UNDANG-UNDANG
Nomor : 8 TAHUN 1981
31 DESEMBER 1981
LN 1981/76; TLN No. 3209
Tentang :
HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa
negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang
menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya;
b. bahwa demi
pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-garis Besar
Haluan Negara (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IV/MPR/1978) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan
pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta
unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan
Nusantara;
c. bahwa
pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana
adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan
pembinaan sikap para palaksana penegak hukum sesuai dengan fungai dan wewenang
masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya
negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bahwa
hukum acara pidana sebagai yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement
(Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan dan Undang-undang Nomor 1
Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam
perundang-undangan lainnya sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu
dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional;
e. bahwa -
oleh karena itu perlu mengadakan undang-undang tentang hukum acara pidana untuk
melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan
Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam
proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara hukum dapat
ditegakkan.
Mengingat:
1. Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun
1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
Dengan
persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Dengan mencabut :
1. Het
Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan
dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya;
2. Ketentuan
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain; dengan ketentuan bahwa
yang tersebut dalam angka 1 dan angka 2, sepanjang hal itu mengenai hukum acara
pidana.
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM ACARA
PIDANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang
dimaksud dalam undang-undang ini dengan :
1.
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan.
2.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
3.
Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara
Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas
penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.
4.
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
5.
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
6.
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
1. b. Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
7.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
8.
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengadili.
9.
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur,
dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
10.
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang:
a.
sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
b.
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.
11.
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau
lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
12.
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam
hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini.
13.
Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang
ditentukan oleh atau berdasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum.
14.
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak
pidana.
15.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa
dan diadili di sidang pengadilan.
16.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
17.
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk
memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan
tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
18.
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda
yang didup keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
19.
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu
sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak
pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai
sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan
benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu
yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
20.
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
21.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
22.
Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan
atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini.
23.
Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan
haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan
pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang- undang ini.
24.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang
karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang
berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana.
25.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh
pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut
hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
26.
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
27.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengetahuannya itu.
28.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
29.
Keterangan anak adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang anak tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
30.
Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan darah
sampai derajat tertentu atau hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat
dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
31.
Satu hari adalah dua puluh empat jam dan satu bulan adalah
waktu tiga puluh hari.
32.
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara
peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.
BAB III
DASAR PERADILAN
Pasal 3
Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini.
BAB IV
PENYIDIK DAN PENUNTUT UMUM
Bagian Kesatu
Penyelidik dan Penyidik
Pasal 4
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia.
Pasal 5
(1)
Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :
a. karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
1.
menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. mencari keterangan dan barang
bukti;
3. menyuruh berhenti seorang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4. mengadakan tindakan lain menurut
hukum yang bertanggung-jawab.
b. atas
perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1. penangkapan, larangan meninggalkan
tempat, penggeledahan dan penahanan;
2. pemeriksaan dan penyitaan surat;
3. mengambil sidik jari dan memotret
seorang;
4. membawa dan menghadapkan seorang
pada penyidik.
(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan
laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a
dan huruf b kepada penyidik.
Pasal 6
(1) Penyidik adalah :
a. pejabat
polisi negara Republik Indonesia;
b. pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Pasal 7
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima-laporan
atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil
sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan
penghentian penyidikan;
j. mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum
yang berlaku.
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang
pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak
mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara
kepada penuntut umum.
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:
a. pada
tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam
hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas
tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Pasal 9
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf a mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya
di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing di mana
ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Bagian Kedua
Penyidik Pembantu
Pasal 10
(1) Penyidik pembantu adalah pejabat
kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian
negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal
ini.
(2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut
pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut
dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan
pelimpahan wewenang dari penyidik.
Pasal 12
Penyidik pembantu membuat berita acara dan, menyerahkan
berkas perkara kepada penyidik, kecuali perkara dengan acara pemeriksaan
singkat yang dapat langsung diserahkan kepada penuntut umum.
Bagian
Ketiga
Penuntut
Umum
Pasal 13
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 14
Penuntut
umum mempunyai wewenang :
a.
menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b.
mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.
memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan oleh penyidik;
d.
membuat surat dakwaan;
e.
melimpahkan perkara ke pengadilan;
f.
menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah
ditentukan;
g.
melakukan penuntutan;
h.
menutup perkara demi kepentingan hukum;
i.
mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j.
melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 15
Penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi
dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang.
BAB V
PENANGKAPAN, PENAHANAN, PENGGELEDAHAN
BADAN, PEMASUKAN RUMAH,
PENYITAAN DAN PEMERIKSAAN SURAT
Bagian Kesatu
Penangkapan
Pasal 16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan,
penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik
dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan
tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal
tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3) Tembusan
surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Pasal 19
(1) Penangkapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu
hari.
(2) Terhadap
tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia
telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu
tanpa alasan yang sah.
Bagian Kedua
Penahanan
Pasal 20
(1)
untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik
pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang
melakukan penahanan.
(2)
Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan.
(3)
Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan
dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Pasal 21
(1) Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan
atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau
penetapan hakim yang mencatumkan identitas tersangka atau terdakwa dan
menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan
surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya.
(4) Penahanan
tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan
tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal :
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1),
Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,
Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea
dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1,
Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8
Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3086).
Pasal 22
(1) Jenis
penahanan dapat berupa :
a. penahanan rumah tahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.
(2) Penahanan
rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau
terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala
sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Penahanan
kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau
terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu
yang ditentukan.
(4) Masa
penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
dijatuhkan.
(5) Untuk
penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu
penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu
penahanan.
Pasal 23
(1) Penyidik
atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk meng alihkan jenis penahanan yang
satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Pengalihan
jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari
penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan
kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang
berkepentingan.
Pasal 24
(1) Perintah
penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka
waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang
berwenang untuk paling lama empat puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan
tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah
waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
Pasal 25
(1) Perintah
penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka
waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan
tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah
waktu hma puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
Pasal 26
(1) Hakim
pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84,
guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka
waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi,
(4) Setelah
waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 27
(1) Hakim pengadilan
tinggi yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, guna
kepentingan pemeriksaan banding berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka
waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi
yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah
waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal 28
(1) Hakim
Mahkamah Agung yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, guna
kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan
untuk paling lama puluh hari.
(2) Jangka
waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung
untuk paling lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah
waktu seratus sepuluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa
harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Pasal
29
(1) Dikecualikan
dari jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal
26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak
dapat dihindarkan karena:
a. tersangka atau terdakwa menderita
gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan
dokter, atau
b. perkara yang sedang diperiksa diancam
dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
(2) Perpanjangan
tersebut pada ayat (1) diberikan untuk paling lama tiga puluh hari dan dalam
hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling
lama tiga puluh hari.
(3) Perpanjangan
penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam tingkat
:
a. penyidikan dan penuntutan diberikan
oleh ketua pengadilan negeri;
b. pemeriksaan di pengadilan negari
diberikan oleh ketua pengadilan tinggi;
c. pemeriksaan banding-diberikan oleh
Mahkamah Agung;
d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
(4) Penggunaan
kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat tersebut pada ayat (3) dilakukan
secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(6) Setelah
waktu enam puluh hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa atau
belum diputus, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum.
(7) Terhadap
perpanjangan penahanan tersebut pada ayat (2) tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam tingkat :
a. penyidikan dan penuntutan kepada ketua
pengadilan tinggi;
b. pemeriksaan pengadilan negeri dan
pemeriksaan banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 30
Apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa
berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal
95 dan Pasal 96.
Pasal 31
(1) Atas
permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim,
sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan
dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang
ditentukan.
(2) Karena
jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut
penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Bagian
Ketiga
Penggeledahan
Pasal 32
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan
penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut
tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 33
(1) Dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan
dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan.
(2) Dalam hal
yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara
Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali
memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau
penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali
memasuki nunah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu
dua hari setelah memasuki dan atau -menggeledah rumah, harus dibuat suatu
berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang
bersangkutan.
Pasal 34
(1) Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan :
a. pada halaman rumah tersangka bertempat
tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;
b. pada setiap tempat lain tersangka
bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di tempat tindak pidana dilakukan atau
terdapat bekasnya;
d. di tempat penginapan dan tempat umum
lainnya.
(2) Dalam hal
penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak
diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang
diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu
wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal 35
Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak
diperkenankan memasuki :
a. ruang di
mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat , Dewan Perwakilan
Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat di
mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;
c. ruang
dimana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Pasal 36
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di
luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalarn Pasal
33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh ketua pengadilan negeri
dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu
dilakukan.
Pasal 37
(1) Pada waktu
menangkap tersangka, penyelidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk
benda yang dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang
cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2) Pada waktu
menangkap tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dibawa kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau
menggeledah badan tersangka.
Bagian
Keempat
Penyitaan
Pasal 38
(1) Penyitaan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri
setempat.
(2) Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa
mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan
negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 39
(1) Yang dapat
dikenakan penyitaan adalah :
a. benda
atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda
yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c. benda
yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda
yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda
lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang
berada dalam sitaan karena perkara perdata' atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana,
sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 40
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda
dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang
bukti.
Pasal 41
Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita
paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan
oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi
tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau
kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda
penerimaan.
Pasal 42
(1) Penyidik
berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita,
menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada
yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau
tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika
surat atau tulisan itu berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan
kepadanya atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda
tersebut merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 43
Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang
berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak
menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau
atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang
menentukan lain.
Pasal 44
(1) Benda
sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan
benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada
pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan dan benda tersebut di larang untuk dipergunakan oleh-siapapun juga.
Pasal 45
(1) Dalam hal
benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan,
sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap
perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan
tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut :
a. apabila perkara masih ada ditangan
penyidik atau penuntut umum,. benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat
diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka
atau kuasanya;
b. apabila perkara sudah ada ditangan
pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh
penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh
terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil
pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang
bukti.
(3) Guna
kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda
sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi
kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 46
(1) Benda yang
dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa
benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak
apabila :
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan
tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut
karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila
perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada
orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika
menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau
untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut
masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Bagian
Kelima
Pemeriksaan
Surat
Pasal 47
(1) Penyidik
berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor
pos dan. telekemunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
jika benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang diberikan untuk
itu dari ketua pengadilan negeri.
(2) Untuk
kepentingan tersebut penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini, dapat dilakukan
pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang
diatur dalam ayat tersebut.
Pasal 48
(1) Apabila
sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila
sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor
pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
lain setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan
dibubuhi tanggal, tandatangan beserta identitas penyidik.
(3) Penyidik
dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan isi surat yang
dikembalikan itu.
Pasal 49
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan
Pasal 75.
(2) Turunan
berita acara tersebut oleh penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan
yang bersangkutan.
BAB VI
TERSANGKA
DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1) Tersangka
berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan
kepada penuntut umum.
(2) Tersangka
berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa
berhak segera diadili oleh pengadilan.
Pasal 51
Untuk mempersiapkan pembelaan :
a. tersangka
berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai;
b. terdakwa
berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang didakwakan kepadanya.
Pasal 52
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas keapada
penyidik atau hakim.
Pasal 53
(1) Dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa
berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 177.
(2) Dalam hal
tersangka atau terdakwa bisu dan atau tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178.
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak
mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam
waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.
Pasal 55
Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam Pasal 54,
tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal 56
(1) Dalam hal tersangka
atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka
yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
(2) Setiap
penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Pasal 57
(1) Tersangka
atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasihat hukumnya
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
(2) Tersangka
atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan penahanan berhak menghubungi
dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.
Pasal 58
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan
kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak.
Pasal 59
Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada
semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang
lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang
bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan
hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
Pasal 60
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan
tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan
ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.
Pasal 61
Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan sanak
keluarganya dalam hal yang tidak ada hubungannya dengan perkara tersangka atau
terdakwa untuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan.
Pasal 62
(1) Tersangka
atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat hukumnya, dan menerima
surat dari penasihat hukumnya dan sanak keluarga setiap kali yang diperlukan
olehnya, untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat tulis
menulis.
(2) Surat
menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat hukumnya atau sanak
keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat
rumah tahanan negara kecuali jika terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa
surat menyurat itu disalahgunakan.
(3) Dalam hal
surat untuk tersangka atau tedakwa itu ditilik atau diperiksa oleh penyidik,
penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan negara, hal itu diberitahukan
kepada tersangka atau terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada
pengirimnya setelah dibubuhi cap yang berbunyi "telah ditilik".
Pasal 63
Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari rohaniwan.
Pasal 64
Terdakwa berhak untuk diadi!i di sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum.
Pasal 65
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan
mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna
memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Pasal 66
Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Pasal 67
Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding
terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas,
lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
Pasal 68
Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya.
BAB VII
BANTUAN
HUKUM
Pasal 69
Penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat
ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tatacara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 70
(1) Penasihat
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 berhak menghubungi dan berbicara
dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya.
(2) Jika
terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam
pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik,
penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan membeii peringatan kepada
penasihat hukum.
(3) Apabila
peringatan tersebut tidak diindahkan, maka hubungan tersebut diawasi oleh
pejabat yang tersebut pada ayat (2).
(4) Apabila
setelah diawasi, haknya masih disalahgunakan, maka hubungan tersebut disaksikan
oleh pejabat tersebut pada ayat (2) dan apabila setelah itu tetap dilanggar
maka hubungan selanjutnya dilarang.
Pasal 71
(1) Penasihat
hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka
diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa
mendengar isi pembicaraan.
(2) Dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara, pejabat tersebut pada ayat (1) dapat
mendengar isi pembicaraan.
Pasal 72
Atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya pejabat
yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan
pembelaannya.
Pasal 73
Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka setiap kali dikehendaki olehnya.
Pasal 74
Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan
tersangka sebagaimana tersebut pada Pasal 70 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
Pasal 71 dilarang, setelah perkara dilimpahkan oleh penuntut umum kepada
pengadilan negeri untuk disidangkan, yang tembusan suratnya disampaikan kepada
tersangka atau penasihat hukumnya serta pihak lain dalam proses.
BAB VIII
BERITA
ACARA
Pasal 75
(1) Berita
acara dibuat untuk setiap tindakan tentang :
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan putusan
pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan
ketentuan dalam undang-undang ini.
(2) Berita
acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut
pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita
acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat tersebut pada ayat (2)
ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut pada
ayat (1).
BAB IX
SUMPAH
ATAU JANJI
Pasal 76
(1) Dalam hal
yang berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini diharuskan adanya
pengambilan sumpah atau janji, maka untuk keperluan tersebut dipakai peraturan
perundang-undangan tentang sumpah atau janji yang berlaku, baik mengenai isinya
maupun mengenai tatacaranya.
(2) Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka sumpah atau
janji tersebut batal menurut hukum.
BAB X
WEWENANG
PENGADILAN UNTUK MENGADILI
Bagian
Kesatu
Praperadilan
Pasal 77
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78
(1) Yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
adalah praperadilan.
(2) Pra
Peradilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya
kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat
tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua penpdilan negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 82
(1) Acara
pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal
80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :
a. dalam waktu tiga hari setelah
diterimanya permintaan , hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah
atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi
akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat
pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun
dari pejabat yang berwenang;
c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara
cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya;
d. dalam hal suatu perkara sudah mulai.
diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan
kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e. putusan praperadilan pada tingkat
penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan
lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
(2) Putusan
hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan
alasannya.
(3) Isi putusan
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal
sebagai berikut :
a. dalam hal putusan menetapkan bahwa
sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan bahwa
sesuatu penghentian penyidikan atau pentuntutan tidak sah, penyidikan atau
penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan bahwa
suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan
jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam
hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya
tidak ditahan, maka dalam putusan dican tumkan rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan bahwa
benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan
dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dari siapa benda itu disita.
(4) Ganti
kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
dan Pasal 95.
Pasal 83
(1) Terhadap
putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80
dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
(2) Dikecualikan
dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Bagian
Kedua
Pengadilan
Negeri
Pasal 84
(1) Pengadilan
negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan
dalam daerah hukumnya.
(2) Pengadilan
negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam
terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara
terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil
lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan
pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.
(3) Apabila
seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai
pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang
mengadili perkara pidana itu.
(4) Terhadap
beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan
oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh
masing-masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan
penggabungan perkara tersebut.
Pasal 85
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu
pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua
pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah
Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk
pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili
perkara yang dimaksud.
Pasal 86
Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri
yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.
Bagian
Ketiga
Pengadilan
Tinggi
Pasal 87
Pengadilan tinggi berwenang mengadili perkara yang diputus
oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
Bagian
Keempat
Mahkamah
Agung
Pasal 88
Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana
yang dimintakan kasasi.
BAB XI
KONEKSITAS
Pasal 89
(1) Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan
Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara
itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
(2) Penyidikan
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim
tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi
militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur
militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku
untuk penyidikan perkara pidana.
(3) Tim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.
Pasal 90
(1) Untuk
menetapkan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau
jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan
tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).
(2) Pendapat
dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Jika dalam
penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang
berwenang mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau
jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh oditur militer atau oditur militer
tinggi kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 91
(1) Jika
menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) titik berat
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan
umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, maka perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan
penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer
tinggi kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut
kepada pengadilan negeri yang berwenang.
(2) Apabila
menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut terletak pada kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, maka pendapat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dijadikan dasar bagi Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada
Menteri Pertahanan dan Keamanan, agar dengan persetujuan Menteri Kehakimaan
dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa
perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
(3) Surat
keputusan tersebut pada ayat (2) dijadikan dasar bagi perwira penyerah perkara
dan jaksa atau jaksa tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah
militer atau mahkamah militer tinggi.
Pasal 92
(1) Apabila
perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi catatan oleh penuntut umum yang
mengajukan perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur militer atau
oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan kepada pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 93
(1) Apabila
dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat(l) terdapat perbedaan
pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi,
mereka masing-masing melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis,
dengan disertai berkas perkara yang bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada
Jaksa Agung dan kepada Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Jaksa Agung
dan Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk
mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(3) Dalam hal
terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 94
(1) Dalam hal
perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau lingkungan peradilan militer,
yang mengadili perkara tersebut adalah majelis hakim yang terdiri dari
sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
(2) Dalam hal
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari hakim
ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan
dari peradilan umum dan peradilan militer secara berimbang.
(3) Dalam hal
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana
tersebut pada Pasal 89 ayat (1), majelis hakim terdiri dari, hakim ketua dari
lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara berimbang dari
masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari peradilan umum yang diberi
pangkat militer tituler.
(4) Ketentuan
tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat
banding.
(5) Menteri
Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbal balik mengusulkan
pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) dan hakim perwira sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
BAB XII
GANTI
KERUGIAN DAN REHABILITASI
Bagian
Kesatu
Ganti
Kerugian
Pasal 95
(1) Tersangka,
terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan.
(2) Tuntutan
ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri,
diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.
(3) Tuntutan
ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka,
terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang
mengadili perkara yang bersangkutan.
(4) Untuk
memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1)
ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili
perkara pidana yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan
terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara
praperadilan.
Pasal 96
(1) Putusan
pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang
dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.
Bagian
Kedua
Rehabilitasi
Pasal 97
(1) Seorang
berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi
tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam ayat.(1).
(3) Permintaan
rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
BAB XIII
PENGGABUNGAN
PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN
Pasal 98
(1) Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara
gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya
sebelum penuntut umum . mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum
tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Pasal 99
(1) Apabila
pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana
sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang
kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan
dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan tersebut.
(2) Kecuali
dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian
biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan
mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila
putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) Apabila
terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka
penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat
banding.
(2) Apabila
terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 101
Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi
gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Bagian
Kesatu
Penyelidikan
Pasal 102
(1) Penyelidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal
tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana
tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3) Terhadap
tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib
membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1) Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor
atau pengadu.
(2) Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
(3) Dalam hal
pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai
catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik, wajib
menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik
dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6
ayat (1) huruf a.
Bagian
Kedua
Penyidikan
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana
wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1) Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk
kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam hal
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam
penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian
ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik
tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam hal
tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat
(1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umtim
melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
(1) Setiap
orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan
kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap
orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap
ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib
seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
(3) Setiap
pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang
terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal
itu kepada penyelidik atau penyidik.
(4) Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor
atau pengadu.
(5) Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik.
(6) Setelah
menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan
surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.
Pasal 109
(1) Dalam hal
penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal
penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya.
(3) Dalam hal
penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1) Dalam hal
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan
berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2) Dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang
lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik
disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3) Dalam hal
penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib
segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4) Penyidikan
dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik.
Pasal 111
(1) Dalam hal
tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai
wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib,
menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada
penyelidik atau penyidik.
(2) Setelah
menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik
atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka
penyidikan.
(3) Penyelidik
dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian
dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di
situ belum selesai.
(4) Pelanggar
larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1) Penyidik
yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas,
berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar
antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan
tersebut.
(2) Orang yang
dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi
alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang
melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum
dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya
tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya
itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1) Dalam hal
penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat
mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta-mendengar pemeriksaan.
(2) Dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.
Pasal 116
(1) Saksi
diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2) Saksi
diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang
lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam
pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang
dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita
acara.
(4) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa
saksi tersebut.
Pasal 117
(1) Keterangan
tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun
dan atau dalmn bentuk apapun.
(2) Dalam hal
tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik
mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1) Keterangan
tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh
penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2) Dalam hal
tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda-tangannya, penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar
keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang
menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat
dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan
atau saksi tersebut.
Pasal 120
(1) Dalam hal
penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang
memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli
tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia
akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila
disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang
diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat
berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan,
dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan,
nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka,
catatan mengenai. akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk
kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah
perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(1) Tersangka,
keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau
jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2) Untuk itu
penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang
perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis
penahanan tertentu.
(3) Apabila
dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik,
tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan
penyidik.
(4) Untuk itu
atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan
tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam
jenis tahanan tertentu.
(5) Penyidik
atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat
mengabulkan pennintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah
menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal
itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh
putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah
menurut undang-undang ini.
Pasal 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih
dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34.
Pasal 126
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2) Penyidik
membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang
bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditanda-tangani oleh penyidik maupun
tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi.
(3) Dalam hal
tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda-tangannya, hal itu
dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 127
(1) Untuk
keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Dalam hal
ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak
meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia
menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1) Penyidik
memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan
disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang
akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan
dua orang saksi.
(2) Penyidik
membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari
mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani
oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua
lingkungan dengan dua orang saksi.
(3) Dalam hal
orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(4) Turunan
dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari
mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1) Benda
sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan.atau jumlah menurut jenis
masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan,
identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian
diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
(2) Dalam hal
benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau
dikaitkan pada benda tersebut.
Pasal 131
(1) Dalam hal
sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat
diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan
sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk
menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika
perlu menyitanya.
(2) Penyitaan
tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 129
undang-undang ini.
Pasal 132
(1) Dalam hal
diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau
diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik
dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2) Dalam hal
timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan
surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta
kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat
asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan
perbandingan.
(3) Dalam hal
suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak
dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131, penyidik
dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam
surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda
penerimaan.
(4) Dalam hal
surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu
daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli
diterima kembali yang di bagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa
sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam hal
surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat
permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya.
(6) Semua
pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan
sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1) Dalam hal
penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,
yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang
dikiriin kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1) Dalam hal
sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin
lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
(2) Dalam hal
keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila
dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3)undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu
melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh negara.
BAB XV
PENUNTUTAN
Pasal 137
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan' melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Pasal 138
(1) Penuntut
umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan
menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam hal
hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan
untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada
penuntut umum.
Pasal 139
Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil
penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas
perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan.
Pasal 140
(1) Dalam hal
penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.
(2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan
untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut
diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib
disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah
tahanan negara, penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan
baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir
bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:
a. beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan
tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa
tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;
c. beberapa
tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi
yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan
tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang
tidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan
penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.
Pasal 143
(1) Penuntut
umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar. segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2) Penuntut
umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi
:
a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin,kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
tersangka;
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
b batal demi hukum.
(4) Turunan
surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka
atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan
dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Pasal 144
(1) Penuntut
umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang,
baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan
penuntutannya.
(2) Pengubahan
surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh
hari sebelum sidang dimulai.
(3) Dalam hal
penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampai kan turunannya kepada
tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
BAB XVI
PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Bagian
Kesatu
Panggilan
dan Dakwaan
Pasal 145
(1) Pemberitahuan
untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan
dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila
tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(2) Apabila
terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir, surat
panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal
terdakwa atau tempat kediaman terakhir.
(3) Dalam hal
terdakwa ada dalam tahanan surat panggilan disampaikan kepadanya melalui
pejabat rumah tahanan negara.
(4) Penerimaan
surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui
orang lain, dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5) Apabila
tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan
ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya.
Pasal 146
(1) Penuntut
umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari,
serta jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima
oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
(2) Penuntut
umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari serta
jam sidang dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh
yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai.
Bagian
Kedua
Memutus
Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan
perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 148
(1) Dalam hal
ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk
wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan
negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan
negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang
memuat alasannya.
(2) Surat
pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya
kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di
tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
(3) Turunan
surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada terdakwa
atau penasihat hukum dan penyidik.
Pasal 149
(1) Dalam hal
penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148, maka :
a. Ia mengajukan perlawanan kepada
Pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari setelah penetapan
tersebut diterima;
b. tidak dipenuhinya tenggang waktu
tersebut di atas mengakibatkan batalnya perlawanan;
c. perlawanan tersebut disampaikan kepada
ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan hal itu dicatat
dalam buku daftar panitera;
d. dalam waktu tujuh hari pengadilan
negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang
bersangkutan.
(2) Pengadilan
tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari setelah menerima perlawanan
tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
(3) Dalam hal
pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat
penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
menyidangkan perkara tersebut.
(4) Jika
pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi
mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang
bersangkutan.
(5) Tembusan
surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat
(4) disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 150
Sengketa tentang wewenang mengadili terjadi:
a. jika dua
pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang
sama;
b. jika dua
pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang
sama.
Pasal 151
(1) Pengadilan
tinggi memutus sengketa wewenang mengadili antara dua pengadilan negeri atau
lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
(2) Mahkarnah
Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir-semua sengketa tentang wewenang
mengadili :
a. antara pengadilan dari satu lingkungan
peradilan dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain;
b. antara dua pengadilan negeri yang
berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang berlainan;
c. antara dua pengadilan tinggi atau
lebih.
Bagian
Ketiga
Acara
Pemeriksaan Biasa
Pasal 152
(1) Dalam hal
pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa
perkara ita termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan
menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari
sidang.
(2) Hakim dalam
menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memerintahkan kepada
penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang
pengadilan.
Pasal 153
(1) Pada hari
yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang.
(2) a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan
di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang
dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan
hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan
jawaban secara tidak bebas.
(3) Untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak.
(4) Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya
putusan demi hukum.
(5) Hakim ketua
sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun
tidak diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 154
(1) Hakim ketua
sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan,
ia dihadapkan dalam keadaan bebas.
(2) Jika dalam
pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang
yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah
dipanggil secara sah.
(3) Jika
terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang
berikutnya.
(4) Jika
terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang
tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan
dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.
(5) Jika dalam
suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir
pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsunkan.
(6) Hakim ketua
sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah
setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada
sidang pertama berikutnya.
(7) Panitera
mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pasal 155
(1) Pada
permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama
lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan terdakwa supaya
memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang.
(2) a. Sesudah itu hakim ketua sidang minta
kepada penuntut umum untuk membacakan surat dakwaan;
b. Selanjutnya hakim ketua sidang
menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila
terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua
sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Pasal 156
(1) Dalam hal
terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum
untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya
mengambil keputusan.
(2) Jika hakim
menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih
lanjut, sebaiknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut
baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.
(3) Dalam hal
penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal
perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima olah
pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan
surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan
pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.
(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan
bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau pennasihat hukumnya
kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima
perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan
membatalkan keputusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk
pengadilan negeri yang berwenang.
b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan
keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada
pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan
disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kajaksaan negeri yang telah
melimpahkan perkara itu.
(6) Apabila
pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) berkedudukan di
daerah hukum pengadilan tinggi lain maka kejaksaan negeri mengirimkan perkara
tersebut kepada kejaksaan negeri dalam daerah hukum pengadilan negeri yang
berwenang di tempat itu.
(7) Hakim ketua
sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah mendengar
pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat
alasannya dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang.
Pasal 157
(1) Seorang
hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili perkara tertentu apabila ia
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan
suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan hakim ketua sidang, salah
seorang hakim anggota, penuntut umum atau panitera.
(2) Hakim ketua
sidang, hakim anggota, penuntut umum atau panitera wajib mangundurkan diri dari
menangani perkara apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan
terdakwa atau dengan penasihat hukum.
(3) Jika
dipanuhi katentuan ayat (1) dan ayat (2) mereka yang mengundurkin diri harus
diganti dan apabila tidak dipanuhi atau tidak diganti sedangkan perkara telah
diputus, maka perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 158
Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan
penyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.
Pasal 159
(1) Hakim ketua
sidang selanjutnya meneliti apakah samua saksi yang dipanggil telah hadir dan
memberi perintah untuk mencegah jangan sampai saksi berhubungan satu dengan
yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam hal
saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang
mempunyai cukup alasan untuk manyangka bahwa saksi itu tidak.akan mau hadir,
maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke
persidangan.
Pasal 160
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang
seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim
ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b. Yang pertama-tama didengar
keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang
menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat
pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum
atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya
putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.
(2) Hakim ketua
sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau
semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau
isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum
memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan
tidak lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika
pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau
berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
Pasal 161
(1) Dalam hal
saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan
terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua
sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat
belas hari.
(2) Dalam hal
tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap
tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Pasal 162
(1) Jika saksi
sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh
tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan
dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikannya itu
dibacakan.
(2) Jika
keterangan itu sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di
sidang.
Pasal 163
Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan
keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan
saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan
dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.
Pasal 164
(1) Setiap kali
seorang saksi selesai memberikan keterangan, hakim ketua sidang menanyakan
kepada terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(2) Penuntut
umum atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang diberi
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa.
(3) Hakim ketua
sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum atau penasihat
hukum kepada saksi atau terdakwa dengan memberikan alasannya.
Pasal 165
(1) Hakim ketua
sidang dan hakim anggota dapat minta kepada saksi segala keterangan yang
dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua sidang
diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi.
(3) Hakim ketua
sidang dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum kepada saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Hakim dan
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan perantaraan hakim ketua
sidang, dapat saling menghadapkan saksi untuk menguji kebenaran keterangan
mereka masing-masing.
Pasal 166
Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.
Pasal 167
(1) Setelah
saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang
memberi izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin itu
tidak diberikan jika penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum
mengajukan permintaan supaya saksi itu tetap menghadiri sidang.
(3) Para saksi
selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka
tidak dapat didengar katerangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga
sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. saudara
dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami
atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
Pasal 169
(1) Dalam hal
mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta
terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah.
(2) Tanpa
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka diperbolehkan
memberikan keterangan tanpa sumpah.
Pasal 170
(1) Mereka yang
karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 171
Yang boleh diperiksa untuk memberi.keterangan tanpa sumpah
ialah:
a. anak yang
umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
b. orang
sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 172
(1) Satelah
saksi memberi keterangan maka terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaan kepada hakim ketua sidang, agar di antara saksi
tersebut yang tidak mereka kehendaki kahadirannya, dikeluarkan dari ruang
sidang, supaya saksi lainnya di panggil masuk oleh hakim ketua sidang untuk
didengar katerangannya, baik seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa
hadirnya saksi yang dikeluarkan tersebut.
(2) Apabila
dipandang perlu hakim karena jabatannya dapat minta supaya saksi yang telah
didengar keterangannya ke luar dari ruang sidang untuk selanjutnya mandengar
keterangan saksi yang lain.
Pasal 173
Hakim ketua sidang dapat mendengar keterangan saksi
mengenai hal tertentu tanpa hadirnya terdakwa, untuk itu ia minta terdakwa ke
luar dari ruang sidang akan tetapi sesudah itu pemeriksaan perkara tidak boleh
diteruskan sebelum kepada terdakwa diberitahukan semua hal pada waktu ia tidak
hadir.
Pasal 174
(1) Apabila
keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan
dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya
dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila
saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum'atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi
itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.
(3) Dalam hal
yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pememeriksaan sidang
yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa
keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh
hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kapada penuntut umum untuk
diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini.
(4) Jika perlu
hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan
perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Pasal 175
Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk
menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 176
(1) Jika
terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban
sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia
memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang , kemudian
pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal
terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian
rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa.
Pasal 177
(1) Jika
terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk
seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan
benar semua yang harus diterjemahkan.
(2) Dalam hal
seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula
menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal 178
(1) Jika
terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua
sidang .mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan
terdakwa atau saksi itu.
(2) Jika
terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang
menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada
terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan
selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
Pasal 179
(1) Setiap
orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
(2) Semua
ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan
keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji
akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Pasal 180
(1) Dalam hal
diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang
pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta
agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam hal
timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan
agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim
karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana tersebut pada ayat (2).
(4) Penelitian
ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi
semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai
wewenang untuk itu.
Pasal 181
(1) Hakim ketua
sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya
apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.
(2) Jika perlu
benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.
(3) Apabila
dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan
selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 182
(1) a. Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai,
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;
b. Selanjutnya terdakwa dan atau penasihat
hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan
ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir;
c. Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas
pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan
kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
(2) Jika acara
tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi,
baik atas kewenangan hakim - ketua sidang karena jabatannya, maupun atas
permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan
alasannya..
(3) Sesudah itu
hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila
perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum,
penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.
(4) Musyawarah
tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu
yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(5) Dalam
musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari
hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir
mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus
disertai pertimbangan beserta alasannya.
(6) Pada
asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat
kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat
dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. putusan diambil dengan suara terbanyak;
b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak
juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling
menguntungkan bagi terdakwa.
(7) Pelaksanaan
pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat dalam buku
himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku
tersebut sifatnya rahasia.
(8) Putusan
pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada
hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukum.
Bagian
keempat
Pembuktian
dan Putusan
Dalam
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti
yang sah ialah :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 185
(1) Keterangan
saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2) Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik
pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan ahli.
(6) Dalam
menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu
dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi
dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh
saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta
segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan
itu dipercaya;
(7) Keterangan
dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan
dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain.
Pasal 186
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan.
Pasal 187
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf
c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a. berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu
b. surat yang
dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya;
d. surat lain
yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a. keterangan saksi;
b. surat;
c. keterangan terdakwa.
(3) Penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.
Pasal 190
a. Selama
pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat
memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
b. Dalam hal
terdakwa ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya
untuk membebaskan terdakwa, jika terdapat alasan cukup untuk itu dengan
mengingat ketentuan Pasal 30.
Pasal 191
(1) Jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika
pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum.
(3) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena
ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.
Pasal 192
(1) Perintah
untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) segera
dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan.
(2) Laporan
tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat
penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan
selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.
Pasal 193
(1) Jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan,
jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut
ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk
itu.
b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan
dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan
atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.
Pasal 194
(1) Dalam hal
putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan
menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling
berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat
dipergunakan lagi.
(2) Kecuali
apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah
penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai sesuatu syarat apapun kecuali
dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 195
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Pasal 196
(1) Pengadilan
memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini
menentukan lain.
(2) Dalam hal
terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
(3) Segera
sesudah putusan pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib
memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu :
a. hak segera menerima atau segera menolak
putusan;
b. hak mempelajari putusan sebelum
menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang ini;
c. hak minta penangguhan pelaksanaan
putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak. minta diperiksa perkaranya dalam
tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini,
dalam hal ia menolak putusan;
e. hak mencabut pernyataan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
ini.
Pasal 197
(1) Surat
putusan pemidanaan memuat :
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi
: "DEMI KEADILAN BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam
surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara
ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat
dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah
majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa,
pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai
dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat
ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat
surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau
tetap dalam'tahanan atau dibebaskan;
1. hari dan tanggal putusan, nama penuntut
umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;
(2) Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I
pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan
dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 198
(1) Dalam hal
seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau
pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut.
(2) Dalam hal
penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti
ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.
Pasal 199
(1) Surat
putusan bukan pemidanaan memuat :
a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;
b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah supaya terdakwa segera
dibebaskan jika ia ditahan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
pasal ini.
Pasal 200
Surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera
seketika setelah putusan itu diucapkan.
Pasal 201
(1) Dalam hal
terdapat surat palsu atau dipalsukan, maka panitera melekatkan petikan putusan
yang ditandatanginya pada surat tersebut yang memuat keterangan sebgaimana
dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf j dan surat palsu atau yang dipalsukan
tersebut diberi catatan dengan menunjuk pada petikan putusan itu.
(2) Tidak akan
diberikan salinan pertamana atau salinan dari surat asli palsu atau yang
dipalsukan kecuali panitera sudah membubuhi catatan pada catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan salinan petikan putusan.
Pasal 202
(1) Panitera
membuat berita acara sidang, dengan memperhatikan persyaratan yang diperlukan
dan memuat segala kejadian di sidang yang berhubungan dengan pemeriksaan itu.
(2) Berita
acara sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat juga hal yang penting
dari keterangan saksi, terdakwa dan ahli kecuali jika hakim ketua sidang
menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara
pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dengan
lainnya.
(3) Atas
permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, hakim ketua sidang
wajib memerintahkan kepada panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang
suatu keadaan atau keterangan.
(4) Berita
acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera kecuali apabila
salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam berita
acara tersebut.
Bagian
Kelima
Acara
Pemeriksaan Singkat
Pasal 203
(1) Yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut
umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
(2) Dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penuntut umum menghadapkan
terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan.
(3) Dalam acara
ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab
ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini :
a. 1. penuntut
umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari
catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya
dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu
dilakukan;
2. pemberitahuan ini dicatat dalam berita
acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan;
b. dalam hal hakim memandang perlu
pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling
lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum
juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara
itu diajukan ke sidang pengadilan dengan cara biasa;
c. guna kepentingan pembelaan, maka atas
permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan
paling lama tujuh hari;
d. putusan tidak dibuat secara khusus,
tetapi dicatat dalam berita acara sidang;
e. hakim memberikan surat yang memuat amar
putusan tersebut;
f. isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum
yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa.
Pasal 204
Jika dari pemeriksaan di sidang sesuatu perkara yang
diperiksa dengan acara singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang
seharusnya diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa
dapat melanjutkan pemeriksaan tersebut.
Bagian
Keenam
Acara
Pemeriksaan Cepat
Paragraf
1
Acara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
Pasal 205
(1) Yang
diperiksa menurut acara pemeriksana tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam
dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali
yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.
(2) Dalam
perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas kuasa penuntut umum,
dalam waktu tiga hari sejak berita acara pemeriksaan selesai dibuat,
menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke
sidang pengadilan.
(3) Dalam acara
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengadilan mengadili dengan
hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta banding.
Pasal 206
Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk
mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
Pasal 207
(1) a. Penyidik memberitahukan secara tertulis
kepada terdakwa tentang hari, tanggal, jam dan tempat ia harus menghadap sidang
pengadilan. dan hal tersebut dicatat dengan baik oleh penyidik, selanjutnya
catatan bersama berkas dikirim ke pengadilan.
b. Perkara dengan acara pemeriksaan tindak
pidana ringan yang diterima harus segera disidangkan pada hari sidang itu juga.
(2) a. Hakim yang bersangkutan memerintahkan
panitera mencatat dalam buku register semua perkara yang diterimanya.
b. Dalam buku register dimuat nama
lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa serta apa yang didakwakan
kepadanya.
Pasal 208
Saksi dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan tidak
mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu.
Pasal 209
(1) Putusan
dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya oleh panitera
dicatat dalam buku register serta ditandatangani oleh hakim yang bersangkutan
dan panitera.
(2) Berita
acara pemeriksaan sidang tidak dibuat kecuali jika dalam pemeriksaan tersebut
temyata ada hal yang tidak sesuai dengan berita acara pemeriksaan yang dibuat
oleh penyidik.
Pasal 210
Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian
Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini.
Paragraf
2
Acara
Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Pasal 211
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan pada Paragraf ini
ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu
lintas jalan.
Pasal 212
Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak
diperlukan berita acara pemeriksaan, oleh karena itu catatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 207 ayat (1) huruf a segera diserahkan kepada pengadilan
selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama berikutnya.
Pasal 213
Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk
mewakilinya di sidang.
Pasal 214
(1) Jika
terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan.
(2) Dalam hal
putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera
disampaikan kepada terpidana.
(3) Bukti bahwa
surat amar putusan telah disampaikan oleh penyidik kepada terpidana, diserahkan
kepada panitera untuk dicatat dalam buku register.
(4) Dalam hal
putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
(5) Dalam waktu
tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat
mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(6) Dengan
perlawanan itu putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.
(7) Setelah
panitera memberitahukan kepada penyidik tentang perlawanan itu hakim menetapkan
hari sidang untuk memeriksa kembali perkara itu.
(8) Jika
putusan setelah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (4), terhadap putusan tersebut terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 215
Pengembalian benda sitaan dilakukan tanpa syarat kepada
yang paling berhak, segera setelah putusan dijatuhkan jika terpidana telah
memenuhi isi amar putusan.
Pasal 216
Ketentuan dalam Pasal 210 tetap berlaku sepanjang
peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini.
Bagian
Ketujuh
Pelbagai
Ketentuan
Pasal 217
(1) Hakim ketua
sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2) Segala
sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib
di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat.
Pasal 218
(1) Dalam ruang
sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
(2) Siapa pun
yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan
tidak mentaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang,
atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Dalam hal
pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu
tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap
pelakunya.
Pasal 219
(1) Siapa pun
dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun
benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib
menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Tanpa surat
perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan
penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seorang di ruang sidang
tidak membawa senjata, bahan atau alat maupun benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan apabila terdapat maka petugas mempersilahkan yang bersangkutan
untuk menitipkannya.
(3) Apabila
yang bersangkutan bermaksud meninggalkan ruang sidang maka petugas wajib
menyerahkan kembali benda titipannya.
(4) Ketetentuan
ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi kemungkinan untuk dilaukan penuntutan
bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak
pidana.
Pasal 220
(1) Tiada
seorang hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung,
(2) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim yang bersangkutan, wajib mengundurkan
diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukumnya.
(3) Apabila ada
keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), maka pejabat pengadilan yang berwenang yang menetapkannya.
(4) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam makna ayat tersebut di atas berlaku bagi penuntut
umum.
Pasal 221
Bila dipandang perlu hakim di sidang atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau penasihat hukumnya dapat memberi
penjelasan tentang hukum yang berlaku.
Pasal 222
(1) Siapa pun
yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada negara.
(2) Dalam hal
terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran
biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara.
Pasal 223
(1) Jika hakim
memberi perintah kepada seorang untuk mengucapkan sumpah atau janji di luar
sidang, hakim dapat menunda pemeriksaan perkara sampai pada hari sidang yang
lain.
(2) Dalam hal
sumpah atau janji dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim menunjuk
panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat
berita acaranya.
Pasal 224
Semua surat putusan pengadilan disimpan dalam arsip
pengadilan yang mengadili perkara itu pada tingkat pertama tidak dibolehkan
dipindahkan kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 225
(1) Panitera
menyelenggarakan buku daftar untuk semua perkara.
(2) Dalam
daftar itu dicatat nama dan identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan,
tanggal penerimaan perkara, tanggal terdakwa mulai ditahan apabila ia ada
didalam tahanan, tanggal dan isi putusan secara singkat, tanggal penerimaan
permintaan dan putusan banding atau kasasi, dan lain hal yang erat hubungannya
dengan proses perkara.
Pasal 226
(1) Petikan
surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya
segera setelah putusan diucapkan.
(2) Salinan
surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan.
(3) Salinan
surat putusan pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan seizin
ketua pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.
Pasal 227
(1) Semua jenis
pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat
pemeriksaan kepada terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya
tiga hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan, ditempat tinggal mereka atau
di tempat kediaman mereka terakhir.
(2) Petugas
yang melaksanakan panggilan tersebut harus bertemu sendiri dan berbicara
langsung dengan orang yang dipanggil dan membuat catatan bahwa panggilan telah
diterima oleh yang bersangkutan dengan membubuhkan tanggal serta tandatangan,
baik oleh petugas maupun orang yang dipanggil dan apabila yang dipanggil tidak
menandatangani maka petugas harus mencatat alasannya.
(3) Dalam hal
orang yang dipanggil tidak terdapat di salah satu tempat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), surat panggilan disampaikan melalui kepala desa atau pejabat
dan jika di luar negeri melalui perwakilan Republik Indonesia di tempat di mana
orang yang dipanggil biasa berdiam dan apabila masih belum juga disampaikan,
maka surat panggilan ditempelkan di tempat pengumuman kantor pejabat yang
mengeluarkan panggilan tersebut.
Pasal 228
Jangka atau tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai
diperhitungkan pada hari berikutnya.
Pasal 229
(1) Saksi atau
ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di
semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pejabat
yang melakukan pemananggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli
tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 230
(1) Sidang
pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang.
(2) Dalam ruang
sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan.pakaian
sidang dan atribut masingmasing.
(3) Ruang
sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan sebagai
berikut :
a. tempat meja dan kursi hakim terletak
lebih tinggi dari empat penuntut umum, terdakwa, penasihat hukum dan
pengunjung;
b. tempat panitera terletak di belakang
sisi kanan tempat hakim ketua sidang;
c. tempat penuntut umum terletak di sisi
kanan depan tempat hakim;
d. tempat terdakwa dan penasehat hukum
terletak di sebelah kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah
kanan tempat penasihat hukum;
e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan
saksi terletak di depan tempat hakim;
f. tempat saksi atau ahli yang telah
didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;
g. tempat pengunjung terletak di belakang
tempat saksi yang telah didengar;
h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah
kanan meja hakim dan panji Pengayoman ditempatkan di sebelah kiri meja hakim
sedangkan lambang Negara di tempatkan pada dinding bagian atas di belakang meja
hakim;
i. tempat rohaniwan terletak di sebelah
kiri tempat panitera;
j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a
sampai huruf i diberi tanda pengenal;
k. tempat petugas keamanan di bagian dalam
pintu masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.
(4) Apabila
sidang pengadilan dilangsungkan di luar gedung pengadilan, maka tata tempat
sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan ayat (3) tersebut di atas.
(5) Dalam hal
ketentuan ayat (3) tidak mungkin dipenuhi maka sekurang-kurangnya bendera
Nasional harus ada.
Pasal 231
(1) Jenis,
bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut dan hal yang berhubungan dengan
perangkat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat
(3) diatur dengan peraturan pemerintah.
(2) Pengaturan
lebih lanjut tata tertib persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217
ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehakiman.
Pasal 232
(1) Sebelum
sidang dimulai, panitera, penuntut umum, penasihat hukum dan pengunjung yang
sudah ada, duduk di tempatnya masing-masing dalam ruang sidang.
(2) Pada saat
hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormat.
(3) Selama
sidang berlangsung setiap orang yang ke luar masuk ruang sidang diwajibkan
memberi hormat.
BAB XVII
UPAYA
HUKUM BIASA
Bagian
Kesatu
Pemeriksaan
Tingkat Banding
Pasal 233
(1) Permintaan
banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat diajukan ke pengadilan tinggi
oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum;
(2) Hanya
pemintaan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 'boleh diterima oleh
panitera pengadilan negeri dalam waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan
atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2).
(3) Tentang
permintaan itu oleh panitera dibuat sebuah surat keterangan yang ditandatangani
olehnya dan juga oleh pemohon serta tembusannya diberikan kepada pemohon yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal
pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh panitera dengan
disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara serta
juga ditulis dalam daftar perkara pidana.
(5) Dalam hal
pengadilan negeri menerima permintaan banding, baik yang diajukan oleh penuntut
umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
Pasal 234
(1) Apabila
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal '233 ayat
(2) telah lewat
tanpa diajukan permintaan banding oleh yang bersangkutan, maka yang
bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka panitera mencatat dan membuat akta
mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Pasal 235
(1) Selama
perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat
dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam
perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
(2) Apabila
perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permintaan bandingnya, maka pemohon dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh pengadilan tinggi hingga saat
pencabutannya.
Pasal 236
(1) Selambat-lambatnya
dalam waktu empat belas hari sejak permintaan banding diajukan,panitera
mengirimkan salinan putusan pengadilan negeri dan berkas perkara serta surat
bukti kepada pengadilan tinggi.
(2) Selama
tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon
banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di
pengadilan negeri.
(3) Dalam hal
pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan
mempelajari berkas tersebut di pengadilan tinggi, maka kepadanya wajib diberi
kesempatan untuk itu secepatnya tujuh hari setelah berkas perkara diterima oleh
pengadilan tinggi.
(4) Kepada
setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti
keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di pengadilan tinggi.
Pasal 237
Selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu
perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum
dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan
tinggi.
Pasal 238
(1) Pemeriksaan
dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima
dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari
penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan negeri, beserta semua
surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan
pengadilan negeri.
(2) Wewenang
untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya
permintaan banding.
(3) Dalam waktu
tiga hari sejak menerima berkas perkara banding dari pengadilan negeri,
pengadilan tinggi wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu
tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun atas
permintaan terdakwa.
(4) Jika
dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau
saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
Pasal 239
(1) Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 157 dan Pasal 220 ayat (l), ayat (2) dan ayat
(3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat banding.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) berlaku juga antara
hakim dan atau panitera tingkat banding, dengan hakim atau panitera tingkat
pertama yang telah mengadili perkara yang sama.
(3) Jika
seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama kemudian telah menjadi
hakim pada pengadilan tinggi, maka hakim tersebut dilarang memeriksa perkara
yang sama dalam tingkat banding.
Pasal 240
(1) Jika
pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata
ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang
lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan
pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya
sendiri.
(2) Jika perlu
pengadilan tinggi dengan keputusan dapat membatalkan penetapan dari pengadilan
negeri sebelum putusan pengadilan tinggi dijatuhkan.
Pasal 241
(1) Setelah
semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan
dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau
dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan
putusan sendiri.
(2) Dalam hal
pembatalan tersebut terjadi atas putusan pengadilan negeri karena ia tidak
berwenang memeriksa perkara itu, maka berlaku ketentuan tersebut pada Pasal
148.
Pasal 242
Jika dalam pemeriksaan tingkat banding terdakwa yang
dipidana itu ada dalam tahanan, maka pengadilan tinggi dalam putusannya
memerintahkan supaya terdakwa perlu tetap ditahan atau dibebaskan.
Pasal 243
(1) Salinan
surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari
setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang
memutus pada tingkat pertama.
(2) Isi surat
putusan-setelah dicatat dalam buku register segera diberitahukan kepada
terdakwa dan penuntut umum oleh panitera pengadilan negeri dan selanjutnya
pemberitahuan tersebut dicatat dalam' salinan surat putusan pengadilan tinggi.
(3) Ketentuan
mengenai putusan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud Pasal 226 berlaku juga
bagi putusan pengadilan tinggi.
(4) Dalam hal
terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum pengadilan negeri tersebut
panitera minta bantuan kepada panitera pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi surat putusan itu
kepadanya.
(5) Dalam hal
terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar
negeri, maka isi surat putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan
melalui kepala desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia, di
mana terdakwa biasa berdiam dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan,
terdakwa dipanggil dua kali berturut-turut melaluil dua buah surat kabar yang
terbit dalam daerah hukum pengadilan negeri itu sendiri atau daerah yang
berdekatan dengan daerah itu.
Bagian
Kedua
Pemeriksaan
Untuk Kasasi
Pasal 244
Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa
atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.
Pasal 245
(1) Permohonan
kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu empat belas hari sesudah putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa.
(2) Permintaan
tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang
ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan
pada berkas perkara.
(3) Dalam hal
pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut
umun, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu
kepada pihak yang lain.
Pasal 246
(1) Apabila
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa
diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan. '
(2) Apabila
dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat
mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur.
(3) Dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2), maka panitera, mencatat dan
membuat akta.mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas
perkara.
Pasal 247
(1) Selama
perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi
dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi
dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2) Jika
pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas
tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila
perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara
itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya
perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
(4) Permohonan
kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pasal 248
(1) Pemohon
kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya
dan dalam waktu empat belas hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus
sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda
terima.
(2) Dalam hal
pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu
menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan
permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya.
(3) Alasan yang
tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253
ayat (l) undang-undang ini.
(4) Apabila
dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon terlambat
menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(5) Ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 246 ayat (3) berlaku juga untuk ayat (4) pasal
ini.
(6) Tembusan
memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan
kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(7) Dalam
tenggang waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1), panitera menyampaikan
tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori
kasasi.
Pasal 249
(1) Dalam hal
salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam
memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk
mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
248 ayat (1).
(2) Tambahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas diserahkan ke pada panitera
pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya
dalam waktu empat belas hari setelah tenggang waktu tersebut dalam ayat (1),
permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera
disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 250
(1)
Setelah panitera, pengadilan negeri menerima memori dan
atau kontra memori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4),
ia wajib segera mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung.
(2)
Setelah panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara
tersebut ia seketika mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara
dan pada kartu penunjuk.
(3)
Buku register perkara tersebut pada ayat (2) wajib
dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada setiap hari kerja dan
untuk diketahul ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(4)
Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, maka
penandatanganan dilakukan oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung dan jika keduanya
berhalangan maka dengan surat keputusan Ketua Mahkamah Agung ditunjuk hakim
anggota yang tertua dalam jabatan.
(5)
Selanjutnya panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat
bukti penerimaan yang aslinya dikirimkan kepada panitera pengadilan negeri yang
bersangkutan, sedangkan kepada para pihak dikirimkan tembusannya.
Pasal 251
(1)
Ketentuan sebagaimana diatur dalam pasa 157 berlaku juga bagi
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2)
Hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157
ayat (1) berlaku juga antara hakim dan.atau panitera tingkat kasasi dengan
hakim dan atau panitera tingkat banding serta tingkat pertama, yang telah
mengadili perkara yang sama.
(3)
Jika seorang hakim yang mengadili perkara dalam tingkat
pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi hakim atau panitera pada
Mahkamah Agung, mereka dilarang bertindak sebagai hakim atau panitera untuk
perkara yang sama dalam tingkat kasasi.
Pasal 252
(1)
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 220 ayat (1) dan
ayat (21) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi.
(2)
Apabila ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal
sebagaimana tersebut pada ayat (1), maka dalam tingkat kasasi :
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya
bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahakamah
Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia yang terdiri
dari tiga orang yang dipilih oleh dan antar hakim anggota yang seorang
diantaranya harus hakim anggota yang tertua dalam jabatan.
Pasal 253
(1) Pemeriksaan
dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan :
a. apakah benar suatu peraturan hukum
tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b. apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah benar pengadilan telah
melampaui batas wewenangnya.
(2) Pemeriksaan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga
orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari
pada Mahkamah Agung, yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik,
berita acara pemeriksaan di sidang, semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu berserta putusan pengadilan tingkat pertama dan
atau tingkat terakhir.
(3) Jika
dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat
(1), Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau
penuntut umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada
mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan
pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)'untuk mendeng'ar keterangan
mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang
untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukan permohonan
kasasi.
(5) a. Dalam 'waktu tiga bari sejak menerima
berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Mahkamah Agung wajib
mempelajarinya untuk menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak,
baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa.
b. Dalam hal terdakwa tetap ditahan, maka
dalam waktu empat belas hari, sejak penetapan penahanan Mahkamah Agung wajib
memeriksa perkara tersebut.
Pasal 254
Dalam hal Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi
karena telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal245, Pasal246,.
dan Pasal 247. mengenai hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau
mengabulkan permohonan kasasi.
Pasal 255
(1) Dalam hal
suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
(2) Dalam hal
suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar
pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya . lagi mengenai.
bagian yang dibatalkan, atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat
menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal
suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak
berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau
hakim lain mengadili perkara tersebut.
Pasal 256
Jika Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254, Mahkamah Agung membatalkan putusan
pengadilan yang dimintakan kasasi dan dalam hal itu berlaku ketentuan Pasal
255.
Pasal 257
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 226 dan Pasal 243
berlaku juga bagi putusan kasasi Mahkamah'Agung, kecuali tenggang waktu tentang
pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada pengadilan yang
memutus pada tingkat pertama dalam waktu tujuh hari.
Pasal 258
Ketentuan sebgaimana tersebut pada Pasal 244 sampai dengan
Pasal 257 berlaku bagi acara permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
BAB XVIII
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
Bagian Kesatu
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi
Kepentingan Hukum
Pasal 259
(1) Demi
kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali
permohonan kasasi oleh Jaksa Agung.
(2) Putusan
kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 260
(1) Permohonan
kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung
kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang telah memutus perkara
dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan
risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Ketua
pengadilan yang bersangkutan segera. meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah
Agung.
Pasal 261
(1) Salinan
putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada
Jaksa Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2) dan ayat (4) berlaku juga dalam
hal ini.
Pasal 262
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259, Pasal 260
dan Pasal 261 berlaku bagi acara permohonan kasasi demi kepentingan hukum
terhadap putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Bagian Kedua
Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 263
(1) Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Permintaan
peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
a. apabila terdapat keadaan baru yang
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
(3) Atas dasar
alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan
telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 264
(1) Permintaan
peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1)
diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat
pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan
peninjauan kembali
(3) Permintaan
peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.
(4) Dalam hal
pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum,
panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan
apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali
(5) Ketua
pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan-kembali beserta
berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 265
(1) Ketua pengadilan
setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal
263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan
peninjauan-kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali
tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2).
(2) Dalam
pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir
dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3) Atas
pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh
hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat
berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
(4) Ketua
pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri
berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat
kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada
pemohon dan jaksa.
(5) Dalam hal
suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan
banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita
acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan
banding yang bersangkutan.
Pasal 266
(1) Dalam hal
permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut
pada Pasal 263 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan
kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
(2) Dalam hal
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat diterima
untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut :
a. apabila Mahkamah Agung tidak
membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan
kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu
tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila Mahkamah Agung membenarkan
alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjauan-kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan
hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan
penuntut umum;
4. putusan dengan menerapkan ketentuan
pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana yang
dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang
telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 267
(1) Salinan
putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya
dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5)
berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan kembali
Pasal 268
(1)
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak
menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2)
Apabila suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima
oleh Mahkamah Agung dan sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai
diteruskan atau tidaknya peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak
ahli warisnya.
(3)
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya
dapat dilakukan satu kali saja.
Pasal 269
Ketentuan sebagaimana tersebut pada Pasal 263 sampai
dengan Pasal 268 berlaku bagi acara permintaan peninjauan kembali terhadap
putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
BAB XIX
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 270
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan
salinan surat putusan kepadanya.
Pasal 271
Dalam hal pidana mati pelaksanaannya dilakukan tidak
dimuka umum dan menurut ketentuan undang-undang.
Pasal 272
Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian
dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan
terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang
dijatuhkan lebih dahulu.
Pasal 273
(1)
Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada
terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut
kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi.
(2)
Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana
tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
(3)
Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti
dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46,
jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga
bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan
atas nama jaksa.
(4)
Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (3) dapat
diperpanjang untuk paling lama satu bulan.
Pasal 274
Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan
menurut tatacara putusan perdata.
Pasal 275
Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara,
maka biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274
dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang.
Pasal 276
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, maka
pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang
sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang.
BAB XX
PENGAWASAN DAN PENGAMATAN PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Pasal 277
(1) Pada setiap
pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
(2) Hakim
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat,
ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun.
Pasal 278
Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan
putusan pengadilan yang ditandatangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan
dan terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan
panitera mencatatnya dalam register pengawasan dan pengamatan.
Pasal 279
Register pengawasan dan pengamatan sebagaimana tersebut
pada Pasal278 wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera pada
setiap hari kerja dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277
Pasal 280
(1) Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa
putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(2) Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku
narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik
terhadap nara pidana selama menjalani pidananya.
(3) Pengamatan
sebagaiamana dimaksud dalama ayat (2) tetap dilaksanakan setelah terpidana
selesai menjalani pidananya.
(4) Pengawas
dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 berlaku pula bagi
pemidanaan bersyarat.
Pasal 281
Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala
lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu
tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut.
Pasal 282
Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim
pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan kepala lembaga pemasyarakatan
tentang cara pembinaan narapidana tertentu.
Pasal 283
Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim
pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 284
(1) Terhadap
perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh mungkin
diberlakukan ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu
dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara
diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang
tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 285
Undang-undang ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
Pasal 286
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.