RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR ...
TAHUN …
TENTANG
HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya;
b. bahwa
untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu diupayakan
pembangunan hukum nasional dalam rangka menciptakan supremasi hukum dengan
mengadakan pembaruan hukum acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu
dengan menempatkan para penegak hukum pada fungsi, tugas, dan wewenangnya;
c. bahwa
pembaruan hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk lebih memberikan
kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan
perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa,
saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum;
d. bahwa
berhubung beberapa konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan hukum
acara pidana telah diratifikasi, maka hukum acara pidana perlu disesuaikan
dengan materi konvensi tersebut;
e. bahwa
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sudah tidak sesuai
dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat
sehingga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan e perlu membentuk
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA
PIDANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mencari kebenaran materiel dengan cara mengumpulkan bukti-bukti
yang dengan bukti tersebut menjadikan terang tindak pidana yang terjadi dan
menentukan tersangkanya.
2.
Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negera
Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri tertentu, atau pejabat lain yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan dalam mencari
kebenaran materiel dengan cara mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti
tersebut menjadikan terang tindak pidana yang terjadi dan menentukan
tersangkanya.
3.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk menentukan suatu perkara tindak pidana dapat dilakukan penuntutan atau
tidak, membuat surat dakwaan, dan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang
berwenang dengan permintaaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.
4.
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan
pengadilan atau penetapan hakim.
5.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan
undang-undang.
6.
Hakim adalah pejabat pengadilan atau pejabat
lain yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini atau undang-undang lain untuk
melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
7.
Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi
wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
8.
Putusan Pengadilan adalah putusan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum yang berupa pemidanaan atau
pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum sesuai dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini.
9.
Upaya Hukum adalah usaha untuk melawan
penetapan hakim atau putusan pengadilan berupa perlawanan, banding, kasasi,
kasasi demi kepentingan hukum, dan peninjauan kembali.
10.
Penasihat Hukum adalah advokat atau orang
lain yang memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.
11.
Tersangka adalah seseorang yang karena bukti
permulaan yang cukup diduga keras melakukan tindak pidana.
12.
Terdakwa adalah seseorang yang dituntut,
diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
13.
Terpidana adalah seseorang yang dijatuhi
pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
14.
Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, kerugian nama baik, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
15.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih penguasaan dan/atau penyimpanan benda bergerak
atau tidak bergerak dan benda berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
16.
Penggeledahan Rumah adalah tindakan penyidik
untuk melaksanakan pemeriksaan,
penyitaan, atau penangkapan dengan memasuki rumah tempat tinggal, tempat
tertutup, atau tempat yang lain.
17.
Penggeledahan Badan adalah tindakan penyidik
untuk melakukan pemeriksaan badan atau tubuh seseorang termasuk rongga
badan untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badan, tubuh, atau
rongga badan, atau yang dibawanya serta.
18.
Penggeledahan Pakaian adalah tindakan penyidik
untuk melakukan pemeriksaan pakaian, baik pakaian yang sedang dipakai
maupun pakaian yang dilepas, untuk mencari benda yang diduga keras berkaitan
dengan tindak pidana.
19.
Tertangkap Tangan adalah tertangkap sedang
melakukan, atau segera sesudah melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian
diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana, atau
apabila padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana atau hasil tindak pidana.
20.
Penangkapan adalah pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti permulaan yang cukup
guna kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
21.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau
terdakwa di tempat tertentu oleh pejabat
yang berwenang melakukan penahanan berdasarkan undang-undang ini.
22.
Ganti Kerugian adalah hak seseorang untuk
mendapatkan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diputus
tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
23.
Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk
mendapatkan pemulihan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta
martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau
diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
24.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan
oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau
diduga akan terjadinya tindak pidana yang diberikan hak atau kewajiban
berdasarkan undang-undang.
25.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai
permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk
menuntut menurut hukum terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana
aduan yang merugikannya.
26.
Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri,
atau didengar sendiri.
27.
Ahli adalah seseorang yang mempunyai keahlian
di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
28.
Satu hari adalah 24 (dua puluh empat) jam.
29.
Satu bulan adalah 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 2
Acara pidana dijalankan hanya berdasarkan
tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 3
(1) Ruang
lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara
peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
(2) Ketentuan
dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang
di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali undang-undang tersebut
menentukan lain.
Pasal 4
Acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang
ini dilaksanakan secara wajar dan perpaduan antara sistem hakim aktif dan para
pihak berlawanan secara berimbang.
Pasal 5
(1)
Setiap Korban harus diberikan penjelasan
mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua
tingkat peradilan.
(2)
Dalam keadaan tertentu, penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarga atau ahli
warisnya.
BAB II
PENYIDIK DAN PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Penyidik
Pasal 6
Penyidik adalah:
a. pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. pejabat
pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang
diberi wewenang untuk melakukan penyidikan; dan
c. pejabat
suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan.
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf a mempunyai tugas dan wewenang:
a. menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya tindak pidana;
b. melakukan
tindakan pertama seketika di tempat kejadian;
c. menyuruh
berhenti seseorang dan memeriksa surat atau tanda pengenal diri yang
bersangkutan;
d. melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan penyadapan;
e. mengambil
sidik jari dan memotret seseorang;
f.
memanggil orang untuk diperiksa sebagai
tersangka atau diminta keterangan sebagai saksi;
g. mendengarkan
keterangan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. melakukan
penghentian penyidikan;
i.
melakukan pengamatan secara diam-diam terhadap
suatu tindak pidana; dan
j.
melakukan tindakan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b dan huruf c karena kewajibannya mempunyai wewenang berdasarkan undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf b dalam melaksanakan upaya paksa, dapat meminta
bantuan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan
koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 8
(1) Dalam melakukan penyidikan, penyidik
berkoordinasi dengan penuntut umum.
(2) Penyidik membuat berita acara tentang
pelaksanaan tindakan yang diperlukan dalam penyelesaian perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 109 sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(3) Penyidik
menyerahkan berkas perkara yang lengkap kepada penuntut umum.
Pasal 9
Penyidik berwenang melaksanakan
tugas di seluruh wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyidikan
Pasal 11
(1)
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan,
atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana dalam waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak mengetahui,
menerima laporan, atau pengaduan tersebut wajib melakukan tindakan penyidikan
yang diperlukan.
(2)
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat
memanggil atau mendatangi seseorang untuk memperoleh keterangan tanpa
sebelumnya memberi status orang tersebut sebagai tersangka atau saksi.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang mengalami, melihat,
menyaksikan, atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik secara lisan maupun
secara tertulis.
(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum,
jiwa, atau hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyidik.
(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka
melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak
pidana, wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada penyidik dalam waktu paling
lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut.
(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
tertulis kepada penyidik harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(5) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara
lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
dan penyidik.
(6) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak bisa
baca tulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau
pengaduan tersebut.
(7) Setelah
menerima laporan atau pengaduan, penyidik harus memberikan surat tanda
penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
(8) Dalam hal penyidik tidak menanggapi laporan
atau pengaduan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka pelapor atau
pengadu dapat mengajukan laporan atau pengaduan itu kepada penuntut umum
setempat.
(9) Penuntut umum wajib mempelajari laporan atau
pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan jika cukup alasan dan bukti
permulaan adanya tindak pidana, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari wajib
meminta kepada penyidik untuk melakukan penyidikan dan menunjukkan tindak
pidana apa yang dapat disangkakan dan pasal tertentu dalam undang-undang.
(10) Jika penuntut umum berpendapat tidak ada
alasan atau perbuatan yang dilaporkan atau diadukan bukan tindak pidana, maka
penuntut umum dapat memberi saran kepada pelapor atau pengadu untuk menempuh
jalur hukum lain.
(11) Jika
penyidik dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah menerima permintaan
untuk mulai melakukan penyidikan dari penuntut umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (9) tidak melakukan penyidikan, maka pelapor atau pengadu dapat memohon
kepada penuntut umum untuk melakukan pemeriksaan dan penuntutan.
(12) Turunan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (11) penuntut umum wajib menyampaikan kepada penyidik.
Pasal 13
(1) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan
penyidikan suatu peristiwa yang diduga keras merupakan tindak pidana, penyidik
memberitahukan tentang dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum
dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak dimulainya penyidikan.
(2) Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik
berkoordinasi, berkonsultasi, dan meminta petunjuk kepada penuntut umum agar kelengkapan
berkas perkara dapat segera dipenuhi baik formil maupun materiel.
Pasal 14
Dalam hal penyidik menemukan bahwa perkara
yang ditangani tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa yang disidik ternyata
bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, penyidik
dengan persetujuan penuntut umum menghentikan penyidikan dengan memberitahukan
penghentian penyidikan tersebut dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung
sejak tanggal penghentian penyidikan kepada penuntut umum, tersangka, pelapor,
korban, atau keluarganya.
Pasal 15
(1) Dalam
hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan oleh penyidik
dikonsultasikan kepada penuntut umum kemudian dilakukan pemberkasan perkara.
(2) Setelah berkas perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinyatakan lengkap oleh penuntut umum, penyidik menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikan rangkap 2 (dua) beserta tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
(3) Penyidik atas permintaan penuntut umum melaksanakan
tindakan hukum tertentu untuk memperlancar pelaksanaan sidang di pengadilan
atau melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 16
(1) Dalam hal tertangkap tangan:
a. setiap
orang dapat menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti
kepada penyidik; dan
b. setiap
orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman, dan
keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa
barang bukti kepada penyidik.
(2) Setelah menerima penyerahan tersangka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dalam waktu paling lambat 1 (satu)
hari terhitung sejak diterimanya penyerahan tersangka wajib melakukan
pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
(3) Penyidik yang telah menerima laporan
tersebut datang ke tempat kejadian dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari
terhitung sejak menerima laporan dan dapat melarang setiap orang untuk
meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai.
(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan untuk
tidak meninggalkan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipaksa
tinggal di tempat kejadian sampai pemeriksaan selesai.
Pasal 17
(1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan
berwenang memanggil tersangka dan/atau saksi untuk diperiksa.
(2) Pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang
waktu yang wajar dan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas.
(3) Tersangka dan/atau saksi yang dipanggil
wajib datang di hadapan penyidik.
(4) Dalam
hal tersangka dan/atau saksi tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi
dengan meminta bantuan kepada pejabat yang berwenang untuk membawa tersangka
dan/atau saksi kepada penyidik.
Pasal 18
(1) Jika tersangka atau saksi yang dipanggil
tidak datang dengan memberi alasan yang sah dan patut kepada penyidik yang
melakukan pemeriksaan, penyidik tersebut datang ke tempat kediamannya untuk
melakukan pemeriksaan.
(2) Jika
dikhawatirkan tersangka dan/atau saksi menghindar dari pemeriksaan, penyidik
dapat langsung mendatangi kediaman tersangka dan/atau saksi tanpa terlebih
dahulu dilakukan pemanggilan.
Pasal 19
Sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik
terhadap tersangka yang melakukan suatu tindak pidana, penyidik wajib
memberitahukan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum
dan wajib didampingi oleh penasihat hukum dalam perkara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 ayat (1).
Pasal 20
Dalam hal penyidik sedang melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya
pemeriksaan dengan melihat dan mendengar pemeriksaan.
Pasal 21
(1) Penyidik memeriksa saksi dengan tidak
disumpah, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa saksi tidak
akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Penyidik memeriksa saksi secara tersendiri,
tetapi dapat dipertemukan yang satu dengan yang lain dan wajib memberikan
keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam pemeriksaan tersangka yang menghendaki
didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya maka hal tersebut dicatat
dalam berita acara pemeriksaan.
(4) Penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi
yang dapat menguntungkan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 22
(1) Dalam
memberikan penjelasan atau keterangan pada tingkat penyidikan, tersangka
diberitahukan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1).
(2) Keterangan saksi kepada penyidik diberikan
tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun.
(3) Penyidik mencatat keterangan tersangka
secara teliti sesuai dengan yang dikatakannya dalam pemeriksaan dan dimuat dalam
berita acara pemeriksaan.
(4) Apabila keterangan tersangka tidak
menggunakan bahasa Indonesia, keterangannya harus diterjemahkan.
(5) Terjemahan keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) harus dilampirkan pada berkas perkara.
Pasal 23
(1) Keterangan tersangka dan/atau saksi dicatat
dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh penyidik, tersangka,
dan/atau saksi setelah membaca dan mengerti isinya.
(2) Dalam hal tersangka dan/atau saksi tidak
bersedia membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal tersebut dalam
berita acara pemeriksaan dengan menyebut alasannya.
Pasal 24
Dalam hal tersangka dan/atau saksi yang harus
didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik
yang melakukan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan/atau saksi dapat
dilimpahkan kepada penyidik di tempat kejadian atau tempat tinggal tersangka
dan/atau saksi tersebut.
Pasal 25
(1) Dalam hal
penyidik menganggap perlu, penyidik dapat meminta pendapat ahli.
(2) Sebelum
memberikan keterangan, ahli mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik
untuk memberikan keterangan menurut pengetahuannya dengan sebaik-baiknya.
(3) Jika ahli
yang karena harkat dan martabat, pekerjaan, atau jabatan diwajibkan menyimpan
rahasia, maka ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 26
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari membuat berita acara pemeriksaan yang
diberi tanggal dan memuat tindak pidana dengan menyebut waktu, tempat, dan keadaan
pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal tersangka dan/atau
saksi, keterangan, catatan mengenai akta atau benda, serta segala sesuatu yang
dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal 27
Dalam hal tersangka ditahan, dalam waktu 1
(satu) hari setelah perintah penahanan tersebut dijalankan, tersangka harus
mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 28
(1) Tersangka, keluarga, atau penasihat hukum
dapat mengajukan perlawanan atas penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan
penahanan.
(2) Penyidik dapat mengabulkan permintaan
pengajuan perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka tetap ditahan atau tetap ada dalam
tahanan.
(3) Apabila dalam waktu 3 (tiga) hari permintaan
tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga, atau penasihat
hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4) Atasan penyidik
dapat mengabulkan permintaan pengajuan perlawanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dengan mempertimbangkan perlu atau tidak tersangka tetap ditahan atau
tetap berada dalam tahanan.
(5) Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dapat mengabulkan permintaan dengan
atau tanpa syarat.
Pasal 29
(1) Dalam hal
penyidik melakukan penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal, maka penyidik
terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya dan surat izin penggeledahan dari
hakim komisaris kepada tersangka atau salah satu keluarganya dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, dan Pasal 72.
(2) Dalam
keadaan yang sangat mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3), penyidik
dapat melakukan penggeledahan tanpa surat izin penggeledahan dari hakim komisaris.
(3) Penggeledahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada hakim komisaris
dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah dilakukan
penggeledahan.
Pasal 30
(1) Penyidik membuat berita acara tentang
jalannya hasil penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
(2) Penyidik lebih dahulu membacakan berita
acara penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal kepada tersangka,
kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik, tersangka dan salah
satu keluarganya atau kepala desa atau kelurahan atau nama lainnya, atau ketua
rukun tetangga dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak
bersedia membubuhkan tanda tangannya maka hal tersebut dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 31
(1) Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan
rumah, bangunan tertutup, atau kapal, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau
penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Penyidik berhak memerintahkan setiap orang
yang dianggap perlu untuk tidak meninggalkan tempat tersebut selama
penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berlangsung.
Pasal 32
(1) Dalam hal
penyidik melakukan penyitaan, penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya
dan surat izin penyitaan dari hakim komisaris kepada pemilik atau pihak yang
menguasai benda tersebut.
(2) Penyidik
dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin penyitaan dari hakim komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3).
(3) Penyitaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan kepada hakim komisaris
dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah dilakukan penyitaan.
Pasal 33
(1) Penyidik menjelaskan barang yang akan disita
kepada pemilik atau pihak yang menguasai benda tersebut dan dapat meminta
keterangan tentang benda yang akan disita tersebut dengan disaksikan oleh
kepala desa atau nama lainnya, atau ketua rukun tetangga dengan 2 (dua) orang
saksi.
(2) Penyidik
membuat berita acara penyitaan yang kemudian dibacakan kepada pemilik atau
pihak yang menguasai benda atau keluarganya dengan diberi tanggal dan
ditandatangani oleh penyidik, pemilik atau pihak yang menguasai benda, dan
kepala desa atau nama lainnya atau ketua rukun tetangga dengan 2 (dua) orang
saksi.
(3) Dalam hal pemilik atau pihak yang menguasai
benda tidak bersedia membubuhkan tandatangannya, maka hal tersebut dicatat
dalam berita acara penyitaan dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan atau salinan berita acara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, hakim
komisaris melalui penuntut umum, pemilik, atau pihak yang menguasai benda
sitaan dan kepada kepala desa atau nama lain.
Pasal 34
(1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat
mengenai berat dan/atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri atau sifat
khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, dan identitas pemilik atau pihak yang
menguasai benda yang disita, yang kemudian diberi lak dan cap jabatan yang
ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin
dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang
ditulis di atas label dan ditempelkan atau dikaitkan pada benda sitaan.
Pasal 35
(1) Dalam
hal terdapat dugaan yang kuat bahwa untuk pengungkapan suatu tindak pidana,
data yang diperlukan dapat diperoleh dari surat, buku, atau data tertulis yang
lain yang belum disita, penyidik melakukan penggeledahan, dan jika perlu dapat
melakukan penyitaan atas surat, buku, atau data tertulis yang lain tersebut.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 36
(1) Apabila berdasarkan pengaduan yang diterima
terdapat surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik,
untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat meminta keterangan mengenai hal
itu kepada ahli.
(2) Dalam hal timbul dugaan kuat terdapat surat
atau tulisan palsu atau dipalsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan
negeri setempat dapat datang atau dapat meminta pejabat penyimpan umum untuk
mengirimkan surat asli yang disimpannya sebagai bahan perbandingan.
(3) Pejabat penyimpan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib memenuhi permintaan penyidik.
(4) Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu
untuk pemeriksaan menjadi bagian dan tidak dapat dipisahkan dari daftar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, penyidik dapat meminta daftar tersebut
seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan
kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(5) Dalam hal surat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan
sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali dan di bagian
bawah dari salinan tersebut diberi catatan mengapa salinan tersebut dibuat.
(6) Dalam hal surat atau daftar itu tidak
dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan tanpa alasan yang
sah, penyidik berwenang mengambilnya.
Pasal 37
(1) Dalam hal Penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani korban luka, keracunan, atau mati yang diduga akibat
peristiwa tindak pidana, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara
tegas untuk pemeriksaan luka, keracunan, mayat, dan/atau bedah mayat.
(3) Dalam hal korban mati, mayat dikirim kepada
ahli kedokteran kehakiman dan/atau dokter pada rumah sakit dengan memperlakukan
mayat tersebut secara baik dengan penuh penghormatan dan diberi label yang
dilak dan diberi cap jabatan yang memuat identitas mayat dan dilekatkan pada
ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 38
(1) Dalam hal untuk keperluan pembuktian sangat
diperlukan pembedahan mayat yang tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
terlebih dahulu memberitahukan pembedahan mayat tersebut kepada keluarga
korban.
(2) Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik
wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukannya pembedahan mayat tersebut.
(3) Apabila dalam waktu 2 (dua) hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga, atau pihak yang perlu diberitahukan tidak
ditemukan, penyidik dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 ayat (3).
(4) Dalam hal
keluarga korban keberatan terhadap
pembedahan mayat, penyidik dapat
meminta wewenang dari hakim komisaris
untuk melaksanakan pembedahan mayat.
Pasal 39
Dalam hal untuk kepentingan peradilan penyidik perlu melakukan penggalian mayat,
kepentingan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (1).
Perlindungan
Pelapor, Pengadu, Saksi, dan Korban
(1) Setiap
pelapor atau pengadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), setiap orang
atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dan setiap pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) wajib memperoleh
perlindungan hukum, berupa perlindungan fisik dan nonfisik.
(2) Perlindungan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga dalam proses penuntutan dan proses pemeriksaan di sidang
pengadilan.
(3) Jika
diperlukan, perlindungan hukum dapat dilakukan secara khusus dan tanpa batas
waktu.
(4) Tata cara
pemberian perlindungan hukum dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang
yang berlaku.
Pasal 41
Semua biaya yang dikeluarkan untuk
kepentingan penyidikan dan perlindungan
pelapor, pengadu, saksi, atau korban sebagaimana dimaksud dalam Bab II
dibebankan pada negara.
BAB III
PENUNTUT UMUM DAN PENUNTUTAN
Bagian Kesatu
Penuntut Umum
(1) Penuntut umum mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan koordinasi dan memberikan
konsultasi pelaksanaan penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik;
b. menyampaikan surat permohonan kepada hakim komisaris untuk melakukan penggeledahan,
penyadapan, dan langkah-langkah yang lain;
c. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
d. memberi persetujuan atas penahanan yang
melebihi 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam yang dilakukan oleh penyidik;
e. meminta penandatanganan surat perintah
penahanan kepada hakim komisaris;
f. meminta penandatanganan surat perintah
penahanan kepada hakim pengadilan negeri
yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri;
g. mengajukan permintaan penangguhan penahanan
kepada hakim komisaris atau kepada hakim
pengadilan negeri;
h. membuat surat
dakwaan dan membacakannya kepada terdakwa;
i. melimpahkan
perkara dan melakukan penuntutan ke
pengadilan;
j. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa
tentang ketentuan waktu dan tempat perkara disidangkan dan disertai surat
panggilan kepada terdakwa dan kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
k. melaksanakan penetapan dan/atau putusan hakim komisaris, hakim pengadilan negeri,
hakim pengadilan tinggi, atau hakim Mahkamah Agung; dan
l. melakukan
tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Penuntut umum juga berwenang demi kepentingan
umum dan/atau dengan alasan tertentu menghentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa
syarat.
(3) Kewenangan penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilaksanakan jika:
a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;
b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat
tahun);
c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam
dengan pidana denda;
d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak
pidana di atas 70 (tujuh puluh) tahun; dan/atau
e. kerugian sudah diganti.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf d dan huruf e hanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Dalam hal penuntut umum menghentikan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penuntut umum wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada kepala kejaksaan tinggi setempat melalui kepala
kejaksaan negeri setiap bulan.
(1) Penuntut
umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut
ketentuan dalam undang-undang.
(2) Dalam hal
tertentu, penuntut umum dapat menuntut
perkara tindak pidana di luar daerah hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 44
(1) Penuntut
umum dapat mengajukan suatu perkara kepada hakim komisaris untuk diputus layak atau tidak
layak untuk dilakukan penuntutan ke
pengadilan.
(2) Sebelum
memberi putusan tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan, hakim komisaris dapat memeriksa tersangka dan
saksi serta mendengar konklusi penuntut
umum.
(3) Putusan hakim
komisaris tentang layak atau tidak layak suatu perkara dilakukan penuntutan ke pengadilan adalah putusan
pertama dan terakhir.
(4) Apabila hakim
komisaris memutus suatu perkara tidak layak dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka penuntut umum mengeluarkan surat perintah
penghentian penuntutan.
(5) Apabila penuntut umum menemukan bukti baru atas
perkara tersebut, penuntut umum meminta kepada hakim komisaris agar diputuskan penuntutan dapat dilanjutkan.
Bagian Kedua
Penuntutan
Pasal 45
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan
terhadap terdakwa dalam daerah hukumnya dan melimpahkan perkara ke pengadilan
negeri yang berwenang mengadili.
Pasal 46
(1)
Apabila
berkas perkara hasil penyidikan dinilai
telah lengkap, penuntut umum
mengeluarkan surat keterangan bahwa berkas perkara telah lengkap.
(2)
Berkas
perkara yang dinyatakan telah lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
beserta tersangka dan barang bukti diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum.
(3)
Apabila penuntut umum masih menemukan kekurangan dalam
berkas perkara, penuntut umum dapat
meminta penyidik untuk melakukan penyidikan tambahan dengan memberikan petunjuk
langsung atau melakukan penyidikan tambahan.
(4)
Dalam
pemeriksaan perkara selanjutnya, apabila diperlukan tindakan hukum tertentu
untuk memperlancar pelaksanaan sidang di pengadilan atau melaksanakan penetapan hakim, penuntut umum dapat melakukan tindakan hukum
sendiri atau meminta penyidik untuk
melaksanakannya.
Setelah penuntut umum menerima berkas perkara hasil penyidikan
yang lengkap dari penyidik, dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal menerima
berkas perkara hasil penyidikan, penuntut umum menentukan berkas perkara
tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat dilimpahkan atau tidak
dilimpahkan ke pengadilan.
(1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa
dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari terhitung sejak tanggal menerima berkas hasil penyidikan, penuntut umum membuat surat dakwaan.
(2) Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat
ketetapan.
(3) Isi surat ketetapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberitahukan kepada tersangka dan apabila tersangka ditahan,
tersangka harus dibebaskan dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari terhitung
sejak pemberitahuan.
(4) Turunan atau salinan surat ketetapan
tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum,
pejabat rumah tahanan negara, penyidik, hakim, dan pihak ketiga yang berkepentingan.
(5) Dalam hal penghentian penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti
atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di kemudian hari ternyata
terdapat alasan baru, penuntut umum
dapat melakukan penuntutan kembali
terhadap tersangka.
Pasal 49
(1) Apabila pada
waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima beberapa perkara, penuntut umum dapat melakukan
penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, dalam hal :
a. beberapa tindak pidana dilakukan oleh seorang
yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap
penggabungannya;
b. beberapa tindak pidana bersangkut paut satu
dengan yang lain; atau
c. beberapa
tindak pidana ada hubungannya satu dengan yang lain dan
penggabungan tersebut diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.
(2) Beberapa
tindak pidana dapat dituntut dalam satu surat dakwaan tanpa memperhatikan apakah merupakan suatu
gabungan dari pidana umum atau khusus atau ditetapkan oleh undang-undang khusus
sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1), kecuali dalam kompetensi pengadilan
khusus.
(3) Penuntut
umum dapat menuntut dua atau lebih Terdakwa dalam satu surat dakwaan apabila
Terdakwa melakukan tindak pidana penyertaan.
Pasal 50
(1) Penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut umum
membuat surat dakwaan yang berisi :
a. tanggal penandatanganan, nama lengkap, tempat
lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas, dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana dilakukan;
c. pasal peraturan
perundang-undangan yang dilanggar; dan
d. tanda tangan penuntut umum.
(3) Apabila surat dakwaan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkas perkara dikembalikan kepada
penuntut umum untuk diperbaiki.
(4) Surat dakwaan
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b batal
demi hukum.
(5) Turunan atau salinan surat pelimpahan
perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya,
penasihat hukum, dan penyidik, pada saat
yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke
pengadilan negeri.
Pasal 51
(1)
Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan
sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, dengan tujuan untuk menyempurnakan
atau untuk tidak melanjutkan penuntutannya.
(2)
Pengubahan untuk menyempurnakan surat dakwaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan hanya 1 (satu) kali dan
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sebelum tanggal sidang dimulai.
(3)
Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, maka penuntut umum menyampaikan turunan atau
salinannya kepada terdakwa atau kuasanya, penasihat hukum, dan penyidik.
Pasal 52
Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika tindak
pidana yang dituntut memenuhi salah satu alasan sebagai berikut:
a.
ne bis in idem;
b.
apabila tersangka meninggal dunia;
c.
sudah lewat waktu;
d.
tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan;
e.
undang-undang atau pasal yang menjadi dasar
tuntutan sudah dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku berdasarkan
putusan pengadilan;
f.
bukan tindak pidana; atau
g.
terdakwa masih di bawah umur 8 (delapan)
tahun pada waktu melakukan tindak pidana.
Semua biaya yang dikeluarkan untuk
kepentingan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Bab III dibebankan pada negara.
BAB IV
PENANGKAPAN, PENAHANAN,
PENGGELEDAHAN BADAN,
PEMASUKAN RUMAH, PENYITAAN,
DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 54
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 55
Perintah penangkapan dilakukan terhadap
seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan
yang cukup.
Pasal 56
(1)
Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas
kepada tersangka.
(2)
Selain memperlihatkan surat tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyidik
memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan:
a.
identitas tersangka;
b.
alasan penangkapan;
c.
uraian singkat perkara tindak pidana yang
dipersangkakan; dan
d.
tempat tersangka diperiksa.
(3) Apabila tersangka tertangkap tangan,
penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.
(4) Dalam waktu paling lama 1 (satu) hari
tehitung sejak penangkapan, tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
berikut barang bukti harus diserahkan kepada penyidik.
(5)
Dalam waktu paling lama 1 (satu) hari
terhitung sejak penangkapan, penyidik
harus memberikan tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kepada keluarga tersangka atau walinya atau orang yang ditunjuk oleh
tersangka.
Pasal 57
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54, dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.
(2) Tersangka tindak pidana yang diancam dengan
pidana denda tidak dikenakan penangkapan, kecuali tersangka telah dipanggil
secara sah 2 (dua) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan
yang sah.
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 58
(1)
Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan, penyidik berwenang melakukan
penahanan terhadap tersangka.
(2)
Jika jaksa yang melakukan penahanan dalam tahap penyidikan, persetujuan penahanan yang
melebihi 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam menjadi 5 x 24 (lima kali dua
puluh empat jam) diberikan oleh:
a. kepala kejaksaan
negeri dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan negeri;
b. kepala kejaksaan
tinggi dalam hal penahanan dilakukan oleh kejaksaan tinggi; atau
c. Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung dalam
hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
(3)
Untuk kepentingan pemeriksaan pada tahap penyidikan,
hakim komisaris atas permintaan penyidik
melalui penuntut umum berwenang
memberikan persetujuan perpanjangan penahanan terhadap tersangka.
(4)
Untuk kepentingan pada tahap penuntutan, hakim pengadilan negeri atas
permintaan penuntut umum berwenang
memberikan persetujuan penahanan terhadap terdakwa.
(5)
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
hakim yang menangani perkara tersebut berwenang melakukan penahanan terhadap
terdakwa.
Pasal 59
(1)
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 hanya dapat
dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan atau penetapan hakim terhadap
tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan
atau pemberian bantuan terhadap tindak pidana yang
a. diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
b. ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 284, Pasal 296, Pasal 351
ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453,
Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
(2)
Terhadap tersangka atau terdakwa yang tidak
mempunyai tempat tinggal tetap, dapat dilakukan penahanan meskipun tidak
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Surat perintah penahanan atau penetapan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mencantumkan :
a. identitas tersangka atau terdakwa;
b. alasan penahanan;
c. uraian singkat perkara tindak pidana yang
dipersangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat tersangka atau terdakwa ditahan.
(4) Dalam waktu paling lama 1 (satu) hari
terhitung sejak penahanan, tembusan surat perintah penahanan atau penetapan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberikan kepada :
a. keluarga
atau wali tersangka atau terdakwa;
b. lurah
atau kepala desa atau nama lainnya tempat tersangka atau terdakwa ditangkap;
c. orang
yang ditunjuk oleh tersangka atau terdakwa; dan/atau
d. komandan
kesatuan tersangka atau terdakwa, dalam hal tersangka atau terdakwa yang
ditahan adalah anggota Tentara Nasional Indonesia karena melakukan tindak
pidana umum.
(5) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58, dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup dan ada kekhawatiran tersangka atau
terdakwa akan :
a. melarikan
diri;
b. merusak
dan menghilangkan alat bukti dan/atau barang bukti;
c. mempengaruhi
saksi;
d. melakukan
ulang tindak pidana;
e. untuk
kepentingan keselamatan tersangka atau terdakwa dengan persetujuannya.
Pasal 60
(1)
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan untuk waktu
paling lama 5 (lima) hari.
(2)
Dalam jangka waktu penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyidik
bersama-sama dengan penuntut umum
menghadapkan tersangka yang dapat didampingi penasihat hukum kepada hakim komisaris.
(3) Hakim
komisaris memberitahu tersangka mengenai:
a. tindak
pidana yang disangkakan terhadap tersangka;
b. hak-hak
tersangka; dan
c. perpanjangan
penahanan.
(4) Hakim komisaris menentukan perpanjangan
penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c diperlukan atau tidak.
(5) Dalam hal hakim komisaris berpendapat perlu perpanjangan
penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, perpanjangan penahanan
diberikan untuk waktu paling lama 25 (dua puluh lima) hari.
(6) Dalam hal hakim komisaris melakukan perpanjangan
penahanan, hakim komisaris
memberitahukannya kepada tersangka.
(7) Dalam hal masih diperlukan waktu penahanan
untuk kepentingan penyidikan dan/atau penuntutan, hakim pengadilan negeri berwenang
melakukan penahanan atas permintaan penuntut umum, untuk waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari.
(8) Waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) atas permintaan penuntut umum
dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal masih
diperlukan dapat diberikan perpanjang lagi untuk waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.
(9) Apabila jangka waktu perpanjangan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terlampaui, penyidik dan/atau penuntut umum harus mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
Pasal 61
(1) Hakim
pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4) berwenang mengeluarkan
penetapan penahanan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, jangka waktu
penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Perpanjangan jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diperpanjang 1 (satu) kali lagi oleh ketua pengadilan negeri untuk paling
lama 30 (tiga puluh) hari.
(4) Apabila
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi, terdakwa dapat dikeluarkan dari
tahanan sebelum berakhir waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3).
(5) Apabila
jangka waktu perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) terlampaui, walaupun perkara belum diputus, hakim harus mengeluarkan
terdakwa dari tahanan demi hukum.
Pasal 62
(1) Hakim pengadilan tinggi yang mengadili
perkara guna kepentingan pemeriksaan perkara banding berwenang mengeluarkan
penetapan penahanan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan
untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Apabila kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi, terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Apabila jangka waktu perpanjangan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, walaupun perkara belum diputus,
hakim harus mengeluarkan terdakwa dari tahanan demi hukum.
Pasal 63
(1) Hakim Agung yang mengadili perkara guna
kepentingan pemeriksaan perkara kasasi berwenang mengeluarkan penetapan penahanan untuk paling lama 30
(tiga puluh) hari.
(2) Apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama 60
(enam puluh) hari.
(3) Apabila kepentingan pemeriksaan sudah
terpenuhi, terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Apabila jangka waktu perpanjangan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, walaupun perkara belum diputus,
hakim harus mengeluarkan terdakwa dari tahanan demi hukum.
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58 berupa penahanan dalam Rumah Tahanan Negara.
(2) Masa penangkapan dan/atau penahanan
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 65
(1) Apabila penahanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ternyata tidak sah berdasarkan penetapan atau putusan hakim komisaris, tersangka berhak mendapat
ganti kerugian.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata
cara untuk mendapatkan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
Lamanya tersangka atau terdakwa dalam tahanan
tidak boleh melebihi ancaman pidana maksimum.
Pasal 67
(1)
Atas permintaan tersangka atau terdakwa,
sesuai dengan kewenangannya, hakim
komisaris, atau hakim pengadilan negeri dapat menangguhkan penahanan dengan
jaminan uang dan/atau orang.
(2)
Hakim komisaris, atau hakim, sewaktu-waktu
atas permintaan penuntut umum, dapat
mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar
syarat penangguhan penahanan yang ditentukan.
(3)
Terhadap penangguhan penahanan oleh hakim pengadilan negeri pada tahap pemeriksaan di
sidang pengadilan, penuntut umum dapat
mengajukan keberatan perlawanan kepada Ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal penuntut umum mengajukan keberatan perlawanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdakwa tetap dalam tahanan sampai dengan
diterimanya penetapan Ketua pengadilan
negeri.
(5) Apabila Ketua pengadilan negeri menerima perlawanan penuntut umum, maka dalam waktu 1 (satu) hari
terhitung sesudah penetapan Ketua
pengadilan negeri, hakim pengadilan negeri wajib mengeluarkan surat
perintah penahanan kembali.
(6) Masa
antara penangguhan penahanan dan penahanan kembali tidak dihitung sebagai masa
penahanan.
(7)
Apabila pada masa
penahanan tersangka atau terdakwa karena sakit dirawat oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim, masa penahanannya tetap dihitung.
(8) Apabila pada masa penahanan tersangka atau
terdakwa karena sakit dirawat sendiri oleh keluarganya, masa penahanannya tidak
dihitung.
(9)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, tata
cara, dan pengawasan penangguhan penahanan dan pembantaran tersangka atau
terdakwa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Penggeledahan
Pasal 68
(1)
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah,
bangunan tertutup, kapal, badan, dan/atau pakaian.
(2) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilakukan antara pukul 06.00 sampai dengan pukul 22.00,
kecuali dalam keadaan mendesak.
Pasal 69
(1) Dalam hal
penggeledahan rumah, bangunan tertutup, atau kapal, penyidik harus mendapat izin hakim komisaris berdasarkan permohonan melalui
penuntut umum.
(2) Permohonan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai uraian mengenai lokasi
yang akan digeledah dan dasar atau fakta yang dipercaya bahwa dalam lokasi
tersebut terdapat benda atau alat bukti yang terkait dengan tindak pidana yang
bersangkutan dan melakukan penyitaan jika terbukti terdapat benda atau alat
bukti yang dapat disita.
(3)
Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa
surat izin dari hakim komisaris.
(4)
Dalam melakukan penggeledahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), penyidik hanya
dapat memeriksa dan/atau menyita surat, buku, tulisan lain, dan benda yang
berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan.
(5) Penggeledahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilaporkan kepada hakim komisaris melalui penuntut umum dalam waktu paling lama 1 (satu)
hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggeledahan, untuk mendapatkan
persetujuan hakim komisaris.
Pasal 70
(1) Penyidik
wajib menunjukkan surat tugas dan surat izin penggeledahan dari hakim komisaris dalam melakukan penggeledahan
rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69.
(2) Jika penyidik melakukan penggeledahan dengan
memasuki rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggeledahan harus
disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(3) Dalam hal
tersangka atau penghuni menolak atau tidak berada di tempat, jika memasuki
rumah, penyidik harus disaksikan oleh
kepala desa atau nama lainnya atau ketua lingkungan dan 2 (dua) orang saksi.
(4) Penyidik
harus membuat Berita Acara penggeledahan rumah yang ditandatangani oleh penyidik, saksi, dan pemilik atau penghuni
rumah atau kepala desa atau nama lainnya atau ketua lingkungan.
(5) Dalam hal pemilik atau penghuni rumah
menolak atau tidak berada di tempat, Berita Acara sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditandatangani oleh penyidik,
saksi, dan kepala desa atau nama lainnya atau ketua lingkungan.
(6) Dalam waktu paling lama 2 (dua) hari
terhitung sejak tanggal penggeledahan rumah, penyidik memberikan tembusan Berita Acara
kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan dan kepada hakim komisaris.
Pasal 71
Kecuali dalam hal tertangkap
tangan, penyidik tidak boleh melakukan
tindakan kepolisian pada:
a. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung
ibadah dan/atau upacara keagamaan; dan
c. ruang yang di dalamnya sedang berlangsung
sidang pengadilan.
(1) Apabila penyidik harus melakukan penggeledahan rumah
di luar daerah hukumnya, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh hakim komisaris dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum tempat
penggeledahan tersebut dilakukan.
(2) Penggeledahan
rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
(1) Dalam
hal tertangkap tangan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas
ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum berwenang menggeledah pakaian termasuk
benda yang dibawa serta oleh tersangka.
(2) Apabila
tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian
dan/atau menggeledah badan tersangka.
Bagian Keempat
Penyitaan
Pasal 74
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penyitaan.
Pasal 75
(1)
Penyitaan harus mendapat izin hakim komisaris berdasarkan permohonan melalui
penuntut umum.
(2)
Penyidik wajib menunjukkan surat perintah
penyitaan dan surat izin penyitaan dari hakim komisaris.
(3)
Dalam keadaan mendesak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2), penyidik dapat
melakukan penyitaan tanpa surat izin dari hakim komisaris.
(4)
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus dilaporkan kepada hakim komisaris
melalui penuntut umum dalam jangka waktu
paling lama 1(satu) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penyitaan, untuk
mendapat persetujuan hakim komisaris.
(5)
Dalam hal hakim komisaris menolak memberikan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), barang yang disita harus segera
dikembalikan kepada pemilik atau pihak yang menguasai semula.
(6)
Penyitaan harus disaksikan oleh 2 (dua) orang
saksi.
(7)
Dalam hal pemilik atau pihak yang menguasai
benda yang disita tidak berada di tempat, penyitaan harus disaksikan oleh
kepala desa/lurah atau nama lainnya atau ketua rukun tetangga dengan 2 (dua)
orang saksi.
(8) Penyidik
harus membuat Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik, saksi, pemilik atau pihak yang
menguasai benda yang disita.
(9) Dalam
hal pemilik atau pihak yang menguasai benda yang disita tidak berada di tempat,
Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditandatangani oleh penyidik, saksi, dan kepala desa atau dengan
nama lainnya atau ketua lingkungan.
(10) Dalam
waktu paling lama 2 (dua) hari tehitung sejak penyitaan, penyidik memberikan turunan (salinan) Berita
Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada pemilik atau pihak yang
menguasai benda dan kepada hakim
komisaris.
Pasal 76
(1)
Benda yang dapat disita adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa
yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung
untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk
menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan
melakukan tindak pidana;
e. benda yang tercipta dari suatu tindak pidana;
dan/atau
f. benda lain yang mempunyai hubungan langsung
dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena
perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 77
(1)
Penyidik berwenang menyita paket, surat, atau
benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan melalui kantor pos,
perusahaan telekomunikasi, atau perusahaan pengangkutan, sepanjang paket,
surat, atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal
darinya.
(2)
Penyidik harus memberi tanda terima penyitaan
paket, surat, atau benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada tersangka
atau pejabat kantor pos, perusahaan telekomunikasi, atau perusahaan
pengangkutan yang bersangkutan.
Pasal 78
(1) Penyidik
berwenang memerintahkan orang yang menguasai benda yang dapat disita untuk
menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan.
(2) Penyidik
harus membuat Berita Acara Penyerahan benda sitaan yang ditandatangani oleh penyidik, saksi, atau pihak yang menguasai
benda yang disita.
(3) Penyidik harus memberi tanda terima dan
tembusan Berita Acara penyerahan benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada orang yang menyerahkan benda tersebut.
(4) Surat
atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik, jika surat atau tulisan tersebut
berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 79
Penyitaan surat atau tulisan lain dari
pejabat atau seseorang yang mempunyai kewajiban menurut undang-undang untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan pejabat atau seseorang tersebut atau atas izin
khusus Hakim Komisaris setempat, kecuali
undang-undang menentukan lain.
Pasal 80
(1)
Pejabat yang berwenang melakukan penyitaan
wajib bertanggung jawab atas benda sitaan.
(2)
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan atau menyerahkan benda sitaan kepada Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara yang daerah hukumnya meliputi
tempat benda sitaan tersebut.
(3)
Dalam hal benda sitaan disimpan di Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara, Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara
wajib bertanggung jawab atas benda sitaan tersebut.
(4)
Dalam hal pada suatu daerah belum terdapat
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, benda sitaan disimpan di kantor pejabat
yang melakukan penyitaan.
(5)
Benda sitaan dilarang untuk dipergunakan oleh
siapa pun dan untuk tujuan apapun, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan
perkara.
Pasal 81
(1)
Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda
yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk
disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan
memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan
menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau
terdakwa atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut :
a. apabila
perkara masih berada di tangan penyidik
atau penuntut umum, benda tersebut dapat
diamankan atau dijual lelang oleh penyidik atau penuntut umum atas izin hakim komisaris, dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya;
b. apabila
perkara sudah berada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan
atau dijual lelang oleh penuntut umum
atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau
kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda sitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berupa uang menjadi barang bukti.
(3) Untuk kepentingan pembuktian, benda sitaan
terlebih dahulu didokumentasikan dan sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil
dari benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas izin hakim komisaris.
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau
dilarang untuk diedarkan dan tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan.
Pasal 82
(1) Benda yang disita dikembalikan kepada orang
yang berhak apabila :
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena
tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan demi
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda tersebut tercipta dari tindak pidana atau benda berbahaya yang tidak
dapat dikuasai oleh umum.
(2) Apabila perkara sudah diputus maka benda
yang disita dikembalikan kepada orang yang berhak, kecuali jika menurut putusan
hakim benda tersebut dirampas untuk negara atau dimusnahkan atau jika benda
tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Bagian Kelima
Penyadapan
Pasal 83
(1) Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau
alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan
yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak
pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan
penyadapan.
(2) Tindak pidana serius sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi tindak pidana:
a. terhadap Keamanan negara (Bab I, Buku II
KUHP);
b. perampasan kemerdekaan/Penculikan (Pasal 333
KUHP*);
c. pencurian dengan kekerasan (Pasal 365
KUHP*);
d. pemerasan (Pasal 368 KUHP*);
e. pengancaman (Pasal 369 KUHP*[1]);
f. perdagangan orang;
g. penyelundupan;
h. korupsi;
i. pencucian Uang;
j. pemalsuan uang;
k. keimigrasian;
l. mengenai bahan peledak dan senjata api;
m. terorisme;
n. pelanggaran berat HAM;
o. psikotropika dan narkotika; dan
p. pemerkosaan.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat dilakukan oleh penyidik
atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin
dari hakim komisaris.
(4) Penuntut umum menghadap kepada hakim komisaris bersama dengan penyidik dan
menyampaikan permohonan tertulis untuk melakukan penyadapan kepada hakim komisaris, dengan melampirkan pernyataan
tertulis dari penyidik tentang alasan
dilakukan penyadapan tersebut.
(5) Hakim
komisaris mengeluarkan penetapan izin untuk melakukan penyadapan setelah
memeriksa permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1
(satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(7) Dalam hal hakim komisaris memberikan atau menolak
memberikan izin penyadapan, hakim komisaris harus mencantumkan alasan pemberian
atau penolakan izin tersebut.
(8) Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan penyidik dan hakim komisaris.
Pasal 84
(1)
Dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa
surat izin dari hakim komisaris, dengan
ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada hakim komisaris melalui penuntut umum.
(3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilaporkan kepada hakim komisaris paling lambat 2 (dua) hari
terhitung sejak tanggal penyadapan dilakukan untuk mendapatkan persetujuan.
(4) Dalam hal hakim komisaris tidak memberikan persetujuan
penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka penyadapan dihentikan.
Pemeriksaan
Surat
Pasal 85
(1) Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan
menyita surat yang dikirim melalui kantor pos, perusahaan telekomunikasi, atau
perusahaan pengangkutan, jika surat tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat
mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat meminta kepada kepala kantor
pos, kepala perusahaan telekomunikasi, atau kepala perusahaan pengangkutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menyerahkan surat yang dimaksud. dan
harus memberikan tanda terima.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), dapat dilakukan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan.
Pasal 86
(1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa,
ternyata bahwa surat tersebut ada hubungannya dengan perkara yang sedang
diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Dalam hal surat tersebut tidak ada
hubungannya dengan perkara, surat tersebut ditutup kembali dan paling lambat 2
(dua) hari terhitung sejak pemeriksaan selesai, harus diserahkan kembali kepada
kantor pos, perusahaan telekomunikasi,
atau perusahaan pengangkutan, setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah dibuka
oleh penyidik” dengan dibubuhi tanggal,
tanda tangan, dan identitas penyidik.
(3) Penyidik dan pejabat pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan isi surat yang
dikembalikan.
Pasal 87
(1) Penyidik membuat Berita Acara tentang
tindakan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dan Pasal 86.
(2) Penyidik harus memberikan tembusan Berita
Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala kantor pos, kepala
perusahaan telekomunikasi, atau kepala perusahaan pengangkutan yang
bersangkutan, dan kepada hakim komisaris.
BAB V
HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 88
(1)
Tersangka yang ditangkap atau ditahan berhak
mendapat pemeriksaan oleh penyidik dalam
waktu paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak ditangkap atau ditahan.
(2)
Berkas perkara tersangka sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak penyidikan
dimulai.
(3) Dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak ditahan, berkas perkara tersangka harus diserahkan kepada penuntut umum dalam waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak penyidikan
dimulai.
(4) Apabila terjadi suatu hal yang sangat
memaksa sehingga dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidik dapat meminta perpanjangan waktu penyidikan kepada hakim komisaris melalui penuntut umum untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak penyidikan
dimulai dan dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(5) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari terhitung sejak menerima penyerahan perkara dari penyidik, penuntut umum wajib membuat surat dakwaan
kemudian membacakannya kepada terdakwa.
(6) Apabila terjadi suatu hal yang sangat
memaksa sehingga dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
pembuatan surat dakwaan belum dapat diselesaikan, penuntut umum dapat meminta perpanjangan waktu
penuntutan kepada hakim komisaris untuk waktu paling lama 14
(empat belas) hari.
(7) Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak surat dakwaan dibacakan, berkas perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilimpahkan ke pengadilan negeri.
(8) Dalam waktu paling lama 120 (seratus dua
puluh) hari terhitung sejak ditahan, terdakwa harus sudah diperiksa di pengadilan negeri.
Pasal 89
(1) Dalam rangka pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak :
a. menunjuk penasihat hukumnya dan memberikan
identitas mengenai dirinya;
b. diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang
dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya; dan
c. diberitahu tentang haknya.
(2) Pemberitahuan
tentang hak tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara.
Pasal 90
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan atau menolak untuk
memberikan keterangan berkaitan dengan
sangkaan atau dakwaan yang dikenakan kepadanya.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa
menggunakan haknya untuk tidak memberikan keterangan, sikap tidak memberikan
keterangan tersebut tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk memberatkan
tersangka atau terdakwa.
(3) Dalam hal tersangka atau terdakwa setuju
untuk memberikan keterangan, tersangka atau terdakwa diingatkan bahwa
keterangannya menjadi alat bukti, walaupun kemudian tersangka atau terdakwa
mencabut kembali keterangan tersebut.
Pasal 91
(1) Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan
juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169.
(2) Dalam hal tersangka atau terdakwa buta,
bisu, atau tuli diberikan bantuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 170.
Pasal 92
Untuk kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum,
selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 93
(1) Pejabat yang berwenang pada setiap tingkat
pemeriksaan wajib menunjuk seseorang sebagai penasihat hukum untuk memberi
bantuan hukum kepada tersangka atau terdakwa yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri.
(2) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku jika tersangka atau terdakwa menyatakan menolak didampingi
penasihat hukum yang dibuktikan dengan berita acara yang dibuat oleh penyidik atau penuntut umum dan ditandatangani oleh penyidik atau penuntut umum, tersangka atau terdakwa.
Pasal 94
Tersangka atau terdakwa yang ditahan berhak
menghubungi penasihat hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 95
(1)
Tersangka atau terdakwa yang
berkewarganegaraan asing yang ditahan berhak menghubungi perwakilan negaranya
selama perkaranya diproses.
(2)
Hak tersangka atau terdakwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diberitahu kepada yang bersangkutan segera setelah
ditahan.
(3)
Dalam hal negara dari tersangka atau terdakwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mempunyai perwakilan di Indonesia,
tersangka atau terdakwa berhak menunjuk perwakilan suatu negara untuk
dihubungi.
Pasal 96
Dalam hal tersangka atau terdakwa tidak
mempunyai kewarganegaraan, tersangka atau terdakwa berhak menunjuk perwakilan
suatu negara untuk dihubungi.
Pasal 97
Tersangka atau terdakwa yang ditahan berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dokter atau rohaniwan untuk kepentingan
pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani atas dirinya.
Pasal 98
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi
dan menerima kunjungan pihak yang mempunyai hubungan keluarga atau hubungan
lain dengan tersangka atau terdakwa guna mendapat jaminan penangguhan penahanan
atau bantuan hukum.
Pasal 99
Tersangka atau terdakwa berhak secara
langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluarga tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pekerjaan
atau untuk kepentingan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan perkara.
Pasal 100
(1) Tersangka atau terdakwa berhak mengirim dan
menerima surat dari dan kepada penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap
kali diperlukan olehnya.
(2) Surat menyurat antara tersangka atau
terdakwa dengan penasihat hukumnya atau dengan sanak keluarganya tidak boleh
diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim, atau pejabat Rumah
Tahanan Negara, kecuali jika terdapat cukup alasan diduga bahwa surat menyurat
tersebut disalahgunakan.
(3) Dalam hal surat untuk tersangka atau
terdakwa diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim, atau pejabat Rumah
Tahanan Negara, maka pemeriksaan tersebut diberitahukan kepada tersangka atau
terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya setelah dibubuhi
cap yang berbunyi “telah diperiksa”.
Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakan
dan mengajukan saksi dan/atau orang yang memiliki keahlian khusus yang jumlah
orangnya ditentukan oleh hakim guna memberikan keterangan yang menguntungkan
bagi tersangka atau terdakwa.
Pasal 102
Tersangka atau terdakwa berhak mengajukan
tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi.
BAB VI
BANTUAN HUKUM
Pasal 103
Penasihat hukum berhak mendampingi tersangka
atau terdakwa sejak saat tersangka atau terdakwa ditangkap atau ditahan pada
semua tingkat pemeriksaan sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 104
(1) Penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka atau terdakwa pada
setiap tingkat pemeriksaan pada setiap hari kerja untuk kepentingan pembelaan
perkaranya.
(2) Jika
terdapat bukti bahwa penasihat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka atau terdakwa, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum, hakim, atau petugas Rumah
Tahanan Negara memberi peringatan kepada penasihat hukum tersebut.
(3) Apabila peringatan tersebut tidak
diindahkan, maka hubungan antara penasihat hukum dan tersangka atau terdakwa
tersebut disaksikan oleh penyidik, penuntut umum, hakim, atau petugas Rumah
Tahanan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila selama dalam pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), penasihat hukum masih menyalahgunakan haknya, maka yang
bersangkutan tidak boleh lagi menghubungi atau berbicara dengan tersangka atau
terdakwa.
Penasihat hukum sesuai dengan tingkat
pemeriksaan dalam berhubungan dengan tersangka atau terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum, atau petugas Rumah Tahanan
Negara.
Pasal 106
Atas permintaan tersangka, terdakwa, atau
penasihat hukumnya, penyidik, penuntut umum, atau petugas Rumah Tahanan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 memberi turunan atau salinan Berita
Acara Pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya.
Pasal 107
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima
surat dari tersangka atau terdakwa setiap kali dikehendaki olehnya.
Pasal 108
Pengurangan kebebasan hubungan antara
penasihat hukum dan tersangka atau terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
104 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 105 dilarang setelah perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan negeri untuk disidangkan, yang
tembusan suratnya sedang dalam proses untuk disampaikan kepada tersangka atau
terdakwa atau penasihat hukumnya serta pihak lain.
BAB VII
BERITA ACARA
Pasal 109
(1) Berita Acara dibuat untuk setiap tindakan
yang diperlukan dalam penyelesaian perkara tentang:
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pengambilan keterangan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pengambilan keterangan ahli;
k. penyadapan;
l. pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan;
m. pelelangan barang bukti;
n. penyisihan barang bukti; atau
o. pelaksanaan tindakan hukum lain;
sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Berita Acara dibuat oleh pejabat yang
bersangkutan dalam melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) selain ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB VIII
SUMPAH ATAU JANJI
Pasal 110
(1) Dalam hal diharuskan adanya pengambilan
sumpah atau janji berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini, maka untuk
keperluan tersebut dipakai peraturan perundang-undangan tentang sumpah atau
janji yang berlaku, baik mengenai isinya maupun mengenai tata caranya.
(2) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau janji tersebut batal demi hukum.
BAB IX
HAKIM KOMISARIS
Bagian Kesatu
Kewenangan
Pasal 111
(1) Hakim komisaris berwenang menetapkan atau
memutuskan :
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;
b. pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka
atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh
secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti
e. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk
seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian
untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau
diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;
g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas
oportunitas;
i. layak atau tidaknya suatu perkara untuk
dilakukan penuntutan ke pengadilan.
j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun
yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.
(2)
Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh
penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan
oleh penuntut umum.
(3)
Hakim komisaris dapat memutuskan hal-hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.
Bagian Kedua
Acara
Pasal 112
(1) Hakim komisaris memberikan keputusan dalam
waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2).
(2) Hakim komisaris memberikan keputusan atas
permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah
penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan.
(3) Hakim komisaris dapat mendengar keterangan
dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum.
(4) Apabila diperlukan, hakim komisaris dapat meminta keterangan
dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
111 ayat (2) tidak menunda proses penyidikan.
Pasal 113
(1)
Putusan dan penetapan hakim komisaris harus memuat dengan jelas
dasar hukum dan alasannya.
(2)
Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau
memutuskan penahanan tidak sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.
(3)
Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau
memutuskan penyitaan tidak sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah
ditetapkan atau diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang
paling berhak kecuali terhadap benda yang terlarang.
(4)
Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau
memutuskan bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut umum harus segera
melanjutkan penyidikan atau penuntutan.
(5)
Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan
bahwa penahanan tidak sah, hakim
komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah
pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 114
(1) Hakim komisaris melakukan pemeriksaan atas
permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah menerima permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;
b. sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar
pemohon, penyidik, atau penuntut umum;
c. dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah
menyidangkan, harus sudah memberikan putusan.
(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh pengadilan negeri, permohonan ganti kerugian
atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada hakim komisaris.
Bagian Ketiga
Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 115
Untuk dapat diangkat
menjadi hakim komisaris, seorang hakim
harus memenuhi syarat :
a.
memiliki kapabilitas dan integritas
moral yang tinggi;
b.
bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun;
c.
berusia serendah-rendahnya 35 (tiga
puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya 57 (lima puluh tujuh) tahun; dan
d.
berpangkat serendah-rendahnya golongan
III/c.
Pasal 116
(1) Hakim komisaris diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul ketua pengadilan
Tinggi yang daerah hukumnya meliputi pengadilan negeri setempat.
(2) Hakim komisaris diangkat untuk masa jabatan
selama 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk satu kali masa
jabatan.
Pasal 117
(1) Hakim komisaris diberhentikan dengan hormat dari jabatannya,
karena:
a. telah habis masa jabatannya;
b. atas
permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani secara terus
menerus;
d. tidak cakap dalam menjalankan tugasnya; atau
e. meninggal dunia.
(2) Penilaian mengenai ketidakcakapan hakim komisaris dalam menjalankan tugasnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh Tim Pengawas
sebagaimana mekanisme pengawasan di pengadilan tinggi.
Pasal 118
Hakim komisaris
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan
perbuatan tercela;
c. terus-menerus
melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas dan wewenangnya;
d. melanggar
sumpah jabatan; atau
e. merangkap
jabatan sebagaimana dilarang dalam peraturan perundang-undangan.
(1)
Selama menjabat sebagai hakim komisaris, hakim pengadilan negeri
dibebaskan dari tugas mengadili semua jenis perkara dan tugas lain yang
berhubungan dengan tugas pengadilan
negeri.
(2)
Setelah selesai masa jabatannya, hakim komisaris dikembalikan tugasnya ke pengadilan negeri semula, selama belum
mencapai batas usia pensiun.
Pasal 120
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan
tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim komisaris diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(1)
Hakim komisaris berkantor di atau dekat Rumah
Tahanan Negara.
(2)
Hakim komisaris merupakan hakim tunggal,
memeriksa, menetapkan, atau memutus karena jabatannya seorang diri.
(3)
Dalam menjalankan tugasnya, hakim komisaris dibantu oleh seorang panitera
dan beberapa orang staf sekretariat.
Pasal 122
Penetapan atau putusan hakim komisaris tidak dapat diajukan upaya
hukum banding atau kasasi.
BAB X
WEWENANG PENGADILAN UNTUK
MENGADILI
Bagian Kesatu
Pengadilan Negeri
Pasal 123
(1)
Pengadilan negeri berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya.
(2)
Pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal terdakwa, kediaman terakhir, atau tempat ia ditemukan
atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, atau tempat
kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat
kedudukan pengadilan negeri yang daerah
hukumnya tindak pidana tersebut dilakukan.
(3)
Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa
tindak pidana dalam daerah hukum beberapa pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri tersebut masing-masing
berwenang mengadili perkara pidana itu.
(4)
Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama
lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh terdakwa dalam daerah hukum
beberapa pengadilan negeri, diadili oleh
salah satu pengadilan negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal terdakwa dengan melakukan penggabungan perkara
pidana tersebut.
(5)
Apabila seorang terdakwa melakukan satu
tindak pidana dalam daerah hukum beberapa pengadilan negeri, maka yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus adalah:
a. pengadilan negeri yang lebih dekat dari
tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil; atau
b. pengadilan negeri ditempat terdakwa ditemukan
atau ditahan.
Pasal 124
Dalam hal keadaan daerah tidak memungkinkan
suatu pengadilan negeri untuk mengadili
suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri
yang bersangkutan, Mahkamah Agung menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 123 ayat (2) untuk mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 125
Apabila seseorang melakukan tindak pidana di
luar negeri yang dapat diadili menurut hukum negara Republik Indonesia, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang
mengadili.
Bagian Kedua
Pengadilan Tinggi
Pasal 126
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara
pidana yang diputus oleh pengadilan
negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Bagian Ketiga
Mahkamah Agung
Pasal 127
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua
perkara pidana yang dimintakan kasasi.
BAB XI
GANTI KERUGIAN, REHABILITASI,
DAN
PUTUSAN PENGADILAN TENTANG
GANTI KERUGIAN
TERHADAP KORBAN
Bagian Kesatu
Ganti Kerugian
Pasal 128
(1) Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak
menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili, atau
dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang sah berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan
ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada hakim komisaris.
(3) Tuntutan ganti kerugian oleh terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya karena dituntut atau diadili sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diajukan ke pengadilan negeri.
(4) Apabila kesalahan penangkapan, penahanan
atau tindakan lain, dituntut, atau diadili tersebut dilakukan karena
kelalaian, maka yang memberikan ganti kerugian adalah negara.
(5) Dalam hal kesalahan tersebut dilakukan
dengan kesengajaan, maka pejabat yang melakukan kesalahan tersebut wajib
memberikan ganti kerugian secara pribadi atau tanggung renteng.
(6) Dalam hal terdakwa yang telah dilakukan
penangkapan, penahanan, tindakan lain, dituntut, atau diadili sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum oleh pengadilan, maka terdakwa tidak dapat menuntut ganti kerugian.
Pasal 129
(1) Besarnya pemberian ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ditetapkan dalam putusan pengadilan.
(2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai
alasan bagi putusan tersebut.
(1) Hakim
komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian atau
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah menerima permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;
b. sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar
pemohon, penyidik, atau penuntut umum;
c. dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah menyidangkan, harus sudah memberikan putusan.
(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh pengadilan negeri, permohonan ganti kerugian
atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 130 tidak dapat diajukan
kepada hakim komisaris.
Bagian Kedua
Rehabilitasi
(1)
Dalam hal terdapat kesalahan penerapan hukum,
setiap orang wajib diberikan rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas
dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2)
Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.
(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka
atau terdakwa atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau kesalahan penerapan
hukumnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim komisaris.
(1)
Pembiayaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 131, dibebankan kepada negara.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan
tata cara dan pelaksanaan rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Putusan Pengadilan Tentang
Ganti Kerugian
Terhadap Korban
Pasal 133
(1) Apabila terdakwa dijatuhi pidana dan
terdapat korban yang menderita kerugian materiel akibat tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, hakim
mengharuskan terpidana membayar ganti kerugian kepada korban yang besarnya
ditentukan dalam putusannya.
(2) Apabila terpidana tidak membayar ganti
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan
dilelang untuk membayar ganti kerugian kepada korban.
(3) Apabila terpidana berupaya menghindar
untuk membayar kompensasi kepada korban, terpidana tidak berhak mendapatkan
pengurangan masa pidana dan tidak mendapatkan pembebasan bersyarat.
(4) Dalam penjatuhan pidana bersyarat dapat
ditentukan syarat khusus berupa kewajiban terpidana untuk membayar ganti
kerugian kepada korban.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan
tata cara penyitaan dan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 134
Putusan mengenai ganti kerugian dengan
sendirinya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB XII
PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Bagian
Kesatu
Panggilan
dan Dakwaan
Pasal 135
(1) Penuntut umum memanggil secara sah kepada
terdakwa untuk datang ke sidang pengadilan melalui alamat tempat tinggalnya.
(2) Dalam hal alamat atau tempat tinggal
terdakwa tidak diketahui, panggilan disampaikan di tempat kediaman terakhir
terdakwa.
(3) Apabila terdakwa tidak ada di tempat
tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui
kepala desa/kelurahan dalam daerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat
kediaman terakhir.
(4) Dalam hal terdakwa ditahan dalam Rumah
Tahanan Negara, surat panggilan disampaikan kepada terdakwa melalui pejabat
Rumah Tahanan Negara.
(5) Surat panggilan yang diterima oleh
terdakwa sendiri atau oleh orang lain atau melalui orang lain, dilakukan dengan
tanda penerimaan.
(6) Apabila tempat tinggal ataupun tempat
kediaman terakhir tidak diketahui, surat panggilan ditempelkan pada papan
pengumuman di gedung pengadilan tempat terdakwa diadili atau diperiksa.
(7) Apabila terdakwa adalah korporasi maka
panggilan disampaikan kepada Pengurus ditempat kedudukan korporasi sebagaimana
tercantum dalam Anggaran Dasar korporasi tersebut.
(8) Salah
seorang pengurus korporasi wajib menghadap di sidang pengadilan mewakili
korporasi.
Pasal 136
(1) Penuntut umum menyampaikan surat panggilan
kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, jam sidang, dan jenis perkara.
(2) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal penuntut umum memanggil saksi, maka surat
panggilan memuat hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang harus diterima oleh yang bersangkutan
paling lambat 3 (tiga) hari sebelum
sidang dimulai.
Bagian Kedua
Memutus Sengketa mengenai
Wewenang Mengadili
Pasal 137
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan
perkara dari penuntut umum, ketua pengadilan negeri mempelajari apakah perkara
yang disampaikan tersebut termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 138
(1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat bahwa perkara
pidana tersebut tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi
termasuk wewenang pengadilan negeri
lain, ketua pengadilan negeri
menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang
mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasan pelimpahan perkara.
(2) Surat pelimpahan perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diserahkan kembali kepada penuntut umum, selanjutnya kejaksaan negeri
yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat
penetapan.
(3) Turunan (salinan) surat penetapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada terdakwa, penasihat hukum, dan penyidik.
Pasal 139
(1) Dalam hal penuntut umum melakukan perlawanan terhadap
surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud pada Pasal 138 ayat (1) maka penuntut umum mengajukan perlawanan kepada
pengadilan tinggi yang wilayah hukumnya meliputi tempat pengadilan negeri yang
bersangkutan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan
tersebut diterima.
(2) Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan kepada ketua pengadilan
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) dan hal tersebut dicatat
dalam buku daftar panitera.
(3) Dalam
waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima perlawanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pengadilan negeri wajib
meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang wilayah hukumnya
meliputi tempat pengadilan negeri yang bersangkutan.
(4) Pengadilan
tinggi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak menerima
perlawanan, dapat menguatkan atau menolak perlawanan tersebut dengan surat
penetapan.
(5) Dalam hal
pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, dengan surat penetapan
pengadilan tinggi memerintahkan pengadilan
negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut.
(6) Dalam hal
pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bersangkutan.
(7) Tembusan
surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6) disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 140
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi :
a. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama; atau
b. jika dua pengadilan atau lebih menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Pasal 141
(1) Pengadilan tinggi memutus sengketa wewenang
mengadili antara dua pengadilan negeri
atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama
dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili :
a. antara pengadilan dari satu lingkungan
peradilan dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan
dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang berlainan; atau
c. antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
Bagian Ketiga
Acara
Pemeriksaan Biasa
Pasal 142
(1) Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan
perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan negeri menunjuk majelis hakim yang
akan menyidangkan perkara tersebut secara acak.
(2) Hakim yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menetapkan hari sidang.
(3) Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memerintahkan kepada penuntut umum untuk memanggil terdakwa dan
saksi datang di sidang pengadilan.
Pasal 143
(1) Pada hari sidang yang telah ditetapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2), pengadilan wajib membuka persidangan.
(2) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di
sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang
dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
(3) Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib menjaga agar tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(4) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa
anak yang belum mencapai umur 17 (tujuh belas) tahun tidak dibolehkan
menghadiri sidang.
Pasal 144
(1) Jika
terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang
tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan
dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(2) Hakim
ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada
sidang berikutnya.
Pasal 145
(1)
Hakim membuka sidang perkara atas nama
terdakwa dengan menyebut identitasnya dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.
(2)
Ketentuan ayat (1) tidak berlaku terhadap
perkara kesusilaan, terdakwa dibawah umur, dan tindak pidana yang menyangkut
rahasia negara.
(3)
Meminta penuntut umum membawa masuk terdakwa ke ruang
sidang.
(4)
Hakim ketua menanyakan identitas terdakwa.
(5)
Sesudah hakim menanyakan identitas terdakwa,
hakim mempersilakan penuntut umum
membacakan dakwaannya.
(6)
Jika dalam pemeriksaan terdakwa yang tidak
ditahan tidak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua meneliti
apakah terdakwa telah dipanggil secara sah.
(7)
Jika ternyata terdakwa dipanggil secara tidak
sah, hakim ketua menunda sidang dan memerintahkan dipanggil lagi untuk hadir
pada sidang berikutnya.
(8)
Jika dalam suatu perkara ada lebih dari
seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan
terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(9)
Hakim ketua sidang memerintahkan agar
terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah
untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya.
(10)
Panitera mencatat laporan dari penuntut umum
tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan
menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 146
(1) Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan perlawanan bahwa pengadilan
tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau
surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya,
hakim mempertimbangkan perlawanan tersebut untuk selanjutnya mengambil
keputusan.
(2) Dalam hal hakim menyatakan perlawanan
tersebut diterima, perkara tersebut tidak diperiksa lebih lanjut.
(3) Dalam hal hakim menyatakan perlawanan tidak
diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan, sidang dilanjutkan.
(4) Dalam hal penuntut umum perlawanan terhadap putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penuntut umum dapat mengajukan perlawanan
kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.
(5) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan perlawanan
yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh pengadilan
tinggi, dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan tinggi dengan surat
penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk
memeriksa perkara tersebut.
(6) Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama
dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan
tinggi, pengadilan tinggi dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung sejak menerima perkara membenarkan perlawanan terdakwa melalui
keputusan membatalkan putusan pengadilan
negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang.
(7) Pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) menyampaikan salinan keputusan kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili
perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara
tersebut.
(8) Apabila pengadilan yang berwenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berkedudukan di daerah hukum pengadilan
tinggi lain, maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara tersebut kepada
kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang berwenang di tempat
itu.
(9) Hakim ketua sidang karena jabatannya
walaupun tidak ada perlawanan, setelah mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat
penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang.
Pasal 147
(1) Hakim wajib mengundurkan diri untuk
mengadili perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim
ketua sidang, salah seorang hakim anggota, penuntut umum, atau panitera.
(2) Hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum, atau panitera wajib
mengundurkan diri dari menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun
sudah bercerai dengan terdakwa atau dengan penasihat hukum.
(3) Jika dipenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkan diri harus
diganti.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak dipenuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah diputus,
perkara dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari sejak tanggal putusan wajib
diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 148
Sebelum majelis memutuskan, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan
pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 149
(1) Hakim ketua sidang meneliti apakah semua
saksi atau ahli yang dipanggil telah hadir dan memberi perintah untuk mencegah
jangan sampai saksi atau ahli berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi
keterangan di sidang.
(2) Dalam hal saksi atau ahli tidak hadir,
meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup
alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua
sidang dapat memerintahkan agar saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.
Pasal 150
(1)
Penuntut umum dan terdakwa atau penasihat
hukum terdakwa diberi kesempatan menyampaikan penjelasan singkat untuk
menguraikan bukti dan saksi yang hendak diajukan oleh mereka pada persidangan.
(2)
Sesudah pernyataan pembuka, saksi dan ahli
memberikan keterangan.
(3)
Urutan saksi dan ahli ditentukan oleh pihak
yang memanggil.
(4)
Penuntut umum mengajukan saksi, ahli, dan
buktinya terlebih dahulu.
(5)
Apabila hakim menyetujui saksi dan ahli yang
diminta oleh penasihat hukum untuk
dihadirkan maka hakim memerintahkan kepada penuntut umum untuk memanggil saksi dan ahli
yang diajukan oleh penasihat hukum
tersebut.
(6)
Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi
mengenai keterangan tentang nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan saksi.
(7)
Selain menanyakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6), hakim juga menanyakan apakah saksi mengenal terdakwa sebelum terdakwa
melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan, atau apakah saksi mempunyai
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga dengan terdakwa,
atau suami atau isteri dari terdakwa, atau pernah menjadi suami atau isteri
dari terdakwa, atau terikat hubungan kerja dengannya.
(8)
Setelah pengajuan saksi dan bukti oleh penuntut umum, penasihat hukum dapat
menghadirkan bukti, ahli, dan saksi.
(9) Terdakwa memberikan keterangan pada akhir
pemeriksaan.
(10) Setelah pemeriksaan terdakwa, penuntut umum dapat memanggil saksi atau ahli
tambahan untuk menyanggah pembuktian dari penasihat hukum selama persidangan.
(11) Dalam
hal ada saksi atau ahli, baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan
terdakwa, yang tidak tercantum dalam berkas perkara dan/atau yang diminta oleh
terdakwa, penasihat hukum, atau penuntut
umum selama sidang berlangsung atau sebelum dijatuhkan putusan, hakim ketua
sidang dapat mengabulkan atau menolak untuk mendengar keterangan saksi atau
ahli tersebut.
(12) Sebelum saksi atau ahli memberikan keterangan,
hakim mengambil sumpah atau janji terhadap saksi atau ahli berdasarkan agama atau kepercayaannya
bahwa akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan sejujurnya.
Pasal 151
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang
sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150
ayat (12) maka pemeriksaan terhadap saksi tetap dilakukan, dan hakim ketua
sidang dapat mengeluarkan penetapan untuk mengenakan sandera di Rumah Tahanan
Negara paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam
hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap
tidak mau bersumpah atau mengucapkan janji, keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 152
(1)
Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan tidak hadir di sidang karena:
a.
meninggal
dunia atau karena halangan yang sah;
b.
jauh
tempat kediaman atau tempat tinggalnya; atau
c.
karena
sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara;
maka keterangan yang telah diberikan
tersebut dibacakan.
(2)
Jika keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan di bawah sumpah atau janji, maka keterangan tersebut oleh hakim dapat dipertimbangkan sebagai keterangan
saksi di bawah sumpah atau janji yang diucapkan di sidang.
Pasal 153
Jika keterangan saksi di
sidang berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam Berita Acara, hakim ketua
sidang mengingatkan saksi tentang hal tersebut dan meminta keterangan mengenai
perbedaan yang ada dan dicatat dalam Berita Acara pemeriksaan sidang.
Pasal 154
(1) Penuntut umum terlebih dahulu mengajukan
pertanyaan kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh penuntut umum.
(2) Setelah penuntut umum selesai mengajukan pertanyaan,
penasihat hukum dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli.
(3) Penuntut umum dapat mengajukan pertanyaan
kembali kepada saksi atau ahli untuk memperjelas setiap jawaban yang diberikan
kepada penasihat hukum.
(4) Penasihat hukum mengajukan pertanyaan
kepada saksi atau ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum dan kepada
terdakwa.
(5) Setelah penasihat hukum selesai mengajukan
pertanyaan, penuntut umum dapat
mengajukan pertanyaan kepada saksi atau ahli dan kepada terdakwa.
(6) Penasihat hukum selanjutnya dapat
mengajukan pertanyaan kembali kepada saksi atau ahli, dan terdakwa untuk
memperjelas setiap jawaban yang diberikan kepada penuntut umum.
(7) Hakim ketua sidang dapat menolak pertanyaan
yang diajukan oleh penuntut umum atau
penasihat hukum kepada saksi atau ahli, dan terdakwa apabila hakim ketua sidang
menilai bahwa pertanyaan tersebut tidak relevan dengan perkara yang disidangkan
dan menyebutkan alasannya mengapa pertanyaan tertentu tidak diperbolehkan.
(8) Dalam
hal diperlukan, hakim berwenang
mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat hukum kepada saksi atau ahli, atau
kepada terdakwa.
(9) Hakim
ketua sidang dan hakim anggota dapat meminta kepada saksi segala keterangan
yang dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
Pasal 155
Pertanyaan yang bersifat menjerat dilarang
diajukan kepada saksi atau ahli, atau kepada terdakwa.
Pasal 156
(1) Penuntut umum dengan izin hakim ketua sidang memperlihatkan kepada
terdakwa semua barang bukti dan menanyakan kepada terdakwa apakah mengenal
barang bukti tersebut dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 86.
(2)
Jika diperlukan dengan izin hakim
ketua sidang, barang bukti diperlihatkan juga oleh penuntut umum kepada saksi.
(3) Untuk kepentingan pembuktian, hakim ketua sidang
dapat membacakan atau memperlihatkan surat atau Berita Acara kepada terdakwa
atau saksi dan selanjutnya meminta keterangan yang diperlukan tentang hal
tersebut kepada terdakwa atau saksi.
Pasal 157
(1) Setelah saksi memberi keterangan, saksi
diharuskan tetap hadir di sidang, kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk
meninggalkannya.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan, jika penuntut umum,
terdakwa, atau penasihat hukum mengajukan permintaan agar saksi tersebut tetap
menghadiri sidang.
(3) Para saksi selama sidang berlangsung
dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 158
Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini, saksi tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri
sebagai saksi, jika:
a. mempunyai
hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa;
b. bersama-sama sebagai tersangka atau
terdakwa walaupun perkaranya dipisah;
c. mempunyai hubungan saudara dari terdakwa
atau saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
d. adalah suami atau isteri terdakwa atau
pernah sebagai suami atau isteri terdakwa.
(1) Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 menghendakinya dan penuntut
umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya, saksi dapat memberi keterangan
di bawah sumpah atau janji.
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dikehendaki, saksi dapat memberikan keterangan tanpa sumpah
atau janji.
Pasal 160
(1) Orang yang karena harkat martabat,
pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat meminta
dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi tentang hal
yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala
alasan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 161
Seseorang yang dapat diminta memberikan
keterangan tanpa sumpah atau janji adalah:
a. anak yang belum berumur 15 (lima belas)
tahun dan belum pernah kawin;
b. orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa.
Pasal 162
(1) Setelah saksi memberi keterangan, maka
terdakwa atau penasihat hukum dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua
sidang agar di antara saksi tersebut yang tidak dikehendaki kehadirannya
dikeluarkan dari ruang sidang, dan saksi yang lain dipanggil masuk oleh hakim
ketua sidang untuk didengar keterangannya, baik seorang demi seorang maupun
bersama-sama tanpa hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila dipandang perlu, hakim karena
jabatannya dapat meminta agar saksi yang telah didengar keterangannya keluar
dari ruang sidang untuk selanjutnya mendengar keterangan saksi yang lain.
Pasal 163
(1) Hakim ketua sidang dapat mendengar
keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal hakim mendengar keterangan saksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim meminta terdakwa keluar ruang sidang
dan pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum kepada terdakwa
diberitahukan semua hal pada waktu terdakwa tidak hadir.
Pasal 164
(1) Apabila keterangan saksi di sidang diduga
palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi
agar memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan mengemukakan ancaman pidana
yang dapat dikenakan kepada saksi apabila tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap memberikan keterangan
yang diduga palsu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi
perintah agar saksi ditahan dan dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Panitera dalam waktu paling lambat 2 (dua)
hari membuat Berita Acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi
dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa keterangan saksi tersebut palsu dan
Berita Acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan
segera diserahkan kepada penuntut umum
untuk diselesaikan menurut ketentuan Undang-Undang ini.
(4) Jika diperlukan, hakim ketua sidang
menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana
terhadap dugaan keterangan palsu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selesai.
Pasal 165
Jika terdakwa tidak menjawab atau menolak
untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang
menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 166
(1) Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak
patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, maka hakim ketua sidang berwenang
menegur terdakwa dan meminta untuk bertingkah laku tertib dan patut.
(2) Dalam hal teguran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak ditaati atau terdakwa secara terus menerus bertingkah laku tidak
patut, maka hakim memerintahkan agar terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang dan
pemeriksaan perkara tersebut dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
(3) Dalam hal tindakan terdakwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tetap dilakukan, maka hakim ketua sidang mengusahakan
upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan tanpa
hadirnya terdakwa.
Pasal 167
(1) Jika terdakwa atau saksi tidak memahami
atau tidak bisa berbahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru
bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang
harus diterjemahkan.
(2) Dalam hal seseorang tidak boleh menjadi
saksi dalam suatu perkara, maka yang bersangkutan dilarang menjadi juru bahasa
dalam perkara itu.
Pasal 168
(1) Jika terdakwa atau saksi bisu, tuli, atau
tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi tersebut sebagai penerjemah.
(2) Jika terdakwa atau saksi bisu atau tuli
tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau
teguran secara tertulis kepada terdakwa atau saksi tersebut untuk diperintahkan
menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus
dibacakan.
Pasal 169
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman, dokter, atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua ketentuan mengenai saksi, berlaku
juga bagi ahli yang memberikan keterangan, dengan ketentuan bahwa ahli yang
mengucapkan sumpah atau janji tersebut akan memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Pasal 170
(1)
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduk
persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat meminta
keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan.
(2) Dalam hal timbul perlawanan yang beralasan
dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hakim memerintahkan agar hal tersebut dilakukan
penelitian ulang, termasuk penelitian ulang atas keterangan ahli tersebut.
(3) Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personal yang berbeda
dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
Pasal 171
(1) Sesudah kesaksian dan bukti disampaikan
oleh kedua belah pihak, penuntut umum
dan penasihat hukum diberi kesempatan untuk menyampaikan keterangan lisan yang
menjelaskan tentang bukti yang diajukan di
persidangan mendukung pendapat mereka mengenai perkara tersebut.
(2) Dalam hal pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana
kepada terdakwa setelah menguraikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa.
(3) Setelah penuntut umum mengajukan tuntutan pidana,
terdakwa dan/atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab
oleh penuntut umum dengan ketentuan
bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.
(4) Tuntutan atau jawaban atas pembelaan
dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan dalam waktu paling lambat 1
(satu) hari diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunan (salinan)nya
kepada pihak yang berkepentingan.
(5) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) selesai dilaksanakan, hakim ketua sidang
menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup.
(1) Dalam hal tertentu, baik atas kewenangan
hakim ketua sidang karena jabatannya maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau advokat
dengan memberikan alasan yang dapat diterima, sidang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 171 ayat (5) dapat dibuka kembali.
(2) Setelah ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil
keputusan dan apabila perlu musyawarah tersebut diadakan setelah terdakwa,
saksi, penasihat hukum, penuntut umum,
dan hadirin meninggalkan ruang sidang.
(3) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang.
(4) Dalam musyawarah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan kepada setiap hakim anggota
dan setelah itu ketua majelis hakim mengemukakan pendapatnya.
(5) Pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus disertai dengan pertimbangan beserta alasannya.
Pasal 173
(1) Putusan dalam musyawarah majelis merupakan
hasil permufakatan bulat, kecuali jika permufakatan tersebut setelah diusahakan
dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka putusan diambil dengan suara
terbanyak.
(2) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak juga dapat dipenuhi, putusan diambil berdasarkan pendapat hakim
yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
(3) Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dicatat dalam buku himpunan putusan yang sifatnya
rahasia yang disediakan khusus untuk keperluan tersebut.
(4) Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan
diumumkan pada hari itu juga.
(5) Apabila putusan dijatuhkan dan diumumkan
pada hari lain, maka putusan tersebut sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa, atau advokat.
Bagian Keempat
Pembuktian dan Putusan
Pasal 174
Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada
terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan dengan sekurang-kurangnya
2 (dua) alat bukti yang sah bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
(1) Alat bukti yang sah mencakup:
a. barang bukti ;
b. surat-surat;
c. bukti
elektronik;
d. keterangan seorang ahli;
e. keterangan seorang saksi;
f. keterangan
terdakwa; dan.
g. pengamatan hakim.
(2) Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus diperoleh secara tidak melawan hukum.
(3) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak
perlu dibuktikan.
Pasal 176
Barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal
175 ayat (1) huruf a adalah alat atau sarana yang dipakai untuk melakukan
tindak pidana atau yang menjadi obyek tindak pidana atau hasilnya atau bukti
fisik atau materiel yang dapat menjadi bukti dilakukannya tindak pidana.
Pasal 177
Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175
ayat (1) huruf b, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah, yakni :
a. Berita Acara dan surat lain dalam bentuk
resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas
tentang keterangannya;
b. surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan;
c. surat keterangan ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta
secara resmi darinya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku, jika
ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175
huruf c adalah sekalian bukti dilakukannya tindak pidana berupa sarana yang
memakai elektronik.
Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 175 ayat (1) huruf d adalah segala hal yang dinyatakan oleh seseorang
yang memiliki keahlian khusus, di sidang pengadilan.
Pasal 180
(1) Keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 175 ayat (1) huruf e sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan
oleh saksi di sidang pengadilan.
(2) Dalam hal saksi tidak dapat dihadirkan dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak
jauh melalui alat komunikasi audio visual dengan dihadiri oleh penasihat hukum
dan penuntut umum.
(3) Keterangan 1 (satu) orang saksi tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) tidak berlaku apabila keterangan seorang saksi diperkuat dengan alat bukti
lain.
(5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri
sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai
alat bukti yang sah.
(6) Keterangan
beberapa saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus saling berhubungan satu
sama lain sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan
tertentu.
(7) Pendapat atau rekaan yang diperoleh dari
hasil pemikiran belaka bukan merupakan keterangan saksi.
(8) Dalam menilai kebenaran keterangan saksi,
hakim wajib memperhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan
alat bukti yang lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi
untuk memberi keterangan tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala
sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dipercayanya keterangan tersebut;
dan/atau
e. keterangan saksi sebelum dan pada waktu
sidang.
(9) Keterangan saksi yang tidak disumpah yang sesuai
satu dengan yang lain, walaupun tidak merupakan alat bukti, dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti yang sah apabila keterangan tersebut sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
syarat pemberian kesaksian secara jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 181
(1) Keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 175 ayat (1) huruf f adalah segala hal yang dinyatakan oleh
terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau
diketahui sendiri atau dialami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar
sidang pengadilan dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang
pengadilan, dengan ketentuan bahwa keterangan tersebut didukung oleh suatu alat
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan
terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.
Pasal 182
(1) Pengamatan hakim selama sidang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) huruf g adalah didasarkan pada perbuatan,
kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara
yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang
menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari
suatu pengamatan hakim selama sidang dilakukan oleh hakim dengan arif dan
bijaksana, setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan seksama
berdasarkan hati nurani.
Pasal 183
(1)
Alat bukti yang diberikan oleh pemerintah,
orang, atau perusahaan negara lain dipertimbangkan sebagai bukti yang sah
apabila diperoleh secara sah berdasarkan peraturan perundang-undangan negara
lain tersebut.
(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat juga dipertimbangkan jika terdapat perbedaan prosedur untuk
mendapatkan alat bukti tersebut antara peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara
tempat alat bukti tersebut diperoleh, sepanjang tidak melanggar peraturan
perundang-undangan atau perjanjian internasional.
Pasal 184
(1) Untuk pembuktian perkara di Indonesia,
saksi yang bertempat tinggal di luar negeri diperiksa oleh pejabat yang
berwenang di negara tersebut, dan keterangan diserahkan kepada pemerintah
Indonesia, dalam hal Indonesia mempunyai perjanjian bilateral dengan negara
tersebut atau berdasarkan asas resiprositas.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus disampaikan kepada penyidik atau penuntut umum di Indonesia sesuai dengan
tahapan pemeriksaan perkara, melalui instansi yang berwenang.
(3) Permintaan kepada pemerintah negara lain
untuk memeriksa saksi yang berada di negara tersebut harus dilengkapi dengan
daftar keterangan yang diperlukan yang harus dijawab oleh saksi.
(4) Dalam hal keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilimpahkan ke pengadilan, maka keterangan tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah.
Pasal 185
(1) Jika ada permintaan dari negara lain untuk
mengambil keterangan saksi atau melakukan tindakan hukum lain di Indonesia
untuk kepentingan pembuktian perkara yang ada di negara peminta, permintaan
tersebut dipenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Tata cara pengambilan keterangan dari saksi
atau tindakan hukum lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 186
(1) Selama pemeriksaan di sidang pengadilan,
jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat
penetapan untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan terdapat alasan
yang cukup untuk itu.
(2) Apabila
terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapan untuk
menangguhkan penahanan terdakwa, jika terdapat alasan yang cukup untuk itu
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1).
Pasal 187
(1) Jika hakim berpendapat bahwa hasil
pemeriksaan di sidang, tindak pidana yang didakwakan terbukti secara sah dan
meyakinkan, terdakwa dipidana.
(2) Jika hakim berpendapat bahwa hasil
pemeriksaan di sidang, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, terdakwa diputus bebas.
(3) Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana,
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
(4) Jika terdakwa diputus bebas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), terdakwa yang ada dalam tahanan dilepaskan dari tahanan
sejak putusan diucapkan.
(5) Jika terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penuntut umum tidak melakukan upaya banding,
terdakwa yang ada dalam tahanan dilepaskan dari tahanan sejak putusan
diucapkan.
(6) Jika terdakwa dipidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), hakim dapat memerintahkan terdakwa ditahan jika memenuhi syarat
penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 59.
(1) Perintah untuk melepaskan terdakwa dari
tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (4) dan ayat (5) dilaksanakan
oleh penuntut umum dalam waktu paling
lambat 1 (satu) hari setelah putusan diucapkan.
(2) Dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah putusan diucapkan, penuntut umum
harus membuat dan menyampaikan laporan tertulis kepada ketua pengadilan yang
bersangkutan mengenai pelaksanaan perintah tersebut dengan melampirkan surat
pelepasan.
Pasal 189
(1) Dalam hal putusan pemidanaan bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang
namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan barang bukti tersebut harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
(2) Dalam hal barang bukti yang disita
diserahkan kepada pihak yang paling berhak, pengadilan menetapkan supaya barang
bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan
tanpa disertai suatu syarat apapun, kecuali dalam hal putusan pengadilan belum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 190
Semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 191
(1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya
terdakwa, kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari seorang
terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa
yang ada.
(3) Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan,
hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa yang menjadi haknya,
yaitu :
a. hak segera menerima atau segera menolak
putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum menyatakan
menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
ini;
c. hak untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal
terdakwa menerima putusan;
d. hak meminta diperiksa perkaranya di tingkat
banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang ini, dalam hal
terdakwa menolak putusan; dan
e. hak untuk mencabut pernyataan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
ini.
Pasal 192
(1) Putusan
pemidanaan memuat :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi :
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat
dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas
mengenai fakta dan keadaan beserta alat bukti yang diperoleh dari pemeriksaan
di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam
surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan atau
yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah
majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan
telah terpenuhi semua bagian inti dan unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasi dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu
atau keterangan letak kepalsuannya, jika terdapat surat yang dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam
tahanan atau dibebaskan; dan
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan
nama panitera; dan
m. putusan mengenai pemberian ganti kerugian
dalam hal memungkinkan.
(2) Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m tidak dipenuhi, putusan batal
demi hukum.
(3) Putusan
dilaksanakan dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari menurut ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 193
(1) Apabila hakim atau penuntut umum berhalangan, ketua pengadilan
atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari.
(2) Apabila penasihat hukum berhalangan,
terdakwa atau asosiasi penasihat hukum menunjuk penggantinya.
(3) Apabila pengganti sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang dapat
dilanjutkan.
Pasal 194
(1) Putusan
yang bukan merupakan pemidanaan memuat :
a. ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1), kecuali huruf e, huruf f, dan huruf h;
b. pernyataan
bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan
menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
putusan; dan
c. perintah supaya
terdakwa yang ditahan dibebaskan sejak putusan diucapkan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
Pasal ini, kecuali untuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
Pasal ini.
Pasal 195
Petikan putusan ditandatangani oleh hakim dan
panitera segera setelah putusan diucapkan.
Pasal 196
(1) Dalam hal terdapat surat palsu atau
dipalsukan, panitera melekatkan petikan putusan yang ditandatanganinya pada
surat tersebut yang memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat
(1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan tersebut diberi catatan dengan
menunjuk pada petikan putusan tersebut.
(2) Salinan pertama dari surat palsu atau yang
dipalsukan tidak diberikan, kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada
catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan salinan petikan
putusan.
Pasal 197
(1) Panitera membuat Berita Acara sidang dengan
memperhatikan persyaratan yang diperlukan dan memuat segala kejadian di sidang
yang berhubungan dengan pemeriksaan.
(2) Berita Acara sidang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat juga hal yang penting dari keterangan saksi, terdakwa, dan
ahli, kecuali jika hakim ketua sidang menyatakan cukup menunjuk keterangan
dalam Berita Acara pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara
yang satu dengan yang lain.
(3) Atas permintaan penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum,
hakim ketua sidang wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan
secara khusus tentang suatu keadaan atau keterangan.
(4) Berita Acara sidang ditandatangani oleh
hakim ketua sidang dan panitera, kecuali apabila salah seorang dari mereka
berhalangan, maka hal tersebut dinyatakan dalam Berita Acara.
Bagian Kelima
Acara
Pemeriksaan Singkat
Pasal 198
(1) Perkara yang diperiksa menurut acara
pemeriksaan singkat ialah perkara tindak pidana yang tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal 201 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan
hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), penuntut umum menghadapkan
terdakwa beserta saksi, barang bukti, ahli, dan juru bahasa apabila diperlukan.
(3) Dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua, dan Bagian Ketiga
Bab ini dengan ketentuan bahwa:
a.
Penuntut
umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) memberitahukan dengan lisan dari
catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya
dengan menerangkan waktu, tempat, dan keadaan pada waktu tindak pidana
dilakukan, yang dicatat dalam Berita Acara sidang dan merupakan pengganti surat
dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan
tambahan, maka diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari dan apabila dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan
pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara tersebut diajukan ke
sidang pengadilan dengan acara biasa;
c. guna kepentingan pembelaan, maka atas
permintaan terdakwa dan/atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan
paling lama 7 (tujuh) hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi
dicatat dalam Berita Acara sidang; dan
e. hakim memberikan surat yang memuat amar
putusan dan surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan
pengadilan dalam acara biasa.
(4) Perkara yang diperiksa menurut acara
pemeriksaan singkat tidak menggunakan surat dakwaan, hanya mencantumkan
pasal-pasal yang dilanggar.
(5) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan
terhadap terdakwa paling lama 3 (tiga) tahun.
(6) Sidang perkara singkat dilakukan dengan
hakim tunggal.
Bagian Keenam
Jalur
Khusus
Pasal 199
(1)
Pada saat penuntut umum membacakan surat
dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah
melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7
(tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara
pemeriksaan singkat.
(2)
Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita
acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum.
(3)
Hakim wajib:
a.
memberitahukan kepada terdakwa mengenai
hak-hak yang dilepaskannya dengan memberikan pengakuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2);
b.
memberitahukan kepada terdakwa mengenai
lamanya pidana yang kemungkinan dikenakan; dan
c.
menanyakan apakah pengakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diberikan secara sukarela.
(4)
Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jika hakim ragu terhadap kebenaran pengakuan terdakwa.
(5)
Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5),
penjatuhan pidana terhadap terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
boleh melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan.
Bagian Ketujuh
Saksi
Mahkota
Pasal 200
(1) Salah
seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan
Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana,
apabila Saksi membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain yang patut dipidana
dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tidak ada tersangka atau terdakwa
yang peranannya ringan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
maka tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah berdasarkan Pasal 199 dan
membantu secara substantif mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lain
dapat dikurangi pidananya dengan kebijaksanaan hakim pengadilan negeri.
(3) Penuntut umum menentukan tersangka atau
terdakwa sebagai saksi mahkota.
Bagian Kedelapan
Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal 201
(1) Perkara yang diperiksa menurut acara
pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak sebagaimana dimaksud
dalam Kategori I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak
Berita Acara pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang
bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat
pertama dan terakhir.
(4) Dalam hal dijatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan, terdakwa dapat meminta banding.
Pasal 202
Untuk perkara lalu lintas jalan, tidak
diperlukan Berita Acara Pemeriksaan, namun catatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 204 ayat (1) segera diserahkan kepada pengadilan paling lambat pada
kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
Pasal 203
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam 7
(tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana
ringan.
Pasal 204
(1) Penyidik memberitahukan secara tertulis
kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam, dan tempat terdakwa harus menghadap
sidang pengadilan dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik yang selanjutnya catatan dan bersama
berkas dikirim ke pengadilan.
(2) Perkara dengan acara pemeriksaan tindak
pidana ringan yang diterima oleh pengadilan harus segera disidangkan pada hari
sidang itu juga.
(3) Hakim yang bersangkutan memerintahkan
panitera mencatat dalam buku register semua perkara yang diterimanya.
(4) Dalam buku register dimuat nama lengkap,
tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 205
Dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan
saksi tidak wajib mengucapkan sumpah atau janji, kecuali hakim menganggap
perlu.
Pasal 206
(1) Putusan dicatat oleh hakim dalam daftar
catatan perkara dan selanjutnya oleh panitera dicatat dalam register serta
ditanda tangani oleh hakim yang bersangkutan dan panitera.
(2) Berita Acara pemeriksaan sidang tidak
dibuat, kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut ternyata terdapat hal yang
tidak sesuai dengan Berita Acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.
Pasal 207
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua,
dan Bagian Ketiga tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Bagian ini.
Pasal 208
Terdakwa
dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang.
Pasal 209
(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di
sidang, pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan.
(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya
terdakwa, surat amar putusan dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari terhitung
sejak tanggal diputuskan disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa surat amar putusan telah
disampaikan oleh penyidik kepada
terpidana, diserahkan kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
(4) Dalam hal putusan dijatuhkan di luar
hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan,
terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
(5) Dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, terdakwa dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(6) Dengan perlawanan tersebut, putusan di luar hadirnya terdakwa
menjadi gugur.
(7) Setelah panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan tersebut, hakim
menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara tersebut.
(8) Jika putusan setelah diajukannya perlawanan
tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terhadap putusan
tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 210
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa
syarat kepada yang paling berhak dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari
terhitung sejak tanggal putusan dijatuhkan, jika terpidana telah memenuhi isi amar
putusan.
Bagian Kesembilan
Tata
Tertib Persidangan
Pasal 211
(1) Hakim ketua sidang memimpin dan memelihara
tata tertib persidangan.
(2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim
ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan
dengan segera dan cermat.
Pasal 212
(1) Dalam ruang sidang, siapa pun wajib
menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
(2) Siapa pun yang berada di sidang pengadilan
bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib
setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintah hakim ketua
sidang, yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal pelanggaran tata tertib
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam
suatu undang-undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang
tersebut.
Pasal 213
(1) Siapa pun dilarang membawa senjata api,
senjata tajam, bahan peledak, alat atau benda yang dapat membahayakan keamanan
sidang.
(2) Tanpa surat perintah, petugas keamanan
pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk
menjamin bahwa kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata,
bahan, alat, ataupun benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pada seseorang yang digeledah
ditemukan membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat, atau benda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas meminta yang bersangkutan
untuk menitipkannya.
(4) Apabila yang bersangkutan bermaksud
meninggalkan ruang sidang untuk seterusnya, petugas wajib menyerahkan kembali
senjata api, senjata tajam, bahan peledak, alat, atau benda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) titipannya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan terhadap seseorang yang membawa
senjata, bahan, alat, atau benda tersebut apabila ternyata bahwa penguasaan
atas senjata, bahan, alat, atau benda tersebut merupakan tindak pidana.
Pasal 214
(1) Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang
berkaitan dengan kepentingannya, baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam
hal hakim mempunyai kepentingan dengan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri
maupun atas permintaan penuntut umum,
terdakwa, atau penasihat hukumnya.
(3) Apabila
terdapat keraguan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
maka ketua pengadilan tinggi yang menetapkannya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku juga bagi penuntut umum.
Pasal 215
(1)
Dalam hal terdapat alasan yang kuat mengenai
obyektivitas, kebebasan, dan keberpihakan hakim atau majelis hakim yang
menyidangkan perkara, penuntut umum,
terdakwa, atau penasihat hukum dapat mengajukan permohonan pergantian hakim
atau majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
(2)
Permohonan pergantian hakim atau majelis
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum pemeriksaan perkara
pokok kepada ketua pengadilan negeri.
(3)
Dalam hal ketua pengadilan negeri tidak mengabulkan permohonan
pergantian hakim atau majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
permohonan diajukan kepada ketua pengadilan tinggi.
(4)
Apabila permohonan pergantian hakim atau
majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, dalam waktu paling
lama 3 (tiga) hari ketua pengadilan
negeri membuat penetapan mengenai penggantian hakim atau majelis hakim.
Pasal 216
(1) Setiap
terdakwa yang diputus pidana wajib membayar biaya perkara.
(2) Dalam hal
terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara
dibebankan kepada negara.
(3) Dalam hal
terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran
biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara.
Pasal 217
(1) Jika hakim memberi perintah kepada seseorang
untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar sidang, hakim dapat menunda
pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang lain.
(2) Dalam hal sumpah atau janji dilakukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim menunjuk panitera untuk menghadiri
pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat Berita Acaranya.
Pasal 218
Semua putusan pengadilan disimpan dalam arsip
oleh pengadilan yang mengadili perkara pada tingkat pertama dan dilarang
dipindahkan, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 219
(1) Panitera membuat dan menyediakan buku
daftar untuk semua perkara.
(2) Dalam buku daftar tersebut dicatat:
a. nama dan identitas terdakwa;
b. tindak pidana yang didakwakan;
c. tanggal penerimaan perkara;
d. tanggal terdakwa mulai ditahan apabila
terdakwa berada dalam tahanan;
e. tanggal dan isi putusan secara singkat;
f. tanggal penerimaan permintaan dan putusan
banding atau kasasi;
g. tanggal permohonan serta pemberian grasi,
amnesti, abolisi, atau rehabilitasi; dan
h. hal lain yang erat kaitan dengan proses
perkara.
Pasal 220
(1) Petikan surat putusan pengadilan diberikan
kepada terdakwa, penasihat hukum, penyidik, dan penuntut umum, sesaat setelah putusan
diucapkan.
(2) Salinan surat putusan pengadilan diberikan
kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau
penasihat hukum diberikan atas
permintaan.
(3) Salinan surat putusan pengadilan hanya dapat
diberikan kepada orang lain dengan seizin ketua pengadilan setelah
mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.
(1) Semua jenis pemberitahuan atau panggilan
oleh pihak yang berwenang pada semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa,
saksi, atau ahli disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum tanggal
kehadiran yang ditentukan, di tempat tinggal atau di tempat kediaman terdakwa,
saksi, atau ahli terakhir.
(2) Petugas yang melaksanakan panggilan tersebut
harus bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil dan
membuat catatan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan dengan
membubuhkan tanggal dan tanda tangan, baik oleh petugas maupun orang yang
dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak menandatangani maka petugas harus
mencatat alasannya.
(3) Dalam hal orang yang dipanggil tidak
terdapat di salah satu tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa atau lurah dan jika di luar negeri
melalui perwakilan negara Republik Indonesia di tempat orang yang dipanggil
berdiam.
(4) Dalam hal tidak diketahui tempat tinggal
atau kediamannya dan surat belum berhasil disampaikan, maka surat panggilan
ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang mengeluarkan panggilan
tersebut.
Pasal 222
Jangka waktu atau tenggang waktu menurut
Undang-Undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya.
Pasal 223
(1) Saksi atau ahli, yang telah hadir memenuhi
panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan,
berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib
memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 224
(1) Sidang pengadilan dilaksanakan di gedung
pengadilan dalam ruang sidang.
(2) Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum, dan panitera
mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
(3) Ruang sidang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditata menurut ketentuan sebagai berikut :
a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih
tinggi dari tempat penuntut umum,
terdakwa, penasihat hukum, dan pengunjung;
b. tempat panitera terletak di sisi kanan
belakang tempat hakim ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan
tempat hakim;
d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak
di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan
tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi
terletak di depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar
terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat
saksi yang telah didengar;
h. Bendera Negara Indonesia ditempatkan di
sebelah kanan meja hakim dan Panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja
hakim sedangkan lambang negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang
meja hakim;
i tempat rohaniwan terletak di sebelah kiri
tempat panitera;
j. tempat sebagaimana dimaksud pada huruf a
sampai dengan huruf i diberi tanda pengenal
atau jabatan; dan
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu
masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
(4) Apabila sidang pengadilan dilangsungkan di
luar gedung pengadilan, maka tata tempat sedapat mungkin disesuaikan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak dapat dipenuhi, maka paling kurang Bendera Negara Indonesia
harus ada dan ditempatkan.
Pasal 225
(1) Sebelum sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum, dan pengunjung
yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang.
(2) Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan
ruang sidang, semua yang hadir wajib berdiri dalam rangka memberi penghormatan.
(3) Selama sidang berlangsung, setiap orang
yang keluar masuk ruang sidang diwajibkan memberi hormat.
Pasal 226
Jenis, bentuk, dan warna pakaian sidang serta
atribut dan hal yang berhubungan dengan perangkat kelengkapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 ayat (2) dan ayat (3) dan ketentuan lebih lanjut
mengenai tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 diatur
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 227
Semua biaya yang
dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Bab XIII dibebankan pada negara.
BAB XIII
UPAYA
HUKUM BIASA
Bagian
Kesatu
Pemeriksaan
Tingkat Banding
Pasal 228
(1) Permohonan banding dapat diajukan ke
pengadilan tinggi oleh terdakwa atau kuasanya atau penuntut umum, kecuali putusan bebas.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterima oleh panitera pengadilan negeri dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan
kepada terdakwa yang tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
209 ayat (2).
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), panitera membuat surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera dan
pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang bersangkutan.
(4) Dalam hal pemohon tidak dapat menghadap,
harus dicatat oleh panitera dengan disertai alasannya dan catatan harus
dilampirkan dalam berkas perkara dan ditulis dalam daftar perkara pidana.
(5) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan banding,
baik yang diajukan oleh penuntut umum
maupun terdakwa atau yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka
panitera wajib memberitahukan permohonan dari pihak yang satu kepada pihak yang
lain.
Pasal 229
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 228 ayat (2) telah lewat tanpa diajukan permohonan banding oleh
yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Dalam hal telah lewat waktu dan yang bersangkutan
dianggap menerima putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal
tersebut serta dilekatkan pada berkas perkara.
Pasal 230
(1) Apabila perkara banding belum diputus oleh
pengadilan tinggi, maka permohonan
banding dapat dicabut sewaktu-waktu.
(2) Dalam hal perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sudah dicabut, permohonan banding untuk perkara tersebut tidak boleh
diajukan lagi.
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa,
namun belum diputus sedangkan pemohon
mencabut permohonan bandingnya, maka pemohon dibebankan kewajiban membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat
pencabutannya.
Pasal 231
(1) Dalam waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari terhitung sejak permohonan banding
diajukan, panitera mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri, berkas perkara, dan surat
bukti kepada pengadilan tinggi.
(2) Pemohon banding wajib diberi kesempatan
untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi.
(3) Dalam hal pemohon banding yang dengan jelas
menyatakan secara tertulis akan mempelajari berkas perkara tersebut di
pengadilan tinggi, maka kepada pemohon
wajib diberi kesempatan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh pengadilan tinggi.
(4) Pemohon banding wajib diberi kesempatan
untuk sewaktu-waktu meneliti keaslian berkas perkaranya.
Pasal 232
Selama pengadilan tinggi belum mulai
memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa, kuasanya, maupun penuntut umum dapat menyerahkan memori banding
atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi.
Pasal 233
(1) Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan
oleh pengadilan tinggi dengan paling sedikit 3 (tiga) orang hakim atas dasar
berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari Berita
Acara pemeriksaan dari penyidik, Berita Acara
pemeriksaan di sidang pengadilan
negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang atau berhubungan erat dengan
perkara tersebut dan putusan pengadilan
negeri.
(2) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih
ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding.
(3) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
terhitung sejak tanggal menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi wajib
mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak,
baik karena jabatannya maupun atas permintaan
terdakwa.
(4) Jika dipandang perlu, pengadilan tinggi
mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara
singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahuinya.
Pasal 234
(1)
Sebelum pengadilan tinggi memutus perkara
banding tindak pidana korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme,
pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, pembacaan konklusi
dilakukan oleh kepala Kejaksaan Tinggi.
(2)
Ketua pengadilan tinggi memberitahukan kepada
kepala kejaksaan tinggi mengenai waktu pembacaan konklusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3)
Dalam hal kepala Kejaksaan Tinggi
berhalangan, pembacaan konklusi dilakukan oleh wakil kepala Kejaksaan Tinggi
atau salah seorang asisten Kejaksaan Tinggi yang ditunjuknya.
(4)
Konklusi kepala Kejaksaan Tinggi menjadi
salah satu pertimbangan putusan pengadilan tinggi.
Pasal 235
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan Pasal 214 berlaku juga bagi pemeriksaan
perkara dalam tingkat banding.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan/atau panitera tingkat banding dengan hakim atau panitera tingkat
pertama yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Dalam hal
hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama diangkat menjadi hakim pada
pengadilan tinggi,hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama dalam
tingkat banding.
Pasal 236
(1) Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa
dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata terdapat kelalaian dalam penerapan
hukum acara atau kekeliruan atau kekuranglengkapan, maka pengadilan tinggi
dengan suatu keputusan dapat memerintahkan Pengadilan negeri untuk memperbaiki
hal tersebut atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri.
(2) Jika diperlukan, pengadilan tinggi dapat
membatalkan penetapan dari Pengadilan negeri sebelum putusan pengadilan tinggi
dijatuhkan.
Pasal 237
(1) Setelah semua hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 236 dipertimbangkan
dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan, mengubah, atau
dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadili
sendiri atas perkara tersebut.
(2) Dalam hal pembatalan tersebut terjadi atas
putusan pengadilan negeri karena pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara
tersebut maka berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139.
Pasal 238
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding,
terdakwa yang dipidana ditahan dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam
putusannya memerintahkan supaya terdakwa tetap ditahan atau dibebaskan.
Pasal 239
(1) Salinan putusan pengadilan tinggi beserta
berkas perkara dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan
dijatuhkan, putusan dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus pada tingkat
pertama.
(2) Isi putusan setelah dicatat dalam buku
register dalam waktu paling lama 1 (satu) hari oleh panitera pengadilan negeri diberitahukan kepada
terdakwa dan penuntut umum dan
selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam salinan putusan pengadilan
tinggi.
(3) Ketentuan mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 220 berlaku juga bagi putusan pengadilan tinggi.
(4) Dalam hal terdakwa bertempat tinggal di
luar daerah hukum pengadilan negeri
tersebut, panitera dapat meminta bantuan kepada panitera pengadilan negeri yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal terdakwa untuk memberitahukan isi putusan tersebut
kepadanya.
(5) Dalam hal terdakwa tidak diketahui tempat
tinggalnya, maka isi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
melalui kepala desa atau dalam hal terdakwa bertempat tinggal di luar negeri,
disampaikan melalui pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia tempat
terdakwa biasa berdiam.
(6) Dalam hal surat putusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) masih belum juga berhasil disampaikan, terdakwa
dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui dua buah surat kabar yang terbit
dalam daerah hukum pengadilan negeri itu
sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Pasal 240
Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Pasal 241
(1)
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon
kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama,
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permintaan tersebut oleh panitera ditulis
dalam surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon dan
dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam hal pengadilan negeri menerima permohonan kasasi,
baik yang diajukan oleh penuntut umum
atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, panitera
wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Pasal 242
(1) Apabila tenggang waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 241 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Apabila dalam tenggang waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi, maka
hak untuk mengajukan gugur.
(3) Dalam hal lewatnya waktu dan keterlambatan
waktu mengajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), maka
panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal tersebut serta melekatkannya
pada berkas perkara.
Pasal 243
(1) Selama perkara permohonan kasasi belum
diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan
dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara tersebut tidak dapat
diajukan lagi.
(2) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah
Agung, berkas tersebut tidak perlu dikirimkan.
(3) Apabila perkara telah mulai diperiksa dan
belum diputus, akan tetapi pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon
dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
hingga saat pencabutannya.
(4) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan 1
(satu) kali.
Pasal 244
(1) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori
kasasi yang memuat alasan permohonan kasasi dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah mengajukan permohonan kepada panitera dan panitera setelah
menerima pengajuan tersebut memberikan surat tanda terima.
(2) Dalam hal terdakwa pemohon kasasi kurang
memahami hukum, maka panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib
menanyakan apakah alasan pengajuan permohonan tersebut dan panitera membuatkan
memori kasasinya.
(3) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 249 ayat (1).
(4) Dalam hal pemohon terlambat menyerahkan
memori kasasi sebagaimana ditentukan pada ayat (1), maka hak untuk mengajukan
permohonan kasasi gugur.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
242 ayat (3) berlaku juga untuk ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh
salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain
tersebut berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(7) Dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak
yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 245
(1) Dalam hal salah satu pihak berpendapat
masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori
kasasi, pihak yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan
tersebut dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 ayat (1).
(2) Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diserahkan kepada panitera pengadilan.
(3) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan
kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada
Mahkamah Agung.
Pasal 246
(1) Setelah panitera pengadilan negeri menerima
memori kasasi dan/atau kontra memori kasasi, panitera dalam waktu paling lama 1
(satu) hari wajib mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung.
(2) Setelah panitera Mahkamah Agung menerima
berkas perkara tersebut, seketika panitera mencatat dalam buku agenda surat,
buku register perkara, dan pada kartu petunjuk.
(3) Buku register perkara tersebut wajib
dikerjakan secara ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari
kerja yang harus diketahui dan ditandatangani oleh ketua Mahkamah Agung.
(4) Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan,
maka penandatanganan dilakukan oleh wakil ketua Mahkamah Agung.
(5) Jika wakil ketua Mahkamah Agung
berhalangan, maka dengan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung ditunjuk salah
satu hakim anggotanya.
(6) Selanjutnya panitera Mahkamah Agung
mengeluarkan surat bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada panitera
pengadilan negeri yang bersangkutan, sedangkan kepada para pihak dikirimkan
tembusannya.
Pasal 247
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 berlaku juga bagi pemeriksaan perkara
dalam tingkat kasasi.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1) berlaku juga
antara hakim dan/atau panitera tingkat kasasi dengan hakim dan/atau panitera
tingkat banding serta tingkat pertama yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika seorang
hakim yang mengadili perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding,
kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada Mahkamah Agung, maka yang
bersangkutan dilarang bertindak sebagai hakim atau panitera untuk perkara yang
sama dalam tingkat kasasi.
Pasal 248
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
214 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat
kasasi.
(2) Apabila ada keraguan atau perbedaan
pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dalam tingkat
kasasi :
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya
bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung
sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri dari
tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota.
Pasal 249
(1)
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan
oleh Mahkamah Agung atas permohonan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
240 dan Pasal 255 guna menentukan :
a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak
diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah
benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim atas dasar berkas
perkara yang diterima dari pengadilan selain Mahkamah Agung, yang terdiri dari
Berita Acara pemeriksaan dari penyidikan Berita Acara pemeriksaan di sidang,
semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara tersebut, beserta
putusan pengadilan tingkat pertama dan/atau tingkat terakhir.
(3) Jika dipandang perlu, untuk kepentingan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung dapat mendengar
sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara
singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya
atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk mendengar keterangan mereka dengan cara pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang untuk menentukan penahanan beralih
ke Mahkamah Agung, sejak diajukannya permohonan kasasi.
(5) Dalam waktu tiga hari sejak menerima berkas
perkara kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Agung wajib
mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak,
baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
(6) Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penetapan penahanan, Mahkamah Agung
wajib memeriksa perkara tersebut.
Pasal 250
(1)
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan
kasasi karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241,
Pasal 242, dan Pasal 243 mengenai hukumnya, Mahkamah Agung dapat memutus untuk
menolak atau mengabulkan permohonan kasasi.
(2)
Dalam hal Mahkamah Agung menerima permohonan
kasasi, Mahkamah Agung memutus mengenai penerapan hukum dan tidak
mengenai fakta atau pembuktian.
(3)
Putusan Mahkamah Agung mengenai pemidanaan
tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Pasal 251
(1)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya,
Mahkamah Agung mengadili perkara tersebut.
(2)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena
cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah
Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang
bersangkutan memeriksanya kembali mengenai bagian yang dibatalkan, atau
berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut
diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3)
Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena
pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara
tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili
perkara tersebut.
Pasal 252
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan yang dimintakan kasasi
dan dalam hal itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251.
Pasal 253
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220
dan Pasal 239 berlaku juga bagi putusan kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang
waktu tentang pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada
pengadilan yang memutus pada tingkat pertama dalam waktu 14 (empat belas) hari.
Pasal 254
(1) Sebelum Mahkamah Agung memutus perkara
kasasi tindak pidana korupsi, pelanggaran berat hak asasi manusia, terorisme,
pencucian uang, atau kejahatan terhadap keamanan negara, Jaksa Agung membacakan
konklusi.
(2) Dalam hal Jaksa Agung berhalangan pembacaan
konklusi dilakukan oleh wakil Jaksa Agung atau salah seorang Jaksa Agung Muda.
(3) Konklusi Jaksa Agung menjadi salah satu
pertimbangan putusan kasasi Mahkamah Agung.
Pasal 255
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240
sampai dengan Pasal 254 berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap
putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
BAB XIV
UPAYA
HUKUM LUAR BIASA
Bagian
kesatu
Pemeriksaan
Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pasal 256
(1) Demi kepentingan hukum terhadap semua
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain
Mahkamah Agung, dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan kasasi demi kepentingan
hukum oleh Jaksa Agung.
(2) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak
boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 257
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum
disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui
panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai
risalah yang memuat alasan permintaan tersebut.
(2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari oleh panitera disampaikan kepada
pihak yang berkepentingan.
(3) Ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) hari meneruskan permintaan tersebut
kepada Mahkamah Agung.
Pasal 258
(1) Salinan putusan kasasi demi kepentingan
hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa Agung dan kepada pengadilan
yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
239 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga dalam ketentuan ini.
Pasal 259
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256,
Pasal 257, dan Pasal 258 berlaku bagi acara permohonan kasasi demi kepentingan
hukum terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Bagian Kedua
Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh
Kekuatan
Hukum Tetap
Pasal 260
(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap berupa pemidanaan, terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permohonan peninjauan kembali dilakukan
atas dasar :
a.
apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau
terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; atau
b.
apabila dalam berbagai putusan terdapat
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti tersebut ternyata
bertentangan antara satu dengan yang lain.
(3)
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali, apabila
dalam putusan tersebut suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan
terbukti, akan tetapi tidak diikuti suatu pemidanaan.
Pasal 261
Apabila terpidana atau ahli warisnya tidak
mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1),
demi kepentingan terpidana atau ahli warisnya, Jaksa Agung berwenang mengajukan peninjauan kembali.
Pasal 262
(1)
Permohonan peninjauan kembali tidak dibatasi
dengan jangka waktu.
(2)
Permohonan peninjauan kembali atas suatu
putusan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Pasal 263
(1) Permohonan peninjauan kembali oleh
terpidana atau ahli warisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1)
diajukan kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan negeri yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241
ayat (2) berlaku juga bagi permohonan peninjauan kembali.
(3)
Dalam hal terpidana yang memohon peninjauan
kembali kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan peninjauan
kembali wajib menanyakan mengenai alasan pengajuan permohonan tersebut dan
untuk hal tersebut panitera membuatkan surat permohonan peninjauan kembali.
(4)
Ketua pengadilan dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari mengirimkan surat permohonan peninjauan kembali beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai dengan catatan penjelasan.
Pasal 264
(1)
Ketua pengadilan negeri setelah menerima permohonan
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) menunjuk hakim
yang tidak memeriksa perkara semula yang dimohonkan peninjauan kembali itu
untuk memeriksa permohonan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (2).
(2)
Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3)
Atas pemeriksaan tersebut dibuat Berita Acara
pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, dan panitera dan
berdasarkan Berita Acara itu dibuat Berita Acara pendapat yang ditandatangani
oleh hakim dan panitera.
(4)
Ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 1
(satu) hari setelah permohonan peninjauan kembali diterima melanjutkan
permohonan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, Berita
Acara Pemeriksaan dan Berita Acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan
surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa.
(5)
Dalam hal suatu perkara yang dimohonkan
peninjauan kembali merupakan putusan pengadilan banding, tembusan surat
pengantar tersebut harus dilampiri tembusan Berita Acara Pemeriksaan serta
Berita Acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang
bersangkutan.
Pasal 265
(1) Setelah berkas permohonan peninjauan
kembali diterima, Ketua Mahkamah Agung atau hakim agung yang ditunjuk memeriksa
permohonan tersebut dan menetapkan permohonan peninjauan kembali telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (3).
(2) Dalam memeriksa permohonan peninjauan
kembali, Mahkamah Agung memutus dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Ketua
Mahkamah Agung.
(3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan
sebagai berikut :
a.
apabila
Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak
permohonan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b.
apabila
Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali dan melimpahkan perkara kepada pengadilan negeri yang memutus perkara dan pengadilan negeri tersebut menjatuhkan putusan
berupa:
1) putusan bebas;
2) putusan
lepas dari segala tuntutan hukum;
3) putusan
yang menyatakan tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima; atau
4) putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(4) Pidana yang dijatuhkan dalam putusan
peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam
putusan yang dimintakan peninjauan kembali.
(5) Apabila terpidana telah menjalani putusan
yang diajukan peninjauan kembali dan ternyata putusan peninjauan kembali
membebaskan, melepaskan dari segala tuntutan hukum, putusan tidak dapat
menerima tuntutan penuntut umum atau
putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan, maka pemohon
peninjauan kembali atau ahli warisnya wajib diberikan ganti kerugian dan
rehabilitasi.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 266
(1)
Kecuali untuk pelaksanaan pidana mati,
pemusnahan, perusakan barang bukti, permohonan peninjauan kembali atas suatu
putusan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2)
Dalam hal permohonan peninjauan kembali sudah
diterima oleh Mahkamah Agung dan pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan
atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada ahli warisnya.
Pasal 267
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260
sampai dengan Pasal 266 berlaku bagi acara permohonan peninjauan kembali
terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
BAB XV
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 268
(1) Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa.
(2) Salinan putusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikirim panitera kepada jaksa.
Pasal 269
Dalam hal pidana mati dilaksanakan terhadap
terpidana, pelaksanaannya didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 270
Jika terpidana dipidana penjara dan kemudian
dijatuhi pidana yang sejenis sebelum terpidana menjalani pidana yang dijatuhkan
terdahulu, pidana tersebut dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang
dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal 271
(1)
Jika putusan pengadilan menjatuhkan putusan
pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan untuk
membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang
harus seketika dilunasi.
(2)
Dalam hal terdapat alasan yang kuat, jangka
waktu sebagaimana dimakud pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama 1
(satu) bulan.
(3)
Jika putusan pengadilan menetapkan barang
bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan
dalam waktu 3 (tiga) bulan dilelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara sebagai hasil dinas kejaksaan.
(4)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan.
Pasal 272
(1) Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga
putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai pelaksanaan pidana denda.
(2) Jaksa wajib menyerahkan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada korban paling lama 1 (satu) hari
setelah ganti kerugian diterima.
Pasal 273
Apabila dalam satu perkara yang dipidana
lebih dari 1 (satu) orang, biaya perkara dan/atau ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 272 dibebankan kepada mereka bersama-sama secara
berimbang.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana
bersyarat, maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan
yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XVI
PENGAWASAN
DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 275
(1)
Pada setiap pengadilan harus ada paling
sedikit 3 (tiga) hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
(2)
Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk
paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 276
Jaksa mengirimkan tembusan Berita Acara
pelaksanaan putusan pengadilan yang ditandatangani oleh jaksa tersebut, kepala
lembaga pemasyarakatan, dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara
pada tingkat pertama dan panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan
pengamatan.
Pasal 277
Register pengawasan dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 wajib dikerjakan, ditutup, dan
ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan ditandatangani juga
oleh hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275.
Pasal 278
(1)
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan
pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
(2)
Hakim pengawas dan pengamat mengadakan
pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi
pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga
pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani
pidananya.
(3)
Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya.
(4)
Pengawasan dan pengamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 275 berlaku bagi pemidanaan bersyarat.
Pasal 279
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat,
Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala tentang
perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan
pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan Kepala
Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Pasal 281
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan
oleh hakim pengawas dan pengamat kepada
ketua pengadilan secara berkala.
BAB XVII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 282
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku :
a. Perkara
tindak pidana yang proses penyidikan atau penuntutannya sedang dilakukan,
penyidikan atau penuntutannya diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
b. Perkara
tindak pidana yang sudah terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetapi
proses penyidikan atau penuntutannya belum dimulai, penyidikan atau
penuntutannya dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini;
c. Perkara
tindak pidana yang sudah dilimpahkan ke pengadilan dan sudah dimulai proses
pemeriksaannya tetap diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali
untuk proses peninjauan kembali berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini;
d. Perkara
tindak pidana yang sudah dilimpahkan ke pengadilan tetapi proses pemeriksaannya belum
dimulai, diperiksa, diadili, dan diputus berdasarkan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 283
(1) Hakim komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Sebelum dilakukan pengangkatan hakim komisaris sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini, tugas dan wewenang hakim komisaris dilaksanakan oleh wakil ketua pengadilan negeri setempat.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 284
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 285
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana ini
merupakan kodifikasi yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Pasal 286
Undang-Undang ini mulai berlaku 6 (enam)
bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN.....NOMOR.....
(Rancangan)
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
HUKUM ACARA PIDANA
Dua
puluh tujuh tahun perjalanan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) merupakan waktu yang cukup panjang untuk melihat,
memahami, dan mendalami kelemahan dan kelebihan makna substansi KUHAP tersebut
dalam implementasinya. Dalam waktu lebih dari seperempat abad ini pula terjadi
perubahan sosial, ekonomi, dan hukum akibat kemajuan teknologi, terutama di
bidang komunikasi dan transportasi sehingga dunia terasa semakin kecil.
Globalisasi ekonomi, keuangan, dan perdagangan semakin meluas sehingga suatu
negara tidak dapat menutup diri dari pengaruh luar termasuk di bidang hukum.
Indonesia
juga telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional yang substansinya
langsung berkaitan dengan penegakan hukum antara lain:
a.
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment yang disahkan dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan
Martabat Manusia;
b.
International Covenant on Civil and Political Rights yang
disahkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik) ;
c.
United Nations Convention Against Corruption yang
disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Anti Korupsi, 2003).
Dalam
International
Covenant on Civil and Political Rights diatur sejumlah ketentuan mengenai hak
asasi manusia, terutama mengenai penahanan yang langsung terkait dengan
substansi KUHAP.
Selain
permasalahan praktik penanganan perkara tindak pidana, perkembangan hukum dan
perubahan peta politik yang dibarengi dengan perkembangan ekonomi,
transportasi, dan teknologi yang global berpengaruh pula pada makna dan
keberadaan substansi KUHAP.
Perubahan
harus dimaknai dengan suatu keinginan yang lebih maju, terutama demi
menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat seiring dengan aspirasi rakyat yang
berkembang sesuai dengan tuntutannya. Untuk itu, perubahan KUHAP yang
diiinginkan harus mencerminkan tuntutan tersebut, tanpa meninggalkan asas-asas
yang terkandung sebelumnya, misalnya asas:
1.
Perlakuan yang sama atas diri setiap
orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2.
Penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang
diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang
diatur dengan undang-undang;
3.
Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap;
4.
Orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, atau didadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak
hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum
tersebut dilanggar, dituntut, dipidana, atau dikenakan hukuman disiplin;
5.
Peradilan harus dilakukan dengan cepat,
sederhana, biaya ringan, bebas, jujur, dan tidak memihak, harus diterapkan
secara konsekuen pada seluruh tingkat peradilan;
6.
Setiap orang yang tersangkut perkara
wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atau dirinya;
7.
Terhadap tersangka, sejak saat
dilakukan penangkapan atau penahanan wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum
apa yang didakwakan kepadanya dan wajib diberitahu haknya tersebut termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan advokat;
8.
Pengadilan memeriksa perkara pidana
dengan hadirnya terdakwa, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
9.
Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;
10.
Acara pidana yang diatur dalam
Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar (fair) dan para pihak berlawanan secara
berimbang (adversarial);
dan
11.
Bagi setiap korban harus diberikan
penjelasan mengenai hak yang diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan
pada semua tingkat peradilan.
Di dalam KUHAP ini
dipertegas adanya asas legalitas demi terciptanya kepastian hukum dalam hukum
acara pidana sehingga ketentuan hukum tak tertulis tidak dapat dijadikan dasar
untuk melakukan tindakan dalam lingkup hukum acara pidana. Ditentukan pula
bahwa ruang lingkup hukum acara pidana untuk melaksanakan tata cara peradilan
dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan, kaitannya dengan
pemisahan lingkungan peradilan militer. Lingkup berlakunya hukum acara pidana
ini adalah termasuk pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
umum.
Ketentuan
mengenai penyelidikan, disesuaikan dengan perkembangan hukum, terutama
berkaitan dengan penyelesaian perkara atas pelanggaran hak asasi manusia. Kewenangan
penyelidikan tidak hanya dilakukan oleh
pejabat kepolisian, melainkan juga pegawai negeri atau orang tertentu,
misalnya pejabat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Selain
perluasan kewenangan penyelidikan, penyidikan juga diperluas tidak hanya pejabat
kepolisian, melainkan antara lain 2 (dua) pejabat tertentu yakni pejabat
imigrasi dan pejabat bea cukai, yang ditetapkan oleh KUHAP yang diberikan
kewenangan menyidik dan menyerahkan berkas penyidikannya langsung kepada jaksa
penuntut umum. Dengan demikian, di luar pejabat di atas, undang-undang lain
tidak dapat menentukan selain pejabat kepolisian negara dan pejabat penyidik
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk kepastian hukum dan menghindari tumpang
tindih kewenangan penyidikan di kemudian hari oleh suatu undang-undang yang
mengaturnya. Keberadaan pegawai negeri sipil penyidik (PNSP) yang dulu dikenal
dengan PPNS, tetap diberikan kewenangan sesuai dengan undang-undang yang
mengaturnya, tetapi dibatasi dengan memperhatikan kekhususan tugas dan fungsi yang
secara teknis memerlukan keahlian tertentu atau spesifik.
Untuk
peningkatan profesionalitas penyidikan, dalam KUHAP ini penyidik pembantu
ditiadakan sehingga diharapkan seluruh penyidik di jajaran Kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat disejajarkan dengan penegak hukum lainnya.
Dalam
KUHAP ini beberapa hal yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
ditiadakan, misalnya, kewenangan prapenuntutan penuntut umum; kewenangan
penangkapan dalam tahap penyelidikan; penahanan rumah dan penahanan kota
(konsep penahanan hanya pada rumah tahanan negara); masa perpanjangan penahanan
karena alasan tertentu. Rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan) dalam
KUHAP ini juga ditiadakan, yakni dengan memberikan kewenangan masing-masing
instansi yang melakukan penyitaan sesuai dengan tingkat pemeriksaan. Keberadaan
Rupbasan tersebut pada awalnya dikehendaki untuk secepatnya melaksanakan KUHAP,
namun dalam perjalanannya banyak mengalami kendala, di samping juga belum
tersedianya sarana dan prasarana.
Penangkapan dilakukan
paling lama 1 hari, dengan ketentuan bahwa waktu penangkapan diperhitungkan
setelah yang bersangkutan berada dalam tempat pemeriksaan, bukan pada saat
ditangkap. Waktu penahanan pada semua tingkat peradilan diubah menjadi 30 (tiga
puluh) hari dan dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sehingga
keseluruhan jumlah penahanan dari tingkat penahanan oleh penyidik sampai
tingkat pemeriksaan kasasi oleh Mahkamah Agung adalah 300 (tiga ratus) hari.
Ditentukan pula bahwa lamanya penahanan tidak boleh melebihi ancaman pidana
maksimum. Penangguhan penahanan hanya dijamin dengan uang dan syarat serta
besarnya jaminan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai rujukan atau
acuan terhadap peraturan perundang-undangan lainnya, KUHAP ini secara umum
mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pelapor, pengadu, saksi, dan korban
sebagai wujud tegaknya hukum dan keadilan masyarakat.
Bantuan hukum
dilakukan oleh advokat, disesuaikan dengan Undang-Undang tentang Advokat.
Penasihat hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam berhubungan dengan
tersangka atau terdakwa diawasi oleh penyidik, penuntut umum, dan petugas
rutan. Ditentukan pula mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk menolak
bantuan hukum.
Ditentukan pula
mengenai terdakwa yang berhak untuk banding terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama, kecuali terhadap putusan bebas (bukan lepas dari segala tuntutan hukum
dan putusan pengadilan dalam acara cepat).
Untuk menggantikan
lembaga praperadilan yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya,
ditentukan lembaga baru dalam KUHAP ini, yakni lembaga “ hakim komisaris”.
Lembaga ini pada dasarnya merupakan lembaga yang
terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak dan hakim di lain
pihak. Wewenang hakim komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada
prapenuntutan (lembaga praperadilan).
Peradilan koneksitas
sebagai lembaga yang selama ini memisahkan antara peradilan pidana militer dan
peradilan pidana umum tidak lagi ditentukan atau diatur dalam KUHAP ini. Hal
ini berkaitan dengan keinginan adanya penundukan militer ke dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, kecuali Kitab Undang-Undang Pidana Militer
menentukan lain.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ketentuan di dalam pasal ini adalah asas
legalitas dalam hukum acara pidana. Ada perbedaan antara asas legalitas di dalam hukum acara pidana dan hukum pidana
materiel yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang memakai istilah perundang-undangan pidana, sedangkan di sini
dipakai istilah Undang-Undang pidana. Ini berarti peraturan yang lebih rendah
dari undang-undang misalnya peraturan daerah tidak boleh mengatur acara pidana,
seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan seterusnya, tetapi boleh
merumuskan suatu tindak pidana.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini disebut
lex specialis derogate legi generali, artinya undang-undang hukum pidana
di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana boleh mengatur beberapa ketentuan
hukum acara pidana sendiri yang menyimpang dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, namun jika tidak menyimpang secara tegas, maka berlaku ketentuan yang
diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Misalnya, Undang-Undang
tentang Terorisme yang mengatur mengenai jangka waktu penahanan yang lebih lama
daripada yang ditentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 4
Yang
dimaksud dengan “dilaksanakan secara wajar” adalah setiap orang yang melakukan
tindak pidana dan dituntut karena tindak pidana yang sama diadili berdasarkan
peraturan yang sama.
Yang
dimaksud dengan “para pihak berlawanan secara berimbang” adalah yang dikenal
dengan sistem adversarial yang harus menjamin keseimbangan antara hak penyidik, hak penuntut umum, dan/atau hak tersangka atau terdakwa
dalam proses peradilan pidana.
Dengan
demikian, penerapan hukum acara pidana di Indonesia merupakan perpaduan antara
sistem Eropa Kontinental dengan sistem adversarial.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan
tertentu” antara lain, meninggal dunia, tidak mampu secara fisik dan mental,
dibawah pengampuan, atau di bawah perwalian.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud ”pejabat pegawai negeri yang
ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang
untuk melakukan penyidikan”, ialah yang ditunjuk oleh perundang-undangan
administrasi yang bersanksi pidana, misalnya pejabat Bea Cukai, Imigrasi, Tera,
Perikanan, Lalu -Lintas dan Angkutan Jalan, dan lain-lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pejabat suatu
lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi
wewenang untuk melakukan penyidikan", ialah:
-
Kejaksaan yang berwenang menyidik pelanggaran berat Hak
Asasi Manusia, korupsi dan lain-lain;
-
Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang menyidik
tindak pidana korupsi; dan
-
Perwira Angkatan Laut yang berwenang menyelidiki
pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “tindakan pertama” antara lain, mengamankan tempat kejadian
perkara, memasang garis polisi (police line).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan upaya paksa adalah
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan membawa
secara fisik tersangka ke hakim
komisaris.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini
dimaksudkan agar penuntut umum sejak awal sudah mengikuti perkembangan proses penyidikan dan memberikan konsultasi untuk
perkara penting, sehingga tercipta sistem peradilan pidana terpadu dan
sekaligus untuk efisiensi penyelesaian pemberkasan perkara dan tidak terjadi
bolak-balik berkas perkara dari penyidik
ke penuntut umum dan sebaliknya.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
penyidik dapat
melakukan tugas di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah hukum masing-masing
bersifat administratif.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup
jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Maksud ketentuan ini ialah
melindungi kepentingan korban kejahatan pencari keadilan.
Ayat (9)
Ketentuan ini memudahkan penyidik untuk mulai
melakukan penyidikan.
Ayat (10)
Jalur hukum lain yang dapat
disarankan seperti tuntutan ke pengadilan tata usaha negara, gugatan perdata
atau perdamaian di luar pengadilan.
Ayat (11)
Berdasarkan hukum acara pidana di
Inggris, Perancis, Belgia, Rusia, Thailand, dan Republik Rakyat China dikenal private prosecution yang memungkinkan
korban kejahatan langsung menuntut sendiri ke pengadilan. Oleh karena sistem
KUHAP ini tidak mengenal private prosecution,
maka untuk kepentingan korban kejahatan, pelapor atau pengadu dapat memohon
kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Ayat (12)
Cukup
jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pelaksanaan
koordinasi dan konsultasi dari penyidik kepada penuntut umum serta petunjuk
dari penuntut umum kepada penyidik dapat dilakukan secara langsung, baik
tertulis maupun lisan yang dapat dilakukan dengan telepon, faksimili, e-mail atau
alat elektronik yang lain.
Pemenuhan
formil yakni menyangkut identitas dan keabsahan suatu tindakan hukum misalnya
surat izin penahanan.
Pemenuhan
materiel yakni menyangkut uraian pembuktian unsur-unsur delik.
Pasal 14
Surat perintah pengehentian penyidikan
ditandatangani oleh penyidik dan diketahui oleh penuntut umum dalam lembaran
yang sama.
Pasal 15
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini konsultasi
dilakukan secara langsung oleh penyidik dengan menunjukkan berkas perkara
kepada penuntut umum.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tindakan
hukum tertentu” misalnya berdasarkan penetapan hakim menghadirkan saksi tambahan, melakukan
penyitaan barang bukti yang belum disita pada waktu penyidikan.
Pasal 16
Cukup
jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Pemanggilan
dalam ketentuan ini dilakukan dengan surat panggilan yang sah, artinya surat
panggilan tersebut ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
“Saksi”
dalam ketentuan ini termasuk juga saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
yakni setiap orang yang diduga mempunyai kaitan dengan perkara yang sedang
disidik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “alasan
yang sah dan patut”, misalnya tidak mampu berjalan karena sakit yang diterangkan
dengan surat dokter.
Pasal 19
Untuk menjunjung tinggi hak
asasi manusia, sejak dalam tahap penyidikan kepada tersangka diberikan hak
untuk didampingi oleh penasihat hukum.
Pasal 20
Penasihat hukum dalam
ketentuan ini mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan saksi yang dapat
menguntungkan tersangka adalah yang dikenal dengan saksi “a decharge”.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 22
Cukup
jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Apabila tersangka dan/atau
saksi tidak bisa baca tulis, tersangka dan/atau saksi membubuhkan cap jempol
pada berita acara dan penyidik harus membacakan keterangan tersangka dan/atau
saksi tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup
jelas.
Pasal 27
Cukup
jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Dalam hal penahanan tersangka dilakukan
oleh penyidik, maka tersangka, keluarga, atau penasihat hukumnya dapat
menyatakan keberatan terhadap penahanan tersebut kepada penyidik atau kepada
instansi yang bersangkutan dengan disertai alasannya.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam melakukan penggeledahan,
penyidik cukup dengan menunjukkan tanda
pengenalnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Pasal ini dimaksudkan untuk
mencegah kekeliruan dengan benda lain yang tidak ada hubungannya dengan perkara
yang bersangkutan bahwa penyitaan benda tersebut telah dilakukan.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pejabat
penyimpan umum, antara lain, pejabat yang berwenang dari arsip negara, catatan
sipil, balai harta peninggalan, atau notaris sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Keterangan
yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman dianggap sebagai keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
dianggap hanya sebagai keterangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “penggalian
mayat” termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan.
Pasal 40
Ayat (1)
Perlindungan hukum dalam
ketentuan Pasal ini adalah perlindungan terhadap pelapor, pengadu, saksi, atau
korban dari segala ancaman yakni segala bentuk perbuatan yang mempunyai
implikasi memaksa kepada pelapor, pengadu, saksi, atau korban untuk melakukan
suatu hal yang berkenaan dengan diperlukannya keterangan dan/atau kesaksiannya
pada semua proses peradilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup
jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “tindakan pertama” antara lain, mengamankan tempat kejadian
perkara, memasang garis polisi (police line).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketentuan
ini sesuai dengan Pasal 9 International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) yang telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik). Persetujuan dan permintaan persetujuan dapat dilakukan
secara lisan (melalui telepon) yang kemudian ditindaklanjuti dengan tertulis
misalnya melalui faksimili atau e-mail.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewenangan penuntut umum dalam
ketentuan ayat ini disebut juga dengan asas oportunitas yaitu kewenangan untuk
menuntut atau tidak menuntut perkara dan untuk penyelesaian perkara di luar
pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan ini dipertanggungjawabkan kepada
kepala Kejaksaan Tinggi setiap bulan.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Artinya setiap
penuntut umum diangkat untuk wilayah hukum kejaksaan negeri. Apabila ada jaksa
dari luar wilayah hukum kejaksaan negeri yang bersangkutan atau dari Kejaksaan
Tinggi atau dari Kejaksaan Agung yang akan melakukan penuntutan di suatu
wilayah kejaksaan negeri tertentu, maka harus ada surat pengangkatan sementara
dari jaksa agung sebagai jaksa di tempat itu.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 47
Dalam hal tertentu, kewenangan
tersebut dibatasi pada :
a.
terdapat
fakta baru yang mematahkan alat bukti yang ada, misalnya, korban pembunuhan
ternyata masih hidup;
b.
terdapat
alasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, misalnya, pengaduan
dicabut, terdakwa meninggal dunia, terjadi pencabutan undang-undang.
Di luar alasan tersebut,
penuntut umum harus melimpahkan perkara ke persidangan.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Alasan baru tersebut diperoleh
penuntut umum dari penyidik yang berasal dari keterangan tersangka, saksi,
benda, atau petunjuk baru yang diketahui atau diperoleh kemudian.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tindak
pidana dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain”, apabila tindak
pidana tersebut dilakukan:
a.
oleh lebih seorang yang bekerja sama dan
dilakukan pada saat bersamaan;
b.
oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat
yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya;
c. oleh seorang atau lebih dengan maksud
mendapat alat yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau
menghindarkan diri dari pemidanaan.
Ayat (2)
Tidak diperlukan untuk membuat berkas
perkara terpisah bagi setiap tindak pidana apabila satu berkas perkara
mendukung tuntutan lebih dari satu tindak pidana.
Ayat (3)
Apabila dua atau lebih tindak pidana
dituntut dalam satu surat dakwaan, setiap tindak pidana dipisahkan dalam surat
dakwaan menjadi satu tuntutan pidana.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan “surat pelimpahan perkara” adalah surat pelimpahan perkara itu
sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Penangkapan dari tempat kejadian perkara
hingga tersangka di bawa ke kantor
penyidik terdekat berlangsung paling lama 24 jam. Jika tempat kejadian agak
jauh dari kantor penyidik terdekat, maka lamanya waktu perjalanan dari tempat
kejadian ke tempat kantor penyidik terdekat sesuai dengan situasi.
Pasal 55
Bukti permulaan yang cukup artinya sesuai
dengan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 177.
Pasal 56
Ayat (1)
Surat perintah penangkapan
dikeluarkan oleh penyidik yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah
hukumnya. Pemberitahuan dapat dilakukan pula dengan facsimile.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Pemberitahuan kepada penuntut umum dan
persetujuan penuntut umum dapat diberikan secara tertulis, lisan, e-mail,
facsimilie, telepon, paling lama 2 (dua) hari setelah dilakukan penahanan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Penangkapan yang dilakukan di pulau terpencil atau
wilayah yang transportasinya sulit, waktu perjalanan membawa tersangka ke
tempat penahanan oleh penyidik (yang lamanya 5 hari) tidak dihitung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penahanan
yang dilakukan oleh penuntut umum dalam
rangka penyidikan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Huruf c. Penahanan yang
melebihi 5 (lima) hari tetap harus dilakukan oleh hakim komisaris.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Hal ini
merupakan sahnya penahanan yang bersifat mutlak.
Ayat (2)
Hal ini
bisa disebut gelandangan.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Hal ini disebut perlunya
penahanan, yang bersifat relatif. Ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1)
harus dipenuhi lebih dahulu.
Pasal 60
Ayat (1)
Ketentuan ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 9 ayat (3) International Covenant on Civil and Political
Rights yang telah disahkan dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik) .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
“menghadapkan” adalah membawa tersangka secara fisik kepada hakim komisaris disertai dengan permohonan
perpanjangan penahanan dalam hal penyidik menganggap perlu perpanjangan
penahanan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Setiap perpanjangan penahanan
hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu, atas dasar alasan
dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup
jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Selama
belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat
dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga
pemasyarakatan, di rumah sakit (dalam hal yang berasngkutan sakit dan
memerlukan perawatan), atau di tempat lain yang disebabkan keadaan yang
mendesak.
Pasal 65
Cukup
jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan syarat
penangguhan penahanan adalah meliputi syarat umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan syarat khusus sesuai dengan yang ditentukan oleh instansi pada
setiap tingkatan pemeriksaan. Masa penangguhan penahanan dari tersangka atau
terdakwa tidak termasuk status masa tahanan.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Cukup
Jelas.
Ayat (8)
Cukup
Jelas.
Ayat (9)
Cukup
Jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
-
Dalam keadaan mendesak penggeledahan dapat
dilakukan setiap saat;
-
Yang dimaksud dengan “keadaan mendesak” adalah
keadaan yang patut dikhawatirkan tersangka atau terdakwa mengancam jiwa orang
lain, melarikan diri, menghilangkan, memindahkan, menukar, atau merusak barang
bukti.
Pasal
69
Ayat (1)
Keharusan untuk memperoleh
izin terlebih dahulu dari hakim
komisaris dimaksudkan untuk menjamin hak pribadi seseorang atas rumah
kediamannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika yang melakukan
penggeledahan rumah itu bukan penyidik sendiri, maka petugas kepolisian lainnya
harus dapat menunjukkan selain surat izin ketua pengadilan negeri, juga surat
perintah tertulis dari penyidik.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dua
orang saksi” adalah warga dari lingkungan yang bersangkutan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketua
lingkungan” adalah ketua atau wakil ketua rukun kampung, ketua atau wakil ketua
rukun warga, ketua atau wakil ketua lembaga yang sederajat; (atau dengan nama
lainnya)
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Pasal 71
Cukup
jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggeledahan
badan dalam ketentuan ini meliputi pemeriksaan rongga badan; Penggeledahan yang
dilakukan terhadap wanita, dilaksanakan oleh pejabat wanita;
Dalam hal
penyidik berpendapat perlu dilakukan pemeriksaan rongga badan, penyidik dapat
minta bantuan kepada pejabat kesehatan.
Pasal 74
Cukup
jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan tagihan, misalnya, rekening koran di bank, giro, bilyet, surat
berharga, dan lain-lain.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat”,
termasuk surat kawat, surat teleks, surat faksimile, surat elektronik (e-mail)
dan lainnya yang sejenis yang mengandung suatu berita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan benda yang dapat diamankan, antara lain, benda yang mudah terbakar atau mudah meledak, sehingga
harus dijaga serta diberi tanda khusus atau benda yang dapat membahayakan
kesehatan orang atau lingkungan.
Huruf b
Pelaksanaan
lelang dilakukan oleh kantor lelang negara setelah diadakan konsultasi dengan
pihak penyidik atau penuntut umum setempat atau hakim yang bersangkutan sesuai
dengan tingkat pemeriksaan dalam proses pengadilan dan lembaga yang ahli dalam
menentukan sifat benda yang mudah rusak.
Ayat (2)
Benda
untuk pembuktian yang menurut sifatnya lekas rusak dapat dijual lelang dan uang
hasil pelelangan dipakai sebagai ganti untuk diajukan di sidang pengadilan,
sedangkan sebagian kecil dari benda itu disisihkan untuk dijadikan barang
bukti.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
“didokumentasikan” misalnya diambil gambarnya dengan memotret atau merekam
dalam video.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “benda
yang dirampas untuk negara” adalah benda yang harus diserahkan kepada instansi
yang berwenang, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 82
Ayat (1)
Selama
pemeriksaan berlangsung, dapat diketahui benda itu masih diperlukan atau tidak.
Dalam hal penyidik atau penuntut umum berpendapat bahwa benda yang disita itu
tidak diperlukan lagi untuk pembuktian, maka benda tersebut dapat dikembalikan
kepada yang berkepentingan atau pemiliknya dalam keadaan seperti semula.
Dalam
pengambilan benda sitaan hendaknya sejauh mungkin diperhatikan segi
kemanusiaan, dengan mengutamakan pengembalian benda yang menjadi sumber
kehidupan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup
jelas.
Pasal 86
Cukup
jelas.
Pasal 87
Cukup
jelas.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
pemeriksaan adalah untuk mendapatkan keterangan mengenai identitas tersangka,
antara lain, nama, jenis kelamin, usia, agama, pekerjaan, tempat tinggal,
kewarganegaraan, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Ayat (7)
Cukup
Jelas.
Ayat (8)
Cukup Jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Bagi terdakwa, pengadilan
adalah tempat yang terpenting untuk pembelaan diri karena di sanalah terdakwa
dapat mengemukakan segala sesuatu yang dibutuhkannya bagi pembelaan sehingga
untuk keperluan tersebut pengadilan menyediakan juru bahasa bagi terdakwa yang
berkebangsaan asing atau yang tidak bisa menguasai bahasa Indonesia. Ketentuan
ini dimaksudkan agar orang yang disangka melakukan tindak pidana mengetahui dan
mengerti perbuatannya serta perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah
dilakukan olehnya. Hal ini akan menjamin tersangka untuk mengadakan persiapan
dalam usaha pembelaan. Dengan demikian, tersangka akan mengetahui berat atau
ringannya sangkaan terhadap dirinya untuk mempertimbangkan tingkat atau
pembelaan yang dibutuhkan, misalnya, perlu atau tidaknya bantuan hukum untuk
pembelaan tersebut.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 90
Cukup
jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Tidak
semua tersangka atau terdakwa mengerti bahasa Indonesia dengan baik, terutama
orang asing sehingga mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau
didakwakan. Oleh karena itu, mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Menyadari asas peradilan yang
wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan dengan biaya ringan serta
dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana penjara kurang dari
5 (lima) tahun tidak dikenakan penahanan, kecuali tindak pidana yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b. Oleh karena itu, bagi
tersangka/terdakwa yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih, dan kurang dari 15 (lima belas) tahun, penunjukan penasihat hukumnya
disesuaikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga penasihat hukum
di tempat tersebut.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Penyidik
atau hakim dapat menentukan jumlah saksi atau ahli yang diajukan oleh tersangka
atau terdakwa.
Pasal 102
Cukup
jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “untuk kepentingan pembelaan perkaranya” adalah bahwa mereka
wajib menyimpan isi berita acara tersebut untuk diri sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Yang dimaksud dengan “turunan”
adalah dapat berupa fotokopi.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup
jelas.
Pasal 110
Cukup
jelas.
Pasal 111
Ayat (1)
Huruf a
Cukup
jelas
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Tersangka dapat tidak
didampingi oleh penasihat hukum misalnya, dalam perkara pelanggaran hak asasi
manusia berat, terorisme, dan perdagangan senjata.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Kewenangan hakim komisaris ini berkaitan dengan
kewenangan penuntut umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3).
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup
jelas.
Ayat (2)
hakim komisaris membuat putusan melalui sidang
dengan memeriksa tersangka, terdakwa atau saksi, setelah mendengar konklusi
penuntut umum.
Ayat (3)
Hakim komisaris
merupakan lembaga yang terletak antara penyidik dan penuntut umum di satu pihak
dan hakim di lain pihak. Wewenang hakim
komisaris lebih luas dan lebih lengkap daripada prapenuntutan (lembaga
praperadilan).
Pasal 112
Cukup
jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Yang dimaksud dengan “keadaan
daerah tidak memungkinkan”, antara lain terjadinya bencana alam atau huru-hara
pada daerah tersebut.
Pasal 125
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana menganut asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif yang
membuka kemungkinan tindak pidana yang dilakukan di luar negeri dapat diadili
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang mengadili perkara pidana tersebut, di samping letak pengadilan
tersebut di ibu kota negara, dimaksudkan pula agar jalannya peradilan atas
perkara pidana dapat dilakukan dengan mudah dan lancar.
Pasal 126
Permintaan banding dalam
ketentuan ini dilakukan oleh terdakwa atau kuasanya atau oleh penuntut umum.
Pasal 127
Permintaan
kasasi dalam ketentuan ini dilakukan oleh terdakwa atau kuasanya atau oleh
penuntut umum.
Pasal 128
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerugian
karena dikenakan tindakan lain” adalah kerugian yang ditimbulkan oleh penegak
hukum yang melakukan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan secara
tidak sah menurut hukum.
Ayat (2)
Penahanan tanpa alasan adalah penahanan
yang lebih lama daripada yang dijatuhkan.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Pasal 129
Cukup
jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Terpidana yang mampu membayar
ganti kerugian tidak pantas mendapatkan pidana yang lebih ringan dibandingkan
dengan orang yang tidak mampu sebab ia memiliki uang untuk membayar kompensasi.
Ketentuan ini dimaksudkan agar terpidana yang memiliki kemampuan membayar
kompensasi menghindari pembayaran ganti kerugian.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Yang
dimaksud dengan “orang lain” adalah keluarga atau penasihat hukum.
Ayat (6)
Cukup
jelas.
Ayat (7)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup
jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Dalam hal kejaksaan negeri
yang menerima surat pelimpahan perkara dari kejaksaan negeri semula, maka
kejaksaan negeri tersebut membuat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke
pengadilan negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Apabila waktu 7 (tujuh) hari
terlampaui, maka mengakibatkan perlawanan batal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup
jelas.
Pasal 141
Cukup
jelas.
Pasal 142
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hakim yang ditunjuk”
adalah majelis hakim atau hakim tunggal.
Yang dimaksud dengan “secara
acak” adalah berdasarkan urutan masuknya perkara ke pengadilan dan nama hakim
yang akan mengadili perkara tersebut diundi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan
dengan surat panggilan oleh penuntut umum secara sah dan harus telah diterima
oleh terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang
dimulai.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Dalam hal terdakwa setelah
diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dihadirkan dengan baik, maka
terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa.
Pasal 145
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah jangan sampai terjadi saling mempengaruhi di antara para saksi
sehingga keterangan saksi tidak dapat diberikan secara bebas.
Ayat (2)
Menjadi saksi adalah salah
satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke
suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak
kewajiban itu, ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang
yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli.
Pasal 150
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup
jelas
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan kata
“dapat” dalam ketentuan ayat ini tidak dimaksudkan sebagai suatu keharusan dari
penasihat hukum untuk menghadirkan bukti, ahli, dan saksi.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Saksi, ahli atau terdakwa juga
akan menyebutkan nama lengkap, usia atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kewarganegaraan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan mereka.
Pasal 151
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Keterangan saksi atau ahli
yang tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai
alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan
keyakinan hakim.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
hakim berwenang untuk memperingatkan baik
kepada penuntut umum maupun kepada penasihat hukum, apabila pertanyaan yang
diajukan itu tidak ada kaitannya dengan perkara.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “tidak
relevan” misalnya pertanyaan yang diajukan membuat rancu, menyesatkan,
melecehkan, tidak benar, hanya mengulang-ulang, mengulur waktu, atau diajukan
dengan cara yang tidak tepat.
Ayat (8)
Ketentuan dalam ayat ini
merupakan perpaduan penerapan sistem yang berlaku berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan sistem adversarial.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 155
Yang
dimaksud dengan “pertanyaan yang bersifat menjerat” misalnya hakim dalam salah
satu pertanyaan menyebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah
dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap
seolah-olah diakui atau dinyatakan. Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak
boleh diajukan kepada terdakwa ataupun kepada saksi. Ketentuan ini sesuai
dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara
bebas di semua tingkat pemeriksaan.
Dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan hakim, penuntut umum, atau Penasihat Hukum tidak
boleh melakukan tekanan dengan cara apapun, misalnya dengan mengancam yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan keterangan hal yang berbeda dari
hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikirannya yang bebas.
Pasal 156
Cukup jelas
Pasal 157
Ayat (1)
Untuk melancarkan jalannya
pemeriksaan saksi, adakalanya hakim ketua sidang menganggap bahwa saksi yang
sudah didengar keterangannya mungkin akan merugikan saksi berikutnya yang akan
memberikan keterangan, sehingga perlu saksi pertama tersebut untuk sementara ke
luar dari ruang sidang selama saksi berikutnya masih didengar keterangannya.
Ayat (2)
Ada kalanya terdakwa atau
penuntut umum berkeberatan terhadap dikeluarkannya saksi dari ruang sidang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), misalnya diperlukan kehadiran saksi
tersebut agar ia dapat ikut mendengarkan keterangan yang diberikan oleh saksi
yang didengar berikutnya demi kesempurnaan hasil keterangan saksi.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 158
Bersama-sama menjadi terdakwa,
termasuk jika suatu tindak pidana dilakukan bersama-sama oleh para terdakwa,
tetapi berkas perkara dipisahkan. Ketentuan ini untuk menghindari self-incrimination,
jika terdakwa bergantian menjadi saksi dalam perkara yang dipisah.
Pasal 159
Cukup
jelas.
Pasal 160
Ayat (1)
Pekerjaan
atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika
tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan
atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, hakim
menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 161
Mengingat bahwa anak yang
belum 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit
jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit
jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
sempurna dalam hukum pidana. Untuk itu, yang bersangkutan tidak dapat diambil
sumpah atau janji dalam memberikan keterangan dan keterangannya hanya dipakai
sebagai petunjuk saja.
Pasal 162
Cukup
jelas.
Pasal 163
Ayat (1)
Jika menurut pendapat hakim
seorang saksi itu akan merasa tertekan atau tidak bebas dalam memberikan
keterangan apabila terdakwa hadir, maka untuk menjaga hal yang tidak
diinginkan, hakim dapat menyuruh terdakwa ke luar untuk sementara dari
persidangan selama hakim mengajukan pertanyaan kepada saksi.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 164
Cukup
jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup
jelas.
Pasal 167
Cukup
jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup
jelas.
Pasal 170
Cukup
jelas.
Pasal 171
Cukup
jelas.
Pasal 172
Ayat (1)
Sidang dibuka kembali
dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai bahan untuk musyawarah hakim.
Ayat (2)
Apabila tidak terdapat mufakat
bulat, pendapat lain dari salah seorang hakim majelis dicatat dalam berita
acara sidang majelis yang sifatnya rahasia.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 173
Cukup
jelas.
Pasal 174
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian
hukum bagi seseorang.
Dalam
acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang
sah.
Pasal 175
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “barang bukti” adalah barang atau alat yang secara
langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana (real evidence
atau physical evidence) atau hasil tindak pidana.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “surat” adalah segala tanda baca dalam bentuk apapun yang
bermaksud untuk menyatakan isi pikiran.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta,
rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
Cukup
jelas.
Huruf f
Cukup
jelas.
Huruf g
Pengamatan
Hakim dalam ketentuan ini didasarkan pada seluruh kesimpulan yang wajar yang
ditarik dari alat bukti yang ada.
Ayat (2)
Hanya alat bukti yang
diperoleh secara sah menurut hukum yang dapat digunakan untuk membuktikan
kesalahan terdakwa di hadapan pengadilan.
Pasal 176
Alat bukti berupa barang bukti
di negara lain disebut real evidence atau materiel evidence atau physical
evidence. Bukti fisik atau materiel termasuk pakaian, rambut, darah, DNA,
sidik jari pelaku, dan korban.
Pasal 177
Yang dimaksud dengan “surat
lain” misalnya, akte di bawah tangan.
Yang dimaksud dengan “surat
yang dibuat oleh pejabat” adalah termasuk surat yang dikeluarkan oleh suatu
majelis yang berwenang untuk itu.
Pasal 178
Bukti berupa sarana yang memakai
elektronik, seperti telepon, foto, fotokopi, rekaman suara, video, VCD, internet,
film, email, short message service (SMS).
Pasal 179
Keterangan ahli ini dapat juga
sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada
waktu menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang
diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di
hadapan hakim.
Pasal
180
Ayat (1)
Dalam keterangan saksi tidak
termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau “testimonium de
auditu”.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini disebut
pembuktian berantai (ketting bewijs).
Ayat (6)
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan keterangan saksi yang benar-benar
diberikan secara bebas, jujur, dan obyektif.
Ayat (7)
Cukup
jelas.
Ayat (8)
Cukup
jelas.
Ayat (9)
Cukup
jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 181
Cukup
jelas.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Instansi yang berwenang adalah instansi
yang menurut peraturan perundang-undangan mempunyai kewenangan sebagai Central
Authority.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Daftar keterangan dalam ketentuan ini
misalnya informasi atau pernyataan yang diperlukan untuk pembuktian perkara.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup
jelas.
Pasal 188
Cukup
jelas.
Pasal 189
Ayat (1)
Penetapan
mengenai penyerahan barang bukti, misalnya sangat diperlukan untuk mencari
nafkah, seperti kendaraan, alat pertanian, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setelah diucapkan putusan
tersebut, berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Ayat
ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan terdakwa yang hadir dan menjamin
kepastian hukum secara keseluruhan dalam perkara ini.
Ayat (3)
Dengan pemberitahuan ini dimaksudkan supaya terdakwa
mengetahui haknya.
Pasal 192
Cukup
jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberi kepastian bagi terdakwa atau jaksa agar tidak berlarut-larut
waktunya untuk mendapatkan petikan surat putusan tersebut, dalam rangka
menggunakan upaya hukum.
Pasal 196
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberikan suatu kepastian untuk membuka kemungkinan surat palsu atau
dipalsukan yang dipakai sebagai barang bukti, dalam hal dipergunakan upaya
hukum. Di samping itu, ketentuan ini ditujukan sebagai jaminan ketelitian
panitera dalam berkas perkara.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup
jelas.
Pasal 199
Cukup
jelas
Pasal 200
Ketentuan dalam Pasal ini
dikenal dengan sebutan ”saksi mahkota” (kroon getuigen/crown witness).
Pasal 201
Ayat (1)
Tindak pidana “penghinaan
ringan” ikut digolongkan di sini dengan disebut tersendiri karena sifatnya
ringan sekalipun ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) empat bulan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penyidik
atas kuasa penuntut umum” yakni penuntut umum tidak perlu hadir di sidang
pengadilan dan tidak diperlukan surat kuasa.
Yang dimaksud dengan “atas
kuasa” dari penuntut umum kepada penyidik adalah demi hukum. Dalam hal penuntut
umum hadir, tidak mengurangi nilai “atas hukum” tersebut.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Ayat (1)
Pemberitahuan tersebut
dimaksudkan agar terdakwa dapat memenuhi kewajibannya untuk datang ke sidang
pengadilan pada hari, tanggal, jam dan tempat yang ditentukan.
Ayat (2)
Sesuai dengan acara
pemeriksaan cepat, maka pemeriksaan dilakukan hari itu juga.
Ayat (3)
Oleh karena penyelesaiannya
yang cepat, maka perkara yang diadili menurut cara pemeriksaan cepat sekaligus
dimuat dalam buku register dengan masing-masing diberi nomor untuk dapat
diselesaikan secara berurutan.
Ayat (4)
Ketentuan ini memberikan
kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat sehingga tidak
diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penunut umum seperti untuk
pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan dalam buku register sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mempercepat penyelesaian perkara, dengan tetap dilakukan secara teliti
dan hati-hati.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Berbeda dengan pemeriksaan menurut acara biasa,
pemeriksaan menurut acara cepat, terdakwa dapat mewakilkan orang lain atau
kuasanya di sidang.
Pasal 209
Cukup
jelas.
Pasal 210
Sesuai dengan makna yang
terkandung dalam acara pemeriksaan cepat, segala sesuatu berjalan dengan cepat
dan tuntas, maka benda sitaan dikembalikan kepada yang paling berhak pada saat
amar putusan telah dipenuhi.
Pasal 211
Cukup
jelas.
Pasal 212
Ayat (1)
Tugas pengadilan luhur sifatnya, oleh karena
itu tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, sesama manusia, dan dirinya,
akan tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya setiap orang wajib
menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang
sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan
sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan timbulnya kegaduhan sehingga
persidangan terhalang karenanya.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini
dikenal dengan contempt of court yakni salah satu tindak pidana terhadap
penyelenggaraan peradilan
Pasal 213
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “petugas
keamanan” dalam ketentuan ini adalah pejabat kepolisian negara Republik
Indonesia dan tanpa mengurangi wewenangnya dalam melakukan tuganya wajib
melaksanakan petunjuk ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat (3)
Seseorang yang membawa senjata
api, senjata tajam, bahan peledak, alat ataupun benda yang dapat membahayakan
keamanan sidang tersebut wajib menitipkan di tempat khusus yang disediakan
untuk itu.
Ayat (4)
Cukup
jelas
Ayat (5)
Cukup
jelas
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 218
Penyimpanan surat putusan
pengadilan meliputi seluruh berkas mengenai perkara yang bersangkutan.
Cukup jelas.
Pasal 220
Ayat (1)
Salinan surat putusan
diberikan dengan cuma-cuma.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Cukup jelas.
Pasal 222
Tiap jangka waktu yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini selalu dihitung hari berikutnya setelah hari
pengumuman, perintah, atau penetapan dikeluarkan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 228
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Panitera dilarang menerima
permintaan banding perkara yang tidak dapat dibanding atau permintaan banding
yang diajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
Cukup
jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 231
Ayat (1)
Maksud pemberian batas waktu
14 (empat belas) hari adalah agar perkara banding tersebut tidak tertumpuk di
pengadilan negeri dan segera diteruskan ke pengadilan tinggi.
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Cukup
jelas
Ayat (4)
Cukup
jelas
Cukup jelas.
Pasal 233
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Apabila dalam perkara pidana
terdakwa menurut undang-undang dapat ditahan, maka sejak permintaan banding
diajukan, pengadilan tinggi menentukan ditahan atau tidaknya. Jika penahanan
yang dikenakan kepada pembanding mencapai jangka waktu yang sama dengan pidana
yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri kepadanya, ia harus dibebaskan seketika
itu.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Cukup jelas.
Pasal 236
Ayat (1)
Perbaikan pemeriksaan dalam
hal ada kelalaian dalam penerapan hukum acara harus dilakukan sendiri oleh
pengadilan negeri yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 237
Cukup jelas.
Pasal 238
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup
jelas.
Pasal 240
Dalam doktrin hukum acara pidana,
“bebas tidak murni” adalah “lepas dari segala tuntutan hukum” (ontslag van
alle rechtsvervolging). Oleh karena itu, untuk mengajukan kasasi terhadap
putusan bebas yang digolongkan sebagai bebas tidak murni harus terlebih dahulu
dinyatakan sebagai putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dimana perbuatan
yang didakwakan terbukti namun terdapat dasar pembenar atau dasar pemaaf.
Pasal 241
Cukup
jelas.
Pasal 242
Cukup
jelas.
Pasal 243
Cukup
jelas.
Pasal 244
Cukup
jelas.
Pasal 245
Cukup
jelas.
Pasal 246
Cukup
jelas.
Pasal 247
Cukup
jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Cukup
jelas.
Pasal 250
Cukup
jelas.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Cukup jelas.
Pasal 253
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup
jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup
jelas.
Pasal 257
Cukup
jelas.
Pasal 258
Cukup
jelas.
Pasal 259
Cukup jelas.
Pasal 260
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Ayat ini memuat alasan secara
limitatif untuk dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meminta peninjauan
kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Cukup jelas.
Pasal 265
Cukup
jelas.
Pasal 266
Cukup jelas.
Pasal 267
Cukup jelas.
Pasal 268
Cukup
jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Ketentuan yang dimaksud dalam
Pasal ini adalah bahwa pidana yang dijatuhkan berturut-turut tersebut
ditetapkan untuk dijalani oleh terpidana secara berkesinambungan antara
menjalani pidana yang satu dengan yang lain.
Pasal 271
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup
jelas
Ayat (3)
Jangka
waktu 3 (tiga) bulan dalam ayat (3) dimaksudkan untuk memperhatikan hal yang
tidak mungkin diatasi pengaturannya dalam waktu singkat.
Ayat (4)
Perpanjangan waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) tetap dijaga agar pelaksanaan lelang tersebut tidak
ditunda.
Pasal 272
Cukup
jelas.
Pasal 273
Karena terdakwa dalam hal yang
dimaksud dalam Pasal ini bersama-sama dijatuhi pidana karena dipersalahkan
melakukan tindak pidana dalam satu perkara, maka wajar apabila biaya perkara
dan/atau ganti rugi ditanggung bersama secara berimbang.
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Cukup jelas.
Pasal 279
Informasi yang dimaksud dalam Pasal ini
dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Yang dimaksud dengan “secara berkala” adalah setiap 3
(tiga) bulan sekali.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup
jelas.
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Kodifikasi ini disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana atau disingkat KUHAP.
Pasal 286
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR......