atas kemauan sendiri menarik diri dari
pemeriksaan itu, walaupun tidak ada tuntutan dari yang bersangkutan.
Sehubungan
dengan pasal ini bacalah pasal 28 U.U. Pokok Kehakiman No. 14/1970 yang
bunyinya:
(1)
pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang
mengadili perkaranya. Hak ingkar ini hak seseorang yang diadili untuk
mengajukan keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap
seorang hakim yang akan mengadili perkaranya. Putusan mengenai hal tersebut
dilakukan oleh pengadilan;
(2)
Apabila seorang hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah
sampai derajat ketiga atau semenda dengan ketua, salah seorang hakim anggota,
jaksa, penasihat hukum atau panitera dalam suatu perkara tertentu, ia wajib
mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu;
(3)
Begitu pula apabila ketua, hakim anggota, Penuntut Umum atau
panitera masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga
atau semenda dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan
perkara itu.
Pasal 375
Segala
perintah untuk melepaskan yang tersangka atau pesakitan, yang ada dalam
tahanan, diberitahukan dengan segera jika perlu dengan kawat oleh pegawai yang
memerintahkan itu kepada pegawai yang diwajibkan menjalankan perintah itu, dan
pegawai yang terakhir ini dengan segera mengeluarkan atau menyuruh mengeluarkan
orang itu, sesudah menerima pemberitahuan itu, kecuali kalau ia harus ditahan
karena alasan lain.
Pasal 376
Kuasa, yang
dimaksud dalam pasal 82 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diberikan oleh
pegawai yang dimaksud dalam 325, ayat (1) kepada pegawai mana disampaikan oleh
pesakitan suatu surat tanda bayar yang diberi oleh pegawai yang berhak akan
menerima itu, dalam tempo yang akan ditentukan dalam surat kuasa itu.
Penjelasan:
Pasal 82 (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana menentukan, bahwa apabila ada orang telah
berbuat pelanggaran (kejahatan tidak masuk) yang ancaman pidananya hanya berupa
semata-mata pidana denda saja, maka orang itu dapat membebaskan diri dari
penuntutan pidana dengan membayar maksimum pidana denda yang diancamkan, (bila
sudah dimulai dengan penuntutan, juga ongkos perkaranya) itu kepada kas negara.
Jika pelanggaran itu diancam pula dengan perampasan barang yang tertentu,
barang itu harus diserahkan atau harga barang itu dibayar.
Hal ini
harus ada izin atau kuasa terlebih dahulu dari pegawai yang ditunjuk oleh
undang-undang umum. Undang-undang umum tersebut adalah H.I.R. dan menurut pasal
376 ini dan pasal 325 (1) pegawai yang ditunjuk itu adalah jaksa.
Pasal 377
Ditiadakan
oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
Pasal 378
Tiap-tiap
orang, yang dijatuhi hukuman, harus pula dihukum akan membayar segala biaya
perkara. Hanya dalam keputusan pembebasan atau dibebaskan dari segala tuntutan,
maka biaya perkara itu ditanggung oleh Negeri.
Pasal 379
Upah dan
pengganti kerugian bagi pengacara, penasihat atau pembela dan wakil, tidak
dapat dimasukkan dalam biaya yang diputuskan, tetapi selalu harus ditanggung
oleh pihak, yang menyuruh orang yang sedemikian itu membantunya atau
mewakilinya.
Pasal 380
Ditiadakan
oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
Pasal 381
Jika hakim
memberi perintah, bahwa orang Indonesia atau orang bangsa Asing mengangkat
sumpah dalam mesjid atau kelenteng atau pada suatu tempat lain, yang dipandang
keramat, maka hakim itu harus menunda pemeriksaan perkara itu sampai hari
persidangan lain, yang akan ditentukannya.
Dalam hal
yang demikian itu, ketua mengangkat seorang pegawai pengadilan itu akan jadi
panitia bersama-sama dengan panitera untuk menghadiri pengangkatan sumpah itu
dan membuat pertelaan tentang itu.
Penjelasan:
Menurut
pasal ini, apabila hakim memerintahkan pihak yang berperkara akan mengangkat
sumpah dalam mesjid, kelenteng atau di tempat-tempat lain yang dianggap
keramat, maka hakim menunda persidangan yang sedang berjalan sampai persidangan
lain yang akan ditentukannya. Dalam hal itu, jika pada hakim majelis, hakim
ketua mengangkat salah seorang hakim anggota, sedangkan pada hakim tunggal,
mengangkat diri sendiri atau seorang pegawai pada pengadilan negeri, untuk
menjadi panitia bersama-sama dengan panitera untuk menghadiri pengangkatan
sumpah itu dan membuat berita-acara tentang penyumpahannya.
Pasal 382
Segala surat
keputusan mahkamah, segala keputusan dan surat perintah hakim dalam perkara
pidana harus berkepala: "Atas nama keadilan."
Penjelasan:
Pasal ini
menentukan, bahwa segala surat keputusan sidang pengadilan, surat keputusan dan
surat perintah hakim dalam perkara pidana harus berkepala: "Atas nama
keadilan", yang waktu zaman Belanda bunyinya:
"In
naam der Koningin", zaman pendudukan Jepang "Atas nama Balatentara
Dai Nippon", zaman sesudah Proklamasi Kemerdekaan "Atas nama Republik
Indonesia", kemudian menjadi: "Atas nama Keadilan". Sekarang
berdasarkan pasal 4 U.U. Pokok Kehakiman No.14/1970 menjadi: Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Pasal 383
Segala
keputusan-keputusan selalu harus tinggal tersimpan dalam persimpanan surat
(arsip) di pengadilan, dan tidak dapat dipindahkan kecuali dalam hal-hal dan
menurut cara yang teratur dalam aturan undang-undang.
Pasal 384
(1)
Panitera wajib memegang satu daftar umum untuk segala perkara
pidana, yang diperiksa oleh pengadilan di tempat ia dikerjakan.
(2)
Dalam daftar itu harus dituliskan nama pesakitan, kejahatan atau
pelanggaran yang dituntut kepadanya, hari perkara itu dimasukkan dan hari
diucapkan, serta isi keputusan itu seringkas mungkin.
(3)
Panitera pengadilan negeri wajib memegang daftar yang serupa itu
juga untuk perkara perdata.
(4)
Dalam daftar untuk perkara pidana harus disebutkan tentang ampun
yang diberikan dan tentang hukuman yang dikurangkan.
Pasal 385
Turunan atau
petikan keputusan-keputusan dalam perkara pidana, tidak dapat diberikan kepada
orang, yang bukan pihak dalam perkara itu, kecuali bila dikuasakan oleh ketua
pengadilan yang menjatuhkan keputusan itu dan permintaan untuk itu hanya dapat
dikabulkan, jika ternyata bahwa yang meminta berkepentingan dalam hal itu.
Pasal 386
Pesakitan
dalam perkara kejahatan atau pelanggaran berhak untuk membuat atau menyuruh
membuat salinan segala surat-surat dalam perkara yang dituntut pada mereka,
yang dipandangnya perlu untuk membela dirinya, dengan ongkos sendiri.
Pasal 387
Panitera,
yang lalai memenuhi dengan cermat segala aturan dalam ayat pertama pasal 192
dalam ayat ketiga pasal 324 dan dalam pasal 352 reglemen ini, didenda untuk
tiap-tiap kelalaian dengan denda sebanyak-banyaknya sepuluh rupiah.
Penjelasan:
Pasal 192
yang disebut dalam pasal ini hendaknya dibaca: "pasal 11 U.U.
No.20/1947".
Penyebutan
pasal 352 H.I.R. dalam pasal ini sudah tidak ada artinya lagi karena pasal itu
sudah dihapuskan dengan Staatsblad 1932 No. 460 Jo No. 580.
Pasal 388
Semua
jurusita dan suruhan yang dipekerjakan pada majelis pengadilan dan pegawai umum
Pemerintah mempunyai hak yang sama dan diwajibkan untuk menjalankan panggilan,
pemberitahuan dan semua surat jurusita yang lain, juga menjalankan perintah
hakim dan keputusan-keputusan.
Jika tidak
ada orang yang demikian, maka ketua majelis pengadilan, yang dalam daerah
hukumnya surat jurusita itu harus dijalankan, harus menunjuk seorang yang cakap
dan dapat dipercayai untuk mengerjakannya.
Pasal 389
Jurusita
pada pengadilan negeri di Jakarta, Semarang dan Surabaya harus menyatakan
perjalanan jurusita, yang telah dilakukan oleh mereka dengan surat uraian. Bagi
jurusita pada pengadilan negeri lainnya, dan bagi semua orang-orang yang lain,
jika perlu mencukupilah jika diberikan laporan dengan lisan tentang
pemberitahuan, pengadilan dan surat jurusita yang dilakukannya pada hakim atau
pegawai lain kepada siapa mereka harus memberitahukan uraian; hakim atau
pegawai itu mencatat atau menyuruh mencatat pemberitahuan itu.
Pasal 390
(1)
Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang akan disebut di bawah ini,
harus disampaikan pada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau
tempat tinggalnya dan jika tidak dijumpai di situ, kepada kepala desanya atau
lurah bangsa Tionghoa yang diwajibkan dengan segera memberitahukan surat
jurusita itu pada orang itu sendiri, dalam hal terakhir ini tidak perlu
pernyataan menurut hukum.
(2)
Jika orang itu sudah meninggal dunia, maka surat jurusita itu
disampaikan pada ahli warisnya; jika ahli warisnya tidak dikenal maka
disampaikan pada kepala desa di tempat tinggal yang terakhir dari orang yang
meninggal dunia itu di Indonesia, mereka berlaku menurut aturan yang disebut
pada ayat di atas ini. Jika orang yang meninggal dunia itu masuk golongan orang
Asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat pada Balai
Harta Peninggalan.
(3)
Tentang orang-orang yang tidak diketahui tempat diam atau
tinggalnya dan tentang orang-orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu
disampaikan pada Bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal penggugat
dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya hakim yang berhak berkedudukan.
Bupati itu memaklumkan surat jurusita itu dengan menempelkannya pada pintu umum
kamar persidangan dari hakim yang berhak itu.
Pasal 391
Hari mulai
berjalannya tempo itu tidak turut dihitung pada waktu menghitung tempo, yang
disebutkan dalam reglemen ini.
Pasal 392
(1)
Saksi, yang dipanggil dan datang menghadap pada persidangan, baik
dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana, baik di luar itu, berhak
mendapat pengganti kerugian untuk ongkos perjalanan dan ongkos-ongkos bermalam
menurut tarif yang telah ada atau yang akan ditentukan.
(2)
Hakim dan pegawai polisi pengadilan harus memberitahukan pada
saksi-saksi yang datang menghadap padanya, berapa besar pengganti kerugian yang
harus mereka terima.
Pasal 393
Waktu
mengadili perkara di hadapan pengadilan negeri maka tidak dapat diperhatikan
acara yang lebih atau lain dari pada yang ditentukan dalam reglemen ini.
Ditiadakan
oleh Undang-Undang Darurat No. 1/1951.
Pasal 394
Ditiadakan
oleh Undang-Undang Darurat no. 1/1951.
SEJARAH
H.I.R / R.I.B
Reglemen ini
dibuat di zaman pemerintahan Belanda. Judul aslinya adalah: "Reglement op
de uitoefening van de politie, de burgerlijke rechtspleging en de
strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en
Madura", dengan singkat lazim disebut: "Inlandsch Reglement",
disingkatkan menjadi I.R."
Dengan
Staatsblad 1941 No.44 isi I.R. itu diperbaharui. dan mendapat nama baru:
"Herzien Inlandsch Reglement", disingkat H.I.R. artinya
"Reglemen Bumiputera (Indonesia) Yang Dibaharui", yang biasa
disingkat menjadi R.I.B.
Berdasarkan
pada pasal 6 Undang-undang Darurat tahun 1951 No.1 maka R.I.B. dinyatakan
berlaku sebagai hukum acara pidana sipil di Indonesia dengan beberapa perubahan
yang diterangkan dalam undang-undang darurat tersebut.
Riwayat
R.I.B. sebagai hukum-acara pidana dengan singkat dapat diutarakan sebagai
berikut:
Sebelum
zaman penjajahan, hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum raja-raja yang
berkuasa disitu. Semenjak bangsa Belanda datang menguasai Indonesia, di zaman
V.O.C., maka hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di pusat dagang V.O.C.
ialah hukum kapal yang terdiri dari hukum Belanda kuno ditambah dengan
azas-azas hukum Romawi.
Berhubung
hukum kapal itu lambat laun karena perkembangan zaman tidak lagi dapat
menyelesaikan semua peristiwa dan perkara-perkara yang terjadi di pusat-pusat
dagang itu, maka oleh Belanda kemudian dibuat peraturan-peraturan baru lebih
lanjut yang diumumkan dalam bentuk plakat-plakat, kemudian dihimpun menjadi
satu dan dinamakan Statuta Betawi yang berlaku pertama-tama di "Bataviase
Ommelanden" = Betawi dan Daerah-daerah Sekitarnya, yaitu daerah batasnya
di sebelah Barat: sungai Cisadane, di Utara: pulau-pulau di teluk Betawi, di
Timur: sungai Citarum dan di Selatan: Samudera Indonesia.
Oleh
penguasa dimaksudkan, bahwa plakat-plakat itu berlaku bagi semua suku bangsa
yang berada di tempat itu, akan tetapi ternyata dalam prakteknya hanya
digunakan bagi bangsa Belanda saja, sedangkan untuk bangsa Timur Asing dan
Peribumi tetap berlaku hukum adat.
Bagi
beberapa daerah lainnya para penguasa V.O.C. mencoba juga mengadakan kodipikasi
dari hukum adat untuk mengadili mereka yang tunduk pada hukum adat, misalnya
saja:
1.
Kodipikasi Hukum Adat Cina oleh pusat V.O.C., berlaku bagi
orang-orang Cina di Betawi dan sekitarnya.
2.
Kodipikasi Pepakem Cirebon oleh kuasa V.O.C. di Cirebon,
dimaksudkan berlaku bagi penduduk Bumiputera di Cirebon dan sekitarnya.
3.
Kodipikasi Kitab Hukum Mogharraer oleh penguasa V.O.C. di Semarang
dan daerahnya.
4.
Kodipikasi Hukum Bumiputera Boni dan Goa oleh penguasa V.O.C. di
tempat itu berlaku bagi penduduk Bumiputera di Goa dan Boni.
Lama
tidaklah banyak perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan
perundang-undangan di Indonesia. Perubahan yang agak penting ialah terjadi
dalam tahun 1848, oleh karena pada waktu itu mulailah berlaku apa yang biasa
disebut oleh Belanda: "Perundang-undangan baru". Sejak itu kekuatan
hukum Belanda Kuno dan Hukum Romawi hapus dan tidak berlaku lagi.
Perundang-undangan
yang baru itu adalah akibat dari pada perubahan-perubahan perundang-undangan di
Negara Belanda dalam tahun 1838 yang menghapuskan hukum kerajaan Perancis
setelah Negeri Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya.
Mula-mula
Raja Belanda dengan Keputusannya tanggal 6 Mei 1846 No.1 dalam pasal 4
memerintahkan kepada Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda untuk membuat bagi
Hindia-Belanda suatu peraturan tata-usaha kepolisian, beserta pengadilan sipil
dan penuntutan perkara kriminil mengenai golongan Bumiputera dan orang-orang
yang dipersamakan kepada mereka.
Khusus untuk
keperluan itu dan guna membantu Gubernur-Jenderal dalam menyelesaikan perintah
tersebut, Raja mengirimkan seorang ahli yang bernama Jhr. Mr. Wichers dari
Negeri Belanda ke Hindia-Belanda.
Atas jasa
Jhr. Mr. Wichers maka rencana undang-undang baru itu selesai dikerjakan,
diterima oleh Gubernur-Jenderal dan diumumkan dengan Publicatie tanggal 5 April
1848 (Staatsblad tahun 1848 No.16) dengan judul yang telah diterangkan di atas
yang dengan singkat lazim disebut "Inlandsch Reglement" atau
disingkatkan lagi I.R.
Kemudian
"Inlandsch Reglement" ini dikuatkan dengan Keputusan Raja tanggal 29
September 1849 No.93 (Staatsblad tahun 1849 No.63).
Sejak
dikeluarkan pertama kali, maka I.R. itu telah beberapa kali mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan yang paling penting termuat dalam:
1.
Staatsblad tahun 1941 No.31 jo No.98, ialah perihal perbaharuan
peraturan penuntutan terhadap orang-orang yang bukan bangsa Eropa.
2.
Staatsblad tahun 1941 No.32 jo No.98, ialah pembaharuan peraturan
tentang pemeriksaan pendahuluan di dalam perkara-perkara kriminal terhadap
orang-orang Indonesia dan Timur Asing, diantara mana, enam buah titel yang
pertama diganti dengan dua buah titel baru, kemudian isi seluruhnya dari I.R.
itu diumumkan kembali dalam.
3.
Staatsblad tahun 1941 No.44
"Inlandsch Reglement" (I.R.) yang.
telah dibaharui itu dapat disebut "Herzien. Inlandsch Reglement"
(H.I.R.) atau dalam. bahasa Indonesia Reglemen Indonesia Yang Dibaharui,
disingkat R.I.B., dan buat sementara hanya diberlakukan dalam wilayah-wilayah
hukum beberapa Landraad yang ditunjuk oleh Gubernur-Jenderal.
Suatu
perbedaan yang penting antara I.R. dan H.I.R. ialah diadakannya "Openbaar
Ministerie atau Kejaksaan yang merupakan Penuntut Umum.
Anggauta-anggauta
Kejaksaan itu terdiri dari para Jaksa yang dulu ditempatkan di bawah
Pamong-Praja, dan sekarang langsung berada di bawah Jaksa Tinggi dan Jaksa
Agung. Ini berarti bahwa kedudukan Jaksa menurut I.R. dan H.I.R. jauh berbeda.
Pada zaman
I.R. dalam prakteknya kedudukan para Jaksa itu demikian rupa, sehingga:
a.
tidak berwenang untuk menuntut perkara, yang boleh mengadakan
tuntutan hanya Assistent-Resident (Pamong-Praja), ialah kepalanya;
b.
di dalam sidang pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk membuat
requsitoir (mintakan,pidana), akan tetapi hanya dapat memajukan perasaannya
atau pertimbangannya saja (pasal 292 I.R.) dan
c.
tidak mempunyai wewenang untuk menjalankan suatu putusan
pengadilan (eksekusi). Yang mempunyai wewenang demikian itu adalah
Assistent-Resident (pasal 325 I.R. ).
d.
menurut pasal 57 I.R. Jaksa itu juga berada di, bawah perintah
Bupati. (Pamong-Praia).
Dengan
demikian maka Jaksa tidak merupakan Penuntut Umum.
Akan tetapi
di zaman pendudukan Jepang, di mana H.I.R. berlaku sebagai hukum acara pidana
bagi Pengadilan Negeri seluruhnya, maka. kedudukan para Jaksa memperoleh
perubahan secara besar-besaran, oleh karena pada waktu itu para
Assistent-Resident yang menjadi "majikan" para Jaksa sekaligus
dihapuskan. Semua tugas pekerjaan Asisstent-Resident mengenai penuntutan
perkara pidana seluruhnya diserahkan kepada Jaksa yang pada waktu itu
berpangkat "Tiho Kensatsu Kijokuco". (Kepala Kejaksaan Pengadilan
Negeri) dan berada di bawah perintah dan pengawasan "Kootoo Kensatsu
Kijokuco" (Kepala Kejaksaan Tinggi); Sejak waktu itulah maka para Jaksa'.
benar-benar menjadi pegawai Penuntut Umum (Openbaar Ministerie). Kemudian lebih
tegas lagi dengan Osamu Seirei No.49 Kejaksaan dimasukkan ke dalam
"Chianbu" (Departemen Keamanan), dan tugasnya ditentukan sebagai
pegawai penyidik, pegawai penuntut dan menjalankan keputusan hakim (eksekusi).
Di zaman
Pemerintah Republik Indonesia dengan maklumat tanggal 1 Oktober 1945 semua
kantor Kejaksaan yang dulunya masuk "Chianbu" (Departemen Keamanan),
dipindahkan ke dalam "Shihoobu" (Departemen Kehakiman). Corak dan
tugas kewajiban para Jaksa yang telah diberikan kepadanya sejak zaman Jepang,
tidak berubah, oleh karena Peraturan Pemerintah tanggal 10 Oktober 1945 No.2
telah menetapkan, bahwa semua undang-undang dan peraturan yang dulu (undang-undang
Jepang dan undang-undang Hindia-Belanda) tetap berlaku sampai undang-undang itu
diganti baru.
Mulai waktu
proklamasi kemerdekaan, oleh karena menurut H.I.R. pekerjaan "Openbaar
Ministerie" pada tiap-tiap Pengadilan Negeri dijalankan oleh "Magistraat",
maka dengan sendirinya perkataan-perkataan "Magistraat" dalam H.I.R.
diganti dengan Jaksa, sehingga Jaksa pada waktu itu adalah benar-benar Penuntut
Umum pada Pengadilan Negeri. Pada waktu sekarang ini status dan tugas Jaksa
sebagai pegawai Penuntut Umum dengan tegas ditentukan dalam pasal dua
Undang-undang tahun .1961 No.15 (U.U. Pokok Kejaksaan).
Jikalau
titel-titel dari I.R. yang lama kita bandingkan dengan titel-titel dari I.R.
yang baru (H.I.R.) maka nyata betul pentingnya pembaharuan itu, periksalah
perbandingan dibawah ini:
Titel-titel yang lama |
Titel-titel yang baru |
||
Titel I |
Tentang
menjalankan tugas mencari kejahatan dan pelanggaran pada umumnya |
Bab. I. |
Hal
melakukan tugas kepolisian dan tentang kepolisian. |
Titel II |
Tentang
kepala desa dan semua pegawai rendahan yang lain. |
Bag. 1 |
Tentang
pegawai dan penjahat yang diwajibkan melakukan tugas kepolisian. |
Titel III |
Tentang
Kepala distrik dan para pejabat yang dibantukan kepadanya. |
Bag. 2. |
Tentang
Kepala desa dan pejabat kepolisian bawahan yang lain |
Titel IV |
Tentang
Jaksa Kepala dan Jaksa |
Bag. 3. |
Tentang
Kepala Distrik. |
Titel V |
Tentang
Bupati dan Patih |
Bag. 4. |
Tentang
Bupati dan Patih |
Titel VI |
Tentang
Residen dan Asisten Residen diluar daerah Propinsi. |
Bag. 5. |
Tentang
Gubernur, Residen dan Asisten Residen |
|
|
Bab. II. |
Tentang
mencari kejahatan dan pelanggaran. |
|
|
Bag. 1. |
Tentang
pegawai dan pejabat yang diwajibkan mencari kejahatan dan pelanggaran. |
|
|
Bag. 2. |
Tentang
pegawai penuntut Umum pada pengadilan Negeri. |
|
|
Bag. 3. |
Tentang
Jaksa Pembantu. |
|
|
Bag. 4. |
Tentang
kedapatan tengah berbuat. |
|
|
Bag. 5. |
Peraturan-peraturan
lain tentang pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh pegawai penuntut
umum dan Jaksa Pembantu. |
|
|
Bag. 6. |
Tentang
menyudahkan pemeriksaan pendahuluan. |
Dari
perbandingan di atas nampak, bahwa titel (bab) I, II, III, IV, V dan VI diganti
dengan dua titel (bab) saja, yaitu Bab. I dan Bab. II. Adapun titel (bab) VII
dan selanjutnya masih tetap seperti yang lama.
Demikianlah
riwayat singkat H.I.R. atau R.I.B. itu.
[*] Tentang membanding keputusan Pengadilan negeri
dimajukan sekarang pada Pengadilan Tinggi. Soal ini diatur dalam Undang-undang
Darurat No.I/1951 (Lembaran Negara No.9/1951).
* Berhubungan dengan
susunan kejaksaan sekarang maka di dalam prakteknya dilakukan tidak setepat
peraturan ini.
* Pada waktu sekarang hakim
pengadilan negeri tidak lagi ber-anggauta.
* Semenjak tahun 1860
perbudakan sudah tidak ada lagi (ps. 169 I.S.)
* Semenjak tahun 1860 perbudakan sudah tidak ada lagi (ps. 169 I.S.)
* Di dalam praktek penasehat-penasehat
tersebut tidak hadir pada persidangan pengadilan negeri dan oleh karenanya
tidak dilakukan setepat peraturan ini.
* Lihat hal. 142
* Oleh karena pengadilan
negeri sekarang hanya terdiri dari seorang Hakim, maka ayat ini dapat dilakukan
pada pengadilan tinggi atau mahkamah agung.